Selasa, Desember 31, 2013

Coretan Film Sukarno

Film yang bagus bukanlah film yang mengobral habis kepahlawanan, melainkan yang mengangkat sisi kemanusiaan. Maksudnya, agar yang buruk tak datang lagi dan yang terbaikterus diperjuangkan.

Awalnya, saya ogah nonton film yang diberi judul Soekarno ini. Bukan karena tidak suka Soekarno, tapi lebih karena ini bikinan Hanung Bramantyo. Sejak film Ayat-ayat Cinta , saya tidak suka lagi film-film Hanung. Sebelumnya, film pertama Hanung, Brownies jauh lebih bermutu menurut saya. Tapi, adalah Hak Hanung untuk membuat film di luar keinginan saya. Karena saya dengar periset film ini adalah kakak kelas waktu kuliah dulu, saya tergugah menonton film ini. setelah saya lewatkan banyak film Hanung yang kata orang bagus-bagus itu. 

Sebagai orang sok menyejarah, tentu saja, saya memperhatikan setting dan alur ceritanya. Ada bagian dari film-film yang mungkin aneh, atau berlebihan buat saya. Misal: adegan tentara Belanda (KNIL) yang jadi tawanan serdadu Jepang, dan akan dihukum mati oleh Jepang, di akhir kematiannya dengan lantang menyanyikan lagu Wilhemus van Nassau. Sepertinya, orang Belanda yang anti Jepang pun tak akan seheroik itu. Orang Belanda tak seheroik orang Jerman. Selanjutnya, ada serdadu PETA (pembela Tanah Air: Tentara Sukarela bikinan Pemerintah Militer Jepang) yang nampaknya beretnis Ambon. Orang Ambon memang berbakat jadi serdadu, tapi di masa pendudukan Jepang, mereka adalah orang-orang tersingkir yang sebisa mungkin jangan sampai pegang bedil. 

Saya juga agak ragu, apakah sedari awal Fatmawati dipanggi Fatma, dan bukan nama aslinya Fatimah? Tahu-tahu dalam film dia dipanggil Fatimah sebelum menjalin hubungan dengan Sukarno. Saya kira penggambaran Soekarno yang lantang dan memancing keributan terkesan agak berlebihan. Tak apalah, namanya juga film.  Juga gambaran Syahrir yang agak berlebihan dalam membenci Sukarno. Syahrir memang tak menyukai Sukarno, tapi tentu saja sikap anti itu pun tak berlebihan. Mereka hanya beda pandangan. Syahrir digambarkan agak sok serius. Saya lebih sering menemukan foto Syahrir sedang nyengir dan wajah bersahabat.

Meski ada setting dan alur dan setting yang ganjil, di mata saya, tetap saja ada hal yang luar biasa dari film ini. Setidaknya, para penonton jadi tahu kalau ada sosok Inggit Garnasih. Istri kedua Soekarno yang kesetiaan dan dukungannya luar biasa bagi hidup dan perjuangan Soekarno. Tak namanya dalam buku sejarah. Tapi ada jasanya dalam sejarah Indonesia. Jika mau berhitung (baca: membandingkan), Inggit lebih lama menemani Soekarno di masa-masa sulit. Dan, Fatma hanya sedikit alami itu. Soekarno bukan lagi orang buangan ketika Fatma jadi istri si Bung Besar itu.

Belakangan, saya dengar orang-orang ribut dan tampak kecewa dengan film ini. Lantaran Soekarno seperti digambarkan sebagai sosok lelaki dewasa beristri yang menggoda gadis remaja. Tapi, beberapa sejarawan menganggap begitulah adanya. Soekarno berpaling kepada Fatma dan terkesan mengkhianati cinta Inggit. Dalam kehidupan nyata, saya kira bukan hanya Soekarno yang seperti itu. Mungkin kita punya contoh masing-masing dalam kehidupan sehari-hari. Soal Inggit, kawan saya Reni Nuryanti dulu menulis soal wanita hebat ini dalam skripsinya. Dan Ramadhan KH pun menulis biografinya dalam bahasa yang sastrawi sekali.

Hanung saya kira berhasil menggambarkan Soekarno sebagai manusia. Bukan melulu sebagai pahlawan suci tak bernoda. Banyak pihak selau ingin film biografi yang menggambarkan tokoh idolanya sebagai manusia tanpa cela, kalau perlu setengah dewa. Memang, orang Indonesia suka dibohongi dan selalu ingin terlihat suci dan gagah. Tak masalah jika harus bertentangan dengan kemanusiaan dan kejujuran. Semoga dengan film ini orang Indonesia bisa belajar jujur dan menerima kenyataan pahit. Termasuk bisa menerima kenyataan jika idolanya, atau bahkan pendahulunya juga pernah salah. Bukan ditutupi seharusnya tapi diusahakan agar tidak terulang di masa depan.
Meski film ini agak ganjil buat saya, Tim Periset tidaklah gagal dalam mencari data. Nyatanya banyak data menarik, seperti soal Inggit diangkat ke permukaan. Soal dramatisasi itu urusan sutradara. Boleh dong Hanung melakukannya. Jika ada yang tidak suka dan tidak terima, silahkan buat film sendiri. Tak perlu main larang. Tanpa bermaksud memuji, film ini cukup menarik dan layak ditonton.