Rabu, Februari 12, 2014

Hidup Usman Harun!!!

KKO AL punya pahlawan. Jadi, hak AL untuk memberi nama pada kapalnya, tak perlu dengar apa kata tetangga yang cerewet itu
Dulu, waktu Sukarno masih jadi presiden, waktu konfrontasi Malaysia, dua orang prajurit KKO bermasil memasuki Singapura dengan bantuan orang sipil bernama Gani. Dua KKO itu berhasil menuntaskan misi sabotase mereka. Peledakan Mcdonald House di Singapura sukses. 
Pengeboman MacDonald House terjadi pada tanggal 10 Maret 1965. Gedung ini merupakan gedung dari  Hongkong and Shanghai Bank.  Orang menyebutnya MacDonald House. Terletak di Orchard Road, Singapura. Tiga orang meninggal dunia (Dua korban yang tewas berasal dari suku Tionghoa sedangkan satunya lagi adalah orang Melayu) dan sedikitnya 33 orang cidera.  Pengeboman di MacDonald House merupakan pengeboman yang paling serius dari seluruh pengeboman-pengeboman yang terjadi di Singapura. (The Straits Times, 11 Maret 1965)
Misi boleh sukses. Pihak otoritas Singapura tentu tak diam. Pelaku peledakan diburu. Mereka ditangkap di sekitar Selata Malaka. Dua anggota KKO tertangkap. Mereka lalu di tahan cukup lama di penjara Changi. Setelahnya mereka di gantung dak tak pernah kembali pulang. (Sapuduto Citrowijoyo, Kompi X Siglayan, hlm. 14). Jika bicara soal hukuman, dari pihak Singapura jelas sudah impas.
Dulu, waktu Sukarno masih jadi presiden, waktu konfrontasi Malaysia, dua orang prajurit KKO bermasil memasuki Singapura dengan bantuan orang sipil bernama Gani. Dua KKO itu berhasil menuntaskan misi sabotase mereka. Peledakan Mcdonald House di Singapura sukses. Pengeboman MacDonald House terjadi pada tanggal 10 Maret 1965. Gedung ini merupakan gedung dari Hongkong and Shanghai Bank. Orang menyebutnya MacDonald House. Terletak di Orchard Road, Singapura. Tiga orang meninggal dunia (Dua korban yang tewas berasal dari suku Tionghoa sedangkan satunya lagi adalah orang Melayu) dan sedikitnya 33 orang cidera. Pengeboman di MacDonald House merupakan pengeboman yang paling serius dari seluruh pengeboman-pengeboman yang terjadi di Singapura. (The Straits Times, 11 Maret 1965) Misi boleh sukses. Pihak otoritas Singapura tentu tak diam. Pelaku peledakan diburu. Mereka ditangkap di sekitar Selata Malaka. Dua anggota KKO tertangkap. Mereka lalu di tahan cukup lama di penjara Changi. Setelahnya mereka di gantung dak tak pernah kembali pulang. (Sapuduto Citrowijoyo, Kompi X Siglayan, hlm. 14). Jika bicara soal hukuman, dari pihak Singapura jelas sudah impas.
Belakangan Singapura rebut. Mereka nampaknya tak suka rencana TNI AL memberikan nama Usman-Harun pada kapal perang terbaru mereka. Kapal tersebut didanai Indonesia, dan nama Usman Harun adalah pahlawan bagi Angkatan Laut Indonesia, jadi Angkatan Laut berhak memakai nama itu.
 Harun dan Usman bukan sosok prajurit dengan pangkat tinggi. Mereka hanya tamtama ketika mereka dikirim ke singapura untuk melakukan sabotase didalam wilayah singapura sendiri. Harun yang berpangkat Prajurit, kemudian menjadi Kopral Dua setelah dinyatakan gugur. Dan Usman yang semula kopral lalu dinaikan pangkatnya menjadi Sersan Dua. 
Upaya pembebasan dua KKO itu justru dilakukan setelah Sukarno tak berdaya lagi sebagai Presiden. Suharto sudah mulai naik dan usaha damai untuk menghentikan konfrontasi “Ganyang Malaysia” mulai dilakukan Suharto dan pengikutnya. Namun di masa transisi menuju perdamaian itulah hukuman gantung dijatuhkan pada 17 Oktober 1968. Karena konfrontasi sudah berhenti tak lama setelah 1965. Hukuman mati itu jelas di waktu yang salah, setidaknya terlambat sekali datangnya. Jika pihak Singapura ingin menghukum mati mereka, setidaknya tak lama setelah kejadian peledakan. Ini bukan bentuk perdamaian Indonesia, melainkan betapa murahnya nyawa manusia pada zaman orde baru.
Belakangan Singapura rebut. Mereka nampaknya tak suka rencana TNI AL memberikan nama Usman-Harun pada kapal perang terbaru mereka. Kapal tersebut didanai Indonesia, dan nama Usman Harun adalah pahlawan bagi Angkatan Laut Indonesia, jadi Angkatan Laut berhak memakai nama itu. Harun dan Usman bukan sosok prajurit dengan pangkat tinggi. Mereka hanya tamtama ketika mereka dikirim ke singapura untuk melakukan sabotase didalam wilayah singapura sendiri. Harun yang berpangkat Prajurit, kemudian menjadi Kopral Dua setelah dinyatakan gugur. Dan Usman yang semula kopral lalu dinaikan pangkatnya menjadi Sersan Dua. Upaya pembebasan dua KKO itu justru dilakukan setelah Sukarno tak berdaya lagi sebagai Presiden. Suharto sudah mulai naik dan usaha damai untuk menghentikan konfrontasi “Ganyang Malaysia” mulai dilakukan Suharto dan pengikutnya. Namun di masa transisi menuju perdamaian itulah hukuman gantung dijatuhkan pada 17 Oktober 1968. Karena konfrontasi sudah berhenti tak lama setelah 1965. Hukuman mati itu jelas di waktu yang salah, setidaknya terlambat sekali datangnya. Jika pihak Singapura ingin menghukum mati mereka, setidaknya tak lama setelah kejadian peledakan. Ini bukan bentuk perdamaian Indonesia, melainkan betapa murahnya nyawa manusia pada zaman orde baru.

Sebelum eksekusi, Usman dan Harun sempat bersurat pada keluarga mereka. Mereka minta kepada keluarga, mereka begitu tegar atas nasib buruk yang akan mereka alami. Kepada ibu-ibu dan keluarga besar  mereka, mereka tidak sekedar meminta ampun atas dosa mereka perbuat semasa hidup. Tidak lupa mereka meminta keihklasan keluarga, apalagi ibu mereka, dalam menjalani hukuman. Mereka juga meminta keluarga mereka untuk tegar dan bisa menerima kenyataan akan hukuman mati yang akan mereka terima.
 Kematian dua KKO AL itu mengundang reaksi keras dari banyak orang Indonesia. Mereka menyatakan tidak bisa menerima tindakan pemerintah Singapura—yang bagi mereka berlebihan. Dari poster demonstrasinya, para demonstran yang tidak terima atas hukuman dua prajurit KKO, sudah bernada ingin membalas dan menghancurkan Singapura. Kedua prajurit KKO tadi lalu dimakamkan di Taman makam pahlawan Kalibata. Pangkat mereka juga dinaikan. Usman sebagai Sersan dan Harun menjadi Kopral.
Sebelum eksekusi, Usman dan Harun sempat bersurat pada keluarga mereka. Mereka minta kepada keluarga, mereka begitu tegar atas nasib buruk yang akan mereka alami. Kepada ibu-ibu dan keluarga besar mereka, mereka tidak sekedar meminta ampun atas dosa mereka perbuat semasa hidup. Tidak lupa mereka meminta keihklasan keluarga, apalagi ibu mereka, dalam menjalani hukuman. Mereka juga meminta keluarga mereka untuk tegar dan bisa menerima kenyataan akan hukuman mati yang akan mereka terima. Kematian dua KKO AL itu mengundang reaksi keras dari banyak orang Indonesia. Mereka menyatakan tidak bisa menerima tindakan pemerintah Singapura—yang bagi mereka berlebihan. Dari poster demonstrasinya, para demonstran yang tidak terima atas hukuman dua prajurit KKO, sudah bernada ingin membalas dan menghancurkan Singapura. Kedua prajurit KKO tadi lalu dimakamkan di Taman makam pahlawan Kalibata. Pangkat mereka juga dinaikan. Usman sebagai Sersan dan Harun menjadi Kopral.
Dua pahlawan itu lalu menjadi pahlawan kebanggaan korps marinir hingga kini. Terlepas nasib naas yang dialami oleh kedua prajurit KKO itu, sebenarnya misi yang mereka emban sukses. Misi sabotase di dalam daerah lawan itu sangat berhasil. Klendestin (penyamaran) prajurit KKO itu sukses. Kepanikan paska peledakan itulah yang membuat aparat keamanan Singapura berusaha keras mencari mereka, hingga akhirnya mereka tertangkap.
 Kematian dua pahlawan Dwikora itu adalah kisah menarik dalam sejarah Operasi Dwikora. Dimana kisah kepahlawanan itu seolah tidak mendapat porsi semestinya dalam sejarah Indonesia.  Hal ini selain demi menjaga hubungan baik dengan Negara tetangga Singapura, jelas memiliki muatan politis di dalam negeri sendiri. Salah satunya untuk meminggirkan KKO, yang kemudian bersalin nama menjadi Korps Marinir, sendiri.
Dua pahlawan itu lalu menjadi pahlawan kebanggaan korps marinir hingga kini. Terlepas nasib naas yang dialami oleh kedua prajurit KKO itu, sebenarnya misi yang mereka emban sukses. Misi sabotase di dalam daerah lawan itu sangat berhasil. Klendestin (penyamaran) prajurit KKO itu sukses. Kepanikan paska peledakan itulah yang membuat aparat keamanan Singapura berusaha keras mencari mereka, hingga akhirnya mereka tertangkap. Kematian dua pahlawan Dwikora itu adalah kisah menarik dalam sejarah Operasi Dwikora. Dimana kisah kepahlawanan itu seolah tidak mendapat porsi semestinya dalam sejarah Indonesia. Hal ini selain demi menjaga hubungan baik dengan Negara tetangga Singapura, jelas memiliki muatan politis di dalam negeri sendiri. Salah satunya untuk meminggirkan KKO, yang kemudian bersalin nama menjadi Korps Marinir, sendiri.
Tindak kepahlawanan Usman dan Harun, jelas tidak kalah Herois dengan kepahlawanan Toha dari Bandung selatan dimasa revolusi. Sayangnya, kepahlawanan Usman dan Harun yang gugur ditangan musuh dan telah merugikan musuh itu harus dikalahkan oleh pengkultusan tokoh-tokoh yang lebih banyak yang menghabisi para pemberontak yang tidak lain adalah suadara sendiri.
 Eksekusi mati atas Harun dan Usman adalah awal keangkuhan Singapura dalam menginjak-injak Indonesia. Dan, omong kosong besar jika Suharto adalah Presiden yang kuat di luar negeri. Jika kuat harusnya tak hukuman mati untuk dua KKO tadi. Jika Sukarno masih berkuasa, vonis mati pada Usman dan Harun, konfrontasi Malaysia bisa berubah jadi perang terbuka. Harga diri Indonesia nomor satu buat Sukarno, meski Sukarno gagal membangun ekonomi. Sukarno mungkin tak akan terima dua KKO itu dihukum oleh bekas Negara boneke bikinan nekolim (Inggris).
Tribute to: Usman Harun
Tindak kepahlawanan Usman dan Harun, jelas tidak kalah Herois dengan kepahlawanan Toha dari Bandung selatan dimasa revolusi. Sayangnya, kepahlawanan Usman dan Harun yang gugur ditangan musuh dan telah merugikan musuh itu harus dikalahkan oleh pengkultusan tokoh-tokoh yang lebih banyak yang menghabisi para pemberontak yang tidak lain adalah suadara sendiri. Eksekusi mati atas Harun dan Usman adalah awal keangkuhan Singapura dalam menginjak-injak Indonesia. Dan, omong kosong besar jika Suharto adalah Presiden yang kuat di luar negeri. Jika kuat harusnya tak hukuman mati untuk dua KKO tadi. Jika Sukarno masih berkuasa, vonis mati pada Usman dan Harun, konfrontasi Malaysia bisa berubah jadi perang terbuka. Harga diri Indonesia nomor satu buat Sukarno, meski Sukarno gagal membangun ekonomi. Sukarno mungkin tak akan terima dua KKO itu dihukum oleh bekas Negara boneke bikinan nekolim (Inggris). Tribute to: Usman Harun

Minggu, Februari 09, 2014

Curhatan Pink Floydian

Saya harus mengaku dosa, terlambat dengar Pink Floyd, piringan hitam yang ada cuma Led Zeppelin, Deep Purple, dan yang menye2 macam Bee Gees.

Sebagai manusia yang lahir di paruh pertama dekade 1980an, sudah takdirnya untuk jalani masa puber di tahun 1990an. Apa yang kami dengar, lihat dan entah apa saja di dekade 1990an, asal sesuai hati kami akan terima dengan cengar-cengir. Masa edan itu sudah lewat pastinya. Masa-masa dimana musik bisa menggugah semangat. Demam K-Pop waktu itu cuma mimpi di siang bolong. Musik pop cengeng pun bisa menghentak. Bahkan boybands pun, walo sudah banyak yang ngece, tetap cool dan tidak menjijikan untuk dilihat.
Ini tulisan, jelas subyektif saya, sebagai pemberontak gak jelas, penggemar rock (yang biasanya sok ngaku Pink Floydian sejati) yang masih ada secelah toleransi terhadap music pop, dangdut bahkan India. Tak pernah ada bayangan demam K-Pop akan jadi seperti wabah kolera seperti saat ini. Maklum, jaman itu televisi swasta masih sehat pikirannya, karena masih kasih putar film-film lawas. Kita bisa nonton film tahun 1970an. Ada Benyamin S, Rano Karno, dan lainnya termasuk yang sekarang nyebelin macam Haji Rhoma Irama. Semua itu, walo jadoel, tetap saja keren sebetulnya. 
Musik yang lagi nge-Trend bisa dilihat dari televisi swasta macam SCTV. Karena belum melek internet, kami puas dengan music-musik yang sebetulnya ngetrend di akhir 1980an, tapi masih garang, bahkan lebih garang di decade 1990an, macam Guns n Roses; Metallica; Yngwey Malmsten dan sebangsanya. 
Waktu kecil, ada lagu John Lennon yang sering saya dengar waktu kecil, Imagine. “Mama saya berteriak, ‘ayo lekas mandi!!’ pada pukul lima sore. John Lennon nyanyikan Imagine di TVRI pada pukul lima sore” (mohon ampun pada Fredrico Garcia Lorca). Saya hanya dengar lagu itu, tapi tahu apa judul lagu bahkan penyanyinya. 
Saya baru tahu Imagine itu karyanya Lennon anggotanya Beatles. Soal Beatles sendiri, saya pertama kali tahu itu kekurang-ajaran mereka sama Imelda Marcos. Waktu Madam Marcos yang korup tak terkira itu, ngundang show di istana, John bilang, “kalau mau pertunjukan, datang saja ke kamar kami.”  Itulah rasa hormat pertama saya untuk Beatles dan Lenon pastinya. Belakangan baru dengar lagunya. Saya menyesal sekali kenal lagu mereka juga.
Waktu itu, di decade jahiliyah itu, saya belum tahu kalau itu juga Britpop. Seorang paman saya bernama Heri Purwanto, yang doyan putar MTV, kasih lihat saya Blur dan Oasis. Juga Collective Soul. Sayang, sence rock saya memble. Sampai belakangan aufklarung (pencerahan) datang pada saya dan saya sadar itu semua band-band keren. Saya juga terlambat kenal Nirvana. Sial!! Maklum gagap trend. 
Tapi, ada pusaka keluarga, satu-satunya barang paling natik dan mewah keluarga kami bernama piringan hitam, mesin pemutarnya merek Philips. Keluarga kami kere tapi saya bangga punya itu barang. Dari piringan hitam itu saya dengar Lennon, Santana, Led Zeppelin, Deep Purple, Grand Funk Railroad, dan yang menye2 Bee Gees. Dulu hanya sebatas dengar dan belum menikmati. 
Beberapa hari silam, saya dengar lagu terkini (berdasar ukuran saya), Gara-Gara Kahitna judulnya, enyang dibawakan Project Pop. Dimana disinggung beberapa lagu-lagu Kahitna yang ngetop macem: Andai Dia Tahu; Cantik; Tak Sebebas Merpati dan lainnya. Sudah saya bilang, toleransi kuping saya cukup bagus. Musik Indonesia macam Kahitna; Java Jive, Dewa19, Kla Project; Humania; Indie bisa masuk juga. Dan sedikit-sedikit dengar Slank, waktu Pay, Indra sama Bongky masih ngendon di Gang Pot Lot. 
Agak beruntung juga, berteman sama anak-anak yang usianya agak tua, akhirnya saya jadi bisa dengar band yang keyboardisnya jenggotan (Ahmad Dhani). Gara-gara mereka saya tahu lagu Kamulah Satu-satunya  dan lagu-lagu lainya. Dari sekian banyak lagu Dewa19, Kamulah Satu-satunya paling berarti buat saya.
Harus diakui, musik-musik yang bagus, masih beredar di tahun 1990an. Masa keemasan music rock yang bisa menggerakan dunia muncul kembali di tahun 1990an. Mungkinkah ini siklus 20 tahunan sejak 1969 di Woodstock? Musik 1970an muncul dengan wajah baru. Orang muda jelang 1990an akhir dengan pakai celaka mirip cutbray walau kalah cutbray 1970an. Rambut gondrong trend penting tahun 1990an. Syukurlah di Gendut Sumitro tak jadi Pangkopkamtib lagi.
Nah. Di hari pertama SMA, saya masih ingat masa-masa jahiliyah itu, di bangku sebelah saya ada bocah keriting, belakangan saya tahu namanya Dwi Saputra en kadang sok kemayu kalo dipanggil Puput (biar mirip Puput Melati barangkali). Belakangan kami jadi sahabat baik, salah satu sababat baik yang seperti sodara. Nah ini bocah dengan tengilnya ngoceh tentang Guns n Roses. Sudah pasti saya tidak paham. Tidak!!
Sebagai manusia yang lahir di paruh pertama dekade 1980an, sudah takdirnya untuk jalani masa puber di tahun 1990an. Apa yang kami dengar, lihat dan entah apa saja di dekade 1990an, asal sesuai hati kami akan terima dengan cengar-cengir. Masa edan itu sudah lewat pastinya. Masa-masa dimana musik bisa menggugah semangat. Demam K-Pop waktu itu cuma mimpi di siang bolong. Musik pop cengeng pun bisa menghentak. Bahkan boybands pun, walo sudah banyak yang ngece, tetap cool dan tidak menjijikan untuk dilihat. Ini tulisan, jelas subyektif saya, sebagai pemberontak gak jelas, penggemar rock (yang biasanya sok ngaku Pink Floydian sejati) yang masih ada secelah toleransi terhadap music pop, dangdut bahkan India. Tak pernah ada bayangan demam K-Pop akan jadi seperti wabah kolera seperti saat ini. Maklum, jaman itu televisi swasta masih sehat pikirannya, karena masih kasih putar film-film lawas. Kita bisa nonton film tahun 1970an. Ada Benyamin S, Rano Karno, dan lainnya termasuk yang sekarang nyebelin macam Haji Rhoma Irama. Semua itu, walo jadoel, tetap saja keren sebetulnya. Musik yang lagi nge-Trend bisa dilihat dari televisi swasta macam SCTV. Karena belum melek internet, kami puas dengan music-musik yang sebetulnya ngetrend di akhir 1980an, tapi masih garang, bahkan lebih garang di decade 1990an, macam Guns n Roses; Metallica; Yngwey Malmsten dan sebangsanya. Waktu kecil, ada lagu John Lennon yang sering saya dengar waktu kecil, Imagine. “Mama saya berteriak, ‘ayo lekas mandi!!’ pada pukul lima sore. John Lennon nyanyikan Imagine di TVRI pada pukul lima sore” (mohon ampun pada Fredrico Garcia Lorca). Saya hanya dengar lagu itu, tapi tahu apa judul lagu bahkan penyanyinya. Saya baru tahu Imagine itu karyanya Lennon anggotanya Beatles. Soal Beatles sendiri, saya pertama kali tahu itu kekurang-ajaran mereka sama Imelda Marcos. Waktu Madam Marcos yang korup tak terkira itu, ngundang show di istana, John bilang, “kalau mau pertunjukan, datang saja ke kamar kami.” Itulah rasa hormat pertama saya untuk Beatles dan Lenon pastinya. Belakangan baru dengar lagunya. Saya menyesal sekali kenal lagu mereka juga. Waktu itu, di decade jahiliyah itu, saya belum tahu kalau itu juga Britpop. Seorang paman saya bernama Heri Purwanto, yang doyan putar MTV, kasih lihat saya Blur dan Oasis. Juga Collective Soul. Sayang, sence rock saya memble. Sampai belakangan aufklarung (pencerahan) datang pada saya dan saya sadar itu semua band-band keren. Saya juga terlambat kenal Nirvana. Sial!! Maklum gagap trend. Tapi, ada pusaka keluarga, satu-satunya barang paling natik dan mewah keluarga kami bernama piringan hitam, mesin pemutarnya merek Philips. Keluarga kami kere tapi saya bangga punya itu barang. Dari piringan hitam itu saya dengar Lennon, Santana, Led Zeppelin, Deep Purple, Grand Funk Railroad, dan yang menye2 Bee Gees. Dulu hanya sebatas dengar dan belum menikmati. Beberapa hari silam, saya dengar lagu terkini (berdasar ukuran saya), Gara-Gara Kahitna judulnya, enyang dibawakan Project Pop. Dimana disinggung beberapa lagu-lagu Kahitna yang ngetop macem: Andai Dia Tahu; Cantik; Tak Sebebas Merpati dan lainnya. Sudah saya bilang, toleransi kuping saya cukup bagus. Musik Indonesia macam Kahitna; Java Jive, Dewa19, Kla Project; Humania; Indie bisa masuk juga. Dan sedikit-sedikit dengar Slank, waktu Pay, Indra sama Bongky masih ngendon di Gang Pot Lot. Agak beruntung juga, berteman sama anak-anak yang usianya agak tua, akhirnya saya jadi bisa dengar band yang keyboardisnya jenggotan (Ahmad Dhani). Gara-gara mereka saya tahu lagu Kamulah Satu-satunya dan lagu-lagu lainya. Dari sekian banyak lagu Dewa19, Kamulah Satu-satunya paling berarti buat saya. Harus diakui, musik-musik yang bagus, masih beredar di tahun 1990an. Masa keemasan music rock yang bisa menggerakan dunia muncul kembali di tahun 1990an. Mungkinkah ini siklus 20 tahunan sejak 1969 di Woodstock? Musik 1970an muncul dengan wajah baru. Orang muda jelang 1990an akhir dengan pakai celaka mirip cutbray walau kalah cutbray 1970an. Rambut gondrong trend penting tahun 1990an. Syukurlah di Gendut Sumitro tak jadi Pangkopkamtib lagi. Nah. Di hari pertama SMA, saya masih ingat masa-masa jahiliyah itu, di bangku sebelah saya ada bocah keriting, belakangan saya tahu namanya Dwi Saputra en kadang sok kemayu kalo dipanggil Puput (biar mirip Puput Melati barangkali). Belakangan kami jadi sahabat baik, salah satu sababat baik yang seperti sodara. Nah ini bocah dengan tengilnya ngoceh tentang Guns n Roses. Sudah pasti saya tidak paham. Tidak!!
Lama-lama tiap ke rumahnya, selalu putar lagu-lagu rock lawas. Dan lama-lama terbiasa. Celana sobek mulai dipakai, begitu juga baju belel gak jelasnya. Mulailah mimpi-mimpi jadi seniman terbentuk, ya sebut saja seniman tanpa visi. Yang penting sok nyeni.  Kata kawan saya Erang, dalam tubuh manusia itu mengalir jiwa seni. Setidaknya, air kencing saja disebut air seni. Luar biasa!
Karena penasaran sama Nirvana, pinjamlah saya kasetnya Nirvana., yang album Nevermind dari Dewi Asih—temen baik juga en netral dalam pergaulan. Salute voor Jij Sista!!! Dengan tebengan tape itu lagu saya denger juga dan anak tetangga yang masih ingusan pun seneng sama musiknya. Saya sebelumnya tidak tahu kalau Kurt Cobain yang bunuh diri itu adalah vokalis dan gitaris Nirvana yang ngetop dengan jurus 3 chord-nya. Betapa hinanya kuping saya. Entah nikmat music rock keren mana lagi yang saya dustakan?
Harus diakui, saya lebih dulu membaca majalah baru dengar lagu keren. Dulu, saya agak rajin beli majalah HAI. Majalah yang cowok banget dan gak menye2 macam aneka, kawanku dll. Dari majalah itu saya mulai ngikuti, walau bukan menikmati music rock. Maklum ada rasa tidak sreg dengan genre music jaman SMA macam: Korn, Limbizkid, Linkin Park (yang saya ingat lirik lagunya: “soooolikin mati, ketiban radioooo”)
Masa kuliah adalah masa pengenalan teknologi buat saya. Terimakasihyang tiada tara kepada Tri Sutanto (kita sebut saja Adoel) yang ngajari saya memakai computer dan menyalakan WInamp. (Maaf kawan saya primitive soal itu). Juga kawan Herry Prabowo (yang baru saja berhenti melajang, jangan tanya kapan saya nikah!!!) yang suka bagi-bagi dengar music keren en ngajak nonton konser band2 Jogja (yang dalam ukuran sayacukup enak didengar ketimbang K-pop. Juga Beny yang rajin sasay puter kaset Led Zeppelinnya.
Saya mulai memburu, entah membaca majalah music, pinjam kaset, beli cd bajakan band keren macam U2 atau Queen. Di masa-masa kuliah saya baru bisa merasakan kerennya lagu cinta bernama Creep miliknya Radiohead. Saya tahu lagu ini cari bacaan. Radio juga membantu saya mencari music terbaik yang pernah ada dalam sejarah dunia. 
Ada banyak lagu saya bajak dari radio, banyak yang saya tidak tahu. Bahkan lagu yang isinya alunan piano yang disusul sama teriakan suara tinggi yang keren abis. Belakangan saya tahu itu Great Gig in the Sky yang tulis Richard Wrigth (Pink Floyd). Saya tak pernah tahu apa saja lagu Pink Floyd, namun karena bacaan saya jadi tahu mereka Band ekperimental yang doyan bikin music gak biasa. Lalu soal Syd Barret yang gila. Roger Water yang dominan macam Dhani Dewa19. Saya lebih dulu tahu soal personil Pink Floyd, seperti halnya saya tahu personil Beatles. Bacaan lebih cepat saya tangkap ketimbang music.
Terlambat lulus kuliah karena menjual skripsi saya(yang jadi buku pertama saya)  sendiri adalah anugrah luar biasa. Muhidin M Dahlan dan Zen RS, senior waktu kuliah di IKIP Jogja, menampung magang saya jadi esais sejarah disitu ada mahluk bernama An Ismanto yang doyan putar music. Itulah pertama kalinya saya dengar Shine on You Crazy Diamond  yang legendaris itu.  Tidak!! Keren abis!!!! 
Secara tak sengaja saya temukan lagu favorit saya: Green is the Colour. Lagu itu selalu saya putar waktu ngetik, naik sepeda melawan arus pejalan kaki Malioboro. Telat lulus memang berkah. Saya jadi makin kenal Pink Floyd waktu kerja di Patehan (Jogja) dan Veteran (Jakarta). Lagu Us and Them pun saya dengar juga. Soal lagu ini disukai pemabuk, bukan urusan saya. Tak perlu negak alcohol atau pakai narkoba untuk mabuk, cukup dengar Pink Floyd.
Tuhan, ampuni hambamu ini yang mendustakan kerennya music Pink Floyd.
Lama-lama tiap ke rumahnya, selalu putar lagu-lagu rock lawas. Dan lama-lama terbiasa. Celana sobek mulai dipakai, begitu juga baju belel gak jelasnya. Mulailah mimpi-mimpi jadi seniman terbentuk, ya sebut saja seniman tanpa visi. Yang penting sok nyeni. Kata kawan saya Erang, dalam tubuh manusia itu mengalir jiwa seni. Setidaknya, air kencing saja disebut air seni. Luar biasa! Karena penasaran sama Nirvana, pinjamlah saya kasetnya Nirvana., yang album Nevermind dari Dewi Asih—temen baik juga en netral dalam pergaulan. Salute voor Jij Sista!!! Dengan tebengan tape itu lagu saya denger juga dan anak tetangga yang masih ingusan pun seneng sama musiknya. Saya sebelumnya tidak tahu kalau Kurt Cobain yang bunuh diri itu adalah vokalis dan gitaris Nirvana yang ngetop dengan jurus 3 chord-nya. Betapa hinanya kuping saya. Entah nikmat music rock keren mana lagi yang saya dustakan? Harus diakui, saya lebih dulu membaca majalah baru dengar lagu keren. Dulu, saya agak rajin beli majalah HAI. Majalah yang cowok banget dan gak menye2 macam aneka, kawanku dll. Dari majalah itu saya mulai ngikuti, walau bukan menikmati music rock. Maklum ada rasa tidak sreg dengan genre music jaman SMA macam: Korn, Limbizkid, Linkin Park (yang saya ingat lirik lagunya: “soooolikin mati, ketiban radioooo”) Masa kuliah adalah masa pengenalan teknologi buat saya. Terimakasihyang tiada tara kepada Tri Sutanto (kita sebut saja Adoel, sahabat yang mirip saudara) yang ngajari saya memakai computer dan menyalakan WInamp. (Maaf kawan saya primitive soal itu). Juga kawan Herry Prabowo (yang baru saja berhenti melajang, jangan tanya kapan saya nikah!!!) yang suka bagi-bagi dengar music keren en ngajak nonton konser band2 Jogja (yang dalam ukuran sayacukup enak didengar ketimbang K-pop. Juga Beny yang rajin sasay puter kaset Led Zeppelinnya. Saya mulai memburu, entah membaca majalah music, pinjam kaset, beli cd bajakan band keren macam U2 atau Queen. Di masa-masa kuliah saya baru bisa merasakan kerennya lagu cinta bernama Creep miliknya Radiohead. Saya tahu lagu ini cari bacaan. Radio juga membantu saya mencari music terbaik yang pernah ada dalam sejarah dunia. Ada banyak lagu saya bajak dari radio, banyak yang saya tidak tahu. Bahkan lagu yang isinya alunan piano yang disusul sama teriakan suara tinggi yang keren abis. Belakangan saya tahu itu Great Gig in the Sky yang tulis Richard Wrigth (Pink Floyd). Saya tak pernah tahu apa saja lagu Pink Floyd, namun karena bacaan saya jadi tahu mereka Band ekperimental yang doyan bikin music gak biasa. Lalu soal Syd Barret yang gila. Roger Water yang dominan macam Dhani Dewa19. Saya lebih dulu tahu soal personil Pink Floyd, seperti halnya saya tahu personil Beatles. Bacaan lebih cepat saya tangkap ketimbang music. Terlambat lulus kuliah karena menjual skripsi saya(yang jadi buku pertama saya) sendiri adalah anugrah luar biasa. Muhidin M Dahlan dan Zen RS, senior waktu kuliah di IKIP Jogja, menampung magang saya jadi esais sejarah disitu ada mahluk bernama An Ismanto yang doyan putar music. Itulah pertama kalinya saya dengar Shine on You Crazy Diamond yang legendaris itu. Tidak!! Keren abis!!!! Secara tak sengaja saya temukan lagu favorit saya: Green is the Colour. Lagu itu selalu saya putar waktu ngetik, naik sepeda melawan arus pejalan kaki Malioboro. Telat lulus memang berkah. Saya jadi makin kenal Pink Floyd waktu kerja di Patehan (Jogja) dan Veteran (Jakarta). Lagu Us and Them pun saya dengar juga. Soal lagu ini disukai pemabuk, bukan urusan saya. Tak perlu negak alcohol atau pakai narkoba untuk mabuk, cukup dengar Pink Floyd. Tuhan, ampuni hambamu ini yang mendustakan kerennya music Pink Floyd.

Tentang Laurent van der Post

Iri sekali pada kehidupan Afrikaner yang pernah menolong Indonesia ini. Selain penjelajahan, karya tulisnya sangat menarik. 
Suatu kali, murid saya bertanya, “apakah orang-orang Belanda jahat waktu revolusi?” Sebagai guru sejarah, yang harus jujur. Beruntung, waktu SMP saya pernah membaca sosok pria Inggris, yang saya kira orang baik. Laurent van der Post. Ayah baptis Pangeran William dari Inggris. Tentunya pria ini hanya salah satu dari sekian orang bule yang baik pada Indonesia.
Dari namanya, dia turunan Belanda. Dia lahir pada 13 Desember 1906, di Afrika Selatan.  Ayahnya memang keturunan Belanda, yang jadi pengacara dan politisi di Afrika Selatan. Ayahnya punya perpustakaan yang memanjakan mata dan pikiran Laurent akan bacaan. 
Laurent muda anti rasialisme yang dijunjung tinggi penguasa kulit putih Afrika Selatan. Laurent juga kulit putih, tak sendirian dia melawan rasialisme. Jauh sebelum Nelson Mandela kesohor akan penentangannya pada rasialisme, Laurent mudah sudah menulis artikel anti rasialisme. Kemungkinan, dia menulis soal itu ketika dirinya jadi jurnalis miskin di Afrika Selatan.
Suatu kali, murid saya bertanya, “apakah orang-orang Belanda jahat waktu revolusi?” Sebagai guru sejarah, yang harus jujur. Beruntung, waktu SMP saya pernah membaca sosok pria Inggris, yang saya kira orang baik. Laurent van der Post. Ayah baptis Pangeran William dari Inggris. Tentunya pria ini hanya salah satu dari sekian orang bule yang baik pada Indonesia. Dari namanya, dia turunan Belanda. Dia lahir pada 13 Desember 1906, di Afrika Selatan. Ayahnya memang keturunan Belanda, yang jadi pengacara dan politisi di Afrika Selatan. Ayahnya punya perpustakaan yang memanjakan mata dan pikiran Laurent akan bacaan. Laurent muda anti rasialisme yang dijunjung tinggi penguasa kulit putih Afrika Selatan. Laurent juga kulit putih, tak sendirian dia melawan rasialisme. Jauh sebelum Nelson Mandela kesohor akan penentangannya pada rasialisme, Laurent mudah sudah menulis artikel anti rasialisme. Kemungkinan, dia menulis soal itu ketika dirinya jadi jurnalis miskin di Afrika Selatan.
Ketika Perang Dunia melanda Eropa,  Laurent secara sukarela bergabung dengan tentara Inggris (1940). Setelah pelatihan, dia jadi kapten di bagian intelejen. Dia pernah dikirim ke Afrika Timur, sebelum akhirnya dikirim ke Hindia Belanda (nama Indonesia sebelum Indonesia merdeka).  Dengan pangkat mayor, dia memimpin sebuah misi khusus 43. Misi ini bermaksud menyiapkan evakuasi rahasia tentara sekutu. Laurent sempat bergerilya di pedalaman Jawa Barat melawan Jepang setelah Hindia Belanda menyerah kalah pada Jepang di Kalijati Subang (8 Maret 1942). Sebelumnya akhirnya menyerah juga pada serdadu Jepang, pada 20 April 1942.
Laurent mengalami masa-masa menderita tanpa kepastian sebagai tawan perang Jepang. Dia sempat menempati kamp interniran di Sukabumi dan Bandung. Meski penuh tekanan, dan nyaris frustasi, dirinya tetap berusaha melakukan hal positif, seperti berternak dan membuat kampus belajar sejarah di dalam kamp tawanan. Sekedar sibuk di dalam kamp yang terkurung tanpa kepastian, sangat membantu melawan frustasi.
Pengalaman sebagai tawanan Jepang di Jawa, banyak memberinya inspirasi dalam menulis kisah-kisah yang  tertuang dalam bukunya:  A Bar of Shadow (1954), The Seed and the Sower (1963) and The Night of the New Moon(1970). Sebuah film yang berjudul Merry Chrismast Mr Lawrence, yang dimainkan juga oleh David Bowie, pernah dibuat tahun 1983. Belakangan, ketika dirinya tak muda lagi, Laurent terkenal sebegai penulis terkenal.
Setelah Jepang menyerah, Laurent tak langsung mudik. Laurent memilih menetap di Indonesia selama lebih dari setahun. Dia menjadi mediator antara pihak Indonesia dengan Belanda dalam sengketa yang kita sebut revolusi Indonesia. Sukarno dan Hatta sangat percaya pada perwira penghubung Inggris ini.  Nampaknya, apa yang dilakukannya menguntungkan Indonesia. Laurent memberikan peringatan kepada Perdana Inggris Clement Attlee dan Panglima Inggris di Asia, Sir Louis Mountbatten, tentang revolusi Indonesia yang tak bisa dihindari. Dia bahkan memperingatkan para menteri Kerajaan Belanda. Belakangan, November 1946, Inggris pun tarik pasukannya dari Indonesia. Toch tugas pasukan sekutu, melucuti serdadu Nippon Jepang dan membebaskan tawanan tunai sudah. Tak ada alasan bagi Inggris menembaki orang Indonesia lagi, hanya menguntungkan pihak Belanda saja.
Ketika Perang Dunia melanda Eropa, Laurent secara sukarela bergabung dengan tentara Inggris (1940). Setelah pelatihan, dia jadi kapten di bagian intelejen. Dia pernah dikirim ke Afrika Timur, sebelum akhirnya dikirim ke Hindia Belanda (nama Indonesia sebelum Indonesia merdeka). Dengan pangkat mayor, dia memimpin sebuah misi khusus 43. Misi ini bermaksud menyiapkan evakuasi rahasia tentara sekutu. Laurent sempat bergerilya di pedalaman Jawa Barat melawan Jepang setelah Hindia Belanda menyerah kalah pada Jepang di Kalijati Subang (8 Maret 1942). Sebelumnya akhirnya menyerah juga pada serdadu Jepang, pada 20 April 1942. Laurent mengalami masa-masa menderita tanpa kepastian sebagai tawan perang Jepang. Dia sempat menempati kamp interniran di Sukabumi dan Bandung. Meski penuh tekanan, dan nyaris frustasi, dirinya tetap berusaha melakukan hal positif, seperti berternak dan membuat kampus belajar sejarah di dalam kamp tawanan. Sekedar sibuk di dalam kamp yang terkurung tanpa kepastian, sangat membantu melawan frustasi. Pengalaman sebagai tawanan Jepang di Jawa, banyak memberinya inspirasi dalam menulis kisah-kisah yang tertuang dalam bukunya: A Bar of Shadow (1954), The Seed and the Sower (1963) and The Night of the New Moon(1970). Sebuah film yang berjudul Merry Chrismast Mr Lawrence, yang dimainkan juga oleh David Bowie, pernah dibuat tahun 1983. Belakangan, ketika dirinya tak muda lagi, Laurent terkenal sebegai penulis terkenal. Setelah Jepang menyerah, Laurent tak langsung mudik. Laurent memilih menetap di Indonesia selama lebih dari setahun. Dia menjadi mediator antara pihak Indonesia dengan Belanda dalam sengketa yang kita sebut revolusi Indonesia. Sukarno dan Hatta sangat percaya pada perwira penghubung Inggris ini. Nampaknya, apa yang dilakukannya menguntungkan Indonesia. Laurent memberikan peringatan kepada Perdana Inggris Clement Attlee dan Panglima Inggris di Asia, Sir Louis Mountbatten, tentang revolusi Indonesia yang tak bisa dihindari. Dia bahkan memperingatkan para menteri Kerajaan Belanda. Belakangan, November 1946, Inggris pun tarik pasukannya dari Indonesia. Toch tugas pasukan sekutu, melucuti serdadu Nippon Jepang dan membebaskan tawanan tunai sudah. Tak ada alasan bagi Inggris menembaki orang Indonesia lagi, hanya menguntungkan pihak Belanda saja.
Laurent pun ditunjuk jadi atase Inggris di Jakarta, meski tak lama. Tahun 1947, Laurent pun menyelesaikan masa tugasnya di Indonesia. Tak ada lagi serdadu Inggris di Indonesia. Sebelum ke Inggris, Sukarno titip salam pada orangtua Laurent. Masa dinas militernya diakhiri, dia menyandang pangkat terakhir koloenl dan mendapat gelar Sir dari kerajaan Inggris. Namun, meski kulitnya putih, atas pedulinya pada Afrika, disejatinya Afrikaner.
Yang dilakukan sebagai orang sipil adalah: menulis sebagai wartawan dan novelis, yang kemudian terkenal. Dia masih terus bertualang, termasuk ke Afrika da bertemu orang-orang Bushman. Dan sepertinya tetap anti apartheid yang kemudian dilawan keras oleh Nelson Mandela. Begitulah tentang yang saya anggap petualang keren sekaligus penulis. Senang mengetik namanya tiga kali di halaman 67 skripsi terakhir saya, Pribumi Jadi KNIL. Pria ini menikmati masa tuanya, hingga 16 Desember 1996, sebagai pria terhormat—setidaknya sebagai laki-laki baik-baik.
Laurent pun ditunjuk jadi atase Inggris di Jakarta, meski tak lama. Tahun 1947, Laurent pun menyelesaikan masa tugasnya di Indonesia. Tak ada lagi serdadu Inggris di Indonesia. Sebelum ke Inggris, Sukarno titip salam pada orangtua Laurent. Masa dinas militernya diakhiri, dia menyandang pangkat terakhir koloenl dan mendapat gelar Sir dari kerajaan Inggris. Namun, meski kulitnya putih, atas pedulinya pada Afrika, disejatinya Afrikaner. Yang dilakukan sebagai orang sipil adalah: menulis sebagai wartawan dan novelis, yang kemudian terkenal. Dia masih terus bertualang, termasuk ke Afrika da bertemu orang-orang Bushman. Dan sepertinya tetap anti apartheid yang kemudian dilawan keras oleh Nelson Mandela. Begitulah tentang yang saya anggap petualang keren sekaligus penulis. Senang mengetik namanya tiga kali di halaman 67 skripsi terakhir saya, Pribumi Jadi KNIL. Pria ini menikmati masa tuanya, hingga 16 Desember 1996, sebagai pria terhormat—setidaknya sebagai laki-laki baik-baik.