Jumat, Mei 18, 2012

Soegondo Djojopoespito: Romantisme Sumpah Pemuda

 
Nama Soegondo Djojopoepito dalam sejarah pergerakan nasional hanya dikaitkan dengan Sumpah Pemuda saja. Kendati dunia pergerakan dia geluti dengan berbagai resiko.


Kehidupan sebagai mahasiswa telah membawa masuk Soegondo Djojopoespito dalam dunia pergerakan. Sebuah dunia yang akan di jauhi oleh sebagian besar pegawai-pegawai kolonial. Mereka selalu memperingatkan anak-anak mereka yang dalam masa sekolah agar tidak terlibat didalamnya. Tidak jarang dunia pergerakan dilingkungan kampus menjadi alasan atas gagalnya kuliah sang aktivis pergerakan. 
Soegondo Djojopoespito dilahirkan pada tanggal 22 Februari 1905 di kota pesisir di Jawa Timur yang tersohor sejak zaman Majapahit,Tuban. Soegondo pernah kuliah di Recht Hoge School (Sekolah Tinggi Hukum) Jakarta walau hanya sampai tingkat candidat II.[1]   Dari sini dapat ditarik kesimpulan, Soegondo jelas telah menikmati pendidikan modern di sekolah-sekolah dasar dan menengah sekuler berkualitas  milik pemerintah kolonial. Sekolah Tinggi pada masa Soegondo muda, yang menjadi mahasiswa, baik kedokteran, tehnik, atau hukum hanya menerima lulusan sekolah menengah Belanda model Hogare Burgere School (HBS) maupun Algemene Middlebare School (AMS). Untuk  menikmati pendidikan modern dari tingkat dasar, menengah apalagi sampai tingkat tinggi pasti membutuhkan banyak biaya. Sudah pasti Soegondo anak orang terpandang dengan penghasilan tinggi.


Yang Muda Yang Bergerak
Kaum  muda adalah elemen pembaharuan. Dengan gejolaknya, kaum muda mudah terbakar. Kaum muda hampir selalu ingin bebas dari kungkungan generasi sebelumnya. Tidak jarang kaum muda melabeli generasi tua sebagai generasi kolot. Kelak jika tua nanti mereka berubah juga menjadi generasi tua kolot juga. Setiap zaman punya jiwanya sendiri. Setiap zaman juga punya pemudanya sendiri-sendiri.
Pemuda bukan lagi anak-anak. Mereka mulai melihat dunia menjelang usia dewasanya. Mereka cenderung bereaksi terhadap hal-hal yang mereka anggap tidak cocok. Pemuda mulai berpikir apa yang terbai bagi dirinya, generasinya dan zamannya. Karenanya banyak pemuda bergabung dalam organisasi politik. Begitupun pemuda di tanah Hindia, khususnya pemuda pribumi terpelajar.
Pemuda-pemuda Hindia yang terpelajar banyak yang terjun ke masyarakat maupun belajar lagi di sekolah tinggi. Tidak sedikit pemuda yang berstatus mahsiswa sekolah tinggi tergabung dalam sebuah organisasi politik tertentu. Syarat  aktif berorganisasi politik menurut hukum kolonial pada dekade 1920an haruslah sudah menginjak usia 18 tahun. Pada umumnya mahasiswa-mahasiswa sekolah tinggi di Jakarta pastilah sudah lebih 18 tahun, jadi berhak menjadi anggota organisasi politik. [2]
Sekelompok mahasiswa tua (tingkat atas) School tot Opleiding van Indische Artssen (Stovia: Sekolah dokter pribumi) dan Recht Hoge School (RHS) mendirikan  Perhimpoenan Peladjar Peladjar Indonesia (PPPI) bulan September 1926. [3] Perhimpunan ini mendukung nasionalisme sekuler Indonesia, seperti halnya Perhimpoenan Indonesia di Negeri Belanda.
Keanggotaan PPPI terdiri dari perhimpunan pelajar kesukuan yang nama depannya memakai embel-embel "Jong" didepan nama daerah asal mereka seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Bataks, Jong Ambon, Jong Celebes dan Jong-jong lainnya. Tidak jarang masih aktif  perhimpunan pelajar kesukuan-nya. Contohnya Muhamad Yamin dari Jong Sumatran Bond atau Amir Sjarifoedin dari Jong Bataks.  Perhimpunan ini biasa berkumpul di Indonesische Clubgebouw di jalan Kramat nomor 106 di Waltevreden (Jakarta Kota sekarang). Soegondo Djojopoespito adalah ketua PPPI ini. Indonesische Clubgebouw juga menjadi tempat tinggal  tempat tinggal Soegondo Djojopuspito dan kawan-kawan lainnya. Ditempat ini mereka diskusi masalah politik diatas rumput.hubungan antar anggota sangat akrab dan jauh dari kesan formal.
 Setelah tahun 1927 usaha membentuk "badan kontak" mengalami kegagalan. Jong Java yang sebelumnya menonjol kehilangan  dominasinya dalam dunia gerakan pemuda. Usaha pemersatuan pemuda kemudian di ambil alih perhimpunan baru macam: PPPI dan Jong Indonesia (Pemoeda Indonesia). [4]
Pada kongres pemuda tanggal 27-28 Oktober 1928, belum semua organisasi pemuda kedaerahan yang bergabung dengan perhimpunan oraganisasi pemuda semacam PPPI. Karenanya beberapa oraganisasi pemuda kemudian mengadakan perdiapan untuk melakukan fusi. Jong Java sebagai organisasi pemuda terbesar lantaran banyaknya pemuda terpelajar Jawa di Hindia. Organinsasi pemuda  tertua di Hindia ini dalam Kongres ke-XI pada tanggal 25-29 Desember 1928 di Yogyakarta memyetujui ide fusi yang sedang digulirkan itu. [5]
            Sebelum ada organisasi fusi harus ada sebuah komisi persiapan. Sebagai tindak lanjut dari Kongres-nya Jong Java, di Semarang  tahun 1929, membubarkan diri dan bergabung dengan Perkoempoelan Indonesia Moeda. Dalam persiapan fusi itu, tanggal 23 April dan 25 Mei 1929 di Gedung Indonesische Clubgebouw nomor 106, Waltevreden diadakan rapat yang dihari wakil-wakil perkumpulan yang siap melakukan fusi. [6]
            Hasil pertemuan antara perwakilan Jong Java, Jong Indonesia dan Pemuda Sumatra akan berganti nama dan menjadi perserikatan baru yang bedarkan kebangsaan bukan lagi kedaerahan atau kesukuan. [7]
            Soegondo Djojopoespito, selain di PPPI  kemudian juga bergabung  dengan Partai Nasional Indonesia-nya Soekarno, Pendidikan Nasional Indonesia-nya Hatta dan Syahrir.  Partai Sosialis Indonesia juga menjadi tempatnya berpolitik. [8]  
Sumpah Pemuda 1928
            Banyak tulisan yang menyebut PPPI ikut ambil dalam Kongres Pemuda I 1926 sebagai Panitia Kongres Pemuda I. Tulisan itu jelas tidak benar menurut Soegondo Djojopuspito. Dalam tulisannya yang berjudul Beberapa Peristiwa Yang Kurang Tepat Dalam Beberapa Karangan Tentang Sumpah Pemuda yang dimuat dalam buku 45 Tahun Sumpah Pemuda, menyebutkan bahwa panitia Kongres Pemuda Indonesia I dibentuk pada bulan April 1926, sedangkan PPPI baru dibentuk pada bulan September 1926. [9]
Sebagai perhimpunan yang baru dibentuk, peran PPPI sebagai Panitia Kongres Pemuda II. PPPI adalah penggerak dibelakang Kongres Pemuda Indonesia II dibulan Oktober 1928 itu. Tiga  pemuda berpengaruh PPPI, sesuai dengan rapat pembentukan panitia Juni 1928 berperan sebagai pimpinan komite, termasuk Soegondo yang menjadi ketua Kongres. Yamin sebagai sekretaris. Amir sebagai bendahara. [10]
Banyak pemuda yang hadir dalam kongres itu. Mereka menganakan "palmbeach licin dan distrika" juga "peci" khas Indonesia. Tidak lupa agen-agen  bahkan komisaris polisi juga hadir. Para polisi ini menjadi bahan tertawaan dalam kongres yang dikemas dalam bentuk halus oleh pengoloknya. [11]
            Banyak yang mengira Kongres Pemuda Indonesia II adalah sebuah rapat besar dengan peserta dari seluruh Hindia Belanda datang mewakili daerahnya masing-masing. Soegondo memiliki kesaksiannya sendiri mengenai lahirnya Sumpah Pemuda yang sakral itu. Soegondo menulis:
Banyak orang mengira bahwa pada tanggal 27 dan 28 Oktober 1928 itu para pemuda dari seluruh Indonesia datang ke jakarta untuk mengadakan Kongres, yang dinamakan kongres Pemuda Indonesia II (Bahasa Belandanya: Tweede Indonesische Jeugd Congres). Sebetulnya tanggal tersebut  oleh panitia Kongres Pemuda II (Bahasa Belandanya: Tweede Indonesisische Congres Commite) diadakan tiga rapat umum. (terbuka untuk semua orang yang suka datang mengahadirinya). [12]
Rapat umum lebih bersikap terbuka dan tidak eksklusif dimana yang hadir hanya anggota saja. Kongres mempersilahkan siapa saja hadir menyaksi pemuda-pemuda terpelajar merumuskan eksistensi pemuda di tanah Hindia kala itu. Ramainya Kongres Pemuda Indonesia II ini pastinya terus dipantau oleh aparat pemerintah kolonial. Hindia Belanda menjadi rumah kaca bagi kaum pergerakan, sehingga dengan leluasa pemeritah dapat mengawasi tiap gerak orang pergerakan. Soegondo juga menggambarkan ramainya Kongres-nya:
Sebagian hadirin adalah khalayak ramai. Di antara khalayak ramai itu hadir juga undangan, yaitu: wakil perkumpulan-perkumpulan pemuda, parpol, ormas,, dan orang-orang terkemuka. Hadir pula untuk menjalankan tugas dinas: PID (Politieke Intelichtingen dienst) dan pegawai (Kantoor voor Inlandsche Zaken) (kantor ini membuat laporan kepada gubernur jenderal; laporannya sering membelaorang indonesia dan berbeda dengan laporan PID; kepala kantor ini antara lain ialah Dr Hazeu, Gobee, van der Plas). [13]
            Menurut hukum kolonial masa itu, polisi berhak untuk menghadiri semua rapat umum tanpa terkecuali. Tujuan pemerintah kolonial adalah untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum. Mereka juga memiliki wewenang untuk menegur bahkan menbubarkan suatu rapat umum bila rapat umum dinilai memprovokasi masa kearah sikap anti pemerintah. [14]  

           
Lagu Indonesia Raya
Wage Rudolf Supratman yang wartawan sering mengunjungi Indonesische Clubgebouw tiga kali seminggu sebelum kongres Pemuda II diadakan. Soegondo dapat kabar dari Thabrani bahwa W.R. Supratman memiliki konsep lagu kebangsaan. Di rerumputan halaman Gedung Komedi depan Stasiun Gambir, Soegondo meyarankan kepada kawan-kawannya yang sedang berkumpul agar lagu itu nantinya dinyanyikan di Indonesische Clubgebouw. Sekumpulan pemuda ini termasuk Soegondo lalu sepakat untuk menjadikan lagu ciptaan Supratman sebagai lagu kebangsaan Indonesia raya. [15]
            Pada malam penutupan Kongres Pemuda Supratman berangkat lebih awal. Setelannya jas putih-putih, peci dan sepatu putih mengkilap. Biolanya tidak lupa dibawa. Soegondo menjanjikan lagu itu akan dibawakan saat istirahat. Ketika secarik kertas berisi naskah lagu dari Supratman diberikan kepada Soegondo, timbul keraguan karena lirinya yang mengindikasikan tuntutan kemerdekaan. Soegondo takut bila dinyanyikan maka acara malam penutupan kongres terancam bubar, padahal hasil kongres akan dibacakan saat penutupan. [16]
 Soegondo lalu mendatangi Kepala Kantoor Inlands Zaken (urusan pribumi) van der Plas. Van der Plas kemudian bilang: " Tuan jangan bertanya kepada saya, tapi kepada tuan yang disana itu." Maksud van der Plas tuan yang disana itu adalah Komisaris Polisi. Soegondo yang takut bicara dengan polisi itu kemudian berinisiatif  dengan  meminta kepada Supratman agar lagu tersebut dibawakan instrumennya saja, tanpa lirik. [17]
Waktu jeda rapat kongres tiba. Terlebih dahulu Soegondo memperkenalkan Supratman yang akan memainkan sebuah lagu. [18] Supratman maju ketempat yang disediakan dan semua hadirin diam sejenak. Didepan khalayak ramai lagu Indonesia Raya tanpa lirik diperdengarkan dengan gesekan biola Supratman. Hadirin terpaku. Rupanya panitia meminta Supratman memperdengarkan lagi. Kali ini hadirin berdiri ketika lagu diperdengarkan. [19] Saat itu ada 1.000 orang yang memadati gedung Kongres Pemuda itu. Supratman telah membuat 1.000 orang itu terharu. [20]
Seperti tradisi yang masih dianut bangsa Indonesia saat ini, ketika lagu Indonesia Raya semua orang diminta berdiri seperti pada Kongres Pemuda 28 Oktober 1928 tersebut.
            Sudah biasa dalam karangan-karangan tantang sumpah pemuda selau ada cerita tentang diperdengarkannya lagu Indonesia Raya kepada khalayak untuk pertama kalinya.  Ada orang yang menulis, bahwa WR Supratman menyanyikan lagunya sambil memetik gitar dan diiringi permainan biola serta ukulele seperti keroncong. Ada juga Supratman mengiringi dengan biolanya anak kecil yang bernyanyi.  Soegondo tidak menyalahkan semuanya.  Bagi Soegondo semua itu benar tetapi konteks waktu dan tempatnya tidak sama.

 Lagu Indonesia raya telah dimainkan berkali-kali dan dimana-mana, dengan iringan biola, dinyanyikan bersama-sama., dalam koor dan orkes. Saya ingat rapat rapat penutupan Kongres Pemuda Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928.....di Kramat 106, diruangan yang sama waktu Indonesia Raya diperdengarkan untuk pertama kalinya. Pada rapat penutupan itu dinyanyikan bersama-sam oleh hadirin. Para penyanyi kelihatan sedikit tersenyum, oleh karena seorang utusan dari Solo terdengar terang suaranya dengan nada "pelok." [21]

Sumpah Pemuda menjadi awal diperkenalkannya lagu kebangsaan Indonesia Raya setelah diciptakan W.R. Supratman. Lagu ini menjadi lagu  sakral bagi bangsa Indonesia sampai sekarang. Keberadaannya sebagai lagu kebangsaan benar-benar tidak bisa digugat atau digantikan lagu-lagu lainnya.

Hidup Untuk Pergerakan
Masa muda Soegondo jelas dihabiskan dalam dunia pergerakan kaum muda yang juga menentang kolonialisasi dengan caranya sendiri. Tahun  1929 dia keluar dari kampusnya. Setahun sebelumnya dia telah memimpin sebuah Kongres yang akan selalu dikenang dalam sejarah bangsa Indonesia. Tidak diketahui mengapa dirinya tidak menamatkan kuliahnya. Bisa jadi riwayat Soegondo mirip Arnold Mononutu, pemuda Sulawesi Utara yang gagal kuliahnya lantaran terlibat dalam dunia pergerakan. Selama kuliah di Negeri Belanda, Arnold Mononutu alias Om No pernah distop biaya hidupnya di Eropa atas paksaan Pemerintah Hindia Belanda kepada orang tuanya yang pegawai pemerintah. Antara Arnold Mononutu dengan Soegondo pernah mengajar bahkan memimpin di Perguruan Rakyat di Jakarta. Arnold Mononutu manjabat terlebih dahulu. Setelah Arnold pulang ke Sulawesi Utara, jabatan itu dipegang Soegondo.[22]
Pekerjaan yang dijalani Soegondo sekeluarnya dari RHS nyatanya tidak sesuai dengan apa yang dipelajarinya di RHS. Bukan kantor pokrol (pengacara) yang ditempati, tetapi ruang kelas. Soegondo menjadi guru di Perguruan Taman Siswa Yogyakarta sebelum mengajar di Perguruan Rakyat di Jakarta.  Di Taman Siswa Bandung Soegondo pernah mengajar. Dunia jurnalistik juga pernah di geluti oleh Soegondo sebagai wartawan setelah terkena larangan mengajar pada tahun 1934. Soegondo juga ikut membantu penerbitan koran Batavia Nieuwsblad dan Indische Courant di Surabaya.[23]
Anggota Jong Java, Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia, Partai politik Partai Nasional Indonesia, Pendidikan Nasional Indonesia. Hidup Soegondo Djojopoespito dalam pergerakan juga membuatnya menikah dengan Suwarsih Djojopoespito, seorang wanita yang juga dekat dengan kaum pergerakan. Bagi Soegondo dunia pergerakan untuk merubah Hindia Belanda menjadi tanah yang merdeka adalah hidupnya.
Jelas Soegondo adalah salah satu tokoh yang ikut memperkenalkan lagu Indonesai Raya sebagai lagu kebangsaan bangsa Indonesia. Soegondo yang merasa terjepit oleh janjinya kepada Supratman untuk memperdengarkan lagu itu disatu sisi dan reaksi yang akan timbul jika lagu tersebut dinyanyikan dengan liriknya yang revolusioner pasti akan menyeret kongresnya dalam bahaya karena dibubarkan padahal hasil kongres harus dibacakan diakhir kongres. Akhirnya Soegondo berinisiatif  dengan meminta Supratkan memainkan musiknya saja tanpa lirik. Walau begitu musikalitasnya mampu mengharukan pendengar kanya.
Tindakan Soegondo ini membuktikan bahwa dirinya telah berlaku bijak. Dia telah menjaga jalannya kongres juga membantu Supratman dalam menggugah rasa kebangsaan orang Indonesia masa itu dengan lagu Indonesia Raya.
Setelah Sumpah Pemuda berlalu, walaupun masih bergerak dalam dunia pergerakan popularitas Soegondo Djojopoespito seolah menghilang. Namanya hanya dikaitkan sebagai ketua Kongres Pemuda Indonesia II yang melahirkan Sumpah Pemuda dalam sejarah Indonesia, khususnya dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia.  


[1]45 Tahun Sumpah Pemuda, Jakarta, Yayasan Gedung-gedung Bersejarah Jakarta & PT Gunung Agung, 1974. h. 209.
[2] Hans van Miert, Dengang Semangat Berkobar: Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia, 1918-1930, Jakarta, KITLV-Hasta Mitra-Pustaka Hutan Kayu, 2003. h. 495.
[3] 45 Tahun Sumpah Pemuda, h. 211.
[4] Jong Indonesia ( Jong/Pemuda Indonesia yang didirikan di Bandung, 20 Rebruari 1927 oleh pelajar Algemene Middlebare School (AMS) Bandung. Salah satu dari pelajar itu adalah Soetan Sjahrir. (Hans van Miert, h.495-496)
[5] Restu Gunawan, Muhamad Yamin dan Cita-cita Persatuan, Yogyakarta: Ombak, 2005. h. 28.
[6] Ibid., h. 29.
[7] Ibid.
[8] 45 Tahun Sumpah Pemuda.  h. 209.
[9] tiga tokoh itu dibantu panitia lain yakni: Djohan Muhamad Tjai, Senduk, Leimena dan lainnya. ( 45 Tahun Sumpah Pemuda.  h. 209)
[10] Restu Gunawan,. h. 25-26
[11] Hans van Miert, h.502-503.
[12]  45 Tahun Sumpah Pemuda.  h. 209.
[13] Ibid., h. 209-210.
[14] Ibid., h. 209.
[15] Yanto Bashari &Retno Suffatni, Sejarah Tokoh Bangsa, Yogyakarta, LKiS, 2004. h.312.
[16] Ibid., h. 317-318.

[17] Hans van Miert, h.500.
[18] Ibid.
[19] Yanto Bashari &Retno Suffatni, h. 317-318.
[20]  Hans van Miert, h.500.
[21] 45 Tahun Sumpah Pemuda.  h. 212.
[22]  Ibid., h. 209-213.
[23] Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta, PT Cipta Adi Pustaka, 1989. h. 388.

Husein Djajadiningrat: Doktor Indologi Pribumi Pertama Untuk Hindia



Kenapa harus bukan orang Indonesia yang mengerti soal Indonesia. Dan, Indolog di jaman kolonial adalah orang-orang Belanda sampai munculnya Hoesein Djajadiningrat. 
 
 
Harusnya orang Indonesia mengerti tentang Indonesia. Beruntung, meski sudah berabad-abad dalam genggam kolonialisasi Belanda, Indonesia akhirnya punya ahli semacam Hoesein Djajadiningrat. Anak keluarga besar Djajadiningrat, yang adik birokrat Banten kesohor Ahmad Djajadiningrat ini, termasuk lulusan Leiden sohor juga.

Penikamat politik Etis
Max Havelaar baru saja meneriakan kekejaman tanam paksa di Jawa. Orang-orang dinegeri Belanda-pun tersentak, termasuk kaum liberal Belanda, ramai-ramai mengutuki sistem buatan van den Bosch itu. Muncullah van Deventer, sebuah perubahan tingkat elit feodal tanah jajahan mulai bergulir, sekolah model barat mulai dibuka untuk bumiputra kelas atas. Sekolah yang akan membawa mereka ke barat.
Tersebutlah seorang bupati Banten, kemajuan barat ingin pula diraihnya lewat anak-anaknya. Bupati itu tidak lewatkan kesempatan dari pemerintah kolonial itu. Sepertihalnya bupati Jepara diakhir abad XIX, ayah Kartini dan Sosrokartono, menyekolahkannya anak-anaknya ke sekolah model Belanda. Kedudukan bupati adalah tiket bagi anak-anak untuk dapat sekolah dasar di Europe Lager School selama tujuh tahun, lalu melanjutkan selama tiga atau lima tahun di sekolah menengah, Hogare Burger School (HBS).
Hoesein Djajadiningrat salah satu anak bupati itu. Terlahir di Banten pada 8 Desember 1886.1  Nama lengkapnya adalah Pangeran Aria Husein Djajadiningrat. Lahir di Kramat Waru, sebuah distrik diantara Serang dengan Cilegon Banten. Beruntung ayahnya berpandangan maju hingga bisa merasalkan pendidikan modern.2 Husein salah satu anak bupati Banten yang mengecap pendidikan barat sampai tingkat Hogare Burger Schoool--sekolah menengah lima tahun dan bila lulus bisa meneruskan ke universitas. Model sekolah sekolah yang hanya bisa dinikamti segelintir anak pembesar pribumi sampai awal abad XX. Sekolah kalangan terbatas itu juga dinikmati saudara-saudara Husein, Ahmad dan Hasan.3
Kakak Husein, Pangeran Ahmad Djajadiningrat kemudian menjadi seorang bupati di Serang dan Hasan menjadi tokoh Sarekat Islam berpengaruh di Jawa Barat diawal pergerakan nasional--sebelum kahirnya meninggal di tahun 1920. Ahmad dan Husein menjadi murid Snouck Hurgronje--sang etisi paling berpengaruh Hindia Belanda diawal abad XX. Setidaknya ada enam orang--termasuk Husein--anak bupati Serang yang lulus HBS. Diantara semua saudaranya itu, Husein-lah yang berhasil mencapai tingkat doktor di Leiden, Belanda.4
Keluarga ini berusaha menyekolahkan anaknya di sekolah Belanda yang mayoritas siswanya adalah orang-orang Belanda. Kakak Husein, Ahmad bahkan pernah menggunakan nama Willem van Banten agar bisa memasuki HBS, ketika kesempatan orang pribumi untuk bersekolah disitu belum terbuka dengan baik.5

Indolog Pribumi
Sekitar pergantian abad XIX ke XX, Indonesia, kala itu masih bernama Hindia Belanda masih berada dalam kekuasaan kolonial Belanda. Segala sesuatu di tanah ini nyaris hanya diketahui oleh orang-orang non pribumi. Akademisi Belanda berdatangan, dalam jumlah kecil, ke Hindia Belanda. Mereka menggali dan mempelajari banyak hal mengenai tanah Hindia. Mereka, akademisi barat itu, meramu apa yang mereka pelajari dari tanah Hindia menjadi apa yang disebut Indologi, sebuah disiplin ilmu wajib bagi calon pegawai kolonial kulit putih yang ingin jadi Meneer di tanah Hindia.
Tercatat nama besar Snouck Hurgronje diantara deretan akademisi Belanda itu. Orang yang  berjasa besar bagi perkembangan kolonialisasi Belanda di Hindia. Jiwa akademisi Snouck ikut pula menghancurkan eksistensi sebagai sebuah negeri merdeka , Aceh yang terus bergolak. Snouck adalah penasehat pemerintah kolonial untuk urusan pribumi Hindia. Snouck cukup akrab dengan aristokrat lokal macam Bupati Djajadiningrat. Semua anak-anak bupati mengenalnya, apalagi Husein.
Atas anjuran Snouck, selulusnya dari HBS Husein berangkat ke Belanda untuk melanjutkan pelajarannya. Awalnya belajar bahasa latin dan Yunani Kuno antara tahun 1904-1905 di sebuah Gymnasium kota Leiden, lalu ikut ujian masuk Universitas Leiden.  Husein lulus diterima dan menjadi mahasiswa calon sarjana pada jurusan bahasa dan sastra kepulauan Indonesia.6 Husein tidak berhenti pada tingkatan sarjana namun terus sampai tingkat Doktor. Husein merasa tertarik dengan ilmu sejarah, dia berniat melihat tanah Hindia, yang juga tanah kelahirannya dengan kacamata historis.
Minat Husein pada Sejarah Aceh berkembanag ketika ikut serta dalam lomba menulis  tentang kesultanan Aceh. Kesultanan yang pernah ikut dihajar oleh Snouck Hurgronje lewat nasehatnya pada pemerintah kolonial. Sebelum merampungkan disertasinya, Hoesein pernah mengikuti sayembara menulis pada tahun 1908 di Universitas Leiden. Tulisannya berjudul Critisch Overzicht van de Maleische Werken Vervatte Gegevens van het Sultanaat van Aceh, dimuat di BKI deel 65 dan terbit tahun 1911.7
Sebelum ikut menulis itu, Husein terlebih dahulu meneliti naskah-naskah Melayu. Usaha yang tidak sia-sia, setidaknya bagi bumiputra macam Husein budaya Melayu tidak jauh dari dirinya sebagai orang Banten penganut Islam. Husein akhirnya menang.
Atas kemenangan itu Husein mendapatkan hadiah Medali. Ternyata orang Asia tidaklah terbelakang dan Husein bukanlah Sickman Asia. Setelah kemenangan itu Husein terjun semakin dalam menggali sejarah dan kebudayaan Hindia, khususnya Aceh selama beberapa tahun sebelum beralih pada daerah lainnya.
Sejak Mei 1914 sampai April 1915, Husein mulai mempelajari lebih dalam bahasa Aceh untuk membuat kamus bahasa Aceh-Belanda. Hasil kerjanya berupa Atjeh-Nederlandsche Wordenboek. Kamus itu lalu diterbitkan tahun 1934. Kamus ini dinilai sebagai kamus bahasa daerah terlengkap selama beberapa dekade. Tida heran jika Snouck Hurgronje kagum pada Husein. Bahkan dianggap memiliki reputasinya sama hebatnya sebagai Indolog dengan sang guru.
Kehidupan mahasiswa Husein ditutup dengan disertasinya mengenai sejarah Banten, tanah tempat dia lahir, tanah dimana keluarganya dijunjung. Husein sendiri, dalam sejarah pendidikan modern Indonesia, adalah orang pertama yang mempertahankan disertasi-nya di Universitas Leiden, tahun 1913, dengan judul: Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten (Pandangan Kritis Tentang Sejarah  Banten). Karena disertasinya itu, Hoesein di anggap sebagai pengganti Brandes, orang Belanda yang ahli keperubukalaan Jawa.8
Prof. H. Kern, salah seorang kolega Snouck Hurgronje, sangat memuji disertasi Husein itu. Terlihat dalam resensinya pada majalah De Gids di negeri Belanda. Kepada Husein, Kern sangat berharap agar ada lagi karya-karya Husein Djajadingrat yang lainnya setelah disertasinya itu.9
Disertasi itu lalu diterbitkan oleh Jon Enschede tahun 1913 di Haarlem. Pada halaman 201-212, Hoesein mengatakan bahwa bagi orang Jawa ramalan atau mimpi menandakan sesuatu atau memberikan suatu kesan yang mendalam.10 Bertindak sebagai promoter Hoesein, adalah Snouck Horgronje.
Jadilah Husein seorang Indolog tingkat dokter pertama bagi orang pribumi. Tidak hanya doktor Indologi pertama, tapi juga Doktor pribumi pertama lulusan Universitas Leiden yang menyimpan banyak bahan mengenai Indonesia itu. Karya tulis Husein termasuk disertasinya adalah sumbangan orang pribumi mengenai kajian tentang Hindia yang lebih didominasi oleh orang-orang Belanda. Husein telah mensejajarkan dirinya dengan mereka, orang-orang Belanda orientalis itu.
Karya-karya Husein sebagai Indolog antara lain; De Magische Achtergrond van de Maleische Pantoen yang merupakan pidato ilmiah pada tanggal 28 Oktober 1933, saat acara ulang tahun Recht Hoge School ke 9. karangan Husein tentang Islam adalah De  Mohammedaansche Wet en het Geetesleven der Indonesische Mohammedaansche Wet en het Geetesleven der Indonesische Mohammedaanen, juga pidato ilmiah Husein. Pada perguruan tinggi yang sama pada tahun 1925, ketika perguruan tinggi itu baru setahun.11 Semuanya dihasilkan oleh Husein ketika dia sudah berada di Indonesia.
Ada sisi baik dari suksesnya studi Husein mengenai Indologi di Leiden dengan predikat camme laude. Pemuda Indonesia ternyata bisa meraih prestasi akademik. Gagasan untuk mendidik kader pribumi, macam Husein Djajadiningrat, sekelompok kader yang akan membantu pemerintah kolonial menjalankan pemerintahan--dalam posisi terbatas--di Hindia Belanda. Gagasan itu kemudian diterima dan dijalankan oleh pemerintah kolonial, walau hanya sampai tahun 1931 saja.12

Kantoor voor Inlandsche Zaken
Husein akhirnya kembali ke Indonesia, setelah lebih dari sepuluh tahun di negeri Belanda belajar tentang tanahnya, Hindia, tanah yang asing bagi anak-anaknya. Mungkin tidak bagi Husein Djajadiningrat. Selama di Indonesia , Husein tetap bergelut di dunia ilmu pengetahuan. Setamat dari Leiden, awalnya Husein bekerja sebagai peneliti bahasa-bahasa di Indonesia pada  Kantoor voor Inlandsche Zaken (kantor Urusan Bumiputra) sampai tahun 1918. Sejak 19  Mei 1920 sampai dengan tahun 1925, Husein bekerja sebagai Adjunct Adviseur voor Inlandsche Zaken (Ajun/wakil penasehat urusan pribumi Hindia Belanda) pada kantor yang sama.13
Kantor tempat Husein bekerja, Kantoor voor Inlandsche Zaken, berdiri sejak tahun 1899 oleh Snouck Hurgronje, pelindung Husein juga. Kantor ini diisi oleh banyak orang antara lain ahli agama Islam, bahasa sastra maupun bahasa. Beberapa orang Belanda terkemuka yang pernah duduk dikator ini adalah G.A.J. Hazeu, D.A. Rinkes, R.A. Kern, E. Gobee, G.F. Pijper juga Charles van Der Plas.14
Setelah Snouck Hurgronje kembali ke Belanda tahun 1906, ditunjuklah  Hazeu sebagai pengganti untuk mengurusi permasalahan yang dihadapi pemerintah kolonial terhadap orang-orang pribumi. Hazeu dan beberapa orang lainnya adalah orang yang peduli dan sedang mengawasi pendidikan beberapa anak bumiputra, termasuk pada Alimin--salah satu anak angkat Hazeu yang belakangan menjadi tokoh PKI terkemuka di Indonesia.15
Kegiatan Husein selain bekerja di Kantoor voor Inlandsche Zaken setelah kepulangannya dari Belanda juga bergerak dibidang jurnalistik dan pendidikan mengenai kebudayaan Jawa. Tahun 1919 Husein mendirikan Java Institut dan menerbitkan majalah bulanan Djawa ditahun 1921. Husein menjadi redakturnya bersama J. Kats, Sam Koperberg, R. Ngabehi Poerbatjaraka dan J.W. Teiler. Tahun 1924, Husein diangkat sebagai guru besar di Recht Hoge School--Sekolah Tinggi Hukum--di  Jakarta untuk mata kuliah bahasa Melayu dan hukum Islam.16 Setahun setelah menjadi pegawai di kantor itu (1925), Husein tidak lagi menjabat sebagai Adjunct Adviseur voor Inlandsche Zaken.17
Karir Husein di Kantoor voor Inlandsche Zaken terbilang baik, ada saja orang-orang Belanda yang selalu menaunginya, walau Snouck sudah pulang ke Belanda, sebut saja beberapa orang disekitar Kern--yang menjelang jabatannya sebagai kepala kantor itu pada tahun 1926 mengajukan Husein sebagai Adviseur voor Inlandsche Zaken. Orang-orang itu merasa, Kantoor voor Inlandsche Zaken--yang mengurusi urusan orang pribumi yang mayoritas Muslim--tidak pernah dipimpin oleh orang-orang Muslim. Menurut mereka, kantor itu haruslah dipimpin oleh orang Muslim uyang tentunya mengerti banyak mengenai Islam.18 
Kantoor voor Inlandsche Zaken pada dua dasawarsa pertama memainkan peranan yang cukup baik di Hindia Belanda. Dua dasawarsa itulah masa keemasan kantor itu. Setelahnya, kantor itu tidak lebih daripada sebagai tempat pengaduan saja. Parahnya, pegawai yang ada tidak memiliki keahlian untuk menanggapi pengaduan tersebut. Disisi lain Bousquet--orang diluar Kantoor voor Inlandsche Zaken--mengkritik bahwa Kantoor voor Inlandsche Zaken terlalu menitikberatkan pada masalah Islam semata. Karenanya, dalam sidang Volksraad, para adviseur-nya bahkan juga Kantoor voor Inlandsche Zaken sempat menjadi pembicaraan dalam sidang dewan rakyat yang nyaris tidak merakyat itu.19
Dimata orang-orang Pribumi, Kantoor voor Inlandsche Zaken sering dianggap sebagai kantor mata-mata. Tuduhan itu berlebihan, seolah memposisikan Kantoor voor Inlandsche Zaken tidak ubahnya dengan Politieke Intellingen Dienst (PID)--polisi politik Belanda yang rajin mengawasi ruang gerak kaum pergerakan. Alasan tuduhan itu dikarenakan orang-orang dari Kantoor voor Inlandsche Zaken kerap hadir dalam pertemuan yang dihadiri orang-orang pergerakan, seperti hanya PID. Ditengah kritik dari berbagai pihak kantor ini mampu bertahan sejak dipimpin oleh Snouck Hurgronje sampai menyerahnya Hindia Belanda pada Tentara Pendudukan Jepang.20
Husein Djajadiningrat Dengan Kaum Pergerakan
Sayang, Husein tidak bertahan lama di kantor itu. Dirinya hanya bisa menjadi wakil saja tanpa bisa menjadi penasehat pemerintah kolonial di Hindia Belanda. Entah apa yang akan dilakukan oleh Husein jika dirinya menjadi penasehat. Apapun alasannya, pemerintah kolonial tidak menginginkan orang pribumi masuk terlalu dalam pada jajaran birokrasinya, kendati orang pribumi yang bersangkutan adalah orang kompeten mengenai masalah yang terjadi di tanah Hindia Belanda. Dimanapun kaum kolonialis sejati takut perubahan
Setelah menjadi tenaga pengajar yang cukup prestisius di RHS, Husein pernah menjabat 'Ketua Panitia Perbaikan Peradilan Agama” sejak 1934. Hasil kerja Husein dan tim-nya adalah didirikannya 'Mahkamah Tinggi Islam' pada tahun 1937.  Figur Husein kahirnya makin bersinar pada tahun 1935, Husein diangkat menjadi anggota Raad van Nederlandsche Indie  (Dewan Hindia). Lima tahun kemudian, 1940, diangkat sebagai direktur Departemen Pengajaran dan Ibadah. Tahun 1941 sampai dengan 1946, Husein diangkat lagi menjadi Raad van Nederlandsche Indie.. 21 Tentunya jabatan itu hanya dipangku sampai 8 Maret 1942 karena Hindia Belanda menyerah tanpa syarat Jepang.
Husein selalu berusaha memperhatikan perkembangan pendidikan di Hindia Belanda. Dia pernah melaporkan diantara putra raja hanya Pengeran Hadiwidjojo-lah yang menaruh minat pada pengetahuan mutakhir dunia yang sedang berkembang.22 Pemuda pelajar dari Jong java pernah datang pada Husein, yang sudah menjadi doktor dalam bidang sastra timur dan  Indologi, untuk meminta saran sebuah vandel.23 Posisinya  sebagai direktur Departemen Pengajaran dan Ibadah diakhir kolonialisasi Hindia Belanda, memberinya kesempatan lebih untuk itu, kendati dalam waktu singkat dan hasil yang tidak terlalu signifikan.
Husein digolongkan sebagai intelektual terkemuka diakhir kolonialisasi Belanda di Indonesia.24 bersama Thamrin dan Koesoemo Oetojo, Husein membuat rencana tentang penggunaan kredit dari Bank-bank Jepang untuk membangun perusahaan dagang di Jepang bagi Importir dari Indonesia.25 Peran Husein Djajadingrat dalam pergerakan nyaris tidak terlihat, termasuk dalam kaum koperatif sendiri. Posisinya sebagai birokrat sebenarnya pernah menyelamtkan kaum pergerakan, seperti perlindungannya pada Douwes Dekker yang selalu dicurigai berskongkol dengan Jepang oleh aparat hukum kolonial.
Douwes Dekker pernah diminta menyampaikan pada Husein sebagai direktur Pendidikan untuk mengadakan survey Ekonomi untuk kepentingan Jepang diakhir kekuasaan Belanda.26 Rupanya Dekker selamt karena Husein Djajadiningrat-lah yang memberikan izin survey itu.27 Husein hadir saat Thamrin dimakamkan--setelah kematian Thamrin sebagai tahanan rumah saat Thamrin masih menjadi anggota Volksraad. Ini bukti bahwa Husein memiliki keterkaitan dengan pergerakan nasional, terlepas dari besar kecilnya peran dia dalam pergerakan.









1 P. Swantoro, Dari Buku ke Buku, Jakarta, KPG & Tenbi, 2002. h. 209.
2 Ensiklopedia Nasional Indonesia., h. 281.
3 John Legge, Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1993.  h. 29.
4 A.P.E. Korver, Sarekat Islam: Gerakan Ratu Adil?, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1985. h. 251.
5 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta, LP3ES, 1985. h. 153.
6 Ibid., h. 152.
7 P. Swantoro, Dari Buku ke Buku, Jakarta, KPG & Tenbi, 2002. h. 172.
8 Ibid., h. 96.
9 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta, LP3ES, 1985. h. 154.
10 P. Swantoro, Dari Buku ke Buku, Jakarta, KPG & Tenbi, 2002. h. 141.
11 Ensiklopedia Nasional Indonesia., h. 283
12 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta, LP3ES, 1985. h. 42.
13 Ibid., h. 153.
14 Deliar Noer., h.  26.
15 H. Aqib Suminto, h. 42.
16 Ensiklopedia Nasional Indonesia., h. 283
17 H. Aqib Suminto, h. 153.
18  Ibid.,h. 209-210.
19 Ibid., h. 205-207.
20 Ibid., h. 208-209.
21 Ensiklopedia Nasional Indonesia., h. 283: H. Aqib Suminto, h. 42.
22 Hans Meirt, Dengan semangat Berkobar: Nasionalisme dan Gerakan Pemuda Di Indonesia (1918-1930), Jakarta, Hasta Mitra, Pustaka Hutan Kayu & KITLV, 2003. h. 291.
23 Ibid., h. 71.
24 Bob Hering., h. 356.
25 Ibid., h. 369.
26 Ibid., h. 375.
27 Ibid., h. 404.

Tipisnya Tabir Mimpi dan Kenyataan


Laskar Pelangi sudah bubar. Ikal yang merasa kehilangan, mulai dari A Ling sampai kawan-kawan SD Muhamadiyah Gantong lainnya, harus menjalani sesuatu yang baru. Dia temui kawan baru, yang tak lain adalah saudara sepupunya, Arai--yang baru saja ditinggal mati ayahnya. Mereka juga mendapat kawan baru lagi, Jimbron, bocah yatim piatu Muslim yang dirawat Pendeta Giovani. Uniknya, sang pendeta menyuruh Jimbron belajar mengaji di Surau. Di Surau inilah ketiga bocah ini, itu akrab dan menjadi pemimpi hebat. Perkawanan mereka berlanjut hingga ke SMA Manggar. Hidup mereka selanjutnya semakin dipenuhi mimpi-mimpi.

Ikal remaja (Vikri Setiawan) dengan mimpi menginjak Paris dan belajar di Universitas Sarbonne. Arai (Rendy Ahmad Syaifullah), juga punya cita-cita yang tidak jauh beda dengan Ikal, namun salah satu mimpi jangka pendeknya adalah mencuri hati Zakia Nurmala--"Kembang cantik" SMA Manggar (yang diperankan Maudi Ayunda). Mimpi Jimbron remaja paling penting adalah membuat Laksmi, yang juga sama yatim piatunya setelah orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan, kembali tersenyum. 



Di sekolah, Arai dan Ikal tergolong murid pandai, namun Jimbron tidak hingga harus dibantu dua sahabatnya itu dalam mengerjakan tugas sekolah. Beruntung, sebagai para pemimpi belia, meraka memiliki guru Bahasa dan Sastra yang selalu mengajak murid-muridnya mengucapkan kutipan-kutipan orang hebat yang cuku memotivasi. Tidak hanya kutipan dari orang hebat kelas dunia, tapi juga potongan lagu dari Iwan Fals atau Rhoma Irama. Balia (Nugie Nugraha), sang guru hebat itu adalah sosok yang lemah lembut. Dia cukup bersebrangan dengan Pak Mustar (Landung Simatupang) sang kepala sekolah dalam mengajar. Tetap saja mereka adalah guru hebat, yang pergi kesekolah dengan sepeda butut dan dengan pakaian sederhana yang jauh dari necis.   

Mereka tidak seperti anak-anak SMA kota besar zaman sekarang. Mereka harus banting tulang sepulang dari sekolah. Bukan sekedar mengisi perut mereka, tapi juga untuk mimpi besar mereka, berangkat ke Paris. Mereka mengumpulkan jerih keringat mereka. Ikal dalam kotak pemberian A Ling yang bergambar Menara eifel. Dan, Jimbron yang terobsesi dengan kuda, menyimpan uangnya dalam dua celengan Kuda yang dia isi sama rata.

Sebagai mahluk yang melewati masa puber, mereka juga penasaran dengan seksualitas. Suatu kali mereka pun nekad menonton film semi biru, yang sedang populer kala itu dan kebetulan masih diputar di bioskop yang tidak jauh dari pondok mereka. Sialnya, mereka ketahuan Pak Mustar yang memaksa mereka pulang ketika film sedang di putar. Karena dianggap keterlaluan oleh Sang Kepala sekolah maka mereka dihukum membersihkan WC sekolah. Sebuah tempat paling terkutuk bagi Ikal karena joroknya yang luar biasa. Tidak jauh beda dengan WC pria di sekolah saya dulu, mungkin juga disekolah yang lain.

Sebagai pemimpi belia, kegalauan hati ada kalanya datang mendera. Ikal pun alami hal itu. Suatu kali Ikal menghilang dari sekolah dan mogok bicara selama beberapa hari. Sementara Arai, si pemimpi tergigih, hanya bersabar berusaha paham dengan sikap saudara sepupunya yang aneh itu.

Bagaimanapun, badai pasti berlalu. Sebagai para pemimpi tangguh, mereka kembali dalam rel mimpi mereka. Ikal kembali ke sekolah bersama Jimbron dan Arai. Mimpi Jimbron yang ingin melihat kuda dan membuat Laksmi tersenyum pun terwujud. Jimbron pun mengajak Laksmi yang penuh derita itu naik keatas kuda. Sebuah moment penting yang membawa dua anak manusia yang penuh derita itu mulai beranjak dari penderitaan mereka. Berbekal mimpi, dan tentu saja kerja keras, Jimbron pun meraih mimpinya.

Sebagai pemimpi, Arai berusaha sekuat tenaga merebut hati Zakia Nurmala. Untung saja Arai bertemu Bang Zaitun (Jay Widjajanto) Seniman Musik Melayu keliling yang lebih dari 30 tahun malang melintang di blantika musik Belitong dan sukses menggaet beberapa wanita yang kemudian menjadi istri-istrinya. 

Tidak rugi juga Arai berguru. Berbekal sebuah gitar dari Sang Guru, Arai yang berpakaian ala Melayu mendatangi jendela kamar Zakia Nurmala. Mulailah Arai menyanyikan lagi Melayu dengan indahnya demi pujaan hatinya. Tidak sia-sia juga, ketika Arai diatas kapal yang hendak meninggalkan Manggar, Zakia melambaikan tangannya dan memberi senyumannya pada Arai. Mimpi Arai terlaksana juga. Tentu saja Arai girang bukan kepalang.

Setelah masa SMA berakhir, Ikal dan Arai meinggalkan Belitung untuk ke Jakarta. Mereka berencana kuliah disana, lalu meneruskan mimpi mereka ke Eropa. Mereka berdua berpisah dengan Jimbron yang sudah menggandeng Laksmi. Kepada mereka, Jimbron memberikan dua celengan kuda yang dia isi uang sama rata. Meski Jimbron tidak mengantar sampai Eropa, tapi isi celengan kuda Jimbronlah yang ikut mengantarkan mereka. Di Jakarta, mereka bermetamorfosa. Arai dan Ikal menjadi sarjana juga dari Universitas Indonesia yang bergengsi itu. Arai dewasa (yang diperankan Nasril Ilham alias Ariel Peterpan) dan Ikal dewasa (oleh Lukman Sardi) terpisah. Lupakah mereka pada mimpi mereka? Tentu tidak terjadi pada mereka. Mereka bertemu lagi dalam sebuah wawancara beasiswa. Mimpi mereka pun makin di depan mata.

Jarak mimpi dan kenyataaan memang kadang tipis. Inilah aIasan banyak pejuang lahir. Hanya butuh kerja keras untuk membuka tabir yang membatasi mimpi dan kenyataan. Film ini harusnya bisa memberi insiprasi, seperti halnya bukunya yang sukses di pasaran buku Indonesia.

Dalam sang Pemimpi ini, Riri Riza kembali sukses menafsirkan isi buku Sang Pemimpi, dan sebelumnya Sang pemimpi. Nama-nama besar orang Seni Indonesia dalam film ini cukup mampu mendongkrak film ini menjadi sesuatu yang hidup seperti film-film Riri Riza yang lain. Selalu berusaha untuk realis dan selalu memberi jeda-jeda pengundang tawa disela-sela yang mengharukan dalam alur filmnya. Selalu saja,dalam film-film Riri Riza para penonton selalu sukses memasuki dunia yang menjadi setting film itu. Dalam film Gie, kita akan temukan aura Jakarta tahun 1960an. Dan, dalam Sang Pemimpi, sukses membawa kita ke Belitung tahun 1985an.

Bagi anda yang pernah menghabiskan masa SMA didaerah terpencil, maka anda akan terharu menonton Sang Pemimpi. Film ini akan membaca ke masa-masa SMA, yang katanya masa-masa paling indah. Silahkan mengenang masa SMA anda, bagi yang sudah pernah merasakannya. Bagi yang belum dan tinggal di perkotaan, anda tidak akan alami apa yang dialami Arai dan Ikal. Namun, dengan menonton Sang pemimpi anda akan rasakan sekolah di daerah yang jauh tertinggal.



    
Laskar Pelangi sudah bubar. Ikal yang merasa kehilangan, mulai dari A Ling sampai kawan-kawan SD Muhamadiyah Gantong lainnya, harus menjalani sesuatu yang baru. Dia temui kawan baru, yang tak lain adalah saudara sepupunya, Arai--yang baru saja ditinggal mati ayahnya. Mereka juga mendapat kawan baru lagi, Jimbron, bocah yatim piatu Muslim yang dirawat Pendeta Giovani. Uniknya, sang pendeta menyuruh Jimbron belajar mengaji di Surau. Di Surau inilah ketiga bocah ini, itu akrab dan menjadi pemimpi hebat. Perkawanan mereka berlanjut hingga ke SMA Manggar. Hidup mereka selanjutnya semakin dipenuhi mimpi-mimpi.

Ikal remaja (Vikri Setiawan) dengan mimpi menginjak Paris dan belajar di Universitas Sarbonne. Arai (Rendy Ahmad Syaifullah), juga punya cita-cita yang tidak jauh beda dengan Ikal, namun salah satu mimpi jangka pendeknya adalah mencuri hati Zakia Nurmala--"Kembang cantik" SMA Manggar (yang diperankan Maudi Ayunda). Mimpi Jimbron remaja paling penting adalah membuat Laksmi, yang juga sama yatim piatunya setelah orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan, kembali tersenyum. 


Di sekolah, Arai dan Ikal tergolong murid pandai, namun Jimbron tidak hingga harus dibantu dua sahabatnya itu dalam mengerjakan tugas sekolah. Beruntung, sebagai para pemimpi belia, meraka memiliki guru Bahasa dan Sastra yang selalu mengajak murid-muridnya mengucapkan kutipan-kutipan orang hebat yang cuku memotivasi. Tidak hanya kutipan dari orang hebat kelas dunia, tapi juga potongan lagu dari Iwan Fals atau Rhoma Irama. Balia (Nugie Nugraha), sang guru hebat itu adalah sosok yang lemah lembut. Dia cukup bersebrangan dengan Pak Mustar (Landung Simatupang) sang kepala sekolah dalam mengajar. Tetap saja mereka adalah guru hebat, yang pergi kesekolah dengan sepeda butut dan dengan pakaian sederhana yang jauh dari necis.   

Mereka tidak seperti anak-anak SMA kota besar zaman sekarang. Mereka harus banting tulang sepulang dari sekolah. Bukan sekedar mengisi perut mereka, tapi juga untuk mimpi besar mereka, berangkat ke Paris. Mereka mengumpulkan jerih keringat mereka. Ikal dalam kotak pemberian A Ling yang bergambar Menara eifel. Dan, Jimbron yang terobsesi dengan kuda, menyimpan uangnya dalam dua celengan Kuda yang dia isi sama rata.

Sebagai mahluk yang melewati masa puber, mereka juga penasaran dengan seksualitas. Suatu kali mereka pun nekad menonton film semi biru, yang sedang populer kala itu dan kebetulan masih diputar di bioskop yang tidak jauh dari pondok mereka. Sialnya, mereka ketahuan Pak Mustar yang memaksa mereka pulang ketika film sedang di putar. Karena dianggap keterlaluan oleh Sang Kepala sekolah maka mereka dihukum membersihkan WC sekolah. Sebuah tempat paling terkutuk bagi Ikal karena joroknya yang luar biasa. Tidak jauh beda dengan WC pria di sekolah saya dulu, mungkin juga disekolah yang lain.

Sebagai pemimpi belia, kegalauan hati ada kalanya datang mendera. Ikal pun alami hal itu. Suatu kali Ikal menghilang dari sekolah dan mogok bicara selama beberapa hari. Sementara Arai, si pemimpi tergigih, hanya bersabar berusaha paham dengan sikap saudara sepupunya yang aneh itu.

Bagaimanapun, badai pasti berlalu. Sebagai para pemimpi tangguh, mereka kembali dalam rel mimpi mereka. Ikal kembali ke sekolah bersama Jimbron dan Arai. Mimpi Jimbron yang ingin melihat kuda dan membuat Laksmi tersenyum pun terwujud. Jimbron pun mengajak Laksmi yang penuh derita itu naik keatas kuda. Sebuah moment penting yang membawa dua anak manusia yang penuh derita itu mulai beranjak dari penderitaan mereka. Berbekal mimpi, dan tentu saja kerja keras, Jimbron pun meraih mimpinya.

Sebagai pemimpi, Arai berusaha sekuat tenaga merebut hati Zakia Nurmala. Untung saja Arai bertemu Bang Zaitun (Jay Widjajanto) Seniman Musik Melayu keliling yang lebih dari 30 tahun malang melintang di blantika musik Belitong dan sukses menggaet beberapa wanita yang kemudian menjadi istri-istrinya. 

Tidak rugi juga Arai berguru. Berbekal sebuah gitar dari Sang Guru, Arai yang berpakaian ala Melayu mendatangi jendela kamar Zakia Nurmala. Mulailah Arai menyanyikan lagi Melayu dengan indahnya demi pujaan hatinya. Tidak sia-sia juga, ketika Arai diatas kapal yang hendak meninggalkan Manggar, Zakia melambaikan tangannya dan memberi senyumannya pada Arai. Mimpi Arai terlaksana juga. Tentu saja Arai girang bukan kepalang.

Setelah masa SMA berakhir, Ikal dan Arai meinggalkan Belitung untuk ke Jakarta. Mereka berencana kuliah disana, lalu meneruskan mimpi mereka ke Eropa. Mereka berdua berpisah dengan Jimbron yang sudah menggandeng Laksmi. Kepada mereka, Jimbron memberikan dua celengan kuda yang dia isi uang sama rata. Meski Jimbron tidak mengantar sampai Eropa, tapi isi celengan kuda Jimbronlah yang ikut mengantarkan mereka. Di Jakarta, mereka bermetamorfosa. Arai dan Ikal menjadi sarjana juga dari Universitas Indonesia yang bergengsi itu. Arai dewasa (yang diperankan Nasril Ilham alias Ariel Peterpan) dan Ikal dewasa (oleh Lukman Sardi) terpisah. Lupakah mereka pada mimpi mereka? Tentu tidak terjadi pada mereka. Mereka bertemu lagi dalam sebuah wawancara beasiswa. Mimpi mereka pun makin di depan mata.

Jarak mimpi dan kenyataaan memang kadang tipis. Inilah aIasan banyak pejuang lahir. Hanya butuh kerja keras untuk membuka tabir yang membatasi mimpi dan kenyataan. Film ini harusnya bisa memberi insiprasi, seperti halnya bukunya yang sukses di pasaran buku Indonesia.

Dalam sang Pemimpi ini, Riri Riza kembali sukses menafsirkan isi buku Sang Pemimpi, dan sebelumnya Sang pemimpi. Nama-nama besar orang Seni Indonesia dalam film ini cukup mampu mendongkrak film ini menjadi sesuatu yang hidup seperti film-film Riri Riza yang lain. Selalu berusaha untuk realis dan selalu memberi jeda-jeda pengundang tawa disela-sela yang mengharukan dalam alur filmnya. Selalu saja,dalam film-film Riri Riza para penonton selalu sukses memasuki dunia yang menjadi setting film itu. Dalam film Gie, kita akan temukan aura Jakarta tahun 1960an. Dan, dalam Sang Pemimpi, sukses membawa kita ke Belitung tahun 1985an.

Bagi anda yang pernah menghabiskan masa SMA didaerah terpencil, maka anda akan terharu menonton Sang Pemimpi. Film ini akan membaca ke masa-masa SMA, yang katanya masa-masa paling indah. Silahkan mengenang masa SMA anda, bagi yang sudah pernah merasakannya. Bagi yang belum dan tinggal di perkotaan, anda tidak akan alami apa yang dialami Arai dan Ikal. Namun, dengan menonton Sang pemimpi anda akan rasakan sekolah di daerah yang jauh tertinggal.