Rabu, November 09, 2011

Bertemu Sang Kapten

Akhirnya, bertemu juga dengan sang kapten timnas legendaris, sekaligus ajudan Sukarno. Sang Kapten tak lain adalah Maulwi Saelan.

Siang begitu panas. Pikiran segera melayang pada Es Pisang Ijo (khas Makassar), yang tak jauh dari TVRI Palembang. Saya segera berjalan kaki kesana. Sembari menunggu sebuah talk show. Sesampai di tukang jual es pisang ijo, saya segera buka notbeook dan segera menulis. Tentang kekesalan saya pada seorang akademisi yang merendahkan orang Papua. Es pisang ijo yang dingin perlahan meredakan kekesalan saya. Menulis pun jadi makin menyenangkan.

Setelah lebih dari 30 menit menulis, tulisan selesai dan es pisang ijo mencair. Segera notebook saya tutup dan es pisang ijo saya seruput habis. Rasanya, saya sedang berada di Makassar ketika es pisang ijo saya habiskan. Segera saya menuju TVRI.

Ternyata, salah satu pembicara adalah kawan saya juga. Seorang sejarawan. JJ Rizal namanya. Orang sejarah UI, pasti kenal dia, kalau tidak jangan pernah ngaku orang sejarah. JJ Rizal memang kesohor di kalangan sejarawan. Kami mengakui JJ Rizal memang ahli dalam sejarah Indonesia kontemporer dan Betawi. Maklum orang Betawi. Beberapa waktu lalu, JJ Rizal mendadak ngetop. Karena jadi korban salah sasaran polisi yang main pukul sembarangan. Oknum polisi itu mengira si kawan saya adalah bandar narkoba. Beruntung, semua polisi itu kena hukum atasannya. Makanya, jangan macam-macam sama sejarawan. Hehehe

Ternyata juga, disana ada Alwi Shihab, wartawan senior yang bejibun tulisannya. Alwi Shihab sosok yang ramah. Dia hanya tersenyum ketika saya bilang kalau saya pernah kutip tulisannya, soal Betawi dan si Pitung. Dia bilang kalau dalam seminggu dia bisa hasilkan dua artikel. Muke gile. Nih engkong-engkong seperti gak ada matinye. Layak untuk ditiru penulis kacangan macam saya. Ini baru senior, bisa member contoh.

Ternyata lagi, disitu ada Maulwi Saelan. Ibu Diah yang baik hati lalu memperkenalkan saya pada Maulwi Saelan. Saya tertegun dan gembira bertemu dengannya. Hanya sejarawan bodoh yang tak tahu dia. Ketua PSSI masa kini, harus cium tangan dia jika bertemu. Bagi yang paham sejarah sepakbola Indonesia, pasti tahu siapa Maulwi Saelan.

Maulwi Saelan tak lain bekas kiper tim nasional Indonesia. Tangannya adalah tameng gawang Indonesia. Banyak bola tim lawan yang tertangkap tangannya. Bersama timnya, Maulwi pernah bertanding melawan Timnas Amerika, Uni Sovyet dan lainnya. Tim Beruang Merah, Uni Sovyet pernah ditahan imbang 0-0 dalam sebuah pertandingan di Melbourne di tahun 1950an. Maulwi juga kapten timnas yang pastinya legendaris. Hingga hari ini, Maulwi sesepuh sepakbola Indonesia yang masing sangat besar kepeduliannya pada Sepakbola Indonesia yang begitu memprihatinkan.

Maulwi, seperti yang saya baca dari biografinya, Kesaksian Seorang Wakil Komandan Tjakrabirawa: Dari Revolusi 1945 Sampai Kudeta 1965, Maulwi adalah bekas gerilyawan pro Indonesia di Sulawesi Selatan. Dia bergerilya bersama Aziz Taba dan lainnya. Setelah Tentara Belanda angkat kaki dari Indonesia, Maulwi bergabung dengan Polisi Militer selama beberapa tahun.

Ayah Maulwi, Amin Saelan adalah seorang nasionalis di zaman pergerakan nasional. Bukan hanya Maulwi yang nasionalis di keluarganya. Kakak perempuan Maulwi, Emmy Saelan juga seorang pejuang kemerdekaan. Sayang, sang Kakak harus mati muda. Emmy juga dikenal sebagai kekasih dari Wolter Monginsidi—seorang penyair pejuang yang dihukum mati tentara Belanda pada September 1949. Vonis mati itu juga tak lain karena dosa-dosa Soumokil yang kemudian menjadi Presiden RMS. Adik Maulwi adalah Ely Saelan—yang tak lain adalah istri dari Jenderal M Yusuf. Seorang Jenderal yang tidak akan dilupakan oleh banyak prajurit bawahannya. Yusuf adalah jenderal yang begitu peduli kesejahteraan prajurit bawahannya. Jika Ahmad Yani dan kawan-kawan bisa berlaku seperti M Yusuf, bisa jadi Letkol Untung tidak akan menyikatnya.

Kembali ke sang kapten, disela-sela dinasnya sebagai militer, Maulwi masih meluangkan waktu untuk sepakbola. Bukan mencari sampingan—karena kecilnya gaji tentara. Melainkan karena kecintaan. Rasa cinta pada sepakbola, dan rasa nasionalisme yang dia milikilah yang membuatnya kemudian berjaya di lapangan hijau. Maulwi pernah bermain bersama pemain sepakbola legendaris macam Ramang. Keduanya berasal dari Sulawesi Selatan. Disiplin tentara yang dilakoni selama di CPM, membuat Maulwi tahu bagaimana harus berhadapan dengan tim lawan.

Seumur hidupnya, Maulwi mencapai pangkat Kolonel dalam karirnya sebagai militer. Setelah percobaan pembunuhan yang gagal terhadap Sukarno di Karebosi, Makassar, Maulwi diangkat menjadi salah-satu komandan pasukan Tjakrabirawa. Pasukan pengawal Presiden Sukarno. Maulwi adalah wakil dari Brigadir Jenderal M Saboer yang merupakan Komandan tertinggi Tjakrabirawa. Maulwi punya tangung-jawab atas keselamatan Paduka Jang Moelia Sukarno.

G 30 S 1965 kemudian menjadi hal buruk bagi Maulwi. Banyak orang Tjakrabirawa kena sial. Karena yang terlibat dalam penculikan para jenderal adalah pasukan Tjakrabirawa. Meski hanya sekitar 60 Tjakra yang berasal dari Jawa Tengah, batalyon 454 raider, yang merupakan bekas pasukan Letkol Untung di Jawa Tengah. Komandan Tjakra, Brigjen Saboer kemudian meninggal di tahanan. Beruntung Maulwi dikaruniai umur panjang. Beruntung juga saya bisa bertemu dengannya sore ini (9/11/2011).

Pada Maulwi, saya mengaku saya menulis sebuah pleidoi kecil untuk Tjakrabirawa. Dimana memang hanya 60 orang Tjakra saja yang terlibat. Tapi akibatnya, 3000 anggota Tjakra harus bernasib malang karena mereka tidak lagi jadi pengawal Sukarno. Mengawal pemimpin Besar Revolusi adalah kebanggan, jadi banyak mantan Tjakra yang bersedih. Tjakrabirawa sempat dianggap sesuatu yang tabu diceritakan di masa orde baru, walau Tjakra sebagai korps tidak pernah pernah terlibat dalam G 30 S. Hanya ke-60 pasukan Tjakra pimpinan Untung sajalah yang terlibat. Paspampres, belakangan sudah mengakui keberadaan Tjakranirawa sebagai bagian dari sejarah Paspampres sebagai pasukan pengaman presiden.Begitu berita gembira sang kapten kepada saya. Sebelumnya, saya pernah membaca di sebuah buku tentang Paspampres yang juga terbitan pemerimtah, sama sekali tidak menyebut paspampres. Bagi saya ini benar-benar menjijikan. Beruntung hal menjijikan itu sudah selesai.

Ketika saya singgung kalau G 30 S adalah konflik internal AD, sang kapten tampak sepakat. Setidaknya, teori Ben Anderson dan Ruth McVey dalam analisis awal tentang G 30, yang dikenal sebagai Cornell Paper, itu mendapat dukungan. Saya pribadi mendukung teori itu.

Menyanangkan sekali bisa berbicara sedikit dengan sang kapten. Maulwi masih aktif dalam kehidupan sosial. Maulwi membangun sebuah sekolah di daerah Kemang. Saya lupa namanya. Selain pada sepakbola, Maulwi juga peduli pada pendidikan anak-anak Indonesia. Sebagai rasa hormat saya, Sang Kapten saya hadiahi buku terakhir saya, Sejarah Tentara.

Benar-benar sebuah kebetulan. Baru saja, saya cicipi Es Pisang Ijo khas Makassar, akhirnya saya bertemu orang hebat dari kota Makassar. Sang kapten timnas. Maulwi seolah ditakdirkan menjadi seorang kiper. Pertama di lapangan bola memastikan gawang tidak dibobol lawan. Kedua diluar lapangan dia harus menjaga keselamatan Pemimpin Besar Revolusi, Presiden Sukarno.

Salut buat Sang Kapten… Kebetulan besok Hari Pahlawan, tulisan ini juga saya dedikasikan untuknya bersama pahlawan lain dari berbagai medan seperti Kakaknya, Emmy Saelan, Wolter Monginsidi dan lainnya. Senang bertemu Sang Kapten.

Barang Usang Bernama Peradaban

Beradab, ternyata hanya pembeda usang warisan era kolonial. Ternyata, akademisi Indonesia yang Nasionalis pun masih ada jiwa orientalismenya.

Lagi-lagi mendengar pernyataan konyol hari ini. Seorang akademisi bilang kalau Papua gagal “diberadabkan”. Si akademisi memang berjilbab. Sebagai manusia, saya merasa terganggu dengan kalimat tersebut. Arti dari pernyataan itu jelas menyudutkan semua orang Papua. Ini gila.

Keberagaman yang terkandung dalam Bhineka Tunggal Ika jelas cuma omong-kosong. Apalagi si akademisi yang punya pernyataan tadi adalah orang bayaran pemerintah alias PNS. Dan rakyat Papua juga ikut bayar gaji mereka juga. Benar-benar tidak berilmu dan tahu malu.

Tidak lama setelah pernyataan bodoh itu terucap, saya bertanya pada seorang Arkeolog senior, Bambang Budi Utomo, disela-sela makan siang gratis di sebuah Hotel di Palembang. Padanya, saya bertanya apa ukuran dari peradaban? Saya lupa kalimat tepatnya, hanya yang saya tangkap adalah manusia dikatakan beradab ketika mengenal tata kehidupan. Apapun bentuknya. Ketika saya berkomentar jika peradaban bukan masalah level, Arkeolog senior kita mengamininya.

Lebih lanjut, Arkeolog kita menjelaskan peradaban alias Civilization, itu berasal dari pandangan orang-orang Barat ketika Orientalisme Berjaya lebih dari seabad lalu. Sekitar abad XIX. Maksudnya, tak lain untuk membedakan orang Eropa, yang levelnya lebih tinggi, dengan orang-orang Timur yang kala itu banyak menjadi korban dan budak eksploitasi bangsa Barat yang kolonialis. Artinya kata civilization adalah pembeda gila yang menyatakan bahwa manusia itu bertingkat.Dimana yang mirip dengan baratlah yang beradab dan yang tidak mirip dengan barat adalah tidak beradab. Ini jelas bertentangan dengan Firman Tuhan—yang menyatakan bahwa semua manusia adalah sama.

Ternyata, pandangan barat soal civilization tinggalan kaum orientalis masih pula dianut oleh akademisi Indonesia. Tidak termasuk saya tentunya. Pandangan usang itu masih ada dalam pembelajaran di sekolah. Dimana pola pikir, tingkah laku dan lainnya haruslah sesuai dan berdasar apa yang berlaku di barat. Ya, harus diakui kita tidak akan dianggap rapi jika tidak memakai kemeja, celana bahan dan sepatu kantoran yang sering dipakai hampir semua orang barat di abad lalu.

Orang Indonesia memang jago meniru agar terlihat sama dengan penjajahnya. Sebuah pendidikan karakter yang gagal.

Baik, kita kembali ke orang-orang Papua. Adalah salah jika kita anggap orang Papua tidak beradab karena mereka memakai koteka. Orang berpakaian biasanya menyesuaikan kondisi alam. Bukan sekedar ikut trend atau ideologi seperti manusia modern dewasa ini. Jika laki-laki Papua merasa nyaman pakai koteka, ya biarkan saja. Itu tidak akan mempengaruhi hidup mati orang lain. Itu perkara pilihan.

Kita semua tahu, hidup orang Papua asli begitu bersahaja. Mereka hanya ingin babi dan ubi untuk dimakan. Bukan uang. Bukan pula KTP. Orang Papua tidak butuh mall layaknya orang Indonesia yang konsumtif macam saya. Mereka cuma butuh hutan yang tidak terkontaminasi oleh industri. Hutan yang diciptakan Tuhan untuk manusia. Di hutan, mereka akan hidup, makan, berbahagia dan bersatu dengan Alam juga Tuhan.

Rasanya, kita harus menyanyikan lagu dari Slank tentang orang Papua. “Aku gak butuh uang ribuan….Asal ada ubi untuk kumakan. Asal ada babi untuk kupanggang, aku cukup senang.” Rasanya, itu akademisi harus hidup bersama orang Papua yang sederhana dan bersahaja. Racun orientalisme gaya baru begitu kuat di kepalanya meski tidak menyadarinya. Orientalisme gaya baru yang saya maksud adalah menganggap orang yang berbeda dengan kita sebagai orang yang kurang beradab. Biarkan saja orang lain dengan pilihannya. Orang Papua juga sama dengan kita semua, meski punya gaya hidup yang berbeda dengan kita. Tidak ada yang salah dan rendah dengan apa yang mereka jalani di hutan-hutan Papua. Menjadi modern atau tradisional adalah pilihan.

Selasa, November 08, 2011

Kota Yang Jarang Disebut

Kota ini jarang disebut dalam sejarah Indonesia, juga sumatra. Tapi, tetap kota ini eksis dan tumbuh sebagai kota yang harus dilalui.

Ketika menginjakan kaki di kota ini (6/11/2011), Museum kebanggaan provinsi Lampung itu, sedang di renovasi, selama sebulan lebih. Itu adalah kesialan luar biasa bagi pejalan seperti saya. Artinya, saya tidak bisa nikmati wisata historis di kota ini. Hanya sampel rumah adat dan lumbung khas Lampung saja yang bisa dilihat.[1] Lebih sial daripada didamprat Paspampres di depan istana Negara.

Nama Lampung cukup jarang disebut dalam sejarah nasional. Tidak ada Lampung lautan api seperti di Bandung atau peristiwa semacamnya. Namun, ada pahlawan kebanggaan Lampung bernama Raden Inten. Sayangnya sejarah nasional Indonesia seolah tidak ruang untuk menuliskan soal perlawanan Raden Inten.[2] Yang barangkali tidak kalah heroiknya dengan Diponegoro di Jawa atau Basse Kajuara di Sulawesi Selatan. Konon, katanya ada makam raja Majapahit juga di Lampung? Entahlah, saya tidak bisa meyakininya.

Letusan Gunung Krakatau 1883, tidak akan lepas bagi sejarah Lampung, juga Banten—yang terpisah dari Lampung oleh Selat Sunda. Dimana Anak Krakatau membisul ditengah selat itu. Ada rambu2 laut yang terhempas sampai daratan Telukbetung. Betapa dasyat letusan itu. Di Indonesia, hanya letusan Toba Purba dan Tambora saja yang menyainginya. Gambaran letusan itu tergambar dalam filmKrakatoa buatan orang Belanda.[3] Juga sebuah buku tulisan Simon Winchester, Krakatoa.[4] Baik buku maupun film, menurut saya keduanya sangat bagus.

Dari cerita kawan, Bandar Lampung, dulunya disebut Tanjungkarang. Dimana sebuah stasiun kereta-api berdiri. Dimana jalur tua kereta-api di selatan Sumatra itu bermula. Sepertinya, pemerintah colonial anggap kota ini penting bagi Sumatra suatu hari kelak. Beberapa bangunan tua tampak masih kokoh dengan penampilan warna yang tampak baru. Namun, seperti kota lain juga, beberapa bangunan tua pasti juga tersulap oleh bangunan baru. Kota dan bangunannya adalah yang paling cepat berubah.

Soal bagaimana kota ini sekarang, kota ini sedang termodernisasi. Prilaku urban warganya adalah hal yang bisa dimaklumi. Seperti juga kota-kota lain di Indonesia. Bisa dibilang kota ini cukup heterogen. Banyak etnis hidup dalam kota dan sekitarnya. Pengguna bahasa Indonesia cukup baik jumlahnya dikota ini, meski beberapa menggunakan sedikit dialek Palembang atau Jakarta.

Satu hal penting yang teringat di kepala saya adalah, Lampung adalah daerah tujuan transmigrasi sejak jaman kolonial Hindia Belanda. Pastinya setelah politik etis dingiangkan. Migrasi, yang berupa transmigrasi, telah membuat banyak komunitas Jawa hidup di Lampung hingga saat ini. Ini karena pemerintah colonial gerah dengan kepadatan Jawa. Harapan pemerintah kolonial juga agar kolonialisasi di Lampung terbantu oleh para transmigran.

Peristiwa Talangsari 1989, juga peristiwa penting di Lampung, meski tidak banyak orang yang mau menyebut soal peristiwa itu. Talangsari, adalah salah satu hal yang membuat Lampung diketahui orang luar. Selain letusan Krakatau atau koloni transmigrasi pertama di Indonesia. Selebihnya, yang berasal dari Lampung adalah kopinya, kripiknya, juga Kangen Band—sebuah band peramai dunia musik Indonesia, band pengusung aliran musik yang rajin dihujat Rolling Stone Indonesia dan pengikutnya.

NB

[1] Rumah khas Lampung seperti rumah adat etnis-etnis di Indonesia yang lain. Sebuah rumah panggung, dari kayu dan juga tahan gempa. Mungkin punya banyak keunggulan lain.

[2] Nama yang terabadi sebagai nama Bandara dan kampus Universitas Islam Negeri di Lampung.

[3] Film ini sepertinya dibuat di Suriname, karena adanya kesamaan kultur dan geografis yang agak mirip sebagai sama-sama bekas koloni Kerajaan Belanda. Ada film lain berbahasa Indonesia yang bersetting tentang Krakatau. Sebuah film silat Indonesia yang dimainkan Dicky Zulkarnaen yang kesohor karena perannya sebagai Pitung, dalam beberapa film tentang Pitung.

[4] Buku ini sepertinya menjadi acuan bagi pembuatan film Krakatoa.