Sabtu, Juli 07, 2012

Kenang-kenangan Pangeran Aria Ahmad Djajadiningrat

Dia tergolong sebagai orang Indonesia yang menuliskan memoarnya. Sudah pasti, Achmad Djajadiningrat bukan orang sembarangan di masa lalu, di awal abad XX lalu.


 Djajadiningrat, dari nama keluarga inilah muncul beberapa orang berpengaruh pada awal pergerakan nasional. Beberapa Djajadiningrat itu menjadi orang berpengaruh dalam pergerakan. Seorang menjadi doktor Indologi di Negeri Belanda, seorang menjadi tokoh berpengaruh gerakan Sarekat Islam di Banten, dan yang tertua mengikuti jejak ayah mereka, menjadi bupati dikemudian hari.
Ayah dari orang-orang yang menyandang nama Djajadiningrat itu, adalah priyayi maju yang nmelahirkan priyayi baru di Jawa. Walau begitu, ayah mereka tetap berusaha tunduk pada tradisi dan selektif dalam menerima pengaruh luar.
 Ayah mereka, yang bupati Banten itu, sebenarnya menolak penggunaan nama Djajadiningrat sebagai nama keturunannya. Namun anak tertuanya, Achmad menggunakan nama belakang Djajadiningrat menjelang ujian akhir di HBS Batavia. Belakangan nama itu dipakai oleh adik-adiknya seperti Husein, Hasan, Lukman dan lainnya. Anak tertua inilah yang paling berpengaruh dalam keluarga (Djajadiningrat) setelah wafatnya ayah mereka.
Achmad si sulung-lah yang pertama kali mendukung perubahan di tanah Banten yang bernajak modern. Gerakan Sarekat Islam masuk di Banten bahkan diberi ruang yang cukup berarti oleh Achmad, walau Achmad tidak aktif dalam organisasi pergerakan itu. Achmad justru aktif dalam organisasi lain yang mengantarkannya sebagai anggota Volksraad. Sebagai bupati dan anggota Volksraad-lah Achmad memainkan peran-nya dalam peregerakan.        

Bupati Moderat
Keluarga priyayi macam Djajadiningrat di Banten, disamping Wiranatakusuma dan Kusumo Utoyo tergolong sebagai keluarga bupati liberal pada awal dilaksanakannya politik etis.[1]
            Posisi sebagai priyayi, memungkinkan anak-anak mereka duduk dalam birokrasi.Setelah lulus dari HBS Batavia, Achmad, anak sulung dari keluarga Djajadiningrat itu—bekerja pegawai kolonial. Karirnya itu dimulai dengan magang pada tahun 1889. Karir Achmad terus meningkat hingga menjadi bupati menggantikan ayahnya. Achmad pernah bertugas di Bodjonegoro sebagai asisten wedana (27 Juli 1900-4 Juli 1901). Setelah itu, sejak 1901, dia menjadi bupati di Banten(Serang) menggantikan ayahnya. Achmad pernah ditunjuk menjadi bupati Batavia—jabatan yang disandangnya sejak 1924 sampai 1929.[2]
            Semasa Achmad menjadi Bupati, Sarekat Islam yang belum lama beerdiri masuk ke Banten, dari Achmad—yang saat itu telah menjadi bupati—SI mendapat sambutan positif. Hal ini sungguh berbeda dengan daerah lain, dimana para pejabat pribumi agak takut dengan perubahan yang akan dibawa oleh SI di daerah mereka. Adik Achmad, Hasan Djajadiningrat, kemudian juga menjadi tokoh SI yang cukup berpengaruh di Banten sampai akhir hayatnya.[3]
            Masa-masa Achmad Djajadiningrat menjadi pegawai kolonial bukan hal biasa penindasan tuan tanah terhadap petani yang menggarap tanah. Hal macam ini adalah warna yang nyaris dominan dipergantian abad XIX ke XX itu.
            Mengenai kekejaman tuan tanah swasta, Ahmad Djajadiningrat, bupati Serang sejak 1901-1927, pernah mengunjungi tanah partikelir di Cikande. Ketika rombongan Ahmad datang, tidak ada yang menyambutnya sama sekali, berbeda dengan sikap penduduk di daerah lain. Hal yang tidak lazim pada masa itu dan sekarang. Bila jumlah cukai dan kontingenten demikian besar sehingga penduduk merasakannya diluar batas, yang sering terjadi adalah ribuan penduduk tanah partikelir akan mendatangi kantor resident, hampir dapat dipastikan mereka datang dari tanah partikelir.[4]
            Banyak para priyayi yang peduli pada penderitaan kaum miskin disekitar dalem (tempat tinggalnya)nya. Kebanyakan mereka tampak tidak peduli, jarang kepedulian priyayi itu ditampakkan. Achmad Djajadiningrat-pun begitu, kondisi mungkin sudah terlampau parah, hingga membuat Achmad Djajadiningrat mengeluh.
            Sebelum terjadi pemebrontakan PKI tahun 1926, Ahmad Djajadiningrat sudah memperingatkan tentang gawatnya keadaan kaum miskin daerah pinggiran Betawi.Orang-orang miskin itu kekurangan makan, tinggal berjubel dipondok-pondok tanpa ventilasi.[5]
Ahamd Djajadiningrat, sejak didirikannya Volksraad tahun 1918 tergolong anggota yang aktif berpolitik. Achmad Djajadiningrat duduk di Volksraad mewakili NIVB—(Nederlandsche Indische Vrijzennige Bond) organisasi yang  berdiri tahun 1916 yang mewakili orang-orang konservatif.[6]
            Achmad begitu tertarik pada NIVB pada tahun 1917, karenanya tahun itu juga dia bergabung.[7] NIVB akhirnya mengantarkannya measuk Volksraad—didukung popularitas Achmad sebagai Bupati terpandang didekat Batavia diawal abad XX itu.
            Azas yang dirancangnya untuk NIVB, seperti juga yang dituntutnya dalam sebuah mosi bersama Cokroaminoto, menjadi dasar pijakan sekaligus agennda kerjanya sebagai anggota Volksraad.
“Didalam tanah Kerajaan Nederlandsche (Nederlandsche Wereldrijk) hendaklah Indonesia berdiri sendiri (politik autonome eenheid) yang sama haknya dengan tanah-tanah lain yangberdiri sendiri didalam kerajaan itu. Segala keperluan kerajaan harus diatur oleh satu Dewan Kerajaan (Rijksraad). Didalam Dewan Kerajaan itu haruslah orang Indonesia mempunyai wakil yang sama haknya dengan wakil tanah-tanah lain yang berdiri sendiri (autonoom) didalam kerajaan itu. Sekalian bangsa Indonesia di dalam wet. Kebebasan didalam bergerak, kemerdekaan didalam berkata-kata, pendeknya pada umum adalah ialah segala hak yang ada pada penduduk yang merdeka, haruslah diberi kepada bangsa Indonesia, kecuali bila kemerdekaan itu mesti dibatasi karena menggangu peri keamanan umum….Rancangan…itu menetapkan pula aturan membagi tanah autonoom menjadi provinsi-provinsi, serta menetapkan pemerintahan provinsi itu; menetapkan pemerintahan local gebeid (regentschaap, gemeente, dan lain-lain).[8]
                          
Bersama Cokroaminoto, Achmad sebagai anggota Volksraad diakhir tahun 1918, mengeluarkan mosi yang menghendaki wewenang penuh parlemen bagi volksraad dengan kontrol anggaran dan tanggung jawab kepala departemen da bukan langsung pada Gubernur Jenderal. Mosi itu juga menghendaki jaminan atas kelanjutan desentralisasi dan dikuranginya peran Raad van Indie sekedar sebagai penasehat Gubernur Jenderal. Lebih lanjut, mosi itu menghendaki hak interpelasi bagi anggota-anggota dewan. Sebuah komisi perubahan dan interpelasi—Herzieningscommissie—dibentuk berdasar surat keputusan pemerintah no. 1 tertanggal 17 Desember 1918. Komisi tersebut lalu menyusun rancangan desentralisasi. Kerja komisi ini berhasil meredakan mosi anggota dewan yang kemudian dicabut dengan tenang oleh Cokroaminoto, Cipto Mangunkusumo dan Achmad Djajadiningrat.[9]
            Agenda Achmad itu, sangatlah hebat untuk seorang moderat—yang tidak luput disebut konservatif. Apa yang juga  menjadi buah pikirannya itu, adalah langkah yang cukup radikal bagi perubahan  Hindia Belanda. Suara Achmad Djajadiningrat bersama Cokroaminoto, Cipto Mangunkusumo dan lainnya itu memang terlupakan dalam sejarah Indonesia. Tuntutan macam tadi,nyaris tidak pernah dibicarakan orang, kecuali Petisi Soetardjo 1938—tigapuluh tahun setelah mosi Achmad cs dikeluarkan.  
Achmad Djajdiningrat juga menuntut kesetaraan dari pemerintah kolonial dalam posisi pemerintahan baik sipil maupun militer. “Jabatan Negeri, baik sipil ataupun militer, kata Achamd dalam mosi-nya, akan dilakukan oleh bangsa Indonesia. Jika kekurangan bangsa Indonesia, barulah diambil bangsa-bangsa lain dari tanah autonoom yang lain dalam kerajaan.”[10]
Dikalangan Pergerakan, Achmad tergolong senior. Dirinya tidak dekat dengan Boedi Oetomo—yang sekarang diagung-agungkan sebagai tonggak kebangkitan Nasional itu. Usia dan posisinya dalam struktur birokrasi kolonial—sebagai bupati dan anggota Volksraad—membuat Achmad berpengaruh. Pengaruh besar itu, setidaknya terasa bagi orang pergerakan macam Husni Thamrin—yang ayahnya pernah jadi wedana seperti Achmad sebelum menjadi bupati. Bagi Thamrin, yang masih muda,Achmad Djajadiningrat itu adalah mentor dalam perpolitikan di Hindia Belanda. Setelah berdinas lebih dari tiga dekade, Ahmad Djajadiningrat akhirnya pensiun pada tahun 1933.[11]
Achmad Djajadiningrat pernah menjadi delegasi Belanda dalam konferensi buruh Internasional (Arbeidsconferentie) di Jenewa, Swiss. Posisi Achmad yang matang di Hindia dan mengerti kondisi sosial kaum miskin pribumi mendudukannya sebagai penasehat teknis (technisch adviceur)dalam delegasi Belanda itu.[12]
            Dimata sebagian kaum muda pergerakan, Boedi Oetomo, Achmad dianggap sering memandang sebelah mata pada kaum muda lulusan STOVIA—School tot Opleiding voor Indische Artsen, sekolah dokter pribumi—tiap kali berpapasan. Suatu kali salah satu lulusan STOVIA, yang merasa diremehkan itu, menyindir Achamd secara halus. Achmad-pun lalu minta maaf. Dilain kesempatan, seorang lulusan STOVIA yang lainnya menyindir dengan kasar pada Achmad, “Tuan menjadi Regent (bupati) karena karuania Tuhan, tetapi saya telah menjadi dokter karena kekuatan dan kemauan saya saya sendiri.[13]

Willem van Banten.
            Ahmad Djajadiningrat terlahir pada 16 Agustus 1877, di desa Kabayan, Pandegelang, Banten. Saat itu ayahnya belumlah menjadi seorang bupati. Ketika Ahmad masih kecil ayahnya adalah seorang wedana di Kramatwatu.[14]
            Sebagai putra Banten yang lahir sebelum pergantian abad, Achmad yang baru berusia 6 tahun ikut menjadi saksi letusan Gunung Krakatau (1883)yang dasyat itu. Dalam Memoar-nya, yang dibuat setelah pensiun dari jabatan anggota Dewan, Achmad menceritakan kejadian menyeramkan itu juga. Peristiwa penting lain yang terjadi di Banten saat Achmad masih kecil adalah pemberontakan Petani Banten (1888), saat Achmad sebelas tahun dan duduk di sekolah dasar.[15]
            Ketika masih bocah, Ahmad dimasukan ayahnya ke pesantren. Bocah itu harus mengalami transisi pertama, berpisah dari ibunya di rumah wedana yang sedianya nayaman.
“Upacara itu dimulai. Anak bangsawan Banten itu dicukur rambutnya, sampai gundul. Ibundanya sendiri yang melakukannya.Didekatnya, seorang membacakan kitab Abda’u. Begitu rampung, si bocah diganti pakaiannya. Ia kini harus mengenakan sarung kasar, baju sang-sang putih tanpa kancing—hingga dadanya selalu terbuka—dan dikepalanya dipasang selingkar destar bersahaja. Si Achmad, cucu bupati Pandeglang Raden Adipati Aria Natadiningrat, harus pergi dari rumahnya untuk jadi santri. Ini terjadi sekitar tahun 1880an….Bapaknya, wedana di Kramatwatu, menekankan agar putranya diperlakukan sama dengan para santri lain—anak-anak dusun.”[16]

Banyak hal yang ditemui Achmad di pesantren, hanya kepada Achamd saja para santri lain mengolok kaum priyayi dan pegawai kolonial lainnya, mungkin saja karena dia satu-satunya anak priyayi disitu. Kondisi pesantren dan rumah ayahnya yang berbeda, setidaknya, membuat Achmad tertekan. Pembimbing santri-nya pernah bilang padanya, saat Achmad melafalkan kata-kata Arab,”Kamu tidak akan dapat mempelajari ini! Karena perutmu penuh dengan nasi haram!”. Saat itu, di Banten yang relijius, gaji dari pemerintah kolonial adalah haram. Di Pesantren, yang kala itu masih anak wedana, memperoleh dera atas apa yang dikerjakan orang tuanya—sebagai pegawai kolonial yang umumnya dibenci kaum santri.[17]          
Tidak menutup kemungkinan, kondisi yang dialaminya ketika kecil mempengaruhi langkah-langkah politis dan pembelaannya terhadap kaum miskin kota ketika dirinya menjadi Bupati Batavia. Thamrin sejalan dengan priyayi baru satu ini.
Tekanan Achmad nyaris tanpa akhir dimasa pertumbuhannya dimasa kanak-kanak. Lepas dari pesantren, lepas dari olokan anak dusun sebangsanya, Achmad yang memmulai pendidikan sekulernya ekharus berhadapan dengan anak-anak Eropa yang lebih jago mengejek. Lepas dari perang kelas di pesantren, Achmad harus ditekan bocah-bocah rasis di sekolahnya, saat sekolah di Europe Lager School—SD paling elit sebelum dan sesudah ada Hollandsche Indlandsche School di tanah Hindia.
Untuk bisa diterima di Hogare Burgere School (HBS) Batavia,  Ahmad memakai nama Willem van Banten, agar terkesan Belanda dimata murid-murid lain yang rasis dan memiliki rasa sentimen pada orang-orang pribumi—walaupun orang pribumi itu adalah dari golongan ningrat.[18]
Mengenai rasisme Kolonial Hindia, Achmad menulis dalam memoar-nya,”Kruseman tidak suka bila pecah kabar…disekolahnya ada murid anak bumiputra. Mula-mula saya masuk sekolah…dia berkata ‘mulai hari ini namamu bukan Achmad lagi melainkan Willem van Banten.” Achmad tentu tidak kuasa menerima pembaratan Kruseman itu. Dirinya harus terima nama baru itu, itulah jalan yang harus ditempuhnya untuk terus bisa bersekolah.[19]
Disekolah Achmad menyadari bahwa orang pribumi digolongkan sebagai orang lemah, Sickman Asia. Achmad tergolong sebagai minoritas di sekolah—yang baru sedikit jumlahnya juga murid pribuminya.
Tentang pergaulannya di sekolah, Achmad juga melakukan kenakalan remaja—yang dianggap lumrah bagi remaja seusianya masa itu. Achmad dan kawan-kawan Eropanya dikepung polisi ketika mengganggu gadis-gadis Eropa seusianya. Buntutnya, Achmad dan kawan-kawannya—semuanya Eropa kecuali Achmad—harus berurusan dengan polisi dan asisten residen. Kejadian itu dipicu oleh mitos dikalangan anak-anak Eropa bahwa anak pribumi selalu ketinggalan, termasuk dalam melakukan kenakalan macam tadi. Dihari tuanya Achmad menulis mengapa ia bisa terlibat dalam kenakalan itu.
“Saya telah Insyaf bahwa bangsa Eropa terutama kawan-kawan disekolah saya, agak menghinakan diri saya, karena saya hanya orang bumiputra saja. Oleh karena itu timbullah angan-angan dalam kalbu saya akan menunjukan pada sekalian orang, bahwa saya tidak sekali-kali ketinggalan tentang apapun juga dari mereka itu.”[20]

Achmad berusaha bangkit dari ketertinggalan orang pribumi, seperti mitos kawan-kawan Eropa-nya, dia berhasil ujudkan angan-angannya tadi. Walau dengan kenakalan sekalipun.
Achmad Djajadinningrat menjalani pensiun setelah menjabat anggota Raad van Indie pada tahun 1932, jabatan itu sebelumnya hanya diisi orang Eeropa. Snouck Hurgronje, adalah pembimbing Ahmad dan adik-adiknya dalam berproses menjadi orang modern Hindia. bersama Snouck, Ahmad dan adik-adiknya berhasil melewati prasangka orang-orang pribumi maupun kulit putih.[21]
Balai Pustaka pernah ikut membantu menterjemahkan buku untuk diterbitkan oleh Firma G. Kolff & Co di Batavia. Buku iut adalah  Kenang-kenangan Pangeran Aria Ahmad Djajadiningrat—aslinya berbahasa Belanda dengan judul Herinneringen van Pangeran Aria Ahmad Djajadiningrat—tahun 1936.[22] Dalam buku ini kita bisa membaca kondisi Banten masa kolonial, menurut kacamata seorang Achmaad Djajadiningrat.
            Bagi para bangsawan tidak merdeka diawal abad XX, termasuk Achmad Djajadiningrat, akar dari keksatrian adalah kepatuhan pada Ratu (Belanda) yang mengusai btanah Hindia Belanda—termasuk juga Banten dimana Achmad menjadi penguasa tradisionalnya. Achmad begitu hormat pada Ratu—kala itu adalah Ratu Wilhelmina—karena hormat Achmad menyebutnya dengan kata Zij—Ia dengan huruf kapital besar pada huruf pertama.[23]
            Bagaimanapun, Achmad adalah orang yang skeptis pada pemerintah kolonial kendati dia tergolong moderat—juga dianggap koperatif sebagai orang pergerakan yang setia dijalurnya—dia tidak sepenuhnya percaya pada pemerintah kolonial dikemudian hari. Dalam sebuah artikel Darmo Kondo edisi tanggal 12 Januari 1934, Achmad berkata

“Saya tidak berharap pertolongan apapun dari negeri Belanda agar Indonesia keluar dari krisis yang dialami dewasa ini. Untuk dukungan semacam itu Belanda terlalu memusatkan pada kepentingannya sendiri, dengan demikian mereka akan melanjutkan apa pun yang dapat diambilnya dari koloni.”[24]

Memang, dimanapun didunia ini, kaum penjajah dalam sejarah hanya mengambil apa saja dari objek yang dieksploitasinya dengan berbagai cara. Di negara koloni, prioritas pertama untuk negara induk dan berikutnya baru untuk pribumi, bila memungkinkan penguasa kolonial itu. Itulah mengapa Achmad Djajadiningrat tidak mau berharap banyak pada pemerintah kolonial di Hindia Belanda.



[1] Bob Hering. M.H. Thamrin and His Quest For Indonesian Nationshood, ab. Harsono Soetedjo, M.H. Thamrin: Membangun Nasionalisme Indonesia, Jakarta, Hasta Mitra, 2003. h. 174n.
[2] P. Swantoro, Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu, Jakarta, KPG, 2002. h. 60.
[3] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta, LP3ES, 1996. h. 229.
[4] Parakitri Simbolon, Menjadi Indonesia, Jakarta, Kompas. 2006. h. 494.
[5] Bob Hering., h.71.
[6] Ibid. h. 83-85.
[7] Achmad Djajadiningrat, Herinneringen van Pangeran Aria Ahmad Djajadiningrat,ab Balai Pustaka, Kenang-kenangan Pangeran Aria Ahmad Djajadiningrat, Batavia, Kolff-Bunning-Balai Pustaka, 1936. h. 392.
[8] Ibid. h. 393
[9] Bob Hering., h. 83-85
[10] Achmad Djajadiningrat, h. 393.
[11] Bob Hering., h.232.
[12] Parakitri Simbolon, h. 722.
[13] Achmad Djajadiningrat, h. 304: Parakirti Simbolon, h. 540-541.
[14] Achmad Djajadiningrat, h. 1-2.
[15] P. Swantoro, Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu, Jakarta, KPG, 2002. h. 60.
[16] Gunawan Muhamad, Kenangan Pangeran Achmad Djajadiningrat, dalam kumpulan esai  Catatan Pinggi, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1997. h. 278-279: Tempo 1 November 1980.
[17] Ibid.
[18] Achmad Djajadiningrat, h. 87.
[19] Ibid.
[20] Ibid., h. 100.
[21] P. Swantoro, h. 62-63.
[22] Ibid., h. 57.
[23] Gunawan Muhamad, loc. cit.
[24] Bob Hering., h. 232.

Thamrin Muhamad Thabrie: Pembuka Jalan Husni Thamrin


Sejarah pergerakan nyaris tidak mengenal Thamrin Muhamad Thabrie, sejarah pergerakan lebih sering mencatat nama Muhamad Husni Thamrin. Thamrin Muhamad Thabrie, adalah sosok ayah yang memberi jalan pada putranya duduk dalam anggota Dewan Kota batavia, dengan pengaruhThabrie yang terpandang di Batavia .

Thamrin Muhamad Thabrie adalah tokoh Betawi dimasa awal-awal pergerakan. Thamrin yang dibesarkan pamannya ini sebagai orang Islam ini memiliki jiwa sosial dengan beramal dihari tuanya. Kedudukannya yang terpandang serta kekeyaannya yang melimpahkan telah diusahakan agar berguna bagi masyarakat sekitarnya. Jiwa sosial Thamrin tidak hanya dia yang miliki dalam keluarga, Husni Thamrin juga mewarisi jiwa sosial sang ayah yang dia bawa dalam pergerakan nasional.
Dialah pria yang membesarkan Husni Thamrin. Ayah dari Husni Thamrin ini semasa menjadi wedana Batavia, pernah berhubungan dengan Tirto Adi Suryo, Bapak Pers Indonesia, dalam sebuah organisasi bernama Sarekat Prijaji.

Wedana Batavia yang Moderat
Tidaklah sepenuhnya pribumi murni kendati dia dikenal sebagai tokoh Betawi terpandang dizamannya. Dia terlahir dari rahim Noeraini, seorang Nyai yang dipelihara oleh Ort, seorang seorang pengusaha berkebangsaan Inggris di Batavia. Tidak ada catatan atau sekedar keterangan bahwa Ort menikahi Noeraini. Hasil dari hubungan itu, melahirkan Thamrin Muhamad Thabrie[1] Tidak diketahui nama kecil Thamrin Muhamad Thabrie yang diberikan oleh ayah kandungnya sebagai bocah keturunan Eropa. Thamrin lahir 10 Sepetmber 1860 di Batavia.
Thamrin adalah anak dari keluarga terpandangnya, dia memiliki dua ayah yang sama-sama kaya dan terpandang dizamannya.
          Ort adalah pengusaha sukses di Batavia, ia memiliki hotel yang diberi nama sesuai nama, Hotel Ort, yang terletak di pinggir jalan raya Molinvliet barat, kawasan Petojo, Batavia (Jakarta sekarang). Dengan banyak koneksi yang memadai serta hotel Ort yang diapit dua hotel kelas atas macam Des Indes dan Molenvliet, maka keadaan keuangan Ort cukup baik dari hotelnya. [2]
          Ort bisa dianggap laki-laki yang tidak menghargai wanita pribumi dengan memelihara serta tidak menikahi Nyai Noeraini karena dalam pergaulannya dengan sesama orang Eropa, derajat wanita pribumi tidak sebanding dengan pria Eropa. Sebagai ayah, Ort sangatlah menyayangi anaknya, walau terlahir dari seorang Nyai yang tidak pernah dia hargai status sosialnya dan separuh pribumi karena warisan ibunya, Noeraini. Ort selalu memperkenalkan anaknya yang masih bocah itu kepada khalayak rekan bisnisnya sebagai pewaris tunggal atas usaha dan kekayaannya kelak. Untuk itu Ort berusaha melgalkan status anak darinyai-nya itu. Ort yang berencana untuk mengunjungi kampung halamannya, Inggris, juga membawa serta anaknya itu. Sayang, rencana itu bubar karena secara mendadak Ort meninggal, anak itu tidak pernah masuk golongan Eropa seperti harapan sang ayah kandungnya. [3]
          Setelah Ort meninggal Hotel Ort di Rijkwjk dikelola oleh Egbert C. Volkert. [4] Anak Ort dari Nyai-nya yang baru 10 tahun itu kehilangan ayahnya yang akan menjadikannya terpandang dan setara dengan orang-orang Eropa, kendati darah separuh pribumi mengalir juga dari tubuhnya.
Setelah kematian ayah kandungnya Thamrin Muhamad Thabrie diambil anak oleh  Muhamad Thabrie, paman dari pihak ibu yang kebetulan belum memiliki anak. Paman sejaligus ayah angkat bagi itu memberi nama Thamrin Muhamad Thabrie, nama yang mendekati nama pamannya, Thamrin lalu menjadi anak emas bagi pamannya.
Sang paman pernah menjadi pegawai di kewedanaan Pulau Seribu, Adjun Luar Biasa Penarik Pajak yang menunggak(1876), jaksa daerah Tangerang (1878) lalu jaksa Meester Cornelis/Jatinegara (1887). [5]
Thamrin mendapatkan nama Bibit setelah pamannya memiliki seorang anak kandung, nama yang terus melekat padanya, bahkan dalam pemberitaan pers sekalipun. [6]
Setelah dewasa Thamrin menjadi pegawai pangreh praja seperti pamannya.   Thamrin Muhamad Thabrie terbilang sukses dalam menjalani karir pegawai pangreh praja-nya. Ditahun 1894, saat kelahiran putranya Husni Thamrin yang kelak menjadi pahlawan Nasional, Thamrin MuahamadThabrie sudah memangku jabatan Adjund Hoofd Djaksa (wakil kepala Jaksa) di Laandraad (pengadilan untuk pribumi) distrik Batavia. [7]
          Kedudukan pegawai pangreh praja kolonial, nama Thabrie makin dipandang setelah keterlibatannya sebagai anggota juri dalam pengadilan yang diketuai Mr. Maarseven yang memvonis mati Alie alias Kecil, pembunuh Kingsma dan Meulemen serta melukai De Jongh Swemer pada bulan Mei 1902. [8] Sejak 3 Agustus 1906, Thabrin diangkat sebagaiCommandant District (wedana merangkap jaksa) Manggabesar. Sejak 1 Mei 1908, menjabat Wedana Distrik kota Batavia. Thamrin rupanya tidak disukai oleh pejabat Belanda, dalam catatan pinggir surat tertanggal: Buitenzorg (Bogor) 9 April 1906 (no. 7783/06) dari Sekretaris Negara kepada Resident Batavia, surat itu dilampiri surat pengaduan T. Klok, isinya adalah usulan agar Thamrin dipindahkan ke Tangerang. [9]
          Thamrin yang berasal dari keluarga kaya, mendapatkan warisan yang cukup besar, hingga dirinya menjadi hartawan. Dalam pemberitaanBintang Betawi edisi 14 Januari 1902:

"tiada satu gedong di Gambir yang boleh dibilang lebih bagus dari astananya......Semua perabotannya gilang-gemilang, kalau ditaksir harganya ada bilang belas ribu." [10]

Dengan kekayaan dari warisan itu pula, hal ini memungkinkan dirinya naik haji ke Mekkah. Tidak hanya dirinya, anaknya Abdillah Thamrin, adik Husni Thamrin yang setahun lebih muda, juga dibiayai untuk naik haji sekaligus menuntut ilmu agama Islam di Mekkah selama sebelas tahun. Thamrin Muhamad Thabrie juga telah mewakafkan tanahnya untuk masjid, dimana Abdillah ditunjuknya sebagai pengelola. Kendati begitu, keislamannya tidaklah fanatik, dia selalu membuka dirinya dari pengaruh modern. [11] Hal ini terbukti dengan disekolahkannya Husni Thamrin ke sekolah Bibel, sekolah yang seharusnya hanya diperuntukan kepada anak kristen saja. Pada Husni, Thamrin berkata:"orang Islam diperintahkan menimba pengetahuan dari ujung ke ujung bumi,"  tetap saja bagi kawan-kawan Husni kecil hal ini aneh, karenanya Husni di olok sebagai Anak Serani. [12]
 Sebagai ayah, Thamrin berusaha menyiapkan anak-anaknya untuk hidup mapan, menjadi pegawai pemerintah atau menikahkan putrinya dengan pegawai pemerintah dengan pengaruhnya sebagai mantan wedana Batavia. Husni Thamrin saja yang tidak menjadi pegawai pemerintah kendati pernah magang di kantor residen Batavia sebelum bekerja di KPM. Posisi Thamrin sebagai anggota Gemeenteraad (Dewan Kota) Batavia pada tahun 1919, tidak lepas dari campur tangan Thamrin senior. [13]

Gerak Terbatas Thamrin
Keterlibatan Thamrin Muhamad Thabrie dalam dunia pergerakan lebih banyak pada lingkup kecil, tentu saja jauh dari radikal.
Thamrin pernah melibatkan diri dalam pendirian Sarekat Prijaji bersama Tirto Adhi Suryo pada tahun 1906. Mengenai pendirian Sarekat prijaji itu, dalam Medan Prijaji Tirto menulis:

"sepulang kita dari bepergian itu....berembeug dengan beberapa tuan bangsa kita anak Hindia....Dan sepanjang mufakat....membikin satu Sarekat Prijaji....Maka segera juga kita mendirikan komite sementara....Yang bikin circulair di seluruh Hindia Olanda (Hindia Belanda) dengan bantuan semua surat kabar Melayu di Hindia Olanda." [14]

Berdasar surat edaran tahun 1906, Sarekat Prijaji adalah satu perhimpunan antara priyayi-priyayi dan bangsawan Bumiputra dan sebagai permulaan hanya dibuka di Betawi (Batavia) saja, sebelum cabang-cabangnya berdiri. Maksud tujuan perhimpunan ini adalah memberikan perhatian pada pendidikan anak-anak priyayi dan bangsawan dengan mendirikan Study fonds. Rencana kongkret Sarekat Prijaji adalah mendirikan rumah pemondokan yang menyediakan makanan bagi siswa-siswa yang sekolah di Batavia tetapi berasal dari luar kota dengan biaya semurah mungkin; mendirikan sekolah dasar (frobels Onderwijs) untuk memudahkan anak-anak untuk masuk sekolah Belanda; mendirikanHollandsche Cursus bagi anak-anak yang tidak mampu serta ditolak di sekolah Belanda; membantu pinjaman dana para siswa yang kurang mampu agar dapat lulus dan mendapat pekerjaan yang layak; menyediakan bea siswa bagi murid yang pandai tanpa ada pengembalian; menyediakan buku-buku berkualitas bagi siswa-siswa binaannya. [15]Tujuan utama Sarekat prijaji, berusuha memperjuangkan anak-anak Jawa agar memperoleh pendidikan Belanda. [16]
Dalam kepengurusan awal, tahun 1906, Raden Mas Prawirodiningrat menjabat sebagai presiden, Tirto Adhi suryo sebagai sekretaris dan Thamrin Muhamad Thabrie baru menjadi anggota. Saat itu, Thamrin masih menjadi Comandant District Manggabesar. [17] Setelah pemimpin teras Sarekat Prijaji meninggal dunia, Thamrin MuhamadThabrie diangkat sebagai presiden Sarekat Prijaji. [18]
Surat edaran tahun 1906 itu, ternyata mendapat sambutan cukup baik bagi khalayak ramai di Hindia Belanda. Ada 700 orang yang mendaftarkan diri menjadi anggota. Kepada setiap anggota baru itu dipungut iuran awal sebesar f 10,- bagi yang berpenghasilan f 100,- keatas, iuran itu bisa dicicil. Selain itu dikenakan pula kontribusi bulanan pada semua anggota sebesar f 0,5,- tiap bulannya. [19]
Sarekat Prijaji juga mendapat sumbangan dana sebesar f 1.000,- dari Raden Prawiradiredja, Bupati Cianjur. Dengan uang itu, sebuah buletin, Medan Prijaji, diterbitkan. Sayangnya, iuran anggota macet sehingga dan menyulitkan keuangan organisasi. Sementara itu, Medan Prijaji yang semula akan menjadi organ Sarekat Prijaji, keadaan sangat berbeda sekali. Medan Prijaji termasuk sukses kala itu. Banyak pembesar pribumi yang berlangganan dengan buletin ini. Medan Prijaji yang bertahan dari tahun 1907-1912, berusaha membuka diri tehadap keluhan-keluhan rakyat kecil terhadap perlakuan kalangan priyayi tinggi dan pegawai kolonial. [20]
Sarekat Prijaji tampil sebagai organisasi modern pertama yang menjadi kelinci percobaan sejarah pergerakan nasional. Organisasi ini tidak berlangsung lama kendati Tirto membuka keran sumbangan dana dari mana saja yang diumumkan secara luas. [21]
Jabatan yang dipangku Thamrin Muhamad Thabrie sebagai presiden Sarekat Prijaji sangatlah singkat, sehingga hal ini lebih bersifat eksperimen saja dan setelah itu tidak ada seorangpun anggota keluarga Thamrin, termasuk anakanya Husni Thamrin, masuk dalam Sarekat Islam. Keluarga keluarga besar Thamrin organisasi macam SI tidaklah mengesankan. Dibanding Tirto yang sering bepergian keluar Batavia untuk membangun jaringan organisasi atau sekedar mengadiri sebuah acara organisasi sosial, Thamrin sebelum tahun 1911 nyaris tidak mungkin meninggalkan Batavia karena posisinya sebagai pegawai pangreh praja. Sangat tidak layak bagi pegawai kolonial meninggalkan posnya hanya untuk organisasi sosial pribumi macam Sarekat Prijaji. [22]
Batavia dimasa Thamrin Muhamad Thabrie, bagi kaum intelektual pribumi, tidak lebih hanya daerah perawan dan jauh dari gerakan politik. Perbandingan kaum terpelajar Belanda dan pribumi di Batavia, kala itu seimbang,berbeda dengan Semarang, Solo, Yogyakarta dan Bandung. Dunia buruh kota Batavia berbeda dengan Semarang yang pada dekade 1910an telah menjadi sarang Banteng Merah. [23]
Setelah masuk masa pensiun, tahun 1911, kendati bukan Islam santri yang fanatik, Thamrin Muhamad Thabrie mendirikan badan amal bersama Abdillah, satu-satunya anak Thamrin yang menjadi santri setelah pulang dari Mekkah. [24] Usia Thamrin saat itu sudah tua, sekitar 50 tahunan. Seorang tua kaya terlibat dalam gerakan sosial keagamaan macam Thamrin tua bukan hal yang aneh lagi.
Ditahun 1916 menjadi seorang sponsor pendirian organisasi kedaerahan Kaoem Betawi, yang kemudian dipimpin oleh putranya, Muhammad Hoesni Thamrin. Kendati menjadi organisasi terpandang, organisasi ini tidak bisa sebesar organisasi nasional non kedaerahan.Kaoem Betawi dikemudian hari berfusi dengan Partai Bangsa Indonesia (PBI). [25]
Kondisi politik Batavia berubah setelah muncul Volksraad (Dewan Rakyat) ditahun 1918 yang disetujui parlemen dan Pemerintah di Negeri Belanda. Sebelumnya, tahun 1916, bersama putranya yang sudah bekerja di kantor KPM [26] Batavia, Husni Thamrin, bergabung padaKiesvereeniging Melajoe (perkumpulan pemilih Melayu) van Hinloopen Labberton. Saat itu Kaoem Betawi mulai aktif. Dalam perjalanannya organisasi ini memiliki program yang hampir sama yang menggabungkan aspek amal dan pendidikan, tentu saja masih dalam lingkup terbatas, regional Betawi saja. Organisasi ini selanjutnya dipimpin oleh Husni Thamrin dan Muhamad Masserie sampai tahun 1923, organisasi ini dibawah Thamrin juga mendapat pengakuan resmi dari pemerintah di Batavia. [27]
Kendati hanya memiliki darah separuh pribumi (Betawi), karena dibesarkan pamannya, Muhamad Thabrie, Thamrin tumbuh menjadi seorang Betawi Muslim terpandang. Kedudukannya yang mapan tidak membuatnya hanya berdiam diri ketika akan pensiun, sebelum pensiun dia telah terlibat dalam sebuah organisasi Sarekat Prijaji, yang berusaha memajukan pendidikan kaum pribumi. Hal ini bukan tanpa resiko, saat itu dirinya masih menjabat wedana. Di zaman kolonial, pernah ada seorang pegawai kolonial dipecat lantaran menjadi ketua klub sepakbola pribumi. Tidak menutup kemungkinan Thamrin akan mengalaminya, kendati hal itu tidak pernah terjadi. Keterlibatan Thamrin dalam pegerakan hanya sebatas lingkup tanah ibunya saja, Batavia karena pekerjaan Thamrin sebagai wedana tidak dapat ditinggalkannya.
Thamrin senior jelas tidak sekelas atau sekeras putranya, Husni Thamrin, dalam pergerakan nasional. Thamrin lebih cenderung pada gerakan sosial keagamaan dilingkungan pribumi Betawi, sedang putranya terjun didunia politik dalam lingkup yang lebih luas, seluruh pribumi nusantara yang tertindas dia perjuangkan. Thamrin senior yang pernah menjadi wedana lebih bersikap koperatif, maka Husni Thamrin yang juga koperatif, adalah penetang terbesar politik kolonial yang merugikan rakyat pribumi. Perbedaan keduanya adalah bergerak pada zaman berbeda, zaman Thamrin senior, belum terbuka kesempatan berpolitik di dewan seperti zaman Husni Thamrin bergerak.  
Kendati tidak berpengaruh besar seperti putranya, dengan segala upayanya, Thamrin senior berusaha membukakan pintu masuk dalam dunia politik yang lebih mapan bagi putranya, Gemeenteraad Batavia. Upaya Thamrin senior itu tidak lepas dari kepedulian Husni Thamrin akan masalah sosial di Batavia sejak dini. Thamrin senior melibatkan juga Husni dalam Kaoem Betawi yang baru berdiri ditahun 1916, saat itu Husni Thamrin baru 22 tahun.
Thamrin Muhamad Thabrie adalah potret tokoh Betawi yang sukses dalam karirnya diawal abad XX, posisi wedana Batavia pernah diduduki, sebuah jabatan tertinggi kedua bagi pribumi. [28] Diantara anak Thamrin, hanya dua yang dikenal yang terlibat dalam kegiatan sosial, Abdillah Thamrin yang mengurus masjid wakaf sang ayah, tentu saja Husni Thamrin. Thamrin, tanpa sengaja memberikan teladan bagi anak-anaknya, termasuk Abdillah dan Husni, agar melibatkan diri dalam kegiatan sosial.


[1] Bob Hering, M.H. Thambrin and His Quest for Indonesian  Nationhood (1917-1942), ab. Harsono Sutedjo, M.H. Thamrin Membangun Nasinalisme Indonesia, Jakarta, Hasta Mitra, 2003. h. 14.
[2] Ibid., h. 13-14.
[3] Ibid., h. 14.
[4] Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, Jakarta, Lentera Dipantara, 200h. 140
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Bob Hering, h. 14.
[8] Pramoedya Ananta Toer, h. 141.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Bob Hering, h.14.
[12] Soekanto S.A, Matahari Jakarta: Lukisan Kehidupan M. Husni Thamrin, Jakarta, Pustaka Jaya, 1973. h. 17-19.
[13] Bob Hering, h. 57.
[14] Pramoedya Ananta Toer, h. 138.
[15] Ibid., h. 138-139.
[16] J.B. Kristanto(ed), Seribu Tahun Nusantara, Jakarta, Kompas, 2005. h. 666.
[17] Pramoedya Ananta Toer, h. 139.
[18] Ibid., h.139-140.
[19] Ibid., h. 139.
[20] J.B. Kristanto (ed), h. 666.
[21] Pramoedya Ananta Toer, h.139-140.
[22] Bob Hering, h. 56.
[23] Ibid., h. 56-57.
[24] Ibid., h. 57.
[25] Pramoedya Ananta Toer, h. 142.
[26] KPM: Koninklijk Pachtvaart Maatschappij (perusahaan pelayaran terbesar Belanda yang beroperasi di Hindia Belanda)
[27] Bob Hering, h. 56-57.
[28] Ibid., h. 14.

Nasionalis Jawa Soetatmo


"Keindahan yang memiliki kekuasaan. Kekuasaan yang memiliki keindahan. Kebijaksanaan yang membenarkan."

Inilah semboyan yang selalu dibaca oleh pembaca Wederopbouw,sebuah media bulanan milik Comité voor het Javaans Nationalisme. Pimpinan redaksinya adalah Soetatmo Soeriokoesoemo, pimpinan Comité voor het Javaans Nationalisme . Wederopbouw tentunya membawa misiComité voor het Javaans Nationalisme yang ingin membangkitkan kembali budaya Jawa untuk Jawa dimasa depan. Yang pasti, keindahan; kekuasaan; dan kebijaksanaan yang dimaksud itu adalah Jawa. Segala hal yang berakar dari tradisi Jawa.
Nama Soetatmo nyaris tidak disebut dalam sejarah kecuali dalam perdebatannya dengan Tjipto Mangoenkoesoemo mengenai nasionalisme mana yang harus diusung orang-orang Jawa: Nasionalisme Hindia (Indonesia) atau nasionalisme Jawa.
Soetatmo seolah satu-satunya orang yang mengusung nasionalisme Jawa yang paling gigih dari pada priyayi yang lainnya.Soetatmo tentunya tokoh pergerakan nasional bernasib malang dalam sejarah lantaran tidak ada negara Jawa, hanya ada Republik Indonesia yang nasionalis. Bila negara Jawa ada, Soetatmo adalah Bapak Nasional-nya. Sejarah telah memenangkan Tjipto Mangunkoesoemo.

Wederopbouw Jawa
Bulan Januari 1918, terbit majalah bulanan Wederopbouw(Kembangunan Kembali) edisi pertama. Soetatmo sering menulis beberapa pamflet tentang budaya Jawa. Keberadaan Wederopbouw setiap bulan sekali, maka Comité tersebut memiliki corongnya sendiri. Dalam subjudul majalah tersebut dipersembahkan: "gerakan pemuda Jawa dan kehidupan rohani orang-orang Jawa" . Kendati Perhimpunan pelajar macam Jong Java sering tampil dengan tokoh-tokohnya yang menyumbangkan karangannya, bukan berarti Wederopbouw juga organ milik Jong Java. Jong yang dimaksud disini bukan sekedar anak-anak sekolah, melainkan pemuda Jawa ningrat yang berpendidikan. Jong Java ini juga mendukung kebangkitan budaya Jawa yang telah digoncang oleh kolonialisasi Belanda di Nusantara. [1]
Orang besar dibalik usaha membangkitkan kembali budaya Jawa ini: Pangeran Prangwedana, seorang kepala pura kedua di Surakarta—Mangkunegara—yang lebih maju dari pura yang pertama. Prangwedana tak lain adalah Mangkunegaran VII alias Raden Mas Ario Soerjosoeparto yang sejak 1913-1915 belajar di Leiden dan sempat menjadi Letnan Dua Cadangan dalam Ketentaraan Belanda. Dalam Comité voor het Javaans Nationalisme, dirinya adalah penyandang dana sekaligus penyumbang tulisan dengan nama samaran, Daha. [2]
Soetatmo adalah seorang pengarang yang paling produktif diWederopbouw, sejak majalah itu baru berdiri sampai tahun 1923, yang juga menjadi tahun bubarnya Comité voor het Javaans Nationalisme.Soetatmo lahir tahun 1888 dari keluarga pura Pakualaman, masih kerabat Soewardi Soerianingrat dan Dwijosewojo yang terlibat di dunia pergerakan. Soetatmo termasuk dalam anggota Habdi Dalem Wargo Pakualaman (Abdi Pakualaman), sebuah klub pangeran dan kerabat istana pura Pakualaman. [3]
Soetatmo mulai aktif berpolitik sejak muda, pada tahun 1912, dirinya sudah aktif di Indische Partij . Setahun kemudian Soetatmo sudah menjadi wakil ketua Comité Boemiputra yang bernama: "Inlands Comité ter Herdenking van Nederlands Honderdjarige Vrijheid" (Komite Bumiputra Untuk Memperingati Seratus Tahun Kemerdekaan Belanda). [4]
Soetatmo kemudian mendekati Boedi Oetomo. Sekitar tahun 1916,Soetatmo menjadi Pengurus Besar Boedi Oetomo, setelah melalui beberapa jenjang karir dalam organisasi. Karir Soetatmo di Boedi Oetomo cukup cemerlang, dia pernah menjadi ketua Boedi Oetomo cabang Bali yang berkedudukan di Denpasar, salah satu cabang Boedi Oetomo yang besar. Selama dirinya menjadi ketua cabang Bali di Denpasar, kedudukan pimpinan redaksi Wederopbouw jatuh ke tangan Abdoel Rachman. Keterlibatannya di Boedi Oetomo inilah, Soetatmo maju sebagai anggotaVolksraad di tahun 1921. [5]
Soetatmo adalah seorang teosof yang bersemangat, namun diatas segalanya dirinya adalah seorang Nasionalis Jawa sejati. Dirinya akrab dengan tradisi Jawa, yang bersedia mempertaruhkan nyawanya sekalipun bagi kebangkitan kembali kejayaan Majapahit; pulihnya kekuasaan raja di Jawa. Seperti suratnya yang tidak bertanggal diakhir tahun 1920, yang ditulisnya di Bali semasa menjadi ketua cabang Denpasar, kepada Pangeran Prangwedana:

          "suatu saat, dan saya akan bersumpah demi leluhur, saya pastikan bangsa Jawa akan diperintah oleh raja yang diberkahi Allah. Apabila orang-orang bijak berkuasa, maka raja pun akan menduduki tahta." [6]

          Tujuan Comité voor het Javaans Nationalisme, seperti yang tercermin dalam judul majalahnya (Wederopbouw): "gerakan pemuda Jawa dan kehidupan rohani orang-orang Jawa", menurut pandangan para anggotanya; budaya Jawa yang pernah menjadi menduduki tempat paling luhur di Asia Tenggara harus dipulihkan kehormatannya. Para anggota dan simpatisan ingin menunjukkan kepada orang-orang banyak: tradisi (Jawa) yang dihinakan itu masih memiliki hak hidup, selain itu juga menunjukan sebuah percaya diri yang berlebih: satu-satunya dasar yang benar adalah Jawa Baru di zaman baru. Cabang kesenian organ ini bergerak lebih dulu dengan mengadakan latihan-latihan kesenian untuk memberikan penyadaran pada orang-orang Jawa akan tingginya budaya mereka serta menyingkirkan unsur-unsur yang tidak murni dari budaya Jawa, ini menjadi butir-butir atas program Soetatmo dan kawan-kawan Nasionalis Jawa-nya. Berbeda dengan banyak orang-orang Belanda dan sebagian orang-orang Jawa dengan pendidikan Eropa, mereka percaya bahwa budaya Jawa dan norma-norma sertaa peraturan-peraturan kerajaan (kraton) zaman dahulu dapat memainkan peranan penting ketika Jawa diambang pintu Modernisme. [7]
Hal ini bertentangan dengan kaum nasionalis Hindia radikal yang menentang dominasi kraton, yang dipandang sebagai dikatator dan penindasan dimasa prakolonial.
          Nasionalis Hindia radikal tadi mengecam otokrasi para raja Jawa yang cenderung sewenang-wenang, kehidupan istana yang hedonis dan penghisapan atas penduduk diluar kraton. Nilai-nilai moral Jawa kuno lebih mengarah pada perbudakan yang menghambakan diri pada kraton. Hal ini adalah penghambat kemajuan rakyat Hindia. Kaum kiri, diluar istana mengumandangkan semboyan—yang dikutip dari sajak Marco Kertodikromo yang ditulis di penjara—berbunyi: sama rasa sama rata.[8]
Wederopbouw kejayaan Jawa adalah sebuah mimpi kebangunan kembali kerajaan yang pernah dijayakan oleh Gajah Mada beberapa abad lalu itu. Majapahit adalah mimpi dari Soetatmo cs beserta Wederopbouwdan Comité voor het Javaans Nationalisme-nya yang tida pernah tercapai.

Nasionalisme Jawa Versus Nasionalisme Hindia
          Nasinalisme Jawa, tidak sepenuhnya didukung oleh para priyayi berpikiran maju. Seorang dokter populis, Tjipto Mangunkoesoemo sangat menentangnya. Takeshi Siraishi, seorang Sejarahwan Jepang berpendapat; dunia pergerakan nasional ditahun 1918 itu sedang dalam titik menentukan. Soetatmo berpendapat: sebuah bangsa hendaknya dibangun atas landasan bahasa serta kebudayaan. Nasionalisme Jawa—yang mapan dimata Soetatmo—telah memiliki landasan kebudayaan, bahasa, serta sejarah yang sama dari suku Jawa. [9] Karenanya nasionalisme Jawa telah memiliki landasan kuat  bagi pembangunan masyarakat politiknya dimasa depan. Soetatmo mencela gagasan Nasionalisme Hindia-nya Tjipto lantaran tidak memiliki landasan budaya yang mapan dan tidak lebih dari produk pemerintah kolonial Belanda saja. Lebih lanjut Soetatmo menyatakan nasinalisme Jawa adalah alat ekspresi diri bagi orang Jawa, sedangkan Nasionalisme Hindia yang diusung oleh Indische Partij maupun Sarekat Islam tidak lebih dari reaksi atas kolonialisme pemerintah Hindia Belanda semata. [10] Antara Tjipto dengan Soetatmo lebih berkutat pada masalah orientasi budaya dan identitas kebangsaan saja. [11]
          Nasionalisme Hindia ditanggapi Soetatmo dalam brosurnya: kalau untuk kerjasama ini memakai ukuran ras, maka suku-suku Melayu didaerah semenanjung dan Filipina harus dimasukan juga dalam lingkungan Hindia. [12] Dalam hal ini Soetatmo telah berpikir terlalu jauh dan melupakan batasan daerah kolonialisasi Belanda. Soetatmo tidak berpikir bahwa seluruh Hindia memiliki satu Common Enemy: Pemerintah Kolonial Belanda yang berpusat di Batavia.
          Nasionalisme Hindia yang diserang oleh Soetatmo dengan Nasinalis Jawa-nya, secara tidak langsung juga menyerang nasionalis Hindia dari daerah non Jawa dari penjuru Hindia yang merindukan perjuangan bersama melawan dominasi kolonial di nusantara. DalamGewijd aan mijn Kameraden in Insulinde Soetatmo menulis:
         
"Dan tinggallah kalian di Sumatra. Dan tinggallah kalian di Ambon sana. Hanya dengan cara ini persahabatan kita lestarikan. Apabila kita tinggal dalam rumah yang sama dan menyelenggarakan urusan rumah-tangga kita bersama-sama, tidak akan ada yang bisa diharapkan dari sana. Selera kita masing-masing berbeda; kebudayaan kita sama sekali berbeda. Kami juga punya sejarah kami sendiri, kami memiliki pula orang-orang besar; kami punya Pajajaran serta Majapahit yang tua, yang terakhir ini menghubungkan kalian dengan kenangan yang kurang menyenangkan.... Kewajiban kami sekarang ditentukan oleh kelahiran kami, jalan kami oleh masa lampau, dan tujuan kami tentukan oleh pengetahuan tentang Kawulo Gusti-Gusti, yaitu kenyataan kami sekarang diperintah (kawulo) tetapi pernah memerintah (Gusti). [13]
         
Nasionalisme Hindia, bagi Tjipto lebih masuk akal untuk diperjuangkan ujudnya, ketimbang nasionalisme Jawa. Menurut Tjipto, Jawa telah kehilangan kedaulatannya dan menjadi bagian dari Hindia Belanda. Tanah air orang Jawa bukan saja pulau Jawa saja, tetapi juga pulau-pulau lain yang menjadi bagian dari Hindia Belanda. Selain itu Tjipto melihat sisa-sisa tradisi Jawa (Hinduisme) dengan pandangan hidupnya bersentuhan dengan para dewa, sistem kasta dan wayang; memang ada sisi estetisnya, namun bagi Tjipto itu juga menghambat kemajuan orang-orang Jawa. Sistem kasta menafikan peri kemanusiaan, telah menjadi penyangga kekuasaan kolonial dan telah mematikan kreatifitas orang-orang jawa. [14]
Bagi Soetatmo, pikiran populis Tjipto yang lebih menekankan pada demokrasi tanpa pemerintahan kaum aristokrat feodalis adalah mustahil. Menurut Soetatmo:

"ide persamaan dan pemerintahan rakyat merupakan khayalan belaka. Didalam demokrasi, tidak akan ada persatuan, hanya perpecahan, tidak ada ketertiban, hanya kekacauan." [15]

Soetatmo menelusuri sejarah kejayaan Majapahit untuk mencari model kebudayaan Jawa yang murni dan ideal guna kebangkitan kembali pergerakan nasionalis Jawa. Bagi Tjipto, romantisme budaya Majapahit tidak akan dapat dibangun lagi dimasa depan karena zaman telah berubah demikian pula kita semua. [16] Soetatmo memandang Jawa yang luhur, halus sedangkan Tjipto melihat barat dengan ilmu pengetahuan dan teknologi-nya. [17]
Reaksi atas pemikiran Soetatmo yang datang dari sekelompok mahasiswa Sumatra yang belajar di STOVIA—School   tot Opleiding voor Indische Artsen: sekolah dokter pribumi—adalah berdirinya: Java Sumatranen Bond pada tahun 1917; untuk mempersatukan semua mahasiswa Sumatra untuk menyebarkan kebudayaan, bahasa dan kesadaran orang-orang Sumatra. Sekilas, Java Sumatranen Bond tidak berbeda dengan Comité voor het Javaans NationalismeSlogan mereka: "hanya Sumatra yang bersatu dapat kebesaran Sumatra". Soetatmojelas menyesatkan pemuda Sumatra tadi dengan nasinalisme Jawa-nya.[18]
          Soetatmo, dimasa itu berpikiran sebuah negara kesatuan yang didalamnya berdampingan orang-orang Jawa dengan non Jawa di Nusantara jelas tidaklah mungkin.

Sang Nasionalis Jawa
Soetatmo adalah seorang pegawai urusan Pekerjaan umum. Dia berasal dari keluarga pura Pakualaman. Dia menjadi orang kepercayaan Prangwedana. [19] Kemudian menjadi anggota Volksraad mewakili Boedi Oetomo. Soetatmo begitu gigih mengusung konsep Nasionalisme Jawa-nya hingga terlibat perang pena dengan Tjipto, seorang Nasionalis Hindia yang populis. Debat ini dimulai pada sidang Volksraad.
Cita-cita terbesar Soetatmo adalah pulihnya kedaulatan Jawa seperti masa-masa prakolonial dahulu. Soetatmo telah berusaha menggali nilai-nilai sejarah kejayaan masa lalu itu, jauh sebelum Muhamad Yamin menggali semangat Gajah Mada yang dilebih-lebihkan dimasa Soekarno. Sampai ajalnya—Oktober   1924—dia tetap pada cita-citanya itu, mengembalikan kejayaan raja-raja Jawa. [20]
Boedi Oetomo setelah keluarnya Soetomo sang pendiri, lebih banyak menjadi tempat berkumpulnya para priyayi—termasuk priyayi Jawa sebagai mayoritas—yang menginginkan kembalinya kejayaan nenek moyang mereka, raja-raja Jawa. Boedi Oetomo pasca keluarnya Soetomo inilah tempat yang potensial bagi nasionalisme Jawa untuk berkembang dan mengembalikan feodalisme yang telah diguncang oleh kolonialisme Belanda.
Kendati Soetatmo dan pendukungnya, yang sebagian berpendidikan barat dan bekerja di kantor-kantor pemerintah kolonial Belanda, tidaklah membuat mereka tunduk sepenuhnya pada dominasi pemerintah kolonial itu. [21] Tentu saja cita-cita mereka dicapai dengan cara halus model Jawa dan tidak radikal seperti SI Merah-nya Semaun cs di Semarang.
Soetatmo, orang paling berpengaruh dalam Comité voor het Javaans Nationalisme (Komisi untuk Nasinalisme Jawa), kendati ada orang dibalik layar dalam oraganisai itu, Pangeran Prangwedana.Soetatmo telah banyak mempengaruhi visi Comité voor het Javaans Nationalisme.
Sebagai seorang Jawa yang juga menjunjung tinggi ketimuran,Soetatmo ikut memberikan sumbangannya dalam pendidikan Nasional Taman Siswa-nya Ki Hajar Dewantara. Taman Siswa bermula dari sebuah perkumpulan Selasa Kliwonan yang diadakan beberapa bangsawan Yogyakarta, baik dari Kesultanan Yogyakarta maupun Kadipaten Pakualaman. [22]
Taman Siswa berdiri 2 Juli 1922, ketika Soetatmo menjadi anggotaVolksraad mewakili Boedi Oetomo. Soetatmo ketika diangkat sebagai anggota Volksraad sangat jengkel ketika harus bersumpah setia kepada Ratu Belanda. Kendati dia sebagai orang yang kurang bersemangat dalamVolksraad, dirinya pernah berucap dalam sidang:

"Adalah mengganggu untuk seorang nasionalis yang memiliki aspirasi-aspirasi seperti saya, Tuan Ketua, harus bersumpah setia kepada suatu kekuasaan yang menurut tanggapannya hanya bersifat sementara." [23]

Dalam sidang Volksraad, Soetatmo mengambil tempat dikiri seperti seorang pembela rakyat. Dirinya merasa sebagai seorang yang merakyat dibalik dandanan parlente priyayi Jawa-nya:

"...saya merasa terpanggil untuk berjuang demi kebebasan rakyat kami, untuk memerdekakan rakyat kami baik dalam arti kenegaraan maupun dalam arti ekonomi." [24]

Bagaimanapun, arah ucapan Soetatmo tak lain dari pada: demi Jawa yang pernah jaya, bukan sepenuhnya untuk suatu kemakmuran rakyat jelata diluar ruang sidang Volksraad yang seharusnya dia bela.Soetatmo meninggal dunia karena sakit pada 29 Oktober 1924, saat dia sibuk di Volksraad dan Boedi Oetomo saat itu Comité voor het Javaans Nationalisme-nya sudah bubar. [25]
Kasus Jong Sumatranen Bond, menunjuk Soetatmo sebagai akar perpecahan kaum pergerakan dimasa-masa awal pergerakan. Dengan Nasionalisme Jawa-nya Soetatmo membawa akibat negatif dalam pergerakan nasional. Nasionalisme Jawa tidak jauh berbeda denganChauvinisme yang cenderung primordialis.



[1] Hans van Meirt, Dengan Semangat Berkobar: Nasionalisme dan Gerakan Pemuda Indonesia(1918-1930), Jakarta, Hasta Mitra & KITLV, 2003. h.118.
[2] Ibid., h.119-120.
[3] Ibid., h.122.
[4] Ibid., h.122
[5] Ibid., h.123
[6] Ibid., h.123.
[7] Ibid., h.128
[8] Ibid., h. 128.
[9] Manuel Kaisepo, "Sang Pembangkang Tjipto" Majalah Prisma edisi 8 tahun 1987. h. 92.
[10] Ibid., h. 92.
[11] J.B. Kristanto, Seribu Tahun Nusantara, Jakarta, Kompas, 2005. h. 82.
[12] M. Balfas, Tjipto Mangoenkoesoemo: Demokrat Sedjati, Jakarta, Djambatan, tanpa tahun. H. 89.
[13] Manuel Kaisepo, "Sang Pembangkang Tjipto" Majalah Prisma edisi 8 tahun 1987. h. 92.
[14] Ibid., h. 93.
[16] Manuel Kaisepo, "Sang Pembangkang Tjipto" Majalah Prisma edisi 8 tahun 1987. h. 93.
[17] J.B. Kristanto, Seribu Tahun Nusantara, Jakarta, Kompas, 2005. h. 82.
[18] Manuel Kaisepo, "Sang Pembangkang Tjipto" Majalah Prisma edisi 8 tahun 1987. h. 92-93.
[19] Hans van Meirt, Dengan Semangat Berkobar: Nasionalisme dan Gerakan Pemuda Indonesia(1918-1930),. h. 17
[20] Ibid., h.123
[21] Ibid., h.129
[22] Abdurrahman Surjomihardjo, Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sejarah Indonesia, Jakarta, Sinar Harapan, 1986. h. 139.
[23] Hans van Meirt, Dengan Semangat Berkobar: Nasionalisme dan Gerakan Pemuda Indonesia(1918-1930), h. 282.
[24] Ibid.
[25] Ibid., h. 175.