Senin, Oktober 06, 2014

Film-film (Sejarah) Wajib tentang Sejarah Indonesia

Sejarah adalah bagaimana melihat dan mencari kebenaran. Ada banyak cara selain belajar sejarah selain membaca. Membaca memang harus, namun ada beberapa cara lain yang harus dilakukan untuk menikmati dan membumikan sejarah. Berziarah ke tempat sejarah dan menonton film-film sejarah. Nah, film yang ditonton pun tak melulu harus yang dokumenter.
 Sudah lazim jika sejarah yang difilmkan sering diberi bumbu agar menarik—dan komersil. Film tak bermaksud bohong, tapi sutradara punya subyektifitasnya sendiri.  Mari menjadi bijak untuk melihat film sebagai referensi belajar sejarah yang seru. Seperti buku sejarah, film sperti juga novel sejarah bisa membantu kita membayangkan bagaimana kondisi  atau kehidupan di masa lalu. Tentu saja bukan untuk dipercaya sepenuhnya, tapi setidaknya bisa ditangkap sisi positifnya.
Film bisa menjadi bahan pembelajaran di sekolah.
Pastinya, ada beberapa film yang layak ditonton untuk lebih bisa membayangkan bagaimana kehidupan atau sejarah Indonesia di masa lalu. Tentu saja film-film ini bukan dijadikan kebenaran mutlak, hanya bisa jadi sumber mencari kebenaran, atau setidaknya jadi pembanding. Beberapa film bahkan bisa ditemukan di Youtube. Diantara film-film itu adalah:
  1. Moeder Dao, ini adalah film documenter. Gambar yang diambil adalah Indonesia era 1912 sampai 1930an. Kita bisa melihat bagaimananya sederhananya orang Indonesia dalam berpakaian dan hidup. Dunia teknologi  industri di Indonesia yang mulai modern juga terlihat. Perbedaan hidup antara pribumi dengan Eropa juga bisa dilihat. Itu alasan mengapa film ini wajib ditonton.
  2. Max Havelaar, ini film berdasar novel curhat dari Eduard Douwes Dekker—yang mengisahkan dirinya sebagai Max Havelaar—pegawai  pangrehpraja Belanda yang kecewa dengan Tanam Paksa. Max hendak melaporkan kesewenangan Bupati Lebak pada pemerintah di pusat, namun laporan itu tak diterima. Max bahkan dimutasikan. Film ini mungkin bisa membantu kita melihat bahwa feodalisme adalah akar korupsi dan kesewenangan di Indonesia.
  3. Oeroeg, film ini diadaptasi dari novel Hella Hesse. Tentang persahabatan Oeroeg dan Johan Ten Berge, tentang anak pribumi dan Belanda di era kolonialisme. Dimana diskriminasi rasial begitu kuat. Mereka terpisah, namun bertemu lagi ketika Belanda harus dilawan.
  4. Soegija, tak butuh jadi seorang Katolik untuk mengenal Uskup (pribumi pertama) Romo Soegijopranoto. Film ini menggambarkan betapa humanisnya Sang Romo. Ceritanya tak melulu soal Sang Romo, tapi juga tentang orang disekitarnya yang hidup di masa-masa perang (mulai dari Perang Pasifik lalu Perang Kemerdekaan Indonesia, sekitar tahun 1942-1949). Film ini cukup mengajarkan pluralism.
  5. Riding the Tiger, film ini adalah dokumentasi tentang Indonesia dari jaman Jepang, perang kemerdekaan, orde lama hingga orde baru. Selain rangkaian video dokumentasi, terdapat juga wawancara dengan saksi dan pelaku  sejarah, buruh pabrik, pejabat militer Indonesia, aktivis seperti Arif Budiman atau Romo Mangun.
  6.  Indo Calling, film documenter ini akan menunjukan kepada kita bagaimana perjuangan orang-orang Indonesia di Australia, yang diantara adalah pelaut-pelaut Indonesia. Rupanya, banyak orang-orang Australia yang menentang sikap Belanda yang ingin menjadikan Indonesia daerah kolonialisasi kembali. Gambar-gambar ini bisa jadi terkait dengan mogoh buruh pelabuhan Australia yang ogah bongkarmuat barang-barang ke kapal Belanda yang akan berangkat ke Indonesia.
  7. Tjoet Njak Dien, Dari judulnya, film ini jelas tentang perjuangan Cut Nyak Din dan pengikutnya melawan masuknya Tentara Belanda ke Aceh. Ini termasuk film sejarah terbaik, dengan dukungan aktor dan aktris terbaik Indonesia.
  8.   Soekarno, adalah fragmen tentang kehidupan Sukarno sejak di Bengkulu dia bertemu Fatma hingga kepindahan Sukarno ke Jakarta. Dimana Inggit kemudian meninggalkan Sukarno. Dimana Sukarno jadi penasehat militer Jepang, dengan harapan Jepang mengurangi tekanan terhadap rakyat Indonesia. Belakangan, Sukarno pun tampil sebagai Presiden RI pertama.
  9.  Sang Pencerah, film ini bercerita tentang Ahmad Dahlan sang pendiri Muhamadiyah. Dia bisa menampilkan orang-orang Islam sebagai orang yang juga bisa berpikiran maju. Dimana perubahan yang dibawa Ahmad Dahlan tak merusak tatanan nilai-nilai lain yang sudah ada.  
  10.  Sang Kiai, film ini tentang Kiai Haji Hasyim Asyhari pendiri pesantren Tebu Ireng. Film ini merekam imaji bagaimana kaum santri menghadapi sejarah Indonesia. Mereka ikut menderita di bawah Jepang dan ikut ambil bagian dalam revolusi kemerdekaan Indonesia.  
  11.   Pengkhianatan G 30 S/PKI, terlepas dari kontraversi, film ini tetap layak ditonton. Setidaknya film ini memberikan kesan betapa tegangnya tahun 1965. Tentang adegan penyiksaan, yang katanya tidak ada, setidaknya itu memberi gambaran pada kita betapa bencinya orang-orang orde baru pada komunis.
  12. Act of Killing,Biar imbang setelah nonton film Pengkhianatan G 30 S/PKI, boleh dong kita nonton film tentang orang yang mengaku pernah menjadi algojo di Medan. Anwar Kongo, sang algojo bisa menjadi contoh orang yang anti komunis di Indonesia. Tentu saja tak bermaksud mengajari sadism atau menjelek-jelekan, tapi harapannya agar tak ada lagi penghilangan nyawa.

Tentu saja, bukan film-film ini saja yang layak ditonton. Masih banyak yang lain, yang belum saya saya sebut dan saya tonton. 12 film diatas bagi saya cukup menarik untuk menemani Anda belajar sejarah.
Silahkan mengkritik….
Selamat menonton…

Jenderal Hitam: Penerus Tradisi Warlord


Belakangan, banyak kawan-kawan marah perihal  bekas Jenderal yang akan dijadikan penasehat calon Presiden terbaru RI (2014-2019). Bagi yang tahutrack record ini Jenderal akan paham, kenapa ini Jenderal harus dijauhkan dari kekuasaan. Apapun jasanya, dalam menaikan Presiden terbaru itu, dia tetaplah harus dijauhkan. Toch banyak orang yang berjasa dalam menaikkan ini Presiden baru juga jauh dari kekuasaan.  Selanjutnya, mari kita lihat seberani ihklas ini Jenderal. Kalau dia minta macam-macam, terlihat betapa tak ihklasnya dia.
Bicara dosa yang dikerjakan atas nama Negara, Jenderal yang kita maksud diatas, Peristiwa Talangsari sejatinya lekat nama sang jenderal. Apapun yang dia dan pembelanya katakanya, penghilangannya nyawa tak bisa dibenarkan.
Kita sedang bicara tentang Hendropriyono. Satu dari sekian Jenderal yang ahli Intelejen. Catatan karirnya sebagai militer sudah pasti gemilang.  Nah, orang-orang Islam yang merasakan bahayanya Hendropriyono harusnya tahu apa itu Peristiwa Talangsari 1989. Hanya karena curiga ada gerakan berbahaya (tentu dalam versi Hendropriyono cs), maka tengah malam menjelang 7 Februari 1989, Kolonel Hendropriyono, memimpin pasukan yang terdiri 3 peleton batalyon 143 dan sepeleton Brigade Mobil (Polisi). Pukul 04.00 tanggal 7 Februari 1989, pasukan menyerbu Umbul Cideung. Sebanyak 246 pengikut Warsidi tewas, termasuk Warsidi sendiri.[1] Begitulah cerita hitam Talangsari.

Tentang Perwira-perwira Yang Seenak Udel
Sejarah sudah kasih bukti betapa buruknya kelakuan Jenderal-jenderal kebanyakan.  Segelintir orang Indonesia yang tidak terpana dengan sejarah hebatnya Pahlawan Revolusi, mungkin pernah dengar poligami-nya Ahmad Yani—walau kata Soe Hok Gie dia pernah kasih peringatan pada anggota Angkatan Darat yang dia pimpin untuk tidak beristri lebih dari satu, tapi Ahmad Yani pun punya simpanan. Sudah jadi “tradisi” kalau Jenderal bolehngapain aja di negeri ini.
Itu masih belum apa-apa.  Masih ada cerita-cerita buruk yang katanya buruk tentang para Jenderal di Indonesia. Jangankan jenderalnya, banyak orang-orang tua yang paham soal kelakuan para komandan di daerah-daerah.  Di Sulawesi Selatan ada Andi Selle, Andi Sose atau Kahar Muzakkar.  Dua nama pertama dikenal sebagai perwira kaya. Mereka menumpuk kekayaan dari bisnis mereka dan memiliki banyak pasukan (diluar dari jumlah semestinya yang ditetapkan pemerintah). Bukan hanya mereka berdua yang bisa semena-mena, tapi juga bawahan mereka. Tentang Selle Barbara Sillars Harvey dalam risetnya menulis:
Selle dianggap sumber utama suplai barang bagi DI. Selle terkenal sebagai komandan yang kaya. Kancing baju dan lencananya terbuat dari emas. Dia bisa seenaknya memberikan jam tangan begitu saja kepada gadis-gadis cantik yang dia lihatnya di kota Makassar. Selle pernah memberikan hadiah Marcedes Benz kepada dokter yang merawatnya ketika sakit ringan di Rumah Sakit Pelamonia—yang merupakan rumah sakit militer. Dia juga pernah memberikannya pada istri Warouw.  Dua anak buah Selle yang sedang mabuk pernah buat onar di sebuah pesta perkawinan. Kekacauan itu membuat salah seorang prajurit itu terbunuh yang satunya terluka namun bisa kembali ke barak. Solidaritas buta kawan-kawan dua serdadu mabuk yang naas itu pun bergerak. Mereka datangi lokasi pesta. Pembantaian pun terjadi dimana orang-orang yang ada di sana terbunuh.[2]
                Tentu saja, Nasution tak suka dengan kelakuan perwira macam Selle. Nasution tentu berusaha menghancurkan Selle, dengan memakai tangan M. Jusuf—yang belakangan jadi Panglima ABRI jaman Orde Baru. Jusuf sukses, Selle tewas. Sementara Sose ditahan di Jakarta.[3] Tak hanya di Sulawesi Selatan, Pahlawan Toraja, Frans Karangan pun dicap sebagai Warlord juga ketika menjadi komandan di Sulawesi Tengah.
Kengerian perwira-perwira penguasa terjadi juga di kota Makassar sendiri. Kota yang nampaknya kota teraman di Sulawesi Selatan di masa-masa merajalelanya gangguan keamanan di sana.
Alkisah, seorang di antara perwira pengendali kekuasaan ini – yang dalam banyak hal perilakunya masih tergolong jauh kurang buruknya dari yang lain – memiliki isteri muda yang jatuh hati kepada seorang pria muda penyanyi band terkenal di daerah ini yang rekaman piringan hitamnya di Perusahaan Rekaman Lokananta menembus pasar nasional. Kisah jatuh cinta ini menjadi pangkal tragedi. Sang penyanyi, yang sebenarnya juga sudah punya seorang isteri yang cantik, lenyap bagai ditelan bumi dan hanya menyisakan kabar telah dieksekusi dengan cara-cara yang menyengsarakan tanpa belas kasihan. Penyanyi muda yang dimaksud adalah Djajadi Djamain putera sebuah keluarga Jawa di Sulawesi Selatan. Tetapi mampu mempopulerkan lagu-lagu daerah setempat ke tingkat nasional. Beberapa adik perempuannya yang hijrah ke Jakarta juga mengikuti jejaknya menjadi penyanyi yang cukup dikenal.[4]
Cerita ngeri yang terkait infotainment  ini nampaknya dengan cepat dilupakan orang. Saya tak tahu siapa perwira pengendali kekuasaan yang dimaksud? Nasib naas macam Djajadi Djamain ini tentu bisa terjadi pada siapa saja. Pembunuhan Djajadi Djamain itu, mungkin peringatan: jangan macam-macam dengan perwira itu!!! Nampaknya nasib yang serupa Djamadi Djamain bisa terjadi pada siapa saja.

Warlord No 1 di Indonesia
Mari kita bicara soal Warlord terbesar di Indonesia. Siapa yang tak mengenal Suharto. Jika tak mengenalnya sebagai warlord no 1 se-Indonesia, Anda pasti mengenalnya sebagai Presiden ke-2 RI, yang gelarnya “Bapak Pembangunan”.
Sebegai Jenderal dengan puluhan ribu tentara, kiprah Suharto jauh lebih besar daripada Selle, Sose atau warlord-warlord manapun di Indonesia.  Berkedok sebagai Presiden RI, dia bisa melakukan apapun. Bahkan sebelum Presiden, jejaknya sudah cukup hitam.
Tak banyak buku sejarah Indonesia menyinggung kasus dan bisnisnya ketika jadi Panglima di Jawa Tengah dengan Liem Sioe Liong (Sudono Salim mantan pemilik BCA) dan Bob Hasan di akhir decade 1950an. Mereka bertiga dipersatukan karena kedekatan dengan Letnan Jenderal Gatot Subroto. Bob Hasan diklaim sebagai anak angkat Jenderal Gatot Subroto. Suharto nyaris dipecat dari AD. Beruntung Gatot Subroto masih punya pengaruh di AD—hingga akhirnya Suharto hanya dicopot jadi Panglima dan hanya disekolahkan di Seskoad Bandung. Nama Suharto nampaknya jadi bersih setelah Operasi Mandala Trikora, dimana dia jadi Panglima. Penyerangan Papua yang disiapkan Suharto dan stafnya tak pernah terlaksana karena Diplomasi bersama Amerika mengakhiri sengketa Indonesia Belanda berebut Papua.
Setelah G 30 S 1965, Suharto jadi ”kuda hitam”. Dari Jenderal tak dianggap, yang jauh dari lingkaran Staf Umum Angkatan Darat yang didominasi grup dari Ahmad Yani, Suharto mulai bersinar setelah kematian Yani dan stafnya oleh pasukan G 30 S yang dipimpin Untung.
Jejak hitam terbesar Suharto adalah pembantaian pasukan AD terhadap orang-orang yang diduga PKI yang tak terhitung jumlahnya. Sarwo Edhi Wibowo, komandan pasukan khusus Resimen Para Komando Angkatan Darat, yang memimpin langsung pembersihan PKI di Jawa, pernah mencatat jumlah korban nyaris mencapai 3.000.000 jiwa.
Jejak hitam Suharto terkait korupsi, plus Kolusi dan Nepotisme-nya, jelas bukan rahasia lagi. Apapun dosa Suharto, bagi pendukung yang pernah hidup enak di jamannya akan tetap memujanya. Sementara bagi yang merasa jadi korban akan memcacinya, bahkan setelah kematian Suharto.
Mental Tentara Pendudukan
Sebagian besar perwira Indonesia  yang menguasai Angkatan Bersenjata Republik Indonesia di tahun 1960an, sebagian terbesar adalah perwira-perwira didikan Jepang. Mereka pernah jadi tentara sukarela Jepag Pembela Tanah Air (PETA) di Jawa atau Gyugun di Sumatera.
Mereka nampaknya kurang diajari teori-teori militer atau hukum perang, dibanding pribumi Indonesia yang pernah dilatih jadi Tentara Belanda,Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL). Mereka hanya diajari semangat bertempur, namun kurang di teknik-teknik bertempur dalam skala besar.
Sialnya, selaku tentara pendudukan di Indonesia Balatentara Nippon alias Jepang itu rupanya mewariskan semangat tentara pendudukan pada perwira-perwira muda macam Suharto dan ratusan lainnya.    
Revolusi yang kacau 1945-1949 semakin memantapkan mental pendudukan tadi. Tentara Republik seringnya lebih mirip preman yang rebutan lahan parker dengan sesame tentara Republik yang lain. Mereka tampaknya kurang begitu intens menggempur tentara Belanda. Di mata beberapa orang, tentara-tentara Republik yang kebanyakan bermental Nippon ini kalah heroik dibanding laskar-laskar rakyat.
Tentara-tentara itu kurang mendidik dirinya untuk menjadi tentara professional yang terlatih. Mereka kadang berebut wilayah. Belakangan muncul istilah daerah militer mulai dari level Komando Daerah Militer (KODAM) sampai Komando Rayon Militer (Koramil).  Di level terbawah, terdapat Babinsa (bintara Pembina desa). Tak jarang mereka mirip Warlord. Di Negara berkembang, Tentara punya wilayah kekuasaan. Begitu juga di Indonesia.
Pewarisan semangat Balatentara Jepang sebagai tentara pendudukan nampaknya ditradisikan Suharto. Jangankan militer, orang sipil saja disuruh baris-berbaris. Barisan penjaga kampung macam Hansip diadakan. Di kampus ada Resimen Mahasiswa (yang mirip ROTC di Amerika tapi tak dijadikan perwira jika di Menwa). Sebagian besar anak-anak Indonesia merasakan Senam Kesegaran Jasmanai tiap jum’at pagi yang mirip Taiso di jaman pendudukan Jepang.
Mental fasis yang diwariskan Suharto jelas menjangkit ke beberapa Jenderal. Mereka terlihat menghalalkan segala cara dalam menghadapi masalah—termasuk pada orang-orang yang berbeda pandangan. Orang-orang pasti tahu bagaimana nasib Theys Eluwe atau orang-orang dalam peristiwa Tanjung Priuk yang mirip pembantaian terhadap Kiai Haji Zaenal Mustofa di Sukamanah waktu jaman Jepang.
Orang-orang Fasis menghalalkan segala cara, tentu saja atas nama Bangsa dan Negara. Keburukan pemimpin mereka, demi Bangsa Negara maka harus ditutupi. Yang tak sepaham dengan  mereka adalah musuh besar Negara yang harus dihabisi. Orang-orang Indonesia tak sadar jika mereka diarahkan menjadi fasis di sekolah-sekolah. Pelajaran sejarah dijadikan media penting dalam doktrinasi Fasis.
Efek dari pendidikan yang fasis itu, karena diajarkan keggahan tentara, maka banyak orang suka berseragam dan belakangan pakai baret. Lucunya, belakangan ada Jenderal marah-marah jika ada ormas-ormas yang baretnya mirip TNI (termasuk baret merah). Jenderal ini sangatlah bodoh, dia tak tahu sejarah: seniornya di AD bernama SUhartolah yang membuat orang-orang Indonesia doyan berdandan Army Look.
Note:
[1] Tempo, 18 Februari 1989: Abdul Syukur, Gerakan Usroh di Indonesia: Peristiwa Lampung 1989, Jogjakarta, Ombak, 2003, hlm. 125-139.

[2]Barbara Sillard Harvey,  Pemberontakan Kahar Muzakkar: dari tradisi ke DI/TII, Grafitipers, 1989 hlm. 326.

[3] Meski hartanya disita, Sose yang kemudian keluar dari TNI akhirnya jadi lebih kaya setelah tak jadi warlord lagi. Pengaruh Sose nampaknya tak hanya masih kuat di kampung kelahirannya, Duri (Enrekang) saja, tapi bahkan di Makassar.

[4] Rum Aly, Titik silang jalan kekuasaan tahun 1966: mitos dan dilema : mahasiswa dalam proses perubahan politik, 1965-1970,Jakarta, Hasta Mitra, 2006, hlm. 9.

Jejak Harta Karun Nakamura


Sabtu siang, kami menginjak Jalan Braga, Bandung. Jalan yang pertama kali dengar namanya ketika bikin skripsi dulu. Setiap lewati jalan ini, Toko Buku Djawa no 79 jadi tujuan saya. Tak seramai Gramedia dagangannya. Tapi, ada buku menarik yang barangkali tak diditemukan di Gramedia. Disini, bersama adik sepupu saya, Yudha Pradita, kami temukan sebuah buku unik: Rampok. Tulisan Musa Dahlan, terbitan Granesia.
Buku ini sepertinya ditulis berdasarkan riset beberapa fakta sejarah ini, apapun opini sejarawan atas buku ini, tetap saja buku ini punya cerita yang cukup menarik.  Tentu saja cerita tentang perampokan. Bukan perampokan bank ala film-film koboi Hollywood-nya John Wayne. Melainkan perampokan emas dan berlian yang bukan main banyaknya.
Perampokan ini diklaim sebagai perampokan terbesar abad lalu, abad XX maksudnya. Setidaknya 960 Kg emas berhasil digasak dari Pegadaian di daerah Kramat, Jakarta. Emas-emas ini adalah emas yang dikumpulkan saudara tua alias balatentara Nippon (Jepang) dari emas-emas rakyat Indonesia alias saudara muda semasa perang Pasifik.
Hukum yang berlaku di jaman pendudukan Jepang: apapaun yang saudara  tua mau, makasaudara muda harus kasih. Apapun klaim atas emas-emas dan perhiasan lainnya, tetap saja itu milik saudara muda alias rakyat Indonesia.
Perampokan ini dilakukan oleh Kapten Nakamura—ahli politik militer Jepang di Jawa. Tentu saja atas sepengetahuan atasan-atasannya. Modus perampokannya cukup sederhana: Petinggi Militer Jepang ingin mengamankan emas-emas itu melalui tangan Kapten Nakamura.  Nakamura dibantu supir pribumi andalan atasannya yang bernama Akas; dua orang serdadu jepang.
Meski truk yang dipakai merampok sempat sulit dinyalakan mesinnya, tetap saja pemindahan emas atau perampokan itu sukses. Semua ditampung di rumah Nakamura. Oleh Nakamura, hasil rampokan itu dibagi dalam beberapa bagian untuk disebar ke beberapa komandan Jepang untuk dana operasional tentara Jepang selama di Indonesia. Pasca 14 Agustus 1945, militer Jepang di Indonesia tak disuplai lagi dari pusat. Karenanya, atasan-atasan Nakamura memutar akal untuk mencari dana. Kebetulan Nakamura tahu dimana emas-emas dikumpulkan.
Hasil rampokan itu pun bocor, karena gundik Nakamura yang keturunan Indo bernama Carla Wolff diam-diam mencuri jarahan Nakamura tadi. Sebagai wanita boros, Carla memakai uang itu berfoya-foya. Nama Carla Wolff juga dikenal karena terlibat dalam gerombolan bule bernama Nederland Indische Geurilla Organization (NIGO)—yang terkait dengan gerakan Westerling. Mungkin cerita ini ada kaitan dengan  mitos-mitos soal Harta Karun Nakamura.  Cerita perampokan ini lalu bergulir dan melibatkan lebih banyak orang lagi: perwira-perwira Inggris dan belanda; dan tentu saja perempuan-perempuan haus harta yang rela ditiduri.
Bagi saya pribadi, yang terhebat dari perampokan ini bukan hanya jumlah rampokannya yang besar, tentu saja karena orang-orang Indonesia nyaris tak pernah tahu soal perampokan besar-besaran itu. Bahkan berpikir perampokan itu tak pernah ada. Maklum, negeri terjajah yang selalu dirampok puluhan tahun.  
Orang-orang Indonesia tentu saja lebih asyik dengan Proklamasi  Kemerdekaan Indonesia oleh Sukarno cs di Pegangsaan Timur no 56. Merdeka dan dirampok, itulah Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Dan belakangan jadi Negara yang terus dirampok oleh penguasa bangsa lain dan bangsa sendiri. Mungkin Indonesia lahir untuk dirampok. Para perampok itu, pintar memilih ‘hari baik’ untuk beraksi.
Para sopir dan dua serdadu Jepang tak merasa jika mereka terlibat sebuah perampokan besar—tentu saja mereka tak dapat bagian yang pantas. Perampokan ini, menurut saya jauh lebih rapi ketimbang perampokan Kusni Kasdut di Museum Gajah yang heroik itu karena harus ada peluru yang meletus. Nakamura melakukannya dengan tenang. Kisah perampokan ini, boleh dipercaya boleh tidak, tapi pastinya menarik sekali untuk dijadikan film. Karena itulah kami beli buku Rampok di Jalan Braga 79.

Robohnya Surau Kami

Surau menghilang, Masjid menjamur.

Sebelumnya, saya minta beribu maaf pada Ali Akbar Navis—karena mencomot judul cerpen sohornya itu. Ini semua karena obrolan ngawur ngalor ngidul  bersama murid saya: Nyak Arzaq. Senja tadi, Nyak Arzaq bercerita: Di beberapa kota di Aceh jumlah Masjid tidak banyak. Masjid hanya di pusat kota. Di kampung-kampung atau dusun, surau-surau (atau langgar atau mushola) masih ditemukan. Orang-orang mungkin akan shalat Subuh; Dzuhur; Ashar; Magrib dan Isya di surau. Sepertinya, orang-orang harus pergi ke Masjid yang letaknya jauh di pusat kota.
Cerita bocah yang ngebet  (ingin) kuliah Arkeologi ini, jelas bertolak belakang dengan apa yang saya alami saat ini. Soalnya, saya bisa temukan Masjid di tiap sudut jalan. Begitulah yang saya alami sekitar  19 tahun terakhir.
Saya baru sadar kenapa saya jarang lihat langgar atau Mushala atau Surau. Dulu masih banyak Surau-surau atau Mushola yang sering dipakai shalat wajib dan tempat anak-anak belajar mengaji. Serta harus jalan jauh ke Masjid jika ingin shalat Jum’at.  Saya pernah alami itu semua waktu tinggal di sebuah desa urban bernama Loa Janan (perbatasan Kutai Kartanegara dengan Samarinda).  Dan juga ketika awal-awal tinggal di Balikpapan.
Kata orang Islam Indonesia masa kini, banyak masjid itu bagus. Mungkin sebuah masyrakat akan terlihat religius kalau banyak masjidnya. Atau, orang-orang percaya kalau “penghuni surga itu dekat dengan masjid.” Jadi kalau gagal tinggal di dekat atau samping masjid—karena mahalnya harga tanah atau rumah di daerah strategis yang juga dekat masjid—maka otak diputar. Agar rumah dekat masjid, sementara masjid tak mungkin dipindah, maka dibuatlah masjid baru dekat rumah. Lalu masjid pun bisa kita temui dimana saja.
Hak azasi orang-orang itu untuk membangun masjid sekehendak mereka. Entah pakai duit pribadi, atau sumbangan-sumbangan, masjid selalu bisa dibangun. Konon, Ir Sukarno sang Presiden cum Arsitek Indonesia pernah bilang: tak ada masjid yang tak selesai (dibangun). Kita sering melihat ada orang-orang yang menarik sumbangan yang entah apa istilahnya berdiri di jalan dengan menodongkan ember ke mobil-mobil yang melintas jalan. Tentu saja, toa masjid dengan nyaringnya mengiangkan doa-doa atau shlawat untuk menarik perhatian. Itu semua dalam rangka mencari duit buat bangun masjid baru. Begitulah kira-kira bagaimana sebuah masjid baru muncul. Penduduk bertambah banyak, jadi masjid tua yang besar pun tak muat lagi daya tampungnya. Itu mungkin alasan kenapa jumlah masjid terus bertambah. Itu tidak bisa disalahkan.
Kembali ke masa lalu. Dulu, pergi ke masjid waktu shalat Jum’at, walau melelahkan karena jauh tetap hal menyenangkan. Biasanya, ada uang jajan buat bocah nakal seperti saya. Pulang dari masjid bisa jajan es buah kesukaan di belakang masjid. Masjid selalu ramai karena semua orang yang ‘ingin’ shalat jumat pasti ke masjid satu-satunya. Bahkan banyak orang-orang yang rela shalat di luar. Sudah pasti, daerah sekitar masjid itu pun jadi ramai pada hari Jum’at. Sebagai anak kecil, daerah itu hanya ramai di hari Jum’at—tepatnya menjelang dan sesudah Shalat Jum’at.
Banyaknya masjid, mungkin membuat masjid besar di Loa Janan yang terletak tak jauh dari pertigaan jalan ke Tenggarong; Samarinda dan Balikpapan itu tak seramai waktu saya kecil dahulu. Begitu juga masjid Darusalam, dekat SMP 3, tak seramai dulu lagi. Karena para Jamaah tersebar ke masjid lain yang letaknya lebih dekat dengan rumah. Dan Jum’at pun bukan hari besar lagi buat saya. Sama saja dengan hari lain, hanya bedanya jam kantor lebih sedikit dari hari lain (kecuali Sabtu Minggu yang biasanya libur). Tak jarang, masjid jadi pasar kaget setelah shalat jum’at.
Masjid-masjid di kota-kota jaman dulu, biasanya berada di alun-alun. Dimana dekat alun-alun selalu ada rumah atau kantor penguasa; kadang ada pasar; dan jika di Jawa nyaris selalu ditemukan masjid. Keramaian hari jumat tentu bisa jadi sumber rezeki bagi para pedagang di sekitar masjid. Apalagi orang-orang yang datang ke masjid harus jalan jauh dan kadang merasa perlu membeli sesuatu di kota.
Shalat di masjid dekat alun-alun selalu didatangi para pejabat. Jumat mungkin waktunya penguasa dan rakyat berkumpul. Bahkan, kawan-kawan jauh dari kampung sebelah atau yang beda kampung lain yang letaknya jauh pun bisa Anda temui.
 Jumat, harusnya bisa jadi hari silaturahmi bagi orang-orang Islam—tentu saja bukan untuk bikin Negara Islam. Semacam kumpul-kumpul tentu tak sekedar simbol kerukunan, tapi juga bisa untuk merukunkan. Bertukar kabar dan bertukar pikiran dengan kenalan lama setelah shalat Jum’at kadang lebih tenang dan nyaman di hari jumat.
Yang saya tangkap, terbatas dan terpusatnya masjid jelas bikin orang-orang bisa lebih saling kenal dan mengakrabkan lebih banyak orang di masjid besar ketimbang sekedar datang ke masjid kecil di dekat rumah. Dan bisa menjadi pintu dalam mencari rezeki. Barangkali Anda bisa bicara bisnis seusai shalat.
Tentu saja ada yang hilang dari maraknya masjid itu. Jum’at  jadi hari yang biasa-biasa saja. Banyaknya langgar-langgar; mushala-mushala; atau surau-surau yang menyulap diri jadi masjid, maka tiap jumat Anda akan mendengar suara Adzan yang saling bersautan.
Tak jarang, tiap Masjid pun akan punya ideologinya masing-masing. Yang terlihat, orang-orang Islam menjadi orang-orang yang terpecah-pecah.  Surau-surau pun, tempat anak-anak biasa mengaji, banyak menghilang. Surau-surau itu tak dihancurkan kaum vandalis, tapi “dibunuh” masjid-masjid baru yang menjamur. Begitulah Surau-surau roboh dan jadi masjid.