Selasa, November 03, 2009

Aku, Bugis dan Gadis Itu


Sejak kecil, aku selalu punya teman Bugis. Tidak mampu aku menghitung jumlahnya. Sangat banyak. HIngga hari ini, aku masih berhubungan dengan teman-teman Bugisku itu. Kota tempat aku lahir dan besar, Balikpapan, punya populasi orang Bugis yang banyak.
Gambaranku tentang orang Bugis adalah mereka keras, bisa berbaur dengan orang dari suku lain dan aku bisa pastikan agama mereka adalah Islam. Walau hanya Islam KTP sepertiku. Dalam pengalamanku mereka baik hati. Jika bertamu ke rumah mereka, aku tidak akan dibiarkan kelaparan.
Beberapa tahun ini, aku sangat jarang bertatap muka dengan mereka. Karena aku harus merantau dan menjalani hidupku sebagai apa yang aku mau.
Orang Bugis punya tanah leluhurnya di Sulawesi Selatan dari pinggir pantai sampai pegunungannya. Banyak orang menganggap, Bugis adalah bangsa Pelaut. Tapi, Christian Pelras, membantah itu dalam bukunya "Manusia Bugis"--buku paling kusuka tentang Bugis. Menurut Pelras, sebagian besar orang Bugis itu bertani dan yang terjun ke dunia maritim tidak sebanyak yang bertani. Nyatanya, di laut orang Bugis kesohor juga. Bahkan peradaban pelayarannya cukup maju dengan adanya Amanna Gappa.
Di bidang sastra, orang Bugis juga tidak kalah. ada I La Galigo. Salah karya sastra terhebat di dunia. Kajian tentang La Galigo sudah dimulai sejak awal abad XIX.
Tentang Bugis aku memang tidak banyak tahu. Tapi aku kerap bersentuhan dengan Bugis, terutama dalam kajian sejarah. Aku pernah menulis beberapa kisah pemberontakan yang dilakukan orang Bugis, juga tentang tokoh Bugis seperti Andi Azis dan We Tenriolle. Mereka, orang-orang Bugis memberontak dengan bagitu hebatnya kepada siapa saja yang merusak kehormatannya. Orang Bugis melakukan pemberontakan, lebih banyak dilakukan karena Sirri (harga diri). Arung Palaka juga melakukan pemberontakan karena ingin membebaskan Bone dari penjajahan dan penghinaan dari Gowa pada abad XVII.
Tulisanku tentang Andi Azis, tanpa disangka juga telah membuatku berkomunikasi kembali dengan orang Bugis, setelah sekian lama. Aku jadi mengenal istri Andi Azis, Tante Bida, begitu aku menyapanya. Juga keponakannya Andi Irvan Zulfikar, yang sangat peduli dengan kebudayaan Bugis. Meski Puang Irvan tidak tinggal di tanah Bugis, dia terus bersinggungan dengan tanah leluhurnya sejak lama. Bersama Puang Irvan aku kembali belajar tentang Bugis.
Orang Bugis memang menyebar dibanyak tempat di Indonesia. Di Nias pun ada perkampungan Bugis. Aku pun juga punya sahabat, yang biasa kusapa Dike, dia keturunan Bugis yang ayahnya hilang di laut. Ketika mencari ikan.
Seminggu yang lalu, aku juga bertemu orang Bugis, asal Bone. Dia bercerita tentang tanah kelahirnnya. Tiba-tiba, aku semakin menggebu-gebu untuk mengunjungi tanah leluhur orang Bugis itu. Kembali menjadi backpacker lagi. Tinggal menunggu waktu saja.
Aku memang bukan orang Bugis. Tapi, karena besar di Balikpapan dan kemudian menulis tentang serkelumit sejarah Bugis, maka aku pun bersentuhan dengan Bugis. Aku jadi ingat di Balikpapan dulu, tergila-gila seorang gadis Bugis juga. Mengingatnya membuat merah wajahku dan membayangkan sesosok Manusia Bugis dalam hidupku.