Senin, Desember 10, 2012

Kota Tangsi Baru

"Setelah jadi kota minyak, Balikpapan pun jadi kota tangsi"

Balikpapan pun mulai jadi kota tangsi setelah tentara Belanda pergi. Mayor Waluyo Puspoyudo adalah komandan militer RI pertama yang sampai Balikpapan.  Setelah tentara Belanda pergi Balikpapan mulai dibangun banyak instalasi militer. Entah berupa kantor, gudang amunisi, tempat latihan tentara atau perumahan bagi tentara.
Balikpapan kemudian  menjadi pusat atau markas dari apa yang disebut Komando Daerah Militer (KODAM). Mulai dari KODAM Mulawarman yang hanya membawahi Kalimantan Timur dan terakhir adalah KODAM Tanjungpura yang menaungi keamanan seluruh Kalimantan.
Banyak instalasi militer TNI di Balikpapan. Bekas tangsi KNIL sudah tidak ada lagi. Markas besar tentara (MAKODAM) lalu dibangun di sekitar Klandasan, tidak jauh dari Lapangan Merdeka dan Rumahsakit Pertamina.
Semasa Jenderal Hartoyo menjadi Panglima KODAM Mulawarman, BPM Shell sedang membangun pipa sepanjang kurang lebih 300KM dari Tanjung ke Balikpapan. Tenaga kerja yang dipakai adalah para transmigran yanG didatangkan oleh Jawatan Transmigrasi dari Jawa Tengah.  Ketika mereka berangkat, mereka dijanjikan lahan (tanah). Sialnya, pejabat-pejabat korup Jawatan Transmigrasi kemudian menelantarkan mereka. Selesai proyek, pekerja yang tinggal di kamp Petung itu. Jumlahnya hampir seribuan. Keterlantaran membuat mereka jadi pengemis dan membanjiri kota Balikpapan. Mereka disebut Pengemis Petung.[1]  Fenomena ini terjadi sekitar tahun 1950an.                      
Semasa Kecik, seorang Insinyur Belanda yang mengajar di ITB, pernah akan menuju ke Balikpapan untuk menyelidiki kemungkinan pengeboran airtawar untuk kebutuhan air bersih kota Balikpapan. Kecik menyetujui rencana itu. Insinyur itu menumpang sebuah pesawat Garuda dari Jakarta ke Balikpapan. Sayangnya pesawat garuda itu kemudian tak pernah sampai Balikpapan. Pesawat itu kemudian hilang. Beberapa perwira TNI, kepala percetakan Negara Balikpapan dan orang sipil lainnya pun hilang dalam pesawat itu. Hario Kecik yang semula akan menumpang pesawat itu membatalkannya. Dia naik mobil ke Surabaya lalu naik pesawat ke Balikpapan.[2]  
Pengakuan kecik:
“Kantor besar perusahaan (minyak asing) raksasa internasional ini terletak di Balikpapan, meradiasikan pengaruh besar kepada kehidupan sosial ekonomi dan politik dari masyarakat Kalimantan timur. Markas KODAM IX Mulawarman juga berada di Balikpapan dan berdasarkan prinsip militer, sebuah markas komando harus ditempatkan di lokasi yang aman, agar dapat efisien dipertahankan dan memenuhi tuntutan lain bersifat militer. Markas KODAM tidak dapat dipindahkan ke tempat lain, bukan hanya karena masalah kesulitan teknis dan keuangan tetapi juga karena pertimbangan strategis, politis dan psikologis. Jadi harus dicari alternative tindakan yang dapat menjamin tuntutan tersebut di atas.[3]
Mengenai  komplek perusahaan minyak asing di Balikpapan, Kecik menulis:
“Suatu masyarakat tersendiri dengan fasilitas-fasilitas mewah seperti klub, bioskop, kolam renang, lapangan golf, toserba, dan lain-lainnya. Dalam masyarakat seperti itu para pegawai menengah dan tinggi, asing maupun pribumi, hidup dalam suasana istimewa terlepas dari masyarakat biasa yang mengelilinginya.”[4]
Pernah terjadi kematian pekerja karena terlindas mobil pengendara bule, tapi orang bule itu bebas dari tuntutan hukum karena masih orang perusahaan asing.
Ada toko Centraal inkoop & verkoop Organisasaties yang menjual barang-barang impor untuk keperluan pegaawai tinggi perusahaan. Barang-barang import ini masuk tanpa pajak.[5]
Kepada Brigadir Jenderal Soemitro—yang baru ditunjuk sebagai Panglima KODAM Mulawarman—Sukarno berujar: “Generaal Mitro, saya titip reffinaderij (kilang minyak) yang ada disana. Jagalah baik-baik!” Sumitro, dengan sepenuh hati lalu menjawab: “Baik, pak. Akan saya perhatikan.” Amanah Sukarno itu dijalankan Sumitro dengan menjaga stabilitas kota Balikpapan ditengah pusaran politik nasional yang kian memanas pada dekade 1960an itu. Soemitro juga tidak ragu untuk turun langsung berpatroli menjaga kilang minyak yang diamanahkan Panglima besar Revolusi kepadanya. Soemitro sendiri sering berkeliling di sekitar kilang minyak pada malam hari. Soemitro menjaga agar panas-nya situasi politik nasional tidak sampai membakar Balikpapan.[6]
Atas usaha Sumitro, kota Balikpapan masih dianggap nyaman pada pertengahan dekade 1960an yang kacau. Balikpapan terhindar untuk menjadi ladang pembantaian orang-orang Komunis seperti yang terjadi di Jawa dan Bali—dimana telah memakan banyak korban yang mencapai angka ratusan ribu. Orang-orang Komunis, oleh Sumitro ditahan sebelum meletus G 30 S di Jakarta. Orang-orang Komunis itu banyak yang dilokalisasikan di Samboja dalam di dekat pantai.


[1] Gubernur Pranoto dan Jenderal Hartoyo adalah orang yang bertanggungjawab dalam hal ini. Mereka dianggap bekerjasama dengan SHELL dan BPM. (Hario Kecik, Pemikiran Militer 2: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2009, hlm. 188-189).
[2] Hario Kecik, Pemikiran Militer 2: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2009, hlm. 266-267.
[3] Hario Kecik, Memoar Hario Kecik, Jakarta, Pustaka Utan Kayu, 2002, hlm.563.
[4] Hario Kecik, hlm.564.
[5] Hario Kecik, hlm.564.
[6] Ramadhan K.H, Soemitro (Mantan Pangkopkamtib): Dari Pangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib,Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1994. h. 22-23.

Setelah 1945

Merdeka itu butuh aksi. Juga pengorbanan

Pada 13 November 1945: Demonstrasi rakyat Balikpapan di Karang Anyar, mengibarkan bendera merah putih. Demonstrasi ini dipelopori oleh rakyat  Komite Indonesia Merdeka (KIM) pimpinan Abdul Mutalib. Mereka menuntut, agar Belanda angkat kaki dari Indonesia. Pidato Abdul Mutalib yang berapi-api soal penolakan terhadap Belanda di Indonesia yang baru  merdeka itu membuat dirinya ditangkap. Akhirnya, Husein Yusuf membubarkan demonstrasi itu menghindari kerusuhan yang dirasa akan merugikan semangat perlawanan terhadap Belanda. Demonstrasi bubar teratur tanpa kekacauan. Sorenya, Abdul Mutalib yang ditangkap pihak berwenang pun dibebaskan, lalu di buang ke pulau Jawa.[1]
Sesekali terjadi aksi berani terhadap Belanda. Pada 18 November 1945, terjadi pelemparan granat di sentral NICA, Kampung Baru, Balikpapan. Dilakukan oleh Misbach dan Sabrie.[2]
Kaum pendukung kemerdekaan terus memperkuat diri. Pada 29 November 1945, Fonds Nasional Indonesia (Foni) didirikan, dipimpin Aminuddin Nata, Mas Saraman, dan S. Mawengkang.
NICA yang mulai menguasai Kalimantan Timur. Pengibaran bendera merah putih dilarang. Konferensi tentang kerajaan Kutai diadakan pada 17 Desember 1945. Dimana dibahas jika Kutai dibagi 5 Kepatihan: Kutai Selatan berpusat di balikpapan; Kutai Timur berpusat di Samarinda; Kutai Barat berpusat di Tenggarong; Kutai Tengah berpusat di Muara Muntai;  Kutai Ulu berpusat di Long Iram.  Keputusan ini baru diwujudkan tahun 1946. [3]
Kaum pro kemerdekaan pun menjadi bahan pengawasan bagi aparat NICA.  Di Samboja seorang mantan Gerindo bernama Djohan ditangkap NICA atas tuduhan kepemilikan senjata api. Di Balikpapan, Hasan Yusuf, yang juga mantan Gerindo,  ditangkap NICA juga.  Keduanya dulu aggota Gerindo.
Senjata api, sering dijual Tentara Australia yang berhasil merebut Balikpapan. Tentara Australia, sebelum meninggalkan Balikpapan sering menjual apa saja yang bisa mereka jual kepada warga Balikpapan yang kurang sandang, pangan, bahkan kelambu, pasca Perang Pasifik. Pakaian militer Australia pun tak ada masalah ketika dipakai orang sipil di Balikpapan selama tidak mengenakan tanda pangkat. [4]
Pada 6 Mei 1946, Kubu pertahanan Belanda Bronbeek (RSU Balikpapan, lahan Puskib) digempur pasukan Abdurrahman Muhidin dan Limpat (HA Talib). Sebulan kemudian, 5 Juni 1946, Partai Ikatan Nasional Indonesia didirikan di Balikpapan. Ketuanya Aminuddin Nata. Sebulan kemudian, pada 6 Juli 1946, Pasukan Limpat di Tanjung Batu, Balikpapan, diserang patroli BElanda. Pada 11 Juli 1946, Di Kampung Sepaku (PPU) pasukan Limpat dan pasukan Abdurrahman Muhididn diserang tentara Belanda. Pada 16 Juli 1946 Pasukan pecahan dari Muhidin/Limpat diserang di Kampung Riko (PPU) dan mundur ke Paser. Pada 14 Agustus 1946, Pasukan Limpat dan Abdurrahman Muhidin diserang di Paser. Sejumlah pejuang gugur. di Balikpapan, JF Sitohang dan Ny Suwito  membakar gudang NIGIO yang berisi hasil bumi untuk diekspor. Keduanya ditangkap di balikpapan. Pada 7 November 1946, Pasukan Anang Acil dkk menyerang Kamp Werk Kompie di Jembatan Bungkuk. Pada 11 November 1946, Markas Anang Acil di Kampung Damai, Balikpapan, diserang BElanda. Empat pejuang dan tujuh penduduk tewas. [5]
Aksi-aksi terus berlanjut, pada 30 November 1946, terjadi Pelemparan granat di Manila Club di Muara Rapak  yang epnuh tentara Belanda. Granat tidak meledak, tapi banyak yang tewas terinjak-injak. Kemudian, pada 1 Desember 1946, Seorang mata-mata Belanda mati dalam penyerbuan di Gunung Air Terjun. Polisi rupanya menyelidiki pelemparan granat di Manila Club.
Tanggal, 4 Desember 1946, Herman Rutambi berhasil melucuti patroli polisi di Sungai Wain, Balikpapan. Herman bergabung dengan pasukan Kasmani di Gunung Samarinda. Essok harinya, 5 Desember 1946, Penguasa militer Belanda melarang orang berjalan bergerombol lebih dari lima orang. [6]
Tanggal 10 Desember 1946, Tangsi Loc di Pandasari dan tangsi polisi NICA di Gunung Pipa, Balikpapan, diserang pasukan merah putih. Tanggal 11 Desember 1946, Bentrokan pasukan merah putih dengan serdadu Belanda di Muara Rapak. Tiga penduduk terkena peluru nyasar.
NICA tentu bertindak keras kemudian, pada 12 Desember 1946, Polisi NICA dibantu militer menyerang pasukan merah putih di Gunung Samarinda, Balikpapan. Seorang polisi NICA ditawan. Tanggal 14 Desember 1946, dengan senjata berta dan empat truk pasukan, Belanda menyerang pasukan Merah Putih di Gunung Samarinda. Pejuang mundur ke Kampung Damai. [7]
Tanggal 15 Desember 1946, Markas pejuang di Kampung Damai, Balikpapan. Puluhan pejuang Republik ditangkap. Esoknya, 16 Desember 1946: Pasukan Herman Ruturambi dan kawan-kawan yang lolos dari Kampung Damai kembali diserang di Gunung Bakaran, Balikpapan. Hingga tersisa lima pejuang, termasuk Herman, mereka mundur ke Handil Dua.
Tanggal 20 Desember 1946, Jip militer Belanda menggeledah rumah penduduk di Samboja termasuk kepala penjawat (camat) Abdul Gani. Ketika pulang ke Markoni, jip disergap pejuang. Seorang militer Belanda berpangkat vaandrig tewas.[8]
Kedua ada Jembatan Merah di Balikpapan, masih di zaman perjuangan kemerdekaan sekitar tahun 1945-1947, Jembatan Merah ini juga menjadi saksi bisu  pertempuran para pejuang Balikpapan. [9]


[1] Abdul Gani, Kronik Perjoangan Rakyat Kalimantan Timur, Samarinda&Jakarta, Jakarta Kaltim Group, 1993, hlm. 17.
[2] Abdul Gani, Kronik Perjoangan Rakyat Kalimantan Timur, Samarinda&Jakarta, Jakarta Kaltim Group, 1993, hlm. 19. 
[3] Abdul Gani, Kronik Perjoangan Rakyat Kalimantan Timur, Samarinda&Jakarta, Jakarta Kaltim Group, 1993, hlm. 19. 
[4] Abdul Gani, Kronik Perjoangan Rakyat Kalimantan Timur, Samarinda&Jakarta, Jakarta Kaltim Group, 1993, hlm. 20-30. 
[5] Abdul Gani, Kronik Perjoangan Rakyat Kalimantan Timur, Samarinda&Jakarta, Jakarta Kaltim Group, 1993, hlm. 20-30. 
[6] Abdul Gani, Kronik Perjoangan Rakyat Kalimantan Timur, Samarinda&Jakarta, Jakarta Kaltim Group, 1993, hlm. 20-30. 
[7] Abdul Gani, Kronik Perjoangan Rakyat Kalimantan Timur, Samarinda&Jakarta, Jakarta Kaltim Group, 1993, hlm. 20-30. 
[8] Kaltim Post Balikpapan - 14 Agustus 2012
[9] Abdul Gani, Kronik Perjoangan Rakyat Kalimantan Timur, Samarinda&Jakarta, Jakarta Kaltim Group, 1993, hlm. 20-30.  



Sabtu, Desember 08, 2012

Muhamad Roem Dalam Pergerakan

Roem adalah salah satu sosok muda dalam pergerakan. Dia tidak hanya tumbuh dan berkembang, tetapi juga berperan dengan para senior pergerakan yang pengaruhnya lebih besar. Dari dunia pergerakan pula karir politik negarawan awal kemerdekaan, termasuk Roem dimulai.
Orang-orang lebih sering mendengar namanya sebagai wakil Indonesia dalam perundingan Roem-Royen tanggal 7 Mei 1948 di Jakarta. Tidak salah. Setidaknya itulah yang tercatat dalam buku-buku sejarah, baik dari tingkat SD sampai SMA. Atau mungkin juga menjadi diktat-diktat dosen sejarah di perguruan tinggi.
Roem masih muda ketika dunia pergerakan nasional bergulir. Namun, bukan berarti saat itu Roem dan sebagian kawan sebayanya hanya berkutat dengan pelajarannya di sekolah-sekolah Belanda saja. Pengarus kakak iparnya di Pekalongan ikut membuatnya masuk dalam lingkungan kaum pergerakan Islam. Dunia pergerakan juga yang mengantarkan Roem sebagai tokoh nasional hingga mewakili delegasi Indonesia dalam perundingan Roem-Royen dalam rangka menuntaskan sengketa Indonesia-Belanda dimasa revolusi kemerdekaan Indonesia itu.

Perjalanan Bocah Parakan
Roem lahir pada 16 mei 1908, putra keenam dari seorang lurah Klewongan bernama Djulkarnain Djojosasmito di Parakan, Temenggung. Untuk ukuran masa itu Roem beruntung bisa bersekolah. Roem menjalani pendidikan formal barat-nya diHollandsche Inlandsche School (HIS)sebuah sekolah dasar ‘kelas dua’ pribumi-kelas satu-nya adalah Europe Leger School (ELS). Ketika Roem masih muda, masih berlaku aturan, siswa lulusan HIS bisa melanjutkan ke School tot Opleiding voor Artsen(STOVIA) di Batavia. Setamat HIS, pada awalnya Roem, masuk sekolah dokter pribumi itu. Tingkat persiapan dalam sekolah itu berhasil dilalui oleh Roem pada tahun 1927. Roem tidaklah menikmati pendidikan disini, dia lalu melanjutkan pendidikannya ke Algemene Middelsbare School (AMS)-setaraf SMU sekarang ini. Roem berhasil lulus sekolah itu pada tahun 1930. Roem tidak masuk Geneeskundige Hoge School-sekolah tinggi kedokteran pengganti STOVIA di Batavia-karena dua kali gagal dalam ujian masuk.[i]
Diluar pendidikan sekulernya di sekolah-sekolah Belanda, Roem juga mengenyam pendidikan agama Islam dari pak Wongso-seorang kyai. Dari kyai ini Roem bersentuhan dengan nilai-nilai Islam. Dimata Roem sendiri, sang ayah-yang menyuruhnya belajar agama Islam-bukanlah seorang yang agamis apalagi ahli tentang agama Islam. Sang ayah bahkan masih terpengaruh tradisi sinkretisme Islam dengan Jawa yang berkembang ratusan tahun di tanah Hindia, khususnya di pulau Jawa. Kendati begitu, keempat anak laki-laki Djulkarnain Djojosasmito diberikan nama dari nama-nama khalifah ar-Rasyidin, sedangkan nama Roem sendiri berasal dari kata surat dalam Al Qur’an yang berkisah mengenai bangsa Romawi. Ini adalah bukti sang ayah memiliki kesadaran historis, dimana sang anak menjadi monument atas kesadarannya itu.[ii]
Di usianya yang ke 11 tahun, Roem mulai bermukim di Pekalongan, sebuah kota penting pada awal-awal kehidupan Roem. Kota dimana roem menjalani sisa-sisa masa kecilnya. Kepindahan Roem tersebut dikarenakan Parakan sedang dilanda wabah kolera. Dilain waktu Parakan juga diserang wabah pest. Pekalongan, yang terletak di jalur pantai utara Jawa, adalah pusat gerakan revformasi Islam di Jawa. Di kota ini, semangat puritanisme Muhammadiyah dan gagasan sosialisme Islam ala Cokroaminoto berbaur. Roem tinggal bersama kakak wanitanya, dimana kakak iparnya duduk sebagai sekretaris Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) sekaligus tokoh Muhammadiyah Pekalongan.[iii]
Tuntutan pendidikannya, memaksa Roem harus meninggalkan Pekalongan menuju Batavia, masuk STOVIA sebelumnya akhirnya pindah ke AMS. Di Batavia, ketika masih berstatus sebagai pelaajar, Roem menjadi anggota Jong Jawa-sekelompok pemuda Jawa yang semula bernama Tri Darmo Kondo-salah satu inspirasi ini adalah aktifitas dari kakak iparnya di PSII atau Muhammadiyah di Pekalongan. Tidak heran Roem muda dengan jelas memahami gerakan PSII daripada gerakan politik lain yang ada dan berkembang pada masa itu.[iv]

Masuk Pergerakan
Karena dua kali gagal masuk kuliah, selama dua tahun Roem menganggur. Waktu lowong itu, diisi dengan mengikuti kegiatan PSII. Sekitar tahun 1930, Roem sering berkunjung ke rumah tokoh-tokoh PSII bersama Kasman Singodimedjo dan Suparmo. Salah satu toko itu adalah Agus Salim yang memang dikagumi oleh Roem. Tokoh yang kemudian menjadi sangat penting bagi masa muda Roem dalam pentas pergerakan. Sebagai kawan perjuangan juga sebagai penuntun jalan Roem dimasa pergerakan kemerdekaan. Sejak 1925, Roem sudah mengenal sosok idolanya itu sejak berdirinya Jong Islamiten Bond. Pengaruh Agus Salim diterima oleh Roem lewat tulisan-tulisan di surat kabar Hiindia Baru, Tajuk, Mimbar Jum’at. Kesadaran Roem pada tanah Hindia yang merdeka terinspirasi dari pidato Salim yang menyatakan ‘betapa masyarakat Hindia terutama kalangan intelektual dicekam dibawah sugesti superior barat’. Karenanya, Roem menyadari bahwa ia dan kawan-kawannya yang aktif dalam Jong Java dan JIB, menyadari bahwa dengan berorganisasi kelak mereka akan menjadi pimpinan bangsa. Pengaruh Salim, sebagai sosok yang dikagumi Roem, menentukan arah-arah politik Roem dikemudian hari. [v]
Sejak 1925, Roem aktif dalam JIB dan menjadi anggota National Indonesische Papvinderij (Natipij)-organisasi kepanduan JIB. Namun keanggotaan Roem disini tidak berlangsung lama. Aktifitasnya di JIB terhenti setelah Roem diterima di Recht Hoge School (RHS)-sekolah tinggi hukum di Batavia. Roem tidak berhenti berorganisasi setelah diterima di RHS. Roem hanya menyesuaikan diri dengan kuliahnya, karenanya Roem berkegiatan dalam organisasi yang dianggapnya sesuai dengan kebutuhan dan tidak menggangu kuliahnya. Bagaimanapun, berorganisasi adalah kebutuhan baginya. Bersama Jusuf Wibisono, Roem mendirikan Studenten Islamitische Studie Club. Masa-masa kuliah ini, sangat penting dalam kiprah awal Roem di dunia politik, sebagai anggota PSII. Roem mulai aktif di PSII sebelum dirinya menjadi anggota, Roem bahkan pernah menjadi ketua panitia Kongres PSII di Batavia.[vi]
Sebagai anggota PSII, Roem yang masih berstatus mahasiswa hukum aktif membela perkara orang-orang PSII di meja hijau tingkat negeri pemerintah kolonial. banyak perkara yang ditanganinya meliputi kasus tanah partikelir dan sikap tuan tanah yang sewenang-wenang pada penggarap tanahnya. Kegiatannya ini dilakukan bersama Agus Salim. Saat itu keduanya masih di PSII. Mereka keluar dari PSII setelah pernyataan Salim ‘agar PSII tidak terisolir harus melaksanakan kebijaksanaan koperasi’. Karenanya sebagian besar pimpinan dan anggota PSII tidak setuju dengan pendapat Salim, maka Salim-pun disingkirkan dari organisasi. Salim bersama tigapuluh orang pendukungnya dipecat dari PSII berdasar sidang dewan partai danladjnah tanfidzijah tanggal 19 Desember 1936. [vii]
Agus Salim lalu mendirikan Penyedar, dimana Roem ikut didalamnya bersama A.M. Sangadji dan Soedjono Hardjosoediro. Posisi Roem disini adalah sebagai ketua Komite Central Eksekutif. Barisan Penyedar berusaha menyadarkan para pimpinan dan anggota partai mengenai perlunya penggunaan azas nonkoperatif sebagai taktik belaka. [viii]
Partai ini lebih koperatif daripada PSII. Semua dilakukan karena tekanan pemerintah kolonial semakin keras saja pada kaum pergerakan non koperatif pasca gagalnya pemberontakan PKI 1926, pembabatan PNI 1928 juga. Stress juga mendera pemerintah kolonial setelah malaise (depresi ekonomi dunia) ikut juga menghantam perekonomian Hindia Belanda. Penyedar yang koperatif ini mendukung petisi Soetardjo 1938, yang menuntut pemerintahan yang otonom diatas tanah Hindia Belanda, meskipun petisi itu akhirnya juga terjungkal oleh politik kolonial elit birokrat kerajaan Belanda.[ix]
Kendati aktif dalam pergerakan, kuliah Roem di RHS Batavia berhasil diluluskannya pada 1939. Dia sempat mendirikan kantor pengacara, advocat en procuereur,lembaga hukum itu miliknya sendiri. Dalam kehidupannya sehari-hari, diluar lingkup pergerakan, profesi pengacara adalah lahan Roem mencari nafkah hidupnya. Profesi ini dijalani setelah masa-masa pergerakan sudah dilampauinya.[x]
Posisi Roem sebagai pengacara-yang pastinya mengerti prodesedur hukum, termasuk hukum kolonial, pasti akan menyelamatkan dirinya dari jeratan pasal-pasal karet ciptaan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang sudah banyak memakan korban. tidak hanya dirinya yang terlindungi, mungkin juga kawan-kawan pergerakan lainnya. Jadi keberadaan Roem sebagai ahli hukum bermanfaat dalam pergerakan mereka, juga menyelamatkan mereka dari berbagai jebakan legal dari pemerijntah kolonial.

Catatan Roem Tentang Dunia Pergerakan
Kongres Nasional SI yang diadakan di Bandung itu, diadakan selama sepekan, sejak 17- 24 Juni 1916. Hajatan SI itu lebih mirip pekan pasar malam daripada sebuah kongres. Sebagai ketua panitia, Roem punya cerita tentang hajatan besar SI itu:
“Panitia Kongres bertekad membuat waktu itu djuga mendjadi pekan untuk berpesta. Seluruh alun-alun dipadjang, tarup pesta jang besar dibangun, dimana dibuka buffet untuk mendjual makanan dan minuman jang dapat mengelus-elius lidah. Gubuk-gubuk dibangun berderet-deret dalam garis jang rapih, dimana dipamerkan dan didjual matjam-matjam barang keradjinan rakjat. Hasil bersih dari usaha itu akan didermakan kepada Sekolah Agama Islam jang belum berselang lama didirikan.”[xi]
Mengenai kongres Sarekat Islam Roem mencatat juga pemberitaan harian-harian besar Hindia. saat itu dirinya masih kecil. Atas Kongres Sarekat Islam itu, tanggal 6 Agustus 1916, Limburg van Stirum-yang kala itu menjabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda-menulis surat pada Menteri tanah Jajahan Belanda, Pleyte. Limburg merasakan sebuah ketakutan atas terselenggaranya kongres itu. Sebuah bahaya sudah dilihat orang nomor satu di tanah Hindia Belanda itu. Isi surat tersebut adalah:
“Tuan tentu sudah mengikuti laporan kongres SI, seperti saya dengan penuh perhatian. Sikap mereka tepat sekali (correct), dan kita tidak dapat mengharapkan lebih dari itu. Saja pertjaja bahwa sebelum mereka mengadakan pertemuan lagi, Dewan Djajahan sudah terbentuk, meskipun parlemen sedang sibuk. Hindia tidak dapat menunggu.; semoga itu disadari negeri kita. Kedudukan kita sekarang baik, dan adalah ditangan kita sendiri untuk memelihara keadaan ini. Saja berbitjara tentang situasi dalam negeri, tidak Internasional.”[xii]
Kecurigaan pejabat kolonial atas kegiatan SI bukan hal biasa, dari prasangka pejabat-pejabat itu bisa tersusun skenario yang menjatuhakan orang-orang pergerakan kedalam bui. Limburg van Stirum juga menganggap pemimpin pergerakan macam Cokroaminoto dan Abdul Muis adalah sombong lagi berbahaya. Mereka berdua juga yang lainnya adalah orang-orang berbahaya yang harus selalu diawasi. Berbeda dengan pendapat Hazeu-penasihat urusan pribumi. Menurut Hazeu, orang-orang macam Cokroaminoto, Abdul Muis, Hasan Djajadiningrat, dan lainnya masihlah loyal pada pemerintah kolonial dan bisa dipercaya. Hazeu menambahkan, bila pemerintah kolonial tidak memiliki itikad baik untuk memperbaiki keadaan di tanah jajahan, sikap mereka akan berubah dan menimbulkan kegoncangan di tanah Hindia juga. Tanggal 29 September 1916, Hazeu menulis surat pada Limburg Stirum, yang merupakan laporan atas Kongres tersebut. “Umumnja para utusan mengikuti pembitjaraan- pembitjaraan dengan perhatian. Tampak ada perhatian jang besar, kesungguhan dan tertib.”[xiii]
Sikap mencurigai pemerintah kolonial terhadap kaum pergerakan, terus berlangsung sampai pemerintah kolonial Hindia Belanda bertekuk lutut kepada Jepang. Semakin hari Limburg van Stirum semakin keras menyikapi kaum pergerakan. Setelah Limburg tidak lagi menjadi Gubernur Jenderal, penerus-penerusnya juga rajin membuang orang pergerakan ke Digul atau ketempat lain yang jauh dari pulau Jawa. Roem menulis: “ada seorang Gubernur Djenderal jang mengira bahwa Pemerintah kolonial dapat bertahan lama.” Gubernur Jenderal yang dimaksud Roem adalah de Jonge. Berkatalah dengan angkuhnya de Jonge, sang Gubernur Jenderal itu: ” Kami bangsa Belanda disini sudah 300 tahun. Kami akan disini 300 tahun lagi. Sesudah itu kita boleh bertjakap-tjakap.”[xiv]
Bagi Roem: “Hubungan pendjadjahan memang tidak wadjar dan bertentangan dengan martanat manusia. Hanja dalam dunia jang bebas, berdasarkan persamaan, manusia dari berbagai-bagai bangsa dan agama dapat harga-menghargai, pertjaja-mempertjajai serta bersahabatan jang murni.”[xv]
Roem, dasarnya sama saja dengan sebagian orang-orang dizamannya, menginginkan sebuah perubahan yang menghargai sesama manusia, tidak seperti apa yang diterapkan oleh politik kolonial yang membumi di tanah Hindia kala itu. Roem merasa menjadi Inlander sangat tidak manusiawi bahkan menyakitkan, lantaran kerap dihina oleh orang-orang Belanda totok juga Indo.
Banyak hal membuat Roem menyadari hal-hal macam itu, pendidikan modern barat yang didapatnya sejak di HIS, AMS bahkan RHS membawanya sampai pada logika bahwa semua manusia pada dasarnya sama dan rasialisme tidak bisa diterima Roem sebagai dasar stratitifikasi sosial masyarakat di Hindia. Pergerakan, seperti yang disadari banyak orang-orang cerdas pribumi yang peduli dan menginginkan persamaan sebagai manusia, adalah jalan menuju perubahan. Pergerakan apapun, entah Islam atau sekuler sekalipun.
Roem, dimasa pergerakan belumlah menjadi raksasa pergerakan seperti Agus Salim, idolanya. Roem sedang tumbuh besar dimasa itu dengan jalan yang dipilihnya. Roem hanya segelintir orang muda yang mulai dipandang kepemimpinan dan pengaruhnya bahkan nyaris tidak diperhitungkan oleh kawan dalam pergerakan atau oleh musuh bersama pergerakan, pemerintah kolonial. Bisa dibilang Roem adalah anak yang baru tumbuh dibawah bayangan raksasa pergerakan bernama Agus Salim yang pengaruh sudah diperhitungkan oleh orang pergerakan maupun oleh pemerintah kolonial sendiri.
Dia hanya seorang pemuda yang sedang mencari jatidirinya. Disaat itu pula dia sudah memperlihatkan kepemimpinan dengan baik, sebagai ketua Comite Sentral Barisan Penyedar, sebuah organisasi yang berani menempuh jalan berbeda dari pecahannya, PSII. Keterlibatannya bersama Agus Salim itu membawa Roem berperan dalam dunia pergerakan nasional.
Seperti banyak tokoh-tokoh nasional yang populer diawal kemerdekaan, dimasa mudanya pastilah melewati masa pergerakan, seperti halnya Roem. Masa dimana mereka masih duduk sebagai siswa sekolah menengah. Masa dimana mereka mulai berdiskusi dengan kawan sebaya, orang yang lebih tua atau bahkan sudah mulai bergerak seperti Roem

[i] Fachri Ali, Muhamad Roem: Diplomat Pejuang, Yanto Bashri &Retno Suffatni (ed),Sejarah Tokoh Bangsa, Yogyakarta, LKiS, 2005. h. 219.
[ii] Ibid.,, h. 223.
[iii] Fachri Ali, Muhamad Roem: Diplomat Pejuang, dalamYanto Bashri &Retno Suffatni, (ed)., h. 224: lihat cover belakang Mohamad Roem, Bunga Rampai Dari Sejarah, Jakarta, Bulan Bintang, 1972.
[iv] Fachri Ali, Muhamad Roem: Diplomat Pejuang, dalam Yanto Bashri &Retno Suffatni, (ed)., h. 224
[v] Ibid., h. 227.
[vi] Ibid., h. 228.
[vii] Fachri Ali, Muhamad Roem: Diplomat Pejuang, dalam Yanto Bashri &Retno Suffatni, (ed)., h. 228-229: Parakirti Simbolon, Menjadi Indonesia, Jakarta, Kompas, 2007. h. 761.
[viii] Fachri Ali, Mauhamad Roem: Diplomat Pejuang, dalam Yanto Bashri &Retno Suffatni, (ed)., h. 228-229: Parakirti Simbolon., h. 761
[ix] Fachri Ali, Mauhamad Roem: Diplomat Pejuang, dalam Yanto Bashri &Retno Suffatni, (ed)., h. 228-229: Parakirti Simbolon., h. 761.
[x] Lihat cover belakang Mohamad Roem, Bunga Rampai Dari Sejarah, Jakarta, Bulan Bintang, 1972.
[xi] Mohamad Roem, Bunga Rampai Dari Sejarah, Jakarta, Bulan Bintang, 1972. h. 15.
[xii] Ibid., h. 21.
[xiii] Ibid., h. 25.
[xiv] Ibid., h. 26.
[xv] Ibid., h. 27

Kamis, November 29, 2012

Nonton Remaja Jatuh Cinta

Katanya, masa SMA masa paling indah. Dan Film tentang kisah cinta anak SMA banyak muncul.

Adegan Ada Apa Dengan Cinta
 

Masa SMA masa yang paling indah, begitu yang disepakati sebagian dari kita semua.  Katanya, masa SMA masa yang paling indah. Ada yang pertama kali kenal cinta alias mulai pacaran. Ada yang pertama kali menyatakan cinta. Diantaranya ada yang naas ditolak. Sebagian lainnya berbahagia karena diterima, walau belakangan mulai menderita karena terkekang oleh pacarnya. Masa SMA, bisa jadi masa untuk belajar patah hati: entah karena ditolak sebelum menembak, ditolak setelah bersusah payah menembak,lihat  pacar selingkuh, diputus pacar dan kisah pahit lainnya. Mengenang masa SMA, bisa bikin tersenyum atau menangis, jika ingat bagian pahitnya. 

Film Ada Apa Dengan Cinta

Banyak film tentang masa SMA dibuat. Setidaknya, generasi remaja satu dekade silam tahu Ada Apa Dengan Cinta. Film besutan Rudi Sujarwo in dirilis tahun 2001. Dianggap salah satu tonggak kebangkitan film nasional, bersamaPetualaangan Serina.  Kisah cinta antara Cinta dengan Rangga yang unik. Rasa suka yang dipendam-pendam oleh Cinta itu ketahuan juga oleh teman-teman satu geng  di ekskul MAjalah dinDING.   


"Cinta (Dian Sastrowardoyo), 17 tahun, dipercaya mengelola majalah dinding sekolah bersama sahabatnya: Milly (Sissy Priscilia), Karmen (Adinia Wirasti), Alya (Ladya Cheryl), dan Maura (Titi Kamal). Mereka membentuk sebuah geng. Kenyamanan persahabatan ini berubah ketika Cinta bertemu dengan Rangga (Nicholaas Saputra), yang angkuh dan dingin, padahal mereka satu sekolah meski kehadiran Rangga tak terasakan. Rangga membawa Cinta masuk ke dunia "Lain" dari yang dihidupinya selama ini. Rangga juga membuat Cinta mulai "memisahkan" diri dari gengnya."  (kata Katalog Film Indonesia (1926-2005) hlm. 406-407, karya J.B. Kristanto)


Sebenarnya, Rangga tidak bermaksud memisahkan Cinta dari teman-temannya satu gengnya. Rangga hanya tak peduli saja dengan geng itu. Rangga
memang digambarkan angkuh dan dingin. Padahal, Rangga hanya orang pendiam yang asyik dengan dunianya. Tak sekali pun bermaksud angkuh atua dirinya tinggi. Kalau Rangga angkuh buat apa dia main sama Pak Bon sekolah. Jika Rangga itu dingin, kenapa dia memeluk Pak Bon yang dianggapnya seperti saudara. Maaf saya terlalu membela Rangga heheheh 

Poster film Gita Cinta Dari SMA

Lebih dari dua dekade sebelum Ada Apa Dengan Cinta  atau tiga dekade lebih sebelum sekarang (29 November 2012),  ada film Gita Cita dari SMA. Masih tentang kisah cinta anak SMA. Sutradaranya Arizal. Skenario ditulis Eddy Iskandar--yang sering menulis skenario film tentang anak muda. Film ini terlaris di masanya (1979).  Pernah disinetronkan, tapi filmnya saya kira lebih dasyat. Saya senang berulang kali menonton filmnya.


Kisah cinta (dua pelajar) SMA yaitu Galih (Rano Karno) dan Ratna (Yessi Gusman). Keduanya adalah bintang kelas, baik dalam pelajaran, olah raga maupun tindak-tanduknya. Pokoknya, mereka ini pelajar teladan. Cuma, kisah cinta mereka tidak kesampaian. Ayah Ratna telah menjodohkan putrinya dengan seorang insinyur. Dengan segala macam paksaan, percintaan mereka diputuskan. Cinta yang menggebu-gebu yang memberanikan mereka diam-diam selalu berkencan,toh hanya sekedar bertemu saja." (Begitu ulasan dari Katalog Film Indonesia (1926-2005) hlm. karya J.B. Kristanto).

Waktu saya kecil, film-film Rano Karno pernah diputar. Ceritanya selalu Rano Karno sebagai peran protogonis. Kadang-kadang, Tino Karno, yang di dunia yata adalah kakak kandung Rano Karno kadang dapat peran antagonisnya. Yessi Gusman sering tampil bersama Rano Karno sebagai sepasang kekasih remaja. Hingga saya berimajinasi kalau mereka berdua pasangan sungguhan. Maklum pikiran bocah korban infotainment.

Adegan dalam film Gita Cinta Dari SMA

Belakangan, saya sadar imajinasi saya salah. Yessi Gusman belakangan punya suami pengusaha yang sepertinya kena kasus. Nah Rano Karno jadi pejabat Sipil yang pernah sukses dengan sinetronnya Si Doel Anak Sekolahan. Mesti sudah Bapak-bapak Rano Karno identik dengan anak sekolahan. Harusnya Rano Karno diangkat saja jadi Menteri Pendidikan. Hahahaha

Adegan film Pengantin Remaja

Dua film di atas hanya sekedar contoh masih ada film lain bertema soal kisah cinta SMA. Di tahun 1971, ada film yang judulnya Pengantin Remaja. Dimana Sophan Sophian sebagai Romi dan Widyawati sebagai Juli. Wim Umboh adalah sutradaranya. Alur cerita dari film ini meniru Love Story yang diangkat dari novel Eric Siegel dengan judul sama yang kondang tahun 1970. Kisah cinta dengan ending tragis. Dimana ada kematian yang memsahkan pasangan tadi.  

Bucek Depp dalam Pengantin Remaja versi baru


Belakangan, ada lagi film dengan judul sama. Pemainnya adalah Bucek Depp sebagai Romi dan vivi Samodro sebagai Juli. Wim Umboh masih jadi sutradaranya. Ini film pertama Bucek yang saya tonton. Sebagai anak kecil, film ini bagi saya keren. Dan Bucek adalah cowok keren yang wajib saya tiru, dan saingi jika mampu. Entahlah, sampai hari ini film dengan tema percintaan remaja tetap menarik. Anak remaja memang butuh hiburan. Entahlah akan muncul fim palagi tetang tema-tema ini? Kita tunggu saja.

Soejarso: Opsir Paling Bejo Tempo Doeloe

Tak kejar pangkat, tapi inilah bekas Opsir KNIL paling mujur. Jadi Jenderal dan menikahi Perempuan pujaan kepala Negara dari Kraton Solo.

Pemuda ini terkesan kurang ajar bagi pemerintah Belanda di jaman kolonial. Pemuda ini bukan kominis. Juga bukan perusuh yang mengganggu ketentraman. Dia anak sekolahan, tak bakat jadi perusuh.
Suatu hari di tahun 1930an, di Bandung diadakan pemutaran film. Saat dinyanyikan lagu kebangsaan Belanda—Wilhelmus van Nassau—untuk menghormati Ratu Wilhelmina, semua orang harus berdiri. Tak mau bikin masalah, orang Indonesia, uka tidak suka harus berdiri. Tapi,  Soejarso Soerjosoerarso tidak mau berdiri padahal semua hadirin berdiri. Karakter kerasnya mirip Pangeran Samber Nyowo.
Bukan masalah besar karena pemuda itu tidak ditahan PID.[1] Tapi, hiup Soerjosoerarso kemudian menjadi bahan intaian PID saja. Ketika itu Soejarso masih sekolah di HBS[2] Bandung.  

Soerjo Soerarso prajurit turunan Kraton

Jadi Opsir KNIL
Soejarso, pemuda kelahiran tahun 1916 itu, akhirnya masuk KMA[3] Breda (Akademi Militer). Selama menjadi Kadet KMA Soejarso Soerjosoerarso adalah kadet yang telah mendapat pengawasan dari pimpinan KMA. Ketika menjadi KMA Breda, Soejarso sebenarnya sudah mulai berhati-hati. Dia tidak berdekatan dengan orang-orang pergerakan atau semacamnya.[4]
Tahun 1939, Soejarso dinyatakan lulus dan diangkat menjadivaandrig (calon perwira). Soejarso lalu kembali ke Indonesia sebagai perwira KNIL. Konon di bedinas di Infanteri, namun setelah bergabung dengan TNI dia ditempatkan di Kaveleri. Soejarso berdinas hampir 3 tahun di KNIL.  Soejarso, konon, pernah menjadi salah satu instruktur di KMA Bandung—dimana A.H. Nasution, T.B. Simatupang dan A.E Kawilarang jadi kadet. Sebelum 1942, pangkat Soejarso sudah Letnan Dua.  
Setelah KNIL kalah dan bubar, Soejarso tak lagi jadi opsir KNIL. Dia lalu menjadi inspektur polisi bersama Surjadi Suriadama—kelak Kepala Staf Angkatan Udara RI—yang juga letnan KNIL lulusan Breda juga. Hanya seumur jagung mereka jadi inspektur polisi.
Setelah Indonesia merdeka, mereka bergabung dengan tentara Republik. Semasa Revolusi kemerdekaan, Soejarso tak begitu dikenal. Dia memang kurang menonjolkan diri sebagai perwira. Meski pun dirinya adalah lulusan Breda. Dimana tak semua pemuda bisa belajar disana. Soejarso menghabiskan karirnya di TNI sebagai komandan di korps kaveleri. Terakhir pangkatnya adalah Mayor Jenderal TNI.
             Nasution, bekas muridnya dan juga bawahannya selama di KNIL,  pernah bercerita tentang Seojarso, saat ada pergeseran di detasemennya, Soerjo Soelarso protes dengan cara datang dan duduk diam di ruang kerja Nasution. Sikap Soejarso adalah sikap bangsawan Jawa. Dia memang masih terhitung keluarga Pangeran  Mangkunegaran.
            Banyak orang percaya, Soejarso adalah perwira tanpa ambisi. Dia tak begitu ingin jadi panglima seperti banyak perwira lain.

Pilihan  Gusti Nurul

Majalah LIFE edisi 25 Januari 1937 meliput Gusti Nurul, putri Mangkunegoro VII Surakarta, yang menarikan tari serimpi di Belanda saat pernikahan Putri Juliana dan pangeran Bernhard. Gadis itu, kemudian jadi kembang di jamannya. Dia adalah gadis Kraton dengan pendidikan barat. Gusti Nurul adalah gadis kraton yang hidup dalam alam kraton yang diliputi tradisi dan alam modern sekaligus.
Gusti Nurul menari di acara pernikahan anggota keluarga kerajaan Belanda
            Sebagai perempuan manis, banyak laki-laki terpandang menaruh hati padanya. Entah dari kalangan kraton bahkan diantara pemimpin Republik sendiri. Dua dari tiga Bung pemimpin Indonesia, kecuali Bung Hatta yang dingin terhadap perempuan, Bung Karno dan Bung Syahrir menaruh hati pada Gusti Nurul.  Bung Karno, konon pernah melamarnya di tahun 1945. Bung Syahrir konon memacarinya selama 3 tahun (1946-1949).
Soerjo Soerarso dengan Gusti Nurul dalam pernikahan mereka

            Dari semua laki-laki yang pernah ada, Gusti Nurul hanya memilih Soejarso—pemuda bekas opsir KNIL—itu sebagai suaminya.  Mereka menikah pada 21 Maret 1951. Jejak Gusti Nurul bisa ditelusuri di Museum Ulen Sentalu, Sleman, DIY. Dialah satu dari sekian opsir paling bejo di Indonesia Tempo Doeloe. Sudah jadi Mayor Jenderal dan dapat Putri idaman para orang besar tempo doeloe juga. Betul betul heibat! 


[1] PID: Politiek Intelichten Dienst

[2] HBS: Hogare Burger School (Sekolah menengah yang lamanya lima tahun)

[3] KMA: Koninklijk Militaire Academie (Akademi Militer Kerajaan)

[4] Buku Kenang-kenangan Alumni KMA Breda, op. cit., hlm. 83.

Minggu, November 25, 2012

Untuk Anak Sehat Dan Kuat

Di majalah pensiunan militer, yang terbit antara 1939-1940, tak sengaja saya menemukan iklan Quaker Oats.  Sebelumnya, yang saya tahu, itu makanan impor. Kini iklannya, konon ini makanan bagus untuk jantung. Di iklan, ditemukan narasi yang menceritakan ada anak sakit. Itu anak lalu dibawa ke dokter. Setelah itu anak ini makan Quaker Out. Kemudian, anak ini pun sehat kembali bahkan bisa aktif bermain seperti sedia kala. Setelah membaca itu iklan, orang-orang akan berpikir jika Quaker Out diberikan pada anak mereka, maka anak mereka akan sehat dan kuat 
 
Iklan Quaker Out

Ketika membuka koran-koran lawas yang terbit sebelum "Indonesia Merdeka", pernah temukan iklan Blueband margarin. Saya kaget, makanan ini sudah ada toh di jaman itu. Tapi saya segera mikir lagi, ini pasti makanan mewah. Agak susah anak-anak pribumi bisa makan yang seperti ini. Sayang, saya tak sempat mendokumentasikannya. Hanya yang teringat iklan itu makanan ditujukan buat anak-anak.

Iklan Blue Band dengan gambar Giman

Belakangan, di internet saya temukan lagi gambar iklan Blue Band lawas. Ada iklan yang menggambarkan sosok anak Jawa dan juga anak Tionghoa. Entah kenapa hanya dua anak itu? Mungkin, pasar ini produk masih di Jawa dan daya beli orang Tionghoa yang cukup baik. Si anak Jawa di gambar bernama Giman. Giman digambarkan sedang lesu, gurunya lalu menawarkan roti berlapis Blue Band , setelah memakannya Giman semangat lagi dan bermain lagi dengan cerianya di sekolah.   Si anak Tionghoa itu diberinama A Fuk. Digambarkan, A Fuk suka memelihara tanaman. Suatu kali A Fuk kelelahan. Ibunya lalu memberikan roti berlapis Blue Band.  A Fuk akhirnya semangat lagi. Selau ada tulisan: Sehat dan Kuat Blue Band. Jika ingin anak sehat dan kuat campurlah makanan anak anda dengan Blue Band.


Iklan Blue Band dengan gambar A Fuk
Dari iklan-iklan tadi, Blue Band selalu berteman roti. Akhirnya, orang pun harus beli roti juga. Atau kalau orang beli roti, dia sebaiknya beli Blue Band. Keduanya, tak lain adalah makanan yang sulit diapat oleh orang tua jaman dulu. Jadi, tak semua anak di yang alami masa bocah sebelum tahun 1960an bisa makan roti. Mereka hanya tahu roti sumbu alias singkong. Sudah syukur bisa makan singkong. Ya biarlah. Namanya juga iklan. TOch orangtua selalu berusaha beri makanan yang terbaik buat anaknya agar sehat dan kuat juga.


Anak-anak butuh makanan bergizi. Itu jelas sekali penting. Apapun bentuknya. Bukan sekedar iklannya saja. Banyak orang merasa berdosa melihat anak kelaparan. Sebagian anak Indonesia pernah alami kesulitan makanan. Entah berapa kali? Di jaman tanam paksa, anak-anak kelaparan pun tak bisa dihindari karena orangtua mereka tak sempat ke sawah karena dipaksa menanam tanaman non pangan untuk kepentingan kolonialis dan pendukungnya. Di masa pendudukan Jepang, hingga masa revolusi Indonesia anak kelaparan masih ditemukan. Entah hari ini? Dan kita semua sedang menghindari itu terulang kembali.