Sabtu, Juni 09, 2012

Kenapa Kitorang Kudu ke Universiteit

Universiteit di Indonesia memang rusak adanya. Tapi, bukan berarti tidak bisa bikin orang terpelajar. Masih ada harapan disana.
 Teringat kata-kata, “orang terpelajar adalah orang yang berpikir adil sejak dalam pikirannya.” Teringat Minke. Teringat orang-orang yang dulu disebut kaum terpelajar. Asal pernah injak sekolah, setidaknya sampai MULO, pun dulu disebut orang terpelajar. Sekarang, orang masuk universitas pun diragukan jikalau dia sebagai terpelajar.

Dahulu kala, Tan Malaka yang jebolan sekolah guru di Belanda bisa jadi ahli ideologi di hormati kaum komunis. Dia punya buku hebat, Madilog. Sebuah karya jenius. Sangat jenius buat orang Indonesia. Tan Malaka pernah ke Eropa. Tapi bukan untuk kuliah di universitas-universitas keren yang ada di kota Rotterdam, Delft, Amsterdam atau Leiden.

            Syahrir cuma dua tahun saja di ‘negeri penjajah’—pinjam istilah dari Harry Albert Poeze. Meski tak jelas kuliahnya, masa-masa di Negeri penjajah itulah Syahrir belajar banyak soal sosialisme dan mimpinya akan perubahan Indonesia. Tak ada yang sadari jikalau di kemudian hari Syahrir bisa ikut bikin perubahan di Indonesia, tak juga ayahnya yang Jaksa pemerintah kolonial. Kakak tiri Syahrir, Roehana Koedoes, yang tak makan bangku sekolah pun tak kalah hebatnya.

            Ini dia contoh ‘mapala’—mahasiswa paling lama. Siapa lagi kalau bukan Muhamad Hatta. Sebelas tahun kuliah di Negeri Penjajah.  Dia pernah hampir selesai di sebuah program studi. Tapi dia pindah. Di kemudian hari dia jadi ekonom. Hatta juga seorang aktivis pergerakan yang tak bisa disangkal jasanya.

            Masih banyak daftar orang Indonesia yang belajar di Eropa. Kitorang Indonesia tak pernah lupa sama Baharudin Jusuf Habibie alias Rudy. Semua orang sepakat dia jenius karena bisa bikin pesawat terbang. Dia bisa bikin orang Indonesia jaya di udara. Rudy pernah kuliah di Jerman. Dia cukup diakui sebagai teknokrat.

            Kitorang sepakat, “kalau mau pinter ya harus belajar.” Cuma itu jalannya. Terserah dengan gaya belajar macam apa. Orang Islam sepakat sama Muhammad SAW punya omongan, “tuntutlah ilmu sampai ke negeri China.” Orang-orang tafsirkan ini ajakan buat kitorang semua kejar ilmu walau kita harus jauh tinggalkan kitorang punya kampung halaman.

            Lebih dari seabad lalu, Belanda terpaksa itu Politik Etis (baca: politik balas budi). Bukan melulu balas budi—yang seperti namanya. Ini juga dalam rangka agar tenaga terdidik tersedia buat kepentingan kolonialis. Tapi, yang namanya orang terpelajar seperti kata Pram dan Minke, kudu adil sejak dalam pikiran.
Butuh banyak orang pinter biar ini negeri merdeka dan maju. Tapi sayang, seperti kata orang ini negeri seperti tidak butuh orang pinter. Meski banyak pemimpinnya yang bebal, yang tidak bisa bedakan orang pinter  sama orang licik. Tak bisa bedakan orang pinter dengan robot.

Inilah Indonesia masa kini. Katanya merdeka tapi universitas atawa Universiteit bikinan pemerintah gagal bikin orang Indonesia jadi pinter. Universiteit di Indonesia banyak bikin orang-orang bermental robot daripada orang pinter en kreatif. Gagal bikin Rudy-Rudy yang kuasai teknologi maju. Gagal bikin guru bangsa atau orang hebat macam Tan Malaka atau Hatta. Tapi, meski busuk, tetap saja Universiteit masih potensial bikin orang pinter. Punya potensi bikin orang terpelajar yang sebenarnya. Yang berpikir adil.
Biar kata ini masalah super kronis, ini negeri agak beruntung sekali. Ada banyak anak mudanya yang masih punya mimpi tinggi buat jadi orang pinter dan bersikap jujur serta adil. Walau banyak dari mereka dihancurkan cita-citanya, tapi mereka seperti tak pernah berhenti bermimpi soal perubahan dan kejayaan ini negeri. Kalau kitorang muda, kitorang kudu punya mimpi. Jangan ngaku anak muda kalau tidak punya mimpi.

Mari kita ingat kata Minke en Pram, kalau orang yang terpelajar adalah orang yang berpikir adil sejak dalam pikirannya. Buat apa pinter kalau pincang pikirannya? Kalau ini dunia dipimpin orang pinter en adil, maka dunia ini aman damai. Sebaliknya, kalau pemimpinnya cuma pinter(pinteran)—ngibulin orang buat bikin kenyang perut atas en puaskan perut kebawah—lupakan saja mimpi Indonesia merdeka.
Nah. Kalau kita mau pinter en adil, kitorang punya banyak jalan. Kitorang bisa ke universiteit (sebutan universitas buat orang Belanda). Mari belajar adil en berusaha jadi pinter. Itu kenapa kitorang kudu ke universiteit. Biar kitorang juga bisa rubah Universiteit biar bisa bikin orang-orang terpelajar sejati--yang berpikir adil ari hati dan pikirannya. Bukan melulu seperti pabrik bikin sarjana. Semoga saja, kitorang adalah orang-orang terpelajar sejati itu.

NB: Terbikin untuk semua murid yang haus belajar! Mantap jaya buat kitorang semua!!