Kamis, Mei 15, 2008

Melihat Nias

Mas Jajang kirim Email, dia bilang dia mau launching buku. Bisa ditebak, buku itu tentang Nias. Dia satu dari sekian orang dari Jogja yang punya fokus tentang Nias. Mas Jajang, begitu dia dipanggil, tidak lain adalah dosen muda arkeologi UGM. Dia begitu jatuh cinta pada Nias, mungkin jauh lebih cinta dibanding orang Nias sendiri. Dia merasa memiliki Nias dengan begitu dalam. Buku "Melacak Batu Menguak Mitos" satu bukti kecintaannya yang dalam itu. Itulah Jajang Agus Sonjaya.

Mas Jajang begitu bersemangat bercerita pengalamanannya di pulau yang hampir miring bernama Nias. Banyak hal yang ingin dia lakukan di Nias. Dia cerita tentang seorang Salawa (kepala kampung) yang nestapa karena ditinggal mati istrinya. Salawa itu juga, mungkin akan ditinggalkan oleh masyarakat Nias yang mulai urban. Gelar Salawa akan menyiksa dalam hidup karena sebagian masyarakat Nias mulai tertelan mentah-mentah modernisasi yang sudah sampai di Gunung Sitoli.
Nias tidak lagi seperti dulu. Seperti sebelum Deninger memulai misi kristenisasi di Nias. Hal menyeramkan seperti Ngayau (penggal) kepala tidak lagi ada di Nias setelah Deninger datang. Agama lain, Islam berhasil menggasak daerah pesisir Nias. Bukan sesuatu yang buruk memang. Beberapa orang mungkin akan menyesalkan akibat yang begitu dalam masuknya agama baru, beberapa orang bilang agama modern, bagi kebudayaan Nias kuno. Karena hilangnya kaum Pagan (penyembah patung) yang berubah menjadi Vandalis (penghancur patung) dalam skala kecil, orang-orang Nias sekarang bukan lagi orang Nias yang dulu. Tanpa sadar mereka telah tercerabut dari akarnya. Mereka lebih merasa nyaman dengan apa yang datang sekarang. Agama baru telah membunuh hal-hal lama yang merupakan pembentuk budaya Nias kuno. Orang Islam Nias, lebih memilih membuang jauh-jauh taring babi. karena babi dilarang oleh Islam.
Kolonialisasi Hindia Belanda adalah vandalis terbesar bagi kebudayaan Nias kuno. Sebelumnya VOC sudah membakari rumah kuno khas Nias. Karenanya, jumlah rumah adat khas Nias berkurang, meski banyak rumah adat Nias masih tersisa di desa Bowomataluo, Teluk Dalam. Demi memudahkan kolonialisasi, Agama Kristen, menjadi sarana kolonialisasi. Artinya pemerintah Hindia Belanda, dengan terselubung, telah menyimpangkan tujuan Orang-orang suci Zending (lembaga Kristenisasi). Tidak hanya di Nias, tapi juga di Kalimantan. Dua nama itu, punya latar belakang kehidupan yang masih bebas dari kultur Islam dan Jawa.
Bisa dibayangkan bila kolonialisasi Hindia Belanda tidak memperalat kaum Zending. Hindia Belanda hanya angin lalu bagi masyrakat yang sederhana itu. Secara halus, politik terselubung pemerintah kolonial itu merubah banyak hal dalam kemasyarakatan di Nusantara, begitu pun di Nias.