Rabu, Juli 07, 2010

Perwira Polisi Korup: Pemuja Rahasia van Rossen


Beberapa waktu lalu, saya dengar majalah Tempo diborong dalam jumlah besar. Entah oleh kelompok mana? Kemudian, saya baru tahu, jika cover majalah Tempo edisi 28 Juni –4 Juli 2010 itu bergambar polisi senior memegang kekang beberapa ekor celeng (babi) gemuk. Laporan utama edisi itu adalah Rekening Gendut Perwira Polisi. Aksi borong itu tentunya membuat publik berpikir bahwa polisi-lah yang memborong majalah-majalah itu hingga sulit dicari di pasaran.
Beberapa hari kemudian ada berita jika kantor Tempo dilempar bom Molotov. Lagi-lagi tidak tahu pasti siapa pelakunya. Judul artikel beserta covernya itu tentu bias bikin gerah petinggio Polisi, terutama yang merasa memegang rekening. Sebuah tanda bahaya.
Aksi borong dan pelembaran bom Molotov itu, membuat banyak orang berfikir jika polisi ada balik semua aksi tadi. Beberapa orang berpikir, polisi lakukan itu demi menjaga nama baik korps. Tapi kebenaran belum terkuak. Kita semua hanya bisa berspekulasi. Tanpa tahu siapa pelaku sebenarnya. Ini hanya permainan yang menguntungkan pihak tertentu.
Polisi korup bukan hal aneh. Film-film Mandarin, Hollywood, juga film-film Bollywood sudah sering mengangkat cerita tentang polisi-polisi korup. Terutama kelas perwiranya. Anak kecil juga tahu sepertinya.
Polisi bukan sosok yang menyenangkan bagi banyak orang Indonesia. Polisi bahkan bukan pengayom, seperti dalam jargon-jargon mereka. Rasa aman pada masyarakat pun gagal diberikan polisi. Polisi masih hanya sebagai alat politis semata. Polisi hanya dikenal sebagai tukang tilang di jalan raya.

Dulu Memang Ada Yang Begitu

Tidak ada yang kaget soal polisi sekarang korup. Sebelum orang Indonesia, pimpin kepolisian, zaman kolonial sudah ada polisi korup. Tanggal 24 Oktober 1923, suratkabar Oetoesan Melajoe-Perobahan, menulis Asisten Residen Meester Cornelis (Jatinegara), Jakarta, bernama Beck telah diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya. Pemecatan Beck itu terkait dengan penggelapan uang belasting (pajak perorangan). Rupanya, Beck bukanlah pelaku utama, masih terdapat nama komisaris polisi van Rossen dan bekas kepala Accountandiesnt, yang paling aktif berperan dalam penggelapan terkait dengan posisinya sebagai kepala akuntan. Beberapa pelaku penggelapan uang negara itu akhirnya akan dihadapkan ke Raad van Justitie di Betawi (Jakarta).
Kejadian itu bikin gempar pemerintah kolonial Hindia Belanda di Batavia. Pada 2 November 1923 Di Istana Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jakarta telah diadakan konferensi. Konferensi dihadiri oleh sekretaris pemerintah kolonial, Welter--yang kemudian menjadi Menteri tanah Jajahan Belanda. Pembicaraan konferensi itu mnyengkut siapakah yang akan diajdikan Kepala Komisaris Polisi Betawi pasca terbongkarnya penggelapan yang dilakukan oleh van Rossen--Komisasris Polisi sebelumnya. Lowongan ajun komisaris Polisi Bogor juga dibicarakan. Kali ini pemerintah akan lebih berhati-hati dalam menunjuk seorang komisaris polisi yang membawahi dua daerah penting pusat kekuasaan kolonial Hindia Belanda itu.
Tanggal 6 November 1923 Tersiar kabar bahwa Seorang perwira militer dalam dinas militer Hindia Belanda akan diangkat menjadi Kepala Komisaris Polisi Betawi. Pengangkatan iini terkait dengan terjadinya kecurangan-kecurangan orang-orang dalam tubuh kepolisian Betawi. Tidak hanya perwira, personil lain kepolisian juga akan diambil dari orang-orang Militer, karena orang-orang sipil yang menjadi polisi itu tidak bisa bekerja dengan baik dan jujur.
Tanggal 15 November 1923 Oetoesan Melajoe Peroebahan kemudian juga memberitakan Politie Bond (Perkumpulan anggota Polisi) yang merasa tidak senang dengan rencana pengangkatan orang militer sebagai kepala Polisi di Betawi menyatakn keberatannya. Mereka akan mengajukan keberatan mereka pada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Jakarta. Mereka tidak menginginkan adanya campur tangan militer dalam kepolisian dalam wujud pengangkatan seorang perwira militer sebagai kepala polisi yang membawahi wilayah sebesar Betawi. Penolakan ini bermula dari rencana pemerintah kolonial untuk mengangkat seorang perwira militer untuk menggantikan komisaris polisi van Rossen yang terlibat kasus pengelapan uang negara.

Van Rossen Belum Mati

Kasus van Rossen adalah kasus klasik yang kerap berulang. Orang-orang Indonesia tentu bisa, bahkan mudah membayangkan, jika perwira polisi ala van Rossen masih ada. Yang digelapkan tentu bukan lagi uang belasting, seperti zaman kolonial. Bisa uang tilang dari pelanggaran pengendara di jalan raya.
Kawan saya, Oryza Aditama, pernah membaca di sebuah Negara barat, uang tilang bisa membangun jalan layang. Betapa pelanggar hukum pun berkontribusi pada pembangunan. Disini, Indonesia katanya, tidak pernah jelas kemana uang tilang dipergunakan.
Polisi adalah orang bersenjata paling kaya. Seperti para mafia cosa nostra di pulau Sicilia, Itali sana. Bedanya hanya yang berseragam tentu lebih sok suci. Alias pakai bawa nama Tuhan, ketika disumpah sebelum menjadi dan menjabat. Kita tahu sekarang itu omong kosong.
Polisi Indonesia, terutama kalangan perwira tertentunya, seolah dirasuki jiwa-jiwa van Rossen. Bukan jiwa Pancasila—yang rajin diobral di khalayak. Van Rossen adalah contoh pejabat polisi korup yang tentunya tidak patut diitiru.
Meski tidak layak ditiru oleh polisi Indonesia, setelah puluhan tahun Indonesia merdeka,polisi Indonesia adalah masih juga korup. Seperti para polisi yang menjajahnya. Saya yakin polisi Indonesia tidak pernah tahu siapa dan apa yang dilakukan van Rossen, tapi kelakuan van Rossen banyak ditiru sebagian perwira polisi.
Saya tidak tahu nasib van Rossen setelah korupsinya terbongkar. Van Rossen masih tetap ada dan tidak pernah mati, karena sebagian perwira polisi Indonesia adalah pemuja rahasia van Rossen.

Dari Polisi Kebon ke Densus Acak Acak


Seharusnya, orang-orang Indonesia muntah dengan polah sok aksi para polisi yang mengatas-namakan pemberantasan teroris. Menangkap orang yang dicurigai seperti penculik aktivis 1998. Pemeriksaan terhadap tersangka terorisme juga tidak pernah terbuka. Tidak ada azas praduga tak bersalah salah. Bagi sebagian orang tampak hebat. Bagi kemanusiaan itu jelas menjijikan.
Polisi bersenjata semacam Densus 88, katanya dibiayai oleh Amerika Serikat. Wajar jika tunduk pada kepentingan Amerika Serikat untuk memberantas orang yang disebut teroris. Polisi, dalam hal ini Brigade Mobil, memang sudah menjadi alat AS sejak zaman revolusi Indonesia. Ketika CIA-AS tidak percaya pada TNI AD, maka polisi Indonesia dibina untuk menghabisi kaum komunis. Tidak heran jika kemampuan Brimob setara dengan tentara. Sekarang, ketika komunisme habis, maka musuh lain terorisme adalah kelompok Islam garis keras. Dan jika Islam garis keras, entah siapa yang akan dihabisi. Begitulah alat amerika kebanggan Indonesia itu. Sejarahnya juga cukup panjang.

Polisi Kebon
Zaman Hindia Belanda terdapat istilah Veldpolitie. Di Italia terdapat istilah Carabinieri. Semacam pasukan para-militer. Tidak diketahui, Negara mana yang menggunakan pasukan semacam ini untuk pertama kalinya. Namun di Eropa pernah ada pasukan marechaussée—yang di Indonesia disebut Marsose.
Di Hindia Belanda, Marsose adalah pasukan gerak cepat dengan seragam hijau dengan tanda garis bengkok warna merah pada lengan dan leher terdapat gari merah. Dalam tugasnya, mereka dibekali senjata khas penduduk setempat, semacam klewang. Mereka memakai bedil dengan ukuran yang lebih pendek dari bedil biasa, karaben. Mereka tidak tergantung pada angkutan militer dan biasa berjalan kaki. Mereka tidak bergantung pada jalur suplai logistik.
Pemerintah Kolonial sendiri memiliki pasukan para-militer di kepolisian. Mereka bersenjata karena biasa dikerahkan menghadapi para pemberontak dan perusuh yang tidak puas dengan kebijakan pemerintah kolonial yang dirasa menindas. Pasukan para-militer ini setidaknya sudah ada sejak 1919.
Pada 17 Februari 1919, Mr. Hoorweg berangkat ke Jawa Tengah dengan tujuan akan membentuk veldpolitie (polisi lapangan). Awalnya ada kabar yang menyatakan bahwa van Hambracht akan diangkat menjadi inspektuur (inspektur) dari veld politie. Tetapi kabar tersebut seakan sirna saat diketahui bahwa tahun ini van Hambracht ada keinginan untuk pergi ke Eropa dan telah mendapatkan ijin dari atasannya.
Awalnya veld politie ini bernama Gewapende Politie (polisi bersenjata). Tugasnya antara lain, Menjaga keamanan dan ketertiban serta meredam segala konflik dengan tetap menjunjung tinggi hukum sipil agar tindakan yang merupakan tugas aparat militer tidak terjadi. Veld politie inilah yang bisa dikatakan sebagai organ polisi pertama kali yang kontak secara langsung terhadap beberapa perlawanan massa, sebelum aparat militer turun tangan secara langsung jika situasi benar-benar sudah tidak terkendali. Brimob POLRI saat ini sebenarnya sedikit banyak juga merupakan metaforfosis dari paramiliter era penjajahan Belanda ini.

Semakin hari, karena semakin panasnya gerakan perlawanan kaum Merah, maka pada 31 Maret 1927 Departemen Dalam Negeri berencana melakukan Perluasan polisi dengan penambahan veldpolitie (polisi kebon).
Kerusuhan adalah gangguan yang dialami oleh pemerintah Kolonial yang ingin menegakan Rush en Orde. Salah satunya adalah pencegahan menghindari kerusuhan besar karena bentrokan kecil di Banten tahun 1932. Banten sendiri pernah terjadi pemberontakan beberapa kali. Jadi kali ini Pemerintah Kolonial langsung mengirimkan pasukan Veldpolitie-nya.
Veldpolitie juga tidak hanya menanggulangi kerusuhan tapi dilibatkan juga dalam membantu tugas polisi lain. Seperti penggerebegan pabrik minuman keras. Seperti yang terjadi pada 30 Maret 1930. Dimana Petugas Veldpolitie di Tebingtinggi, tidak jauh dari Simujur, Sumatra Utara, ikut membongkar sebuah pabrik minuman keras yang tertangkap basah sedang melakukan kegiatan membuat minuman keras. Enam buah ketel, lima buah tong dan 15.000 tapeh disita. Dalam sehari pabrik tersebut dapat memproduksi 100 kaleng arak. Namun dari 10 orang pembuat arak, hanya 3 orang yang tertangkap, salah seorang yang tertangkap adalah penghulu.
Pasukan paramiliter Veldpolitie jelas dibutuhkan kehadirannya oleh pemerintah kolonial. Karena kehadiran militer sebisa mungkin dibatasi oleh pemerintah kolonial. Jadi Veldpolitie begitu diandalkan untuk menjaga ketertiban masyarakat di daerah yang pernah terjadi pemberontakan.
Tentu saja Pemerintah Kolonial menaruh perhatian begitu besar pada kesatuan Veldpolitie ini. Selain penambahan personil, tentunya pemerintah berpikir untuk melokalisasi tempat tinggal anggota Veldpolitie agar bisa digunakan sewaktu-waktu. Karenanya sebuah tangsi bagi tempat tinggal dan koordinasi agar kerja Veldpolitie efektif, seperti halnya KNIL.

Lalu Jadi Polisi Istimewa
Menjelang runtuhnya Hindia Belanda, Veldpolitie masih ada. Meski kemudian nama Veldpolitie tidak disebut, namun sejarah Veldpolitie atau Polisi Lapangan masih ada walau sempat sementara waktu dizaman Jepang. Hanya berganti sistem, bentuk, nama dan juga ditambah fungsinya namun intinya tetap saja sebagai pasukan polisi bersenjata yang bisa bergerak kemana saja.
Pemerintah militer Jepang menginginkan adanya tenaga cadangan yang dapat digerakkan dengan cepat dan memiliki mobilitas yang tinggi. Jika keadaan memerlukan, cadangan polisi ini dapat berperan sebagai tenaga tempur, keinginan ini akhirnya terealisasi dengan terbentuknya polisi khusus yang disebut Tokubetsu Keisatsu Tai (Pasukan Polisi Istimewa) pada April 1944.
Anggotanya terdiri dari para Polisi Muda serta Pemuda Polisi. Tokubetsu Keisatsu Tai didirikan di setiap keresidenan seluruh Jawa-Madura dengan fasilitas persenjataan lebih lengkap daripada Polisi Umum. Para calon anggota Tokubetsu Keisatsu Tai diasramakan serta memperoleh pendidikan dan latihan kemiliteran dari tentara Jepang. Maka dari itu, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa anggota Tokubetsu Keisatsu Tai adalah pasukan yang terlatih, berdisiplin tinggi, terorganisasi dengan rapi dan memiliki persenjataan yang cukup baik.
Di setiap keresidenan wilayah Jawa-Madura pada akhir tahun 1944 telah dibentuk Tokubetsu Keisatsu Tai dengan kekuatan satu kompi yang beranggotakan 60 sampai 200 orang, tergantung pada situasi wilayah kompi tersebut berada di bawah kekuasaan Polisi Keresidenan, umumnya Komandan Kompi berpangkat Itto Keibu (Letnan Satu).
Ketika Jepang menyerah kalah kepada sekutu dan kemudian Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, pada saat itu pula ‘masa penggemblengan’ Tokubetsu Keisatsu Tai telah cukup. Bersama-sama dengan rakyat dan berbagai kesatuan lainnya, anggota Tokubetsu Keisatsu Tai telah bahu-membahu ikut merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Tanggal 14 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Tentu saja memberi pengaruh pada polisi di Indonesia. Jika anggota PETA dipulangkan dan senjata dilucuti, maka polisi sebagai penjaga ketertiban masih menyandang senjatanya. Jadi polisi adalah satu-satunya kesatuan militer yang masih utuh, baik personil dan persenjataan ketika Revolusi Indonesia dimulai.
Selanjutnya, satuan polisi bersenjata tinggalan Jepang itu menamakan diri mereka Polisi Istimewa yang tunduk pada Proklamasi Sukarno Hatta 19 Agustus 1945. Selanjutnya Polisi-polisi harus bekerja lebih keras daripada sebelum laykanya tentara. Mereka tidak sempat jalani tugas sebagai polisi penertib. Mereka terpaksa jadi pasukan tempur atas tuntutan revolusi Indonesia—yang dalam bahaya karena kedatangan Tentara Belanda dengan KNIL-nya.

Jadi Brimob
Dalam usaha penyempurnaan Pasukan Polisi Istimewa, yang ketika itu masih terdapat banyak sebutan seperti Polisi Istimewa, Pasukan Polisi Istimewa, Barisan Polisi Istimewa, maka Komisaris Polisi Soemarto, yang ketika itu menjabat Wakil Kepala Kepolisian Negara mempunyai inisiatif agar Pasukan Polisi Istimewa diubah namanya menjadi Mobile Brigade (Mobrig) dan kemudian akhirnya menjadi Brimob. Dizaman pergolakan daerah dekade 1950an, Brimob juga ikut terjun menumpas pemberontakan daerah seperti PRRI/Permesta dan DI/TII.
Republik Indonesia pernah mendapat bantuan pelatihan militer dari Amerika. Latihan militer itu lalu diberikan pada Polisi bersenjata atau Brimob. Tentu saja kemudian Brimob menjadi semakin membangun diri sebagai kesatuan paramiliter yang memiliki kemampuan tempur seperti halnya pasukan darat milik Angkatan darat. Tidak heran diakhir orde lama Brimob dan KKO menjadi kekuatan yang cukup diperhitungkan.
Polisi brsenjata itu juga kemudian mendapat senjata AR-15—yang cukup mutakhir dizamannya. Tidak banyak kesatuan militer RI lain yang memilki senjata macam itu dizamannya. Senjata buatan Amerika Serikat itu adalah saingan AK-47 yang legendaris.
Brigade Mobil itu tentunya diperhatikan oleh Amerika Serikat—yang sedang giat-giatnya melakukan propaganda anti komunis. Tentu ada maksud dalam memperkuat Brimob. Tentu demi menghancurkan kaum komunis.

Mengacak Rumah
Ancaman terorisme, yang cendrung pro Marxis, di tahun 1970an, membuat banyak Negara di dunia barat maltih kembali polisi bersenjata mereka. Hingga akhirnya lahirlah semacam tim SWAT dalam penanggulangan teroris itu. Di Jerman Barat, yang mendapat serangan teroris dalam Olimpiade Munich, terpaksa membentuk tim polisi khusus legendarisnya, GSG 9 yang menjadi kiblat polisi khusus dunia.
Di Indonesia, juga terdapat Gegana. Hingga kemudian terbentuklah Densus 88. Dengan tujuan yang tentu sama dengan GSG 9 milik Jerman. Densus memdapat peralatan tempur terbaik tentunya. Seperti senapan MP 5 maupun senjata api dengan tingkat akurasi yang cukup baik. Selama ini, tim ini cukup mendapat pujian dari kepala Negara. Namun juga kritik atas aksi mereka di Temanggung yang dianggap beberapa pihak tidak efktif.
Aksi densus 88 di Temanggung itu terkesan serampangan. Karena banyak tembakan sia-sia yang dilakukan tim densus ke arah rumah dimana seorang yang diduga gembong teroris. Padahal orang yang mereka serang jelas lemah dan bukan perkara sulit, karena sudah terkepung. Aksi buang peluru itu tentu sangat mengganggu penduduk sekitar area penangkapan.
Selain aksi di Temanggung, masih di daerah Jawa Tengah, tim densus juga menggeladah rumah yang diduga dihuni oleh seorang teroris. Banyak orang tidak percaya atas dugaan polisi itu. Di rumah itu polisi tidak menemukan apa-apa. Sebuah pekerjaan sia-sia. Satuan yang banyak habiskan uang ini tidak berbuat banyak pada rakyat Indonesia. Hanya tuduhan dan isu keji atas seseorang sebagai teroris saja yang bias ditebar satuan ini. Juga kerusakan akibat aksi main tangkap yang sok aksi layaknya film Hollywood.
Sebaiknya Densus 88 kita sebut Densus Acak-acak yang tidak berguna bagi sebagian rakyat Indonesia, kecuali beberapa elit pemerintah yang begitu sujudnya pada kepentingan AS. Akan lebih berguna jika satuan ini dikerahkan untuk menghabisi kapal-kapal asing pencuri kekayaan laut Indonesia.