Minggu, Desember 30, 2007

Makassar Yang Panas (Agustus 1950)

Beberapa hari setelah pelantikannya sebagai perwira TNI, Andi Azis beserta pasukannya menyerang perumahan perwira TNI di staf kwartier dan asrama CPM di Verlegde Klapperlaan (jl Walter Mongisidi). Alibi pemberontakan adalah akan mendaratnya pasukan TNI, Batalyon Worang, pada April 1950 ke Sulawesi Selatan. Berita akan terjadinya pendaratan itu mendapat tentangan dari Andi Azis. Andi Azis menyatakan: “buat apa didatangkan pasukan APRIS dari Jawa, toh pasukan ex KNIL di Makassar-pun telah pasukan APRIS dan sanggup mengamankan NIT.”

Tindakan Andi Azis untuk menentang kedatangan TNI di Makassar mendapat dukungan dari banyak serdadu KNIL di MAkassar dan sekitanya. Sebelum penberontakan mereka mengadakan rapat tanggal 3 April 1950. Bekas serdadu KNIl tersebut membentuk ‘Panitia Pembentukan Peralihan KNIL ke APRIS’ yang disingkat PPPKA. Sebagai ketua, ditujnjuk bekas Sersan Mayor (KNIL) Christoffel. Rapat ini dikunjungi 700 orang anggota KNIL. Mereka mengeluarkan mosi: mendesak pucuk pimpinan KNIL dan APRIS supaya KNIL Makassar dimasukan ke APRIS; mendesak pemerintah RIS supaya pengiriman bekas TNI ke Indonesia timur ditunda untuk sementara waktu; mendesak pemerintah NIT mencegah kedatangan di Makassar dan seluruh NIT dari APRIS bekas TNI. Alasan yang dikemukakan dalam mosi itu adalah belum ada jaminan keamanan untuk anggota-anggota KNIL.

Hari rabu 5 April 1950 pukul 5 pagi, pasukan Andi Azis mengadakan gerakan pendadakan, menyerang asrama CPM dan perumahan perwira Staf Kwatier TNI. Dalam seranga ini letnan colonel Mokoginta dan pengawalnya disandera. Sebagian CPM tertawan dan sebagian lagi mundur untuk selanjutnya bergerilya. Mengenai tertawannya Mokoginta: sekitar pukul 5 subuh 5 April 1950 itu seorang komandan peleton dari pasukan Andi Azis dengan pangkat Pembantu Letnan datang pada Mokoginta dengan diantar letnan du Tumbelaka. Pada Mokoginta diminta diminta agar dirinya datang ke kamp Andi Azis. Sebagai Letnan Kolonel, permintaan dari kapten bawahannya itu ditolak oleh Mokoginta. Ketiak Mokoginta hendak menelpon Andi Azis, rupanya jaringan telepon telah diputus. Ketika akan berangkat ke markasnya, Mokoginta dicegat seorang bintara dan tiga anak buahnya. Tanpa bisa melawan Mokoginta-pun ditahan setelah yakin keluarganya aman. Bersama stafnya dia dibawa ke markas Andi Azis.

Kepada Letnan Kolonel Ahmad Yunus Mokoginto, Andi Azis—yang dalam TNI berstatus bawahan—mengatakan pada Mokoginto: “Het Pijt me, Overste, maar ik moct het doen”
Setelah Andi Azis menawan panglima TNI itu, pasukannya ditempatkan didaerah strategis dinbalik-balik bukit untuk menghadapi pendaratan Worang. Mereka mengatur arah dan posisi senjata watermantel mengarah ke kapal. Sebuah pesawat pembom B-25 Mitchel, rupanya telah siap membantu perlawanan Andi Azis. Dengan Mokoginta ditangan, Andi Azis meminta lewat Mokoginta agar pasukan jangan mendarat. Kekuatan pasukan Andi Azis ada sekitar 800 orang dengan senjata lengkap dengan lindungan senjata berat dan kendaraan lapis baja kL di Makassar yang berhasil dirampas.

Ketika pasukan Andi Azis berontak, letnan Kolonel Musch, pimpinan militer Belanda di Makassar tidak bisa berbuat apa-apa. Tanggal 5 April itu juga, kapal Waekelo dan Bontekoe yang mengangkut seribu prajurit TNI dari Batalyon Worang tiba di pantai Makassar. Karena kapal tidak bisa merapat, maka kapal bertahan di laut. Karena ada beberapa anggota kelurga pasukan, maka kapal untuk sementara mendarat di seberang pulau Sulawesi. Ada anggota keluarga pasukan yang untuk sementara ditinggalkan di Balikpapan karena kota Makassar jelas tidak aman—termasuk bagi penduduk Makassar sendiri apalagi pendatang dengan seragam TNI.

Tindakan Andi Azis tidak mengatasnamakan KNIL tetapi APRIS dan pemuka NIT macam Sukowati tidak ada sangkut paut denga gerakan militernya. Tujuan utama Andi Azis adalah memerptahankan NIT. Pemerintah NIT sendiri justru kecewa atas tindakan Andi Azis itu, seperti pidato PM Diapari di Radio Makassar pada tanggal 7 April 1950. Dua hari sebelumnya pemerintah mengeluarkan ultimatum pada Andi Azis yang memperingatkan Andi Azis untuk kembali ke Asrama dan tawanan dilepaskan; menyerahkan senjata-senjata pada yang berwenang dan Andi Azis diminta menghadap ke Jakrta. Sayangnya ultimatum tidak respon dengan cepat oleh Andi Azis. Karenanya pemerintah kirim pasukan lebih besar ke sana dibawah komando Kawilarang. Setelah menyerah ke Jakrta dan diadili Andi Azis dipenjara selama 14 tahun.

Jumlah tentara KNIL antara tahun 1945-1949 adalah sekitar 60.000 personil. Dalam formasi KNIL saat itu, komposisi serdadu Ambon dan non Ambon secara keseluruhan adalah satu banding lima. Mereka tinggal dalam tangsi-tangsi bersama anak dan istrinya. Orang-orang Ambon yang masuk KNIL biasanya beragama Kristen Protestan.
Sewaktu pemberontakan Andi Azis memberontak, Julius Tahiya—perwira KNIL terpopuler pribumi yang pernah bergerilya melawan Jepang di Maluku semasa pendudukan Jepang—pernah diajak pemberontak untuk amabil bagian, namun Julius menolak karena tidak lagi tertarik untuk menjadi seorang militer. “Selama Perang Dunia II aku bertemu dengan beriribu tentara Hindia Belanda. Sebagian lari ke Australia pada tahun 1942. Yang lain ditangkap Jepang dan ditahan di Biak, sebuah pulau kecil di barat daya Papua Nugini. Sekutu membebaskan mereka tahun 1944, dan menerbangkan mereka ke Australia. Disana mereka dilatih kembali dan digabungkan dalam unit-unit yang ditugaskan ke Hindia Belanda. Aku meminta agar penugasanku dalam Angkatan Perang Indonesia berlangsung selama dua tahun saja, karena aku tidak mau bekas tentara Hindia Belanda menganggap mereka pimpinanku. Mereka harus menerima diri mereka sebagai bagian dari angkatan bersenjata Indonesia yang merdeka. Salah satu tugasku adalah terbang ke Makassar untuk memeriksa keadaan bekas tentara Hindia Belanda di sana. Tentara-tentara itu lengkap dan telah mengenyam pengalaman yang cukup selama Perang Dunia II. Aku sengaja tidak memberitahukan rencana kedatanganku, dan pergi sendirian tanpa senjata, tanpa seragam. Dalam perjalanan ke Ujung Pandang pilot memanggilku ke kokpit. Ia memberitahu bahwa Kapten Andi Azis, pemimpin bekas batalyon tentara Hindia Belanda yang baru saja dialih-tugaskan ke Angkatan Bersenjata Indonesia, telah menangkap Kolonel Mokoginta, komandan disana. tindakan indisipliner ini jelas tidak dapat diterima. Tak lama aku stelah masuk hotel, tiga orang tentara yang memakai seragam tentara Hindia Belanda dan membawa senjata memberi hormat padaku. Aku mengenali mereka. Mereka adalah teman-teman dari Maluku yang pernah aku kenal ketika Perang melawan Jepang. Mereka meberi hormat. Pemimpin mereka berkata. “Kami meminta maaf. Tapi bapak harus kami tangkap”. “Kalian mau menangkapku?” tanyaku. “Siapa yang menyuruh kalian menangkapku?” Menurut mereka perintah itu datang dari Soumokil, seorang Ambon yang mau memisahkan Maluku sebagai negara sendiri. “Ya Betul. Kami harus menangkap bapak.” “Baik kalau begitu kalian harus memaksa saya.” Tentara-tentara Belanda itu tampak ragu, lalu berbisik-bisik. Akhirnya pimpinan mereka berkata, “Kami akan lapor komandan bahwa bapak tidak mau ikut dengan kami.” “Baik. Silahkan.” Aku segera meninggalkan hotel karena tahu bahwa sebentar lagi seseorangf akan datang bersama tentara yang akan menyeretku. Aku tidur di rumah seorang teman dan pagi harinya berjalan ke barak tentara. Semua tentara memberi hormat. Ketika berjalan diantara mereka, mereka mengelilingiku. “Tolong kami” kata mereka. “Jadilah komandan kami. Pimpin kami untuk mencegah tentara Republik mendarat kemari.” Aku tahu bahwa mereka tidak punya kekuatan melawan tentara Republik, yang punya lebih banyak senjata. Aku berdiri diatas peti mati. “Dengar,” kataku. “Belanda sudah mengakui kedaulatan Indonesia. sekarang saya adalah bagian dari Republik. Kalian ‘kan tentara. Nama kalian termasuk dalam daftar yang dialihkan ke Angkatan Bersenjata Republik. Republik akan menerima kalian dengan tangan terbuka. Jangan memepersulit tentara Republik yang akan datang kemari, karena itu berarti melanggar apa yang telah ditetapkan PBB.” Aku memilih setiap kata dengan hati-hati. “Kalian prajurit sejati atau petualang?Kalau kalian Cuma sekedar petualang, seluruh dunia akan menyalahkan kalian.” “Kami prajurit!”. Seru mereka. Lalu mereka menepuk punggungku untuk meyuakinkan bahwa mereka tidak akan mebuat keributan.

Atas hal ini pemerinbtah pusat di Jakarta bereaksi dengan meberi ultimatum kepada Anbdi Azis melalui Radio RIS. Ultimatum itu tidak dipenuhi sesuai kemauan pemerintah, karena Andi Azis terlambat memenuhi panggilan pemerinta itu. Walau Nadi Aziz menyerah dan diadili di Jakrta, makaassar masih dalam kekacauannya. Pemerintah mengirimkan sebuah pasukan ekspedisi yang terdiri dari beberapa dari brigade di Jawa ditambah batalion Worang yang berang kat laebih dulu ke Makassar. Operasi ini dipimpin Alex Kawilarang.