Selasa, November 03, 2009

Aku, Bugis dan Gadis Itu


Sejak kecil, aku selalu punya teman Bugis. Tidak mampu aku menghitung jumlahnya. Sangat banyak. HIngga hari ini, aku masih berhubungan dengan teman-teman Bugisku itu. Kota tempat aku lahir dan besar, Balikpapan, punya populasi orang Bugis yang banyak.
Gambaranku tentang orang Bugis adalah mereka keras, bisa berbaur dengan orang dari suku lain dan aku bisa pastikan agama mereka adalah Islam. Walau hanya Islam KTP sepertiku. Dalam pengalamanku mereka baik hati. Jika bertamu ke rumah mereka, aku tidak akan dibiarkan kelaparan.
Beberapa tahun ini, aku sangat jarang bertatap muka dengan mereka. Karena aku harus merantau dan menjalani hidupku sebagai apa yang aku mau.
Orang Bugis punya tanah leluhurnya di Sulawesi Selatan dari pinggir pantai sampai pegunungannya. Banyak orang menganggap, Bugis adalah bangsa Pelaut. Tapi, Christian Pelras, membantah itu dalam bukunya "Manusia Bugis"--buku paling kusuka tentang Bugis. Menurut Pelras, sebagian besar orang Bugis itu bertani dan yang terjun ke dunia maritim tidak sebanyak yang bertani. Nyatanya, di laut orang Bugis kesohor juga. Bahkan peradaban pelayarannya cukup maju dengan adanya Amanna Gappa.
Di bidang sastra, orang Bugis juga tidak kalah. ada I La Galigo. Salah karya sastra terhebat di dunia. Kajian tentang La Galigo sudah dimulai sejak awal abad XIX.
Tentang Bugis aku memang tidak banyak tahu. Tapi aku kerap bersentuhan dengan Bugis, terutama dalam kajian sejarah. Aku pernah menulis beberapa kisah pemberontakan yang dilakukan orang Bugis, juga tentang tokoh Bugis seperti Andi Azis dan We Tenriolle. Mereka, orang-orang Bugis memberontak dengan bagitu hebatnya kepada siapa saja yang merusak kehormatannya. Orang Bugis melakukan pemberontakan, lebih banyak dilakukan karena Sirri (harga diri). Arung Palaka juga melakukan pemberontakan karena ingin membebaskan Bone dari penjajahan dan penghinaan dari Gowa pada abad XVII.
Tulisanku tentang Andi Azis, tanpa disangka juga telah membuatku berkomunikasi kembali dengan orang Bugis, setelah sekian lama. Aku jadi mengenal istri Andi Azis, Tante Bida, begitu aku menyapanya. Juga keponakannya Andi Irvan Zulfikar, yang sangat peduli dengan kebudayaan Bugis. Meski Puang Irvan tidak tinggal di tanah Bugis, dia terus bersinggungan dengan tanah leluhurnya sejak lama. Bersama Puang Irvan aku kembali belajar tentang Bugis.
Orang Bugis memang menyebar dibanyak tempat di Indonesia. Di Nias pun ada perkampungan Bugis. Aku pun juga punya sahabat, yang biasa kusapa Dike, dia keturunan Bugis yang ayahnya hilang di laut. Ketika mencari ikan.
Seminggu yang lalu, aku juga bertemu orang Bugis, asal Bone. Dia bercerita tentang tanah kelahirnnya. Tiba-tiba, aku semakin menggebu-gebu untuk mengunjungi tanah leluhur orang Bugis itu. Kembali menjadi backpacker lagi. Tinggal menunggu waktu saja.
Aku memang bukan orang Bugis. Tapi, karena besar di Balikpapan dan kemudian menulis tentang serkelumit sejarah Bugis, maka aku pun bersentuhan dengan Bugis. Aku jadi ingat di Balikpapan dulu, tergila-gila seorang gadis Bugis juga. Mengingatnya membuat merah wajahku dan membayangkan sesosok Manusia Bugis dalam hidupku.


Jumat, September 11, 2009

Di Laut harus Jaya


Katanya nenek moyangku seorang pelaut. Itu kata lagu yang dinyanyikan Adikku waktu SD dulu. Rasanya, Indonesia kurang bangga sebagai Negara Maritim. Jalasveva Jaya Mahe (artinya: Dilaut kita jaya) seperti tidak arti. Cuma para pelaut rendahan saja yang menjadikan kalimat sakti itu sebagai kebanggaan.

Katanya, Muhamad Yamin, Majapahit dulu berhasil menguasai Nusantara. Jika benar, berarti Armada laut Majapahit pasti tangguh. Butuh armada laut tangguh untuk menjelajahi dan menguasai perairan nusantara yang kadang dipenuhi bajak laut.
Bisa disimpulkan kejayaan Majapahit, yang katanya menguasai Nusantara itu, berarti juga kejayaan pelaut Indonesia di masa lalu. Cukup bisa dibanggakan sebenarnya.

Zaman terus berlalu, nyatanya kejayaan Pelaut Indonesia tinggal romantisme belaka. Nyaris tidak bisa dibanggakan. Apakah salah para pelaut?rasanya tidak! Tidak ada yang salah dengan para pelaut. Mereka tidak bisa disalahkan ketika Laut Nusantara terus dijarah. Juga bukan salah nelayan di Nusantara jika banyak hasil laut dicuri, dan kadang rusak. Nyatanya banyak nelayan tidak diperhatikan.

Dalam sejarah, selain Hang Tuah (Panglima laut kerajaan Melayu), Mpu Nala (panglima armada laut Majaphit)ataupun John Lie (pahlawan Laut Indonesia zaman revolusi kemerdekaan RI), Indonesia harusnya bisa melahirkan pahlawan laut baru.
Dalam pelajaran SD, dijelaskan luas lautan Indonesia lebih luas daripada daratan. Jadi banyak perairan yang harus dijaga. Laut adalah anugrah terbesar bagi Indonesia, namun laut belum bisa dijaga dengan baik di Indonesia.

Siapa yang harus disalahkan? Ya siapa lagi kalau bukan pengarah pembangunan nasional, pemerintah. Kebijakan pemerintah kurang begitu peduli dalam sektor maritim. Mencintai Laut Indonesia, tinggal wacana kosong. Ketika Sail Buneken, yang diadakan Agustus lalu, selesai dilaksanakan, maka selesai pula perhatian orang Indonesia kepada laut.

LAUT INDONESIA LUAS
Orang-orang Indonesia pecinta laut Nusantara, tentu akan miris mendengar berita gangguan berupa pencurian di laut-laut Nusantara oleh kapal-kapal asing. Sementara itu, Angkatan Laut Indonesia tampak tidak berdaya mengatasi semua gangguan itu, karena laut Indonesia yang begitu luas. Banyak orang akan memaklumi ketidakberdayaan pihak Angkatan Laut itu setelah mengetahu jumlah personil Angkatan Laut yang jelas-jelas terbatas.

Tahun 2009, jumlah personil Angkatan Perang alias TNI berjumlah 432.129 personil. Dengan 328.517 personil diantaranya adalah Angkatan Darat. Sementara itu, jumlah personil Angkatan Laut hanya 74.963 personil. Jumlah personil Angkatan Udara, hanya 34.930 personil saja. Jumlah personil Angkatan Laut yang hanya 74.963 itu harus mengamankan lautan yang 5,8 juta km2 yang terdiri dari 3,1 juta km2 Perairan Nusantara dan 2,7 km2 Perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).Dan 70 persen dari luas total Indonesia, adalah lautan.

PERBANYAK PERSONIL DI LAUT!
Mengutip tulisan Nasrul Alam, "Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Bernard Kent Sondakh, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR awal Juli (2002), mengakui lemahnya kemampuan tempur matra laut. Dari total 113 KRI (Kapal Republik Indonesia) yang dimiliki TNI AL saat ini-meliputi kapal tempur, kapal patroli, dan kapal pendukung-tak ada satu pun yang siap tempur sesuai fungsi azasinya. Umumnya kapal milik TNI AL itu telah berusia tua dan kondisinya semakin diperparah oleh embargo peralatan militer oleh Amerika Serikat (AS), yang sampai saat ini belum benar-benar dicabut. Keseluruhan armada kapal TNI AL, sebanyak 39 KRI berusia di atas 30 tahun, 42 KRI berusia antara 21-30 tahun, 24 KRI berusia antara 11-20 tahun, dan hanya delapan KRI yang berusia di bawah sepuluh tahun tahun." Tergambar betapa payahnya armada laut Indonesia. Kondisi ini nampaknya tidak banyak berubah.

Bisa dibayangkan kondisi Angkatan Laut Indonesia seperti Angkatan Laut Hindia Belanda zaman Hindia Belanda sebelum dikalahkan Armada Laut Jepang dari arah Pasifik. Sekali serbu saja, Angkatan Laut Indonesia bisa kalah telak. Hal ini bisa mempengaruhi semangat berjuang para personil Angkatan Laut, yang sedianya siap mati di lautan untuk menjaga lautan Indonesia. Betapa, kondisi peralatan tempur Angkatan Laut itu juga mengecewakan personil Angkatan laut juga.

Semua harus berubah dari sekarang! Angkatan Laut harus terus disupport dengan personil dan peralatan tempur seperti kapal-kapal perang yang jumlahnya mampu menjaga lautan Indonesia. Petinggi TNI hendaknya tidak terus-terusan berpikir ke darat saja. Personil Angkatan Darat yang terlalu banyak rasanya lebih membahayakan. Indonesia adalah Negara Maritim, dan tidak boleh menjadi Negara Angkatan Darat!. Jangan sampai Indonesia seperti negara Amerika latin, dimana Angkatan darat dominan. Dominasi Angkatan Darat, hanya akan menjebak Angkatan Darat semakin menjadi pelanggar HAM terbesar ditubuh militer Indonesia.

Tidak ada waktu untuk menunggu sebuah pembenahan Angkatan Laut Indonesia secara besar-besaran untuk orang-orang Indonesia terus menjaga Nusantara dan dengan bangga bisa berkata, "JALASVEVA JAYA MAHE!" Ini tuntutan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi! Pencurian kekayaan laut harus berhenti atau di laut Indonesia tidak pernah jaya.


Selasa, September 08, 2009

Mahkamah Buku Untuk Kasdi


Aku bisa terus hidup karena buku. Aku tidak dibilang bodoh juga karena buku. Rupanya tidak hanya terjadi padaku. Orang lain juga rasakan hal yang sama.Ternyata buku milik peradaban manusia. Dan manusia beradab selalu hargai buku. Mantan Presiden juga menghormati buku, dengan membangun perpustakaan.

Di Indonesia, buku kadang menjadi sampah tak berharga. Bukan masalah jika yang perlakukan buku seperti sampah itu orang-orang awam. Ternyata, ada seorang yang harusnya menghargai buku malah membakar buku, seolah buku itu punya dosa padanya. Seminggu belakangan ini, ada kisah seorang Profesor membakar buku. Gila. Kawan-kawan yang sangat mencintai buku lalu mengganti gelar Prof (Profesor) nya menjadi Prov (Provokator).
Ampun deh. Kayaknya, dalam sejarah Indonesia baru dia yang bakar buku. Memalukan sekali? sangat tidak layak sekali.
Bukan rahasia umum, jika Kasdi alias Profesor Aminudin Kasdi yang guru besar Universitas Negeri Surabaya itu, anti komunis. Tidak ada yang salah dengan ideologinya! Dia cukup keras menulis sikap antinya terhadap komunis. Selama dia menulisnya itu tidak masalah, tapi bukan membakarnya.
Kasdi rupanya sangat kesal dengan sebuah buku tentang Sumarsono dan Revolusi Agustus-nya. Kasdi begitu membenci Sumarsono yang punya jasa terhadap Republik, walau Sumarsono tidak mengakui Proklamasi 17 Agustus. Rasanya itu hak Sumarsono, toch dia juga punya jasa besar dalam pertempuran 10 November 1945.
Katanya, dalam sebuah wawancara, Kasdi tidak puas dengan Buku Sumarsono. Harusnya! Jika Kasdi, yang katanya sejarwan yang banyak nulis buku, tidak puas dengan Buku-nya Sumarsono, ya Kasdi harus nulis buku juga. Tulisan dilawan dengan tulisan. Bukan tulisan dilawan dengan pembakaran.
Bagaimanapun pembakaran buku adalah vandalisme! Jadi harus ada sangsi kepada pelaku. Jika tidak buku menjadi makin tidak dihargai.Jadi, penting sekali untuk diadakan Mahkamah Buku untuk Kasdi! Letkol Untung saja diadili di Mahkamah Militer Luar Bi(n)asa, mengapa Kasdi tidak diadili oleh pecinta Buku sejagat? Kasdi harus mendapat hukuman setimpal!
Mahkamah Buku harus lahir dan bertindak untuk mengadili Kasdi! Agar tidak lahir Kasdi-Kasdi lain di masa depan yang hanya merusak peradaban manusia,


(NB: Tulisan ini adalah reaksi atas vandalisme yang dilakukan Profesor Aminudin Kasdi yang membakar buku Sumarsono. Semoga tidak peristiwa memalukan ini di masa depan. Peristiwa ini bukti bahwa Indonesia sebagai bangsa belum bisa menghargai buku!)

Rabu, Agustus 26, 2009

Nasib Anak Tiri Kartini


Sejarah selalu berkait antara satu dengan yang lain. Juga antara tokoh satu dengan yang lain. Semua saling mempengaruhi, setidaknya mewarnai. Ada cerita menarik tentang anak Kartini yang masuk dunia pergerakan. Dia bergerak seperti Ibu Tirinya yang hebat, seperti dalam kacamata Pramoedya Ananta Toer

Abdulmadjid dilahirkan pada tanggal 9 Januari 1904 di Rembang. Abdulmadjid terlahir sebagai putra bupati Rembang, dan termasuk salah satu anak tiri Kartini, karena ayahnya yang bupati Rembang itu menikahi Kartini. Abdulmadjid, menurut pengakuan salah seorang tokoh nasional yang dikutip oleh Soe Hok Gie dalam Orang-orang Dipersimpangan Kiri Jalan, adalah sosok yang kaku, aristokratis dan dogmatis.
Pastinya Abdulmadjid tidak akan melihat Kartini yang moderat itu secara utuh, Kartini meninggal saat melahirkan Susalit ditahun 1904, yang juga tahun Abdulmadjid lahir. Hubungan akibat perkawinan ayahnya dengan Kartini itu tidak memberikan pengaruh pada intelektualitas Abdulmadjid. Ketika dalam masa pertumbuhan Abdulmadjid, tidak pernah berhubungan dengan Kartini yang sudah berada di alam baka.
Abdulmadjid setidaknya telah merasakan bangku empuk di sekolah Belanda hasil politik etis Belanda di pergantian abad XIX ke XX. Sebagai anak bupati Rembang, Abdulmadjid setidaknya bisa bersekolah dengan pengantar bahasa Belanda di Europe Lager School (ELS: setingkat SD) lalu ke Hogare Burger School (HBS: sekolah menengah)—sepertihalnya sosok Minke dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Dua sekolah sekolah macam tadi hanya terdapat di kota-kota besar Hindia kala itu, setidaknya Abdulmadjid pernah bersekolah di Semarang. Kota dimana Sastrokartono, kakak Kartini, sempat bersekolah sebelum akhirnyta belajar di Negeri Belanda.
Selepas sekolah menengah di Indonesia, Abdulmadjid mengikuti jejak paman tirinya, Sastrokaratono yang lebih dulu berangkat ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya. Disana Abdulmadjid berkenalan dengan mahasiswa-mahasiswa pergerakan macam Hatta. Abdulmadjid-pun terpengaruh dan ikut terlibat dalam arus pergerakan kaum kiri di Eropa itu. Tidak tanggung-tanggung, Abdulmadjid akhirnya terseret ke prodeo pemerintah Belanda yang represif terhadap gerakan anti kolonialisme.
Kehadiran orang-orang komunis dari Indonesia macam Semaun atau Darsono cukup memberi pengaruh pada Abdulmadjid untuk menempuh jalan komunis. Sama saja dengan Rustam Effendi, awalnya aktif di PI, lalu setelah Hatta kembali ke Indonesia tampil sebagai seorang komunis terkemuka di Eropa.
Abdulmadjid kemudian berhasil memepengaruhi kawannya yang lain dari Indoenesia, seperti Setiadjit. Pemuda ini kenal sebagai mahasiswa yang gemar mengunjungi dunia gemerlap malam di Belanda, dan oleh kawan-kawan Indonesianya dikenal sebagai anak malas dan tiap kali tidak punya uang sering meminjam uang dari Abdulmadjid dan kawan-kawan komunis lainnya. Semakin sering Setiadjit butuh uang, semakin sering dia berinteraksi dengan Abdulmadjid yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi Setiadjid dengan paham kirinya itu. Lama kelamaan, hobi Setiadjit meminjam uang itu semakin berkurang, ke menikmati dunia gemerlap malam-pun semaki berkurang. Pastinya mulailah Setiadjid terpengaruh oleh komunisme dari Abdulmadjid. Akhirnya Setiadjit mulai masuk dalam kelompoknya Abdulmadjid. Perkawanan Abdulmadjid dengan Setiadjit semakin akrab dalam gerakan kiri mahasiswa Indonesia itu. Mereka, seperti halnya Semaun-Darsono diawal kejayaan PKI di Semarang, tampil dwitunggal berpengaruh dalam PI pasca kembalinya Muhamad Hatta ke Indonesia.
Abdulmadjid kemudian sempat meninggalkan Belanda sebelum Jerman menduduki Negeri Belanda. Masa-masa menjadi aktifis Komunis itu, Abdulmadjid tidak pernah berhenti belajar. Setidaknya dia sudah menyandang gelar Mr (Meester in Rechten: Sarjana Hukum sekarang). Bersama beberapa kawannya Abdulmadjid pernah belajar di Lenins Institute di Moscow, Rusia sekitar tahun 1934-1935. Selama PD II mereka aktif dalam gerakan bawah tanah anti NAZI.
Abdulmadjid tampaknya berpikiran bahwa komunisme adalah jalan untuk mencapai tujuan perjuangan kaum pergerakan. Kesuksesan revolusi komunis di Rusia tahun 1917, memberi petunjuk bagi Abdulmadjid tentang perubahan atas tanah Hindia yang terjajah, dimana Hindia Belanda akan menjadi Indonesia dan tidak ada lagi kata Inlander lagi. Seperti halnya orang-orang komunis lain, Abdulmadjid yakin akan dukungan Komunis Internasional pada perjuangan bangsa Indonesia yang dipimpin kaum komunisnya untuk pembebasan negeri.
Kaum komunis Indonesia, termasuk Abdulmadjid, bagaimanapun juga adalah elemen penting pergerakan nasional. Sejak kemunculannya di Semarang, kaum komunis sudah berusaha menyentuh kepentingan kaum miskin tertindas dan ikut serta dalam pergerakan. Semaun, Tan Malaka, Darsono dan lainnya telah meberikan dirinyan untuk pergerakan. Begitu juga Abdulmadjid.
Apa yang dialami dan lakukan Abdulmadjid dan kawan-kawannya selama di Eropa bagaimanapun adalah suatu usaha untuk mencapai dua kata, seperti judul pledoi Muhamad Hatta, Indonesie Vrij (baca: Indonesia Merdeka). Tujuan yang sama dengan kaum pergerakan di Indonesia, walaupun berbeda visi mengenai Indonesia Merdeka bagaimanakah yang akan dituju itu.
Banyak tokoh nasional akan dicap sebagai sampaih bila pernah bersentuhan komunis. Tokoh yang terlibat dalam kudeta atau pemberontakan biasanya akan di beri lebel pengkhianat bangsa. Sejarah Indonesia tiga dekade terakhir masih menganggap kaum komunis di arena pergerakan nasional dianggap sebagai 'duri dalam daging' atau bahkan 'musuh dalam selimut' kaum pergerakan. Karenanya peranan kaum kiri itu nyaris tidak tertulis dalam sejarah bangsa. Dibangun opini bahwa orang-orang kiri adalah perusak perjuangan kaum pergerakan karena pemberontakan PKI 1926-1927. Hampir tidak pernah dibahas bahwa seorang orang kiri Indonesia di Negeri Belanda, Rustam Effendi pernah duduk dalam parlemen Belanda dan berhasil menarik simpati beberapa warga Belanda atas ketimpangan rasial pemerintah kolonial Belanda terhadap orang-orang Indonesia.
Stereotif atas orang-orang kiri itu sangat politis sekali, dalam sejarah, kaum penguasa berhak melakukan apa saja, apalagi terhadap kaum yang kalah—kaum yang pecundang yang layak dijadikan warganegara kelas dua bahkan layak juga diperbudak oleh kaum pemenang. Dalam sejarah tidak ada kata pengkhianat atau pahlawan. Bila-pun ada, hal itu lebih bersifat politis saja.
Ada yang patut diingat dari seorang Abdulmadjid dibalik sosoknya yang kaku dan nyaris dogmatis, seperti yang dikutip Soe Hok Gie, pengkomunisan yang dilakukannya terhadap PI adalah usahanya, bersama Setiadjid, memperoleh dukungan gerakan komunis Internasional pada dunia pergerakan nasional di Indosnesia. Terlihat Abdulmadjid berusaha belajar dari kecerobahan PKI 1926/1927 yang nekad memberontak itu.



Sabtu, Agustus 15, 2009

Bukan Kali Pertama Ada Bom


Orang-orang sibuk dengan berita bom. Berita-berita pendidikan dan kesejahteraan rakyat tenggelam. Ada yang untung dengan pemboman itu, tapi bukan sang teroris yang mungkin saja nyasar ke Surga.

Bom sendiri bukan hal baru seperti yang diributkan sekarang. Zaman revolusi juga bukan momen pertama bom meledak di Indonesia. Kota Semarang pernah menjadi sasaran bom di tahun 1923. Jika bom-bom di tahun 2000an mengkambinghitamkan kelompok Islam, maka bom tahun 1923 mengkambinghitamkan kaum komunis yang tidak sudi diperentah orang-orang Belanda
Kalender ketika itu menunjuk 31 Agustus 1923. Hari itu adalah Hari besar Kerajaan Belanda yang selalu dirayakan, baik di Negeri Belanda maupun dikoloninya. Bagi banyak kalangan, tidak layak kaum terjajah merayakan hari besar penjajahnya.
Hari itu, sekitar pukul 11.00 siang, bom meledak di Semarang. Ledakan terjadi di sekitar alun-alun kota Semarang yang ketika itu berlangsung keramaian. Suasana cukup ramai dalam acara tahunan itu ketika bom meledak. Diperkirakan sekitar 11.000 orang hadir dalam keramaian itu. Tanpa diduga seseorang tidak dikenal melemparlkan dua bom ke tengah alun-alun kota Semarang yang dipenuhi manusia itu. Satu bom dilempar lagi dari Hotel Du Pavilion. Akibat ledakan bom itu, 8 orang Tionghoa, 3 orang Eropa dan seorang pribumi tewas. Seorang polisi Belanda juga terluka insiden bom di siang bolong ini.

Serangan bom ini membuat komisaris polisi di Semarang mengerahkan pasukan polisinya untuk memperketat penjagaan di dalam kota Semarang. Polisi memperkirakamn pelaku pengeboman yang belum ditemukan itu masih berada di dalam kota Semarang.
Di tempat berbeda, di hari yang sama juga terjadi ledakan bom di Madiun. Ledakan bom itu mengakibatkan dua orang pribumi terluka dan akhirnya tewas karena ledakan bom. Polisi memperkirakan bom itu meledak sebelum waktunya dan kedua orang yang tewas akibat bom tersebut adalah orang komunis.
Kaum komunis adalah musuh pemerintah paling radikal di Hindia Belanda. Beberapa waktu sebelumnya, orang-orang komunis di Jawa itu juga telah menggerakan pemogokan buruh kereta api di Jawa yang mengakibatkan jaringan kereta api di Jawa lumpuh.
Orang-orang komunis dengan konsep perlawanan kelasnya dari ajaran Marx itu menganggap pemerintah kolonial sebagai musuh yang harus dilawan. Pemerintah kolonial, dimata kaum komunis dekade 1920an, sebagai antek kapitalisme yang menghisap rakyat pribumi yang di antara mereka menjadi buruh kereta api maupun kuli-kuli di perkebuanan.
Selain pemogokan, beberapa kaum komunis mencoba langkah lain, dengan cara lebih keras. Mereka meledakkan bom sebagai solusi ketika pemerintah kolonial tidak pernah mau berkompromi dengan tuntutan kaum kiri yang umumnya radikal. Tapi bom itu tidak membuat pemerintah kolonial takut, sebaliknya justru makin keras melakukan pembersihan di kalangan pergerakan yang radikal dan nonkoperasi.
Sumber-sumber pengadaan bahan peledak juga dibersihkan di seluruh Hindia Belanda. Namun, usaha pemerintah kolonial itu tidak selalu sukses. Pada 6 Oktober 1923, Pejabat Asisten Demang di Kacang, Sumatra Barat, gagal menangkap seorang yang dicurigai sebagai pedagang dimanit (bahan peledak). Dari orang yang sebelumnya ditangkap pihak berwenamg, orang yang melarikan diri tadi adalah pedagang dinamit yang memiliki banyak pelanggan di kalangan para penangkap ikan—yang sebagian memerlukan dinamit untuk menangkap ikan—yang tinggal di Kacang dan Tikalak. Penggunaan dinamit akan merusak lingkungan di sekitar danau Singkarak. Penggunaan dinamit sendiri oleh pemerintah kolonial hanya terbatas untuk menghancurkan bukit berbatu cadas untuk membangun jalan. Penjualan dinamit dikalangan sipil akan sangat berbahaya karena kerap disalahgunakan dan bisa memakan korban manusia.



Minggu, Juli 19, 2009

Musik Melayu Punya Indonesia!


Kalo Anti Melayu, Mending Bubarkan Saja Indonesia
Lagu cinta melulu
Kita memang benar-benar melayu
Suka mendayu-dayu
Apa memang karena kuping melayu
Suka yang sendu-sendu
Lagu cinta melulu
lagu cinta melulu
kita memang benar-benar melayu
suka mendayu-dayu
(Efek Rumah Kaca, Cinta Melulu)

Belum lama ini, segerobolan musisi Indonesia komersil muring-muring. Mereka, yang kebanyakan ngepop itu, menggugat musik melayu. Bahkan ada musisi, yang katanya, Underground, sok menasehati, Bertobatlah!!!!
Heran? apa ada yang salah dari melayu. Kenapa mereka, musisi melayu harus digugat di ajang musik Indonesia. Mereka juga orang Indonesia! Musik melayu, juga musik Indonesia. Salah satu akar musik Dang Dut, yang diusung Rhoma Irama juga berakar dari Melayu. Bukan hal aneh, musik melayu juga milik Indonesia. Bukan milik orang Malaysia saja.
Kenapa dulu Siti Nurhaliza, yang Malaysia, diterima di Indonesia, tidak lain karena orang Indonesia punya akar musik melayu. Bahkan Indonesia adalah bagian dari rumpun melayu.
Hendaknya, orang-orang Indonesia sadar, bahwa di pesisir Sumatra sana ada orang-orang Melayu. Mereka juga bagian dari Indonesia. Dan bukan tidak mungkin kalo kakek-nenek orang-orang Indonesia itu juga pejuang kemerdekaan, hingga Indonesia bisa seperti sekarang. Hingga para pengejek musik melayu itu bisa bermusik dengan gaya mereka juga. So, tidak ada yang salah dengan musik melayu.
Kenapa Musisi-musisi Indonesia, yang sekelas Yovie Widianto tampak Childies dengan keberadaan band-band baru bergaya Melayu. Yovie menganggap mereka tidak layak masuk forum musisi Indonesia. What up? Apa masalah rezeki, karena musik bergaya melayu lebih laris? Memalukan sekali! Harusnya, sebagai musisi besar, Yovie cuek saja dan terus buat musik yang bisa kalahkan band-band Melayu itu. Dan bukan mengumbar kebencian! Rasanya sejawat Yovie yang anti band ala melayu, juga hendaknya lakukan hal yang sama. Biarkan masyarakat menilai.
Saya bertahu anda semua, ”Musik Melayu itu bagian dari musik Indonesia, seperti juga Campur Sari dan lainnya!
Tapi, seperti yang selama ini saya ikuti, lagu-lagu Yovie juga itu-itu saja. Alias tentang cinta aja. Sama saja dengan musisi melayu itu. Huuuhhhh. Sama-sama jual cinta, kayak pelacur-pelacur di tempat prostitusi! Mending rukun aja melacurnya, eh jual cintanya. Bersainglah dengan sehat! Sebelum bisa buat apa yang pernah dibuat Beatles atau Pink Floyd, Jangan mencela!

Sabtu, Mei 16, 2009

Dosa Mengejar Soumokil


Soumokil akhirnya tewas juga dihadapan regu tembak. Mungkinkah dia kualat pada walter Manginsidi yang belia itu.

Aku menemukan foto2 seram dua minggu lalu di http://republikmaluku.multiply.com/photos/album/3/Mr.Dr.Chr.Soumokil Reaksiku, kaget, senang, dan tentu saja menyeramkan. Selain, Soumokil yang narsis lewat foto. Banyak juga foto persidangan, foto penahanan dan foto eksekusi matinya.
Soumokil, dalam sejarah Indonesia, dicap pengkhianat dengan Republik Maluku Selatan (RMS)nya. Dia dianggap pro Belanda, ketika revolusi kemerdekaan. Tuntutan mati, yang sukses, atas diri Walter Manginsidi, adalah karyanya. Soumokil menjebloskan Manginsidi, si gerilya muda pro republik ke hadapan regu tembak, dengan alasan pengacau di Makassar.
Soumokil seperti dikejar dosa. kegagalan Andi Azis, yang berontak di Makassar, membuatnya lari ke Maluku. Masuknya tentara republik (TNI), berbahaya bagi posisinya, dia mungkin akan dituntut balik oleh orang2 pro republik atas kematian Manginsidi. Di Maluku Selatan, ada sebuah kesempatan untuk menjadi pejabat yang tidak perlu tunduk pada republik Indonesia, juga untuk menghindari diri dari dosa.
Soumokil, akhirnya pulang juga ke tanah Nenek Moyangnya. Dia lahir dan besar sebagai "Belanda Itam" di zaman kolonial. Gelijkgesteld, membuatnya jadi Belanda Itam, yang tentu berbeda dengan orang-orang pribumi biasa. Soumokil adalah pemuda beruntung, karena pernah kuliah hukum di Leiden, Belanda. Lepas kuliah, hidupnya tambah nyaman lagi, tapi tidak di zaman Jepang, dia jadi tawanan tentara jepang.
Zaman kemerdekaan Indonesia, mimpi buruknya dimulai. Tanda zaman suram membayanginya. Karena dia "Belanda Itam" dia pun pilih menolak Republik--hingga akhirnya memproklamasikan RMS. Kematian Manginsidi adalah dosanya, dan dosa mengejarnya.
Nasibnya pun tak jauh beda dengan Manginsidi, mati dihadapan regu tembak.Bedanya,jika Manginsidi di hadapan regu tembak Tentara Belanda, maka Soumokil ditembak oleh TNI. Intinya, nasib keduanya tragis.
Satu perbedaan lagi, Manginsidi jadi pehalawan yang harum, maka Soumokil sebaliknya. Namun di sebuah tempat di negeri Belanda sana, Soumokil mungkin dianggap pahlawan oleh generasi2 RMS.
(Foto kematian Soumokil, akan terabadi, dan jadi pelajaran.)



Minggu, Mei 03, 2009

Yang Terendam Buku


Lorong perpus SMA menjadi favoritku, meski jutaan orang Indonesia menghindarinya, kecuali hanya uuntuk bercumbu demi nafsu. Tapi, lorong perpus itu suci dan bukan untuk bercumbu. itu tempat pelarianku.

Aku bosan dengan Indonesia yang menyedihkan. Mungkin sama menyedihkannya dengan kondisi yang tidak nayaman di kelas 2 SMA ku.Ya mungkin sama menyedihkannya dengan kondisi dan mentalitas kawan-kawanku. Beragam, tapi pola pikirnya seragam hingga gak bisa hargai keberagaman. Sama seperti Indoensia. Indonesia tidak pernah damai karena sebenarnya orang yang beragam dipaksakan untuk seragam.
Seperti dunia kecil dalam kelas 2-1 SMA ku di SMA Negeri 2 Balikpapan. Dimana kawan mereka yang berbeda akan dianggap sok, gila, dan layak dibenci barangkali.

Aku terbilang beruntung menurut beberapa kawan SMP Negeri 3 Balikpapan, aku diterima di SMA Negeri 2 Balikpapan. Ya awal-awal cukup menyenangkan, tapi tidak seterusnya. Ada masa dimana keberadaanku tidak diakui. Karakterku tidak dibenarkan oleh kawan-kawan. Tidak boleh begini, tidak boleh begitu. Rasanya semua harus seragam pola pikirnya. Tidak ada perbedaan, semua harus seperti kata orang-orang itu (kawan-kawan yang kerap mengkritiku tanpa mengerti apa duniaku).
Akhirnya, kelas menjadi tidak menyenangkan. Aku mulai muak dengan kelasku dan aku lebih senang bergaul dengan anak palang Merah, ato dengan anak kelas lain. Buruknya lagi, kami seperti disetting untuk ikut les. Beruntung aku tidak mau ikut. Dulu tidak ikut les menyakitkan, bakal ketinggalan pelajaran. Tapi sekarang, ketika aku telah melewati masa itu, aku merasa aku adalah manusia bebas ketika itu.
Sebuah tempat kemudian menyelamatkanku dari tekanan manusia-manusia sok sempurna itu. Ya, sebuah perpustakaan. Dimana buku-buku sejarah dan sastra tersimpan rapi dan menggiurkanku untuk dibaca. Tapi, kondisi sekarang sudah tidak seperti dulu. penyajian di Perpustakaan itu sudah tidak menarik lagi. Tidak seperti ketika Bu Satiyati mengurusnya. Semua berubah. Bu Satiayati, saperti juga Bu Asnalin (Guru Sejarah), termasuk orang yang membuat aku rajin membaca.
Di perpus aku temukan buku-buku yang buat aku menjadi manusia. Di kelas, aku adalah siswa yang paling rajin ke perpus dan pinjam buku. siswa yang nilainya paling baik pun jarang meminjam buku. mereka lebih banyak berkutat dengan buku-buku pelajaran saja. Gila, mereka dianggap pintar, tapi ogah membaca buku lebih banyak daripadaku. Membaca buku menjadi ritual paling asyik, meski aku dua kali hampir tidak naik kelas. Pokoknya, dan memang yang sebenarnya, bahwa buku adalah segala-galanya. Buku jauh lebih penting daripada buku-buku teks Eksakta, yang memuakan dan tidak manusiawi.
Buku-buku di Perpus itu membuat aku menjadi seperti sekarang, suka menulis dan mengkritik. Aku tidak merasa pintar, hanya saja aku menjadi semakin bisa melihat dunia, meski hanya dalam kacamataku saja. Aku suka buku dan cinta pada buku mulai menghebat waktu SMA. Aku berkenalan dengan tulisan Gibran yang dasyat. Tentu saja buku-buku sejarah juga mulai menggodaku, sebelum kuputuskan untuk menjad sejarawan.
Buku menyelamatku dari pola pikir konyol kawan-kawan SMA, yang merasa lebih dewasa. Buku seperti menutupi masa laluku yang tidak menyenangkan. Selama kuliah dan bergelut dengan buku, aku seolah melupakan sebuah peristiwa di kelas 2 SMA (2000-2001). Dulu ada berita kehilangan uang.kami sekelas jadi tersangka.seorang teman bernama Andre yang lagi iseng bilang, "Trik kayaknya kamu deh yang dituduh". sontak aku langsung bilang dengan tegas, "kalo sampe aku yang dituduh, bakal ada perang antar kelas!". aku wakil kelas miskin dan penuduh tentu wakil ato anjing kelas kaya. aku tahu Andre bercanda,tapi reaksiku sadarkan aku bahwa ajaran Marx dah merasuk dalam otakku.
Akhirnya, aku tahu bahwa dalam sejarah manusia ada istilah The Have & The Have Not. Dimana ada kaum The Have yang berpunya dan juga berkuasa dan ada The Have Not yang tidak memiliki apa-apa dan kerap tereksploitasi. Aku adalah kelompok yang The Have Not itu. Kuharap tak ada lagi orang sepertiku di sekolah. biar gak ada strugle class!!! Beberapa waktu buku bantu aku lupakan hal-hal konyol itu.
Itu semua karena buku. Aku juga menjadi orang yang tidak percaya dengan omongan orang, dan hanya buku yang bisa untuk dipercaya. Buku juga yang memperkenalkan aku pada Karl Marx--penulis Das Kapital yang pernah mengobrak-abrik Kapitalisme. Buku membuat aku berteriak, dan akhirnya jadi pemberontak.
Rasanya aku sedang balas dendam dengan masalalu.yang tak bermodal dilarang berekpresi oleh kawan sekelasnya.kemiskinan dan kerendahanku dibalas dengan cacian, kebencian pada tindak tandukku yang sebenarnya tidak mengganggu mereka. aku benci kelas 1 dan kelas 2 ku di SMA 2 tahun 2000-2001. Tapi, Kebencian itu bisa tertutupi dengan buku-buku yang kubaca, kukoleksi, atau yang kutulis.

Jumat, Mei 01, 2009

Tuhan Memberkati God Bless


Raksasa Rock ini masih hidup, ditengah arus musik pop yang menjejal blantika musik Indonesia. Legenda rock Indonesia ini masih menyisakan Ahmad Albar, Donny Fattah dan Ian Antono.

Bertahun-tahun menetap di Belanda, dan tidak lupa menjajal dapur rekaman di Eropa, akhirnya Ahmad Albar—yang biasa disapa Iyek—kembali ke Indonesia. Iyek ditemani oleh Ludwig Lehman.
Niat awalnya berlibur. Segera saja, niat itu berbelok. Di Jakarta, sedang diadakan pentas seni menjelang peringatan Hari Kemerdekaan RI, bertajuk Summers 1972. sebuah formasi band dadakan pun dibentuk. Tentu saja ada Iyek sebagai vokalis, Ludwig Lehman sebagai gitaris dan beberapa musisi yang kala itu masih muda—namun kini sudah menjadi nama besar dalam sejrah musik Indonesia.

Posisi drum awalnya diisi oleh Fuad Hasan dan Soman Lubis pada keyboard. Dua pemuda itu bernasib naas karena kecelakaan yang menewaskan mereka, ketika sepeda motor mereka berpapasan dengan truk kacang ijo (militer). Segera band yang diberinama God Bless ini minus pemain. Bukan hanya itu, kematian Fuad Hassan dan Soman Lubis itu juga, membuat personil lain terpukul. Meski begitu mereka terus menggeliat dalam dunia musik rock Indonesia.
God Bless pun menjadi raja panggung rock Indonesia. Mereka menjadi perhatian para pemuda Indonesia—yang mulai terjangkiti musik rock barat yang sedang populer. Kala itu raksasa rock dunia macam Led Zeppelin dan Deep Purple sedang naik daun. Lagu barat pun kerap dibawakan God Bless.
Gonta-ganti personil pun kerap didera band besar ini selama lebih dari dua dekade. Beberapa nama besar seperti: Deddy Stanzah alias Deddy Rollies (pendiri The Rollies dari Bandung), Deddy Dores (dedengkot Freedom of Rhapsodia juga dari Bandung), Abadi Soesman, juga Nasution bersaudara dari gang Pegangsaan pun pernah ikut memperkuat pasukan God Bless.
Nama-nama besar itu layak ngejam di God Bless karena mereka memang sangat diperhitungkan. God Bless, jadi para pemain instrumennya juga orang besar, setidaknya diperhitungkan ketika mereka mengisi formasi God Bless. Pemain instrumen boleh ganti, namun vokal tetap saja urusan Iyek—yang merupakan anggota terlawas selain Donny Fattah. Selama bergabung dengan God Bless, Donny Fattah sebagai pemain bas, namun di awal-awal God Bless, Donny Fattah sempat memegang gitar—namun tidak lama.
Bicara soal Gitaris? God Bless punya leganda. Anak band zaman sekarang pasti akan menyebut nama Ian Antono jika ditanya salah satu gitaris terhebat Indonesia. Memang benar! Setidaknya, majalah musik Rolling Stone versi Indonesia pernah mentasbihkan Ian Antono masuk sepuluh besar gitaris Indonesia terbaik. Ian Antono tidak hanya aktif di God Bless, diluar God Bless dia pernah main di Gong 2000 bersama Iyek. Ian pernah bermain di Benteol Band sebelum gabung di God Bless.
Personil God Bless pernah menjadi figuran film. Ketika Iyek ikut menjadi pemeran antagonis dalam Si Doel Anak Modern, personil lain ikut muncul sekilas ditangah adegan film. Bukan hal aneh! Dunia film lebih dulu dijajal Iyek sebelum berangkat ke Belanda. Ketika kecil, Iyek membintangi film Jenderal Kancil.
Popularitas Iyek ikut mengangkat popularitas God Bless juga. Begitu juga popularitas anggota lain yang keluar masuk—yang memang punya nama besar, meski kala itu belum jadi legenda musik Indonesia.
Hal unik, mungkin juga aneh bagi penglihatan orang dekade sekarang. Rupanya dua personil God Bless, Ian dan Iyek, pernah buat album Dangdut. Hit terkenal dalam album itu adalah lagu Zakia—yang tentang penari gurun pasir ternama itu. Lagu itu pun ngetop, bahkan pernah dirilis ulang oleh band rock, besar juga tapi belum melegenda, bernama Boomerang diakhir dekade 1990an. Hal itu dibuat Iyek dan Ian karena lagu dangdut lagi laris. Lumayan bisa ngasapi dapur. Daripada beridealisme dengan rock sementara perut kelaparan, dan juga tidak bisa main musik rock.
Cerita God Bless sangat panjang, juga menarik hingga Mira Lesmana dan Riri Riza berniat membuat film tentang God Bless. Tampaknya Tuhan memang memberkati band besar itu. Hingga eksis dan jadi legenda rock Indonesia. Sesuai namanya, God Bless (Inggris, artinya : Berkat Tuhan), Tuhan memberkati God Bless.



Selasa, Februari 10, 2009

Jejak Penangsang van Jipang


Begawan Sore masih kencang. Deras menuju laut. Motor kami meluncur diatas lumpur. Tibalah kami di desa Jipang. Pikiran kami melayang pada Aria Penangsang si pemberontak legendartis itu.

Berdasar catatanku, ini tempat Aria Penangsang berkuasa sebagai Adipati Jipang—yang wilayahnya meliputi sekitar Blora dan Bojonegoro. Padi terhampar luas, tanahnya subur—seperti dalam lirik lagu Darah Juang, ” Negeri kami subur Tuhan”.
Tidak jauh dari tepian Bengawan Sore, ada reruntuhan istana kadipaten Jipang. Nyaris tak terlihat. Tapi disini memang ada kehidupan, waktu zaman dulu—ketika darah tertentu saja yang jadi pemimpin. Istana itu diruntuhkan tanpa bekas oleh penguasa asing lalim lantaran penguasa lokal Jipang tidak mau bekerjasama dengan penguasa lalim tadi. Setidaknya, begitu kata Eko Prasetyo—pemuda peduli desa yang menjadi Modin di Desa Jipang.
Desa Jipang? Ya, Jipang bukan lagi sebuah kadipaten seperti zaman Aria Penangsang, Jipang kini hanya nama desa tempat Eko Prasetyo tumbuh. Jipang kini hanya bagian dari distrik Cepu, Blora. Eko, selaku Modin, berusaha menjaga komplek makam umum—dimana beberapa petingi Jipang bersemayam di pemakaman desa itu.
Siapa Aria Penangsang? Kita akan menemukan Aria Penangsang di buku-buku teks sejarah sekolah yang isinya seperti cerita sintron yang klise. Dimana selalu ada tokoh antogonis—yang harus dimusuhi oleh para penontonnya. Antagonis, begitulah Aria Penangsang diposisikan sebagai tokoh antagonis—yang dilaknat sejarah karena berontak pada Kerajaan Demak, yang dianggap penting oleh orang-orang Islam Jawa.
Demak dianggap mulia, begitupun penguasanya—yang mungkin juga sepenuhnya dianggap alim seperti tokoh protogonis dalam sinetron. Rasanya tidak adil jika kita beranggapan seperti itu. Aria Penangsang pun bukan orang yang sepenuhnya jahat. Pendekar berdarah panas ini adalah murid Sunan Kudus—salah seorang walisanga.
Mengapa Aria Penangsang berontak? Rasanya ini yang harus diketahui, termasuk oleh anak sekolah. Raden Fattah punya 3 anak: Adipati Unus, Seda Lepen dan Trenggana. Setelah Raden Fattah wafat maka Adipati Unus berkuasa. Ketika Adipati Unus, penguasa Demak setelah Raden Fattah wafat tanpa keturunan, Trenggana lalu naik tahta. Seharusnya, Seda Lepenlah yang lebih berhak awalnya berdasar urutan kelahiran dari putra-putra Raden Fattah.
Awal bekuasanya Trenggana, tidak ada perlawanan keras dari pihak Seda Lepen. Setelah kematian Trenggana, tahta pun harus berganti pemilik. Pertumpahan darah dimulai. Seda Lepen—orang yang seharusnya menjadi raja Demak—pun dibunuh sepulang dari shalat Jum’at atas kemauan Prawata, putra Trenggana yanga nampak ambisus.
Kematian Seda Lepen, tentu saja membakar amarah Aria Penangsang. Dimana Aria Penangsang menuntut balas pada saudara sepupunya yang kejam pada ayahnya hanya karena tahta. Selain menuntut balas kematian ayahnya, Penangsang juga menuntut tahta Demak. Aria Penangsang pun berontak pada Demak. Akhirnya, Prawata terbunuh juga oleh orang suruhan Penangsang. Begitu juga Pangeran Hadiri, suami Kalinyamat—putri dari Trenggana. ”Pembalasan memang lebih kejam” bukanlah sebuah omong kosong.
Singkat kata, Demak pun terpecah. Ada Pajang, yang dikuasai Jaka Tingkir yang licin dan Jipang yang dikuasai Penangsang sendiri. Semua bersaing demi bekas tahta Demak yang hancur. Dua penguasa itu bunuh-bunuhan, hingga muncul satu pemenang.
Beruntung saja, Jaka Tingkir punya sekutu macam Ki Ageng Pemanahan beserta kawan dan pengikutnya. Dimana Aria Penangsang yang mudah panas hati terpancing untuk bertarung melawan pengikut Ki Ageng Pemanahan. Dalam sebuah pertarungan tidak seimbang, Aria Penangsang yang dikeroyok, berhasil dilukai oleh Sutawijaya—Penembahan Senapati yang kelak mendirikan dinasti penguasa Mataram Islam—dengan tombak keramat Ki Plered-nya.
Pelan-pelan Aria Penangsang pun meninggal. Jipang pun meredup dari Sejarah Jawa, meski berusaha menentang penguasa asing termasuk VOC atau Hindia Belanda. Hingga Jipang hanya menjadi nama desa. Ini adalah resiko dari tidak mau berkompromi dengan penguasa yang lebih kuat. Ini bukan kebodohan, melainkan keberanian yang layak diapresiasi. Aria Penangsang layak menjadi tokoh Cepu atau Blora, dalam sejarah tidak ada pahlawan atau pengkhianat—seperti politisasi yang dimau oleh penguasa—melainkan pengukir sejarah saja.







Minggu, Februari 01, 2009

Tugu, Wieteke van Dort dan Keroncong Chaos


Keroncong adalah musik yang masih hidup hingga sekarang. Di Jakarta kominutas Keroncong Tugu, yang keturunan Portugis disana pun masih melestarikan Keroncong-nya hingga ke generasi terakhirnya. Belakangan Kroncong Tugu pernah diundang tampil oleh Pemerintah Daerah Jakarta.
Meski ada anasir Portugis-nya, Keroncong seolah menjadi bagian dari kebudayaan Indonesia. Karena Keroncong berproses di Nusantara hingga memiliki bentuk yang khas seperti sekarang ini. Dimana Kroncong tidak lagi dianggap barat, melainkan—sebagaian orang mengira Keroncong dari timur.
Budak-budak Portugis adalah komunitas yang dianggap ikut melahirkan keroncong. Belakangan, orang-orang Belanda yang Protestan kemudian juga ikut memberi warna pada musik bekas budak Portugis itu. Susunan harmonik akordik ala GerejaProtestan Belanda. Selanjutnya, Keroncong pun berkembang dan didendangkan Sinyo-sinyo (anak laki-laki Indo-Belanda)—atau yang merasa Belanda—dirumah gedongan-nya.

Saking melegendanya, muncul istilah “Buaya Keroncong” bagi mereka yang jago memainkan musik Keroncong dalam dunia perkeroncongan. Akhir abad XIX, muncul sekumpulan orang-orang Indo-Belanda yang jago memainkan musik Keroncong di Kemayoran, Jakarta. Mereka menamakan diri De Krokodilen—yang berarti ‘buaya-buaya’ dalam bahasa Belanda.
De Krokodilen sangat piawai memainkan lagu-lagu cinta yang membuat para gadis tergila-gila. Karena begitu takutnya, orang-orang tua sebelum dekade 1950an, sering menutup pintu atau jendela mereka jika ada serombongan pemain keroncong yang sedang ngamen. Mereka takut anak gadis mereka tergila-gila pada ‘buaya-buaya’ jogo keroncong itu.
Tema lagu-lagu keroncong tidak beda dengan tema lagu zaman sekarang, lagi-lagi temanya cinta melulu—seperti salah satu judul lagu Efek Rumah Kaca. Keroncong, seperti halnya lagu melayu juga mendayu-dayu seperti dalam lagu Cinta Melulu-nya Efek Rumah Kaca. Bisa jadi temanya juga klise. Mungkin, di zaman kolonial dulu, lagu cinta yang temanya ngeblues (sedih) sudah digemari seperti sekarang. Bisa jadi lagu tema cinta, bagi muda-mudi yang asmaranya bergelora, jauh lebih baik daripada lagu-lagu pujian untuk Tuhan, atau para raja yang gila sanjungan.
Lagu mendayu-dayu bernafas cinta itu, bukan musik yang membakar semangat. Menurut Remi Sylado, Keroncong bertema cinta yang lembek dimata pemerintah balatentara Jepang itu akhirnya menjadi musik haram. Sama seperti rock n roll yang dianggap ngak-ngik-ngok zaman rezim Soekarno.
Kroncong dimata banyak orang saat ini adalah musik orang-orang kolot dan hanya ada di Indonesia. Itu salah besar! Cari saja-saja lagu-lagu milik Wieteke van Dort—yang bisa saya bilang dia adalah penyanyi Kroncong dari Negeri Belanda. Lagunya yang terkenal adalah Geef Mij Maar Nasi Goreng, Arm Den Haag, Boelang Pake Pajong. Irama Kroncong dan liriknya yang bahasa Belanda dengan menyerap banyak kosakata dari bahasa Indonesia, membuat saya kagum sekaligus tergelitik. Ada juga lagu-lagu yang dinyanyikan Wieteke van Dort dalam bahasa Indonesia seperti Burung Kakatua dan Nina Bobo. Dua lagu itu sudah menjadi lagu abadi di Indonesia. Dimana di Taman Kanak-kanak biasanya sering mengajarkan lagu-lagu itu.
Kroncong sebelum tahun 1950an menjadi musik wajib di nusantara. Musik pop gaya barat belum berkembang. Sementara akses orang Indonesia untuk menikmasti musik jazz sangatlah minim. Mahasiswa Indonesia di Belanda, seperti Suryosumarno, juga pernah memainkannya untuk menambah uang sangunya yang kurang untuk hidup di Negeri Belanda.
Sebagian anak muda sekarang bahkan masih mau mendengarkan musik keroncong, meski musik keroncong mereka bukan Keroncong Tugu atau Moresco. Melainkan Keroncong Chaos yang terkesan konyol temanya. Tapi, bagaimanapun itu juga hasil budaya Indies yang disesuaikan dengan kebutuhan anak muda saat ini yang bosan tema cinta yang serius dan mendayu-dayu.
Sebagaian anak-anak Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam) di kota-kota pulau Jawa, pasti kenal dengan nama Pemuda Harapan Bangsa dan Sri Rejeki. Meski minoritas, mereka musik mereka cukup mewakili generasi sekarang dengan genre keroncong chaos. Mereka masih menyisakan akar musik keroncong yang lahir sejak zaman awal-awal kedatangan bangsa Eropa di Indonesia.

Geef Mij Maar Nasi Goreng


Saya terkejut ketika Wieteke van Dort menyanyikan lagu Geef Mij Maar Nasi Goreng. Lagu itu seperti mengisyaratkan kerinduan sekelompok kecil orang di Negeri Belanda yang rindu akan suasana dan makanan Indonesia.
Jangan lupa, Nasi Goreng adalah budaya kuliner Indies—seperti juga Sambel Goreng Tempe yang angkringan-angkringan (warung yang menyediakan menu nasi kucing) di Jogjakarta dikenal dengan nama kering. Kering menjadi teman nasi dalam sebungkus nasi kucing. Di beberapa kota di Jawa, banyak Warteg (Warung-Tegal) yang menyediakan kering untuk dimakan dengan nasi.
Di setiap kota di Indonesia menemukan nasi goreng jauh lebih mudah daripada menemui pejabat daerah yang jarang di kantor. Nasi goreng pun memiliki rasa, bumbu dan campuran yang beragam. Bukti bahwa makanan ini lestari dan kaya ragam.
Budaya kuliner tadi terus lestari dan menjadi bagian dari budaya Indonesia, meski ada enggan mengakuinya. Maklum orang-orang Indonesia yang keracunan rasa Nasionalisme sering enggan tidak mau mengakui jasa pihak luar terhadap diri dan kebudayaannya.

Nasi goreng mungkin lahir dirumah gedongan Tuan dan Nyonya Belanda di Nusantara. Roti mungkin sulit didapat di nusantara. Bila ada, pabrik roti di nusantara hanya ada di kota-kota pelabuahan macam Batavia, Surabaya, Semarang maupun kota pedalaman yang banyak terdapat orang-orang Belanda atau orang Eropa seperti Bandung, Yogyakarta atau Malang.
Sebelum jumlah wanita Eropa memadai agar setara dengan jumlah laki-laki, dapur orang-orang Eropa tentu saja kekurangan menu makanan Eropa. Karenanya dapur-dapur orang Eropa banyak diurus nyai pribumi—pengurus rumah tangga merangkap teman ranjang yang bisa juga menjadi Sleeping Dictionary (kamus tidur) dimana laki-laki Eropa itu belajar bahasa setempat. Nyai tentunya menjadi penyerap nilai-nilai barat selain pegawai pemerintah kolonial dan anak-anak pribumi yang bersekolah di sekolah Eropa di nusantara. Kehadiran nyai tentu saja ikut mempengaruhi lidah laki-laki kulit putih yang mereka urus.
Untuk bertahan hidup, orang-orang Eropa di nusantara pun mencoba bahan makanan pokok bagi orang pribumi, beras yang dimasak menjadi nasi. Nasi itu lalu mereka oleh menjadi nasi goreng. Begitu juga tempe yang dioleh disebuah wajan setelah diiris, lalu jadilah sambel goreng tempe.
Makanan ini, belakangan tidak hanya dinikmati orang-orang gedongan. Jongos-jongos (pembantu rumah tangga) dari rumah tuan dan nyonya, maupun nyai-nyai yang sudah tidak diperlukan orang Belanda, yang harus pulang itu pun membawa resep nasi goreng maupun sambel goreng-nya ke kampung-kampung mereka. Orang-orang kampung pun mencoba dan menyantapnya.
Rasanya, di zaman Hindia Belanda, tiada ada larangan makan nasi goreng dari pemerintah kolonial. Seorang pribumi pun tidak akan diseret ke Landraad (pengadilan rendah untuk orang pribumi) jika dilihat opas Polisi atau orang Belanda ketahuan sedang makan nasi goreng. Artinya nasi goreng bukan makanan terlarang, hingga nasi goreng pun menjadi makanan yang cukup populer.
Makanan seperti itu akhirnya menyebar dan menjadi milik rakyat nusantara. Bukan cuma milik tuan dan nyonya Belanda di rumah gedongannya. Berbagai lapisan bisa menikmatinya. Bedanya, lapisan atas bisa menikmati nasi goreng mahal yang disajikan di restoran bergengsi, sementara lapisan bawah cukup menikmatinya di kali-lima saja. Nasi goreng yang mahal tentu banyak campurannya dagingnya. Bicara soal mana yang enak, itu urusan lidah. Rasa juga sesuatu yang nisbi dan tidak punya standar tertentu. Bagaimananpun rasa dan campurannya, nasi goreng tetap nasi goreng. Ada nasi yang digoreng dengan bumbu-bumbu tertentu.
Di Negeri Belanda, beberapa makanan ala Indonesia masih ada. Restoran khusus makanan Indonesia pun ada di Negeri Belanda. Sekelompok eksodus kiri pasca gagalnya G 30 S juga mendirikan restoran. Dimana adik D.N. Aidit, Sobran Aidit, ikut serta dalam mendirikan restoran itu. Makanan Indonesia tentu saja menjadi menu di restoran itu.
Nasi goreng sendiri cukup diminati sebagian orang-orang di Negeri Belanda, baik orang Belanda asli maupun orang-orang Indonesia yang tinggal di negeri Belanda. Keturunan orang-orang Republik Maluku Selatan pengikut Ir Manusama, mungkin juga penyantap nasi goreng. Bagaimanapun, meski mereka sudah biasa makan roti isi daging, nasi tentu tidak asing bagi lidah mereka karena nenek-nenek moyang mereka juga sering makan nasi. Jadi tidak sulit bagi mereka untuk makan nasi goreng.
Nasib nasi goreng di negeri Belanda bisa jadi jauh lebih baik daripada Soto Babat. Berdasar pengalaman Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara—yang kala dibuang ke Negeri Belanda sekitar tahun 1910an masih bernama Suwardi Suryaningrat—sering memasak Soto Babat bersama istrinya. Karena sering membeli usus—yang di Negeri Belanda adalah makanan anjing—maka si penjaga toko dengan sopan bertanya, “berapa anjing tuan?.” Ki Hajar mungkin hanya bisa diam berpikir betapa apa yang dimakan anjing di Eropa juga dimakan manusia di Hindia Belanda (Indonesia).
Dari sini bisa saja Soto Babat yang bahannya sama dengan makanan anjing peliharaan juga semakin merendahkan pribumi. Tapi nasib Soto Babat zaman ketika Ki Hajar Dewantara dibuang tentu berbeda nasib nasi goreng di Belanda sekarang. Dimana nasi goreng disajikan di restoran-restoran. Bisa jadi sulit menemukannya di kaki-lima seperti di Indonesia.
Sangat disayangkan, sejarah kuliner Nusantara seperti nasi goreng sulit ditemukan. Padahal nasi goreng adalah fenomena menarik dalam kehidupan Indonesia. Orang-orang banyak tidak mengerti bagaimana nasi goreng yang mereka pernah makan itu itu lahir di Indonesia.