Jumat, September 06, 2013

Pilot (Tempur) Generasi Pertama Indonesia

Masih menjadi misteri, siapakah orang Indonesia yang pertama kali jadi pilot? Setidaknya ada beberapa nama pilot sohor Indonesia generasi pertama, mereka kebanyakan pilot militer.
Ada yang menulis, Bob Freiberg adalah pilot RI pertama. Ini karena Bob menerbangkan RI 002 Seulawah. Itu bukan berarti Bob pilot pertama yang pernah ada di Indonesia. Siapakah orang yang pertama kali terbang di Indonesia? Orang-orang awam mungkin ingat mitologi Bramakumbara yang terbang dengan burung raksasa-nya. 
        Di Wonosobo, 18 Januari 1914, Dennij, seorang pembuat balon udara yang kesohor di masanya, mendemonstrasikan atraksi balon udara di hadapan  masyarakat Wonosobo. Banyak orang-orang melihatnya di tanah lapang. Orang-orang Wonosobo bersorak ketika balon berhasil terbang. Sayang, ketika mendarat terjadi kecelakaan. Orang-orang yang terkesima pun tegang. Balon udara rusak berat, sementara Dennij cidera.  Orang-orang pribumi masih belum terbiasa dengan teknologi barat.(Sinar Djawa, 23 Januari 1914)
Legercommandant KNIL pun bekas pilot
Hein Ter Porten tergolong sebagai salah satu pilot pertama di Hindia Belanda. Sehari-hari dia adalah Letnan Artileri KNIL. Dia belajar terbang dengan uangnya sendiri. Dia pernah terbang mengitari Batavia. (Gedenschrift Koninklijk Nederlansche Indische Leger 1830-1950, hlm. 76-77). 
Hein Ter Porten yang mantan pilot militer jadi tawanan.
Hein Ter Porten yang mantan pilot militer jadi tawanan.
Penerbangan Ter Porten tak selamanya mulus. Pada 14 Februari 1916
Pesawatnya mengalami kecelakaan di Kalijati. Kecelakaan ini disebabkan oleh rusaknya mesin pesawat, ditambah keadaan cuaca yang buruk. Kala itu Ter Porten adalah ajudan dari Jenderal Michielsen— Legercommandant (Komandan Pasukan) KNIL. Ter Porten luka parah kala itu. Sementara Michelson meninggal dunia dan dimakamkan keesokan harinya. (Pembrita Betawi, 16 Februari 1916)
Belakangan, Ter Porten jadi komandan KNIL juga, menggantikan Barenschot yang meninggal karena kecelakaan pesawat, seperti yang dialami Michelsen. Setidaknya dua Jenderal KNIL meninggal karena kecelakaan pesawat. Nasib Ter Porten sebagai komandan KNIL pun tergolong merana, dia kalah perang dan KNIL vakkum. Dirinya pun sempat hidup di kamp interniran sebagai tawanan.
Pribumi Terbang
Tersebutlah Soetardjo—putra Bupati Bandung. Dia seorang Sportvlieger (olahragawan penerbang pesawat layang sederhana) Indoensia pertama. Pada 9 Februari 1932 dirinya telah mengadakan percobaan terbang untuk mendapatkan brevet dibidang terbang layang dari Nederlandsche Indie Vlieg Club (peerkumpulan aerosport Hindia Belanda). Sayang dalam percobaan itu Soetardjo jatuh sehingga harus dibawa ke rumah sakit. Brevet yang diinginkannya pun kandas untuk beberapa waktu. (Pelita Andalas, 11 Februari 1932)
Surjadi Suryadarma, bekas pilot KNIL yang belakangan KSAU
Surjadi Suryadarma, bekas pilot KNIL yang belakangan KSAU
Sebelum Adisucipto terbang di tahun 1945, ada beberapa nama lain yang layak disebut sebagai pilot. Setidaknya ada Surjadi Surjadarma, Samboja Hurip, dan tentu Adi Sucipto sendiri. Mereka semua adalah penerbang militer.
        Surjadi Surjadarma adalah lulusan Akademi militer Breda di Belanda. Sebelum ikut latihan terbang dia adalah perwira KNIL. Belakangan dia dilibatkan dalam dunia pernebangan militer, sebelum Jepang datang ke Indonesia. Surjadi, kemudian menjadi Kepala Staf Angkatan Udara RI pertama dan terlama.
Adisucipto salah satu perintis penerbangan militer Indonesia
Adisucipto salah satu perintis penerbangan militer Indonesia
Adisucipto adalah pilot Indonesia paling kesohor. Dia menggerakan penerbangan militer di awal RI berdiri. Dia dikenal sebagai Bapak penerbangan RI. Kawan Adi Sucipto yang cemerlang selam latihan pilot oleh Belanda adalah Sambudjo Hurip. Sambudjo Hurip, terkenal sebagai petenis professional sebelum Perang Pasifik. Ancaman Jepang membuatnya harus ikut perang, sebagai pilot. Dia meninggal dalam sebuah operasi menghadapi pesawat-pesawat Jepang lalu hilang di sekitar Sumatra. 
Abdurahman Saleh Sang dokter yang terbang
Abdurahman Saleh Sang dokter yang terbang
Di zaman Adisucipto, sebetulnya banyak pilot kesohor seperti Abdurahman Saleh yang seorang dokter dan juga perancang pemancar radio  yang menyiarkan berita kemerdekaan RI. Taka da catatan bagaimana Abdurahman Saleh belajar terbang. Sebagai dokter dengan bayaran yang bagus tentu bukan hal sulit untuk ikut kursus. Nyatanya, setelah 1945, Abdurahman Saleh bisa menerbangkan pesawat.  Selain itu, ada juga Abdul Halim perdanakusumah yang pernah menjadi navigator pesawat pembom Canada dalam front Eropa semasa Perang Dunia II. AURI sedari awal sudah dilimpahi pilot-pilot hebat, namun sedari dulu hingga kini, pesawat-pesawat mereka tak memadai untuk mengawal angkasa nusantara.Halim Perdanakusuma, bekas navigator veteran front Eropa
Halim Perdanakusuma, bekas 

Selasa, September 03, 2013

Di Leang-leang bersama murid-murid

Tak lengkap rasanya jika melupakan gua Leang-leang untuk dikunjungi. Setelah 3 tahun, akhirnya saya melihat lagi lukisan purba di dalamnya.
Museum samping istana Balalompoa
Museum samping istana Balalompoa
Meski lelah, jadi backpacker jelas seru. Sabtu siang, saya baru turun dari Malino. Sekedar mengamati kota mungil di timur Makassar. Sekedar menyinggahi sebuah gereja kecil yang dulunya pernah dilangsungkan konferensi Malino pada 1946. Setelah mencari dan salah tempat, saya akhirnya temukan tempat itu. Lalu mengambil gambar dengan ditemani beberapa suster yang manis-manis. Dari gereja mungil itu lalu ke sebuah makam yang tampaknya telah berubah tugunya. Dari Malino saya langsung ke Balalompoa, sekedar cari informasi soal kacamata seorang sahabat yang tertinggal disana. Hasilnya tidak meyakinkan.
para manusia gua
para manusia gua
Esok paginya, saya penuhi janji untuk jalan-jalan ke Bantimurung. Jauh hari sebelumnya, saya pernah berjanji kepada murid-murid di sekitar Makassar untuk jalan-jalan ke Bantimurung. Tapi sebelumnya saya ingin singgahi sebuah gua purba di desa Leang-leang yang tak jauh dari Bantimurung. Semua sepakat dengan rencana saya. Kami naik pete-pete (sebutan angkot bagi orang-orang Makassar) dari jalan poros dekat Bandara. Beruntung dapat pete-pete yang ternyata supirnya adalah penduduk Leang-leang juga. Setelah melewati sebagian kota Maros, kami melewati daerah penuh sawah di kanan dan kiri jalannya. Sebelum Bantimurung, kendaraan belok kiri, masuk ke gua Leang-leang.  
Lukisan dinding di gua Leang-leang
Lukisan dinding di gua Leang-leang
Begitu sampai di loket dan pintu gerbang kami langsung menuju gua dengan berjalan kaki menyusuri taman hijau yang dipenuhi batu-batu yang mirip batu di tepi laut. Bukan batu Andesit. Taman ini disebut Taman Purbakala. Dulunya, mungkin ratusan ribu tahun silam, daerah ini adalah laut. Untuk mencapai gua, kami harus naik tangga besi yang disediakan pengelola tempat wisata yang memungut Rp 10.000 sekali masuk bagi wisatawan.
Akhirnya, pemandangan yang kami tuju pun di depan mata. Sebuah lukisan dinding buatan manusia purba. Sebuah gambar babi rusa disertai beberapa telapak tangan manusia. Ukuran telapak tangan tak jauh beda dengan telapak tangan manusia sekarang. Kata penjaga gua, lukisan itu memakai bahan pewarna dari tumbuh-tumbuhan yang ada di zaman purba, yang mungkin tumbuhan itu sudah punah.
Di dalam gua
Di dalam gua
Sudah pasti kami ambil foto sepuasnya di dalam gua. Untungnya, tak ada biaya masuk untuk kamera di tempat ini, seperti halnya banyak tempat di Jogja yang sudah kenakan biaya tambahan jika membawa kamera. Selesai berfoto di gua, kami turun dan berfoto di taman purbakala. Sementara anak-anak berfoto, saya mencari jejak Kjokenmodinger(sampah dapur). Saya agak lupa dimana tempatnya, karena sudah 3 tahun tak kunjungi lagi tempat ini. Karena kami tak lama, hanya sekitar satu jam. Kami harus ke Bantimurung untuk bersenang-senang sampai siang. Senang sekali bisa ke tempat ini bersama murid-murid. Dimana pun dan dalam kondisi apapun, bersama mereka penuaan itu serasa mitos. Saya serasa masih 23 tahun.Taman Purbakala
Taman Purbakala

Senin, September 02, 2013

Jejak Sekolah Guru Pelaut

Banyak peristiwa penting terjadi dikawasan yang dulu disebut Kampemen KIS. Pernah ada Sekolah guru pelaut dan akhirnya tetap jadi tangsi lagi.
Sore terakhir saya habiskan dengan mengunjungi tempat penting di kota Makassar. Sebelum mengunjunginya, saya pernah menulis soal peristiwa penting di kota ini, termasuk tempat yang dulunya pernah disebut sebagai kampemen KIS. Beruntung saya bisa mengunjunginya.
Dulunya, di tahun 1924 jalan ini bernama Strand Weg. Kawasan ini tak jauh dari laut. Kawasan ini adalah kawasan vital bagi Angkatan Laut Belanda di Makassar. Betapa tidak, ada bangunan dan sekolah penting bagi masa depan palayaran Belanda disini.
Sekolah Guru Pelayaran Makassar (1924)
Sekolah Guru Pelayaran Makassar (1924)
Dalam sebuah foto dari Tropen Museum yang diambil pada 20 April 1924, ada seorang pelaut menenteng senapan laras panjang berjaga di depannya. Pelaut bersenjata itu nampaknya orang pribumi. Bisa dipastikan jika sekolah guru pelayaran ini milik Angkatan Laut Belanda. Di atas pintu gerbang terdapat tulisan, Kweekschool voor Inlandsche Schepelingen, yang bisa diartikan sebagai Sekolah Guru Pelayaran Pribumi.
Saya lalu teringat koran tua yang pernah saya bongkar 2007 silam. Pewarta Makassar menulis:  Letnan Goozsen, perwira Angkatan Laut Hindia Belanda yang tinggal di Bogor, mendapat perintah agar membantu petinggi militer Hindia untuk mendirikan sekolah pelaut di Hindia Belanda yang akan dibangun di Padang dan Makassar.
Rencananya, Orang-orang pribumi yang lulus dari sekolah pelaut itu akan ditempatkan di kapal perang yang menjaga perairan Hindia Belanda—yang sekarang menajdi perairan Indonesia. Tujuan dari perekrutan orang-orang prinbumi tidak lain untuk mengurangi ketergantungan dari pelaut yang diambil dari negeri Belanda. Wilayah koloni Hindia Belada yang demikian besar--dimana lautannya lebih luas dibandingkan daratannya, maka armada laut yang menjaga lautan sangatlah penting sekali. (Pewarta Makassar, 20 Februari 1914)
Harap maklum, sedari dulu sejak ratusan tahun silam, kota Makassar memang kota pelabuhan penting, setidaknya di Indonesia bagian timur. Jazirah selatan Sulawesi tak hanya dikenal sebagai pusat pelayaran saja, sebuah kitab hukum Laut pun bernama Amanna Gappa, diambil dari nama salah orang Bugis Wajo yang menyusunnya.
Bekas kampement KIS akhirnya jadi markas Zeni Tempur
Bekas kampement KIS akhirnya jadi markas Zeni Tempur
Sekarang, bangunan sekolah itu masih ada meski ada perubahan sedikit. Namun bukti jika itu bekas sekolah pelayaran kolonial masih tersisa. Sekarang, gedung yang terletak di Jalan Rajawali itu, telah menjadi markas dari Batalyon Zeni Tempur 8 SMG. Sebelumnya, daerah pernah menjadi tangsi KNIL yang disebut kampement KIS (tangsi KIS).
Tahun 1950, di kawasan ini pernah terjadi pertempuran antara TNI dari Jawa dengan KNIL yang tak rela Makassar berada di tangan TNI--ketika Peristiwa Andi Azis bergolak membakar kota ini. Ketika menulis soal Andi Azis saya mulai familiar dengan nama kampement KIS. Belakangan saya baru paham mengapa namanya adalah kampement KIS, ternyata karena dulunya bekas sekolah pelayaran KIS tadi.
Entah kapan berubah jadi tangsi tentara, saya belum tahu, hanya saja di jaman perang kemerdekaan di sekitar bekas area sekolah ini jadi tempat berkumpul tentara Belanda. Ada yang mengatakan ada bunker di sekitar tempat ini.     
Rumah Tahanan Militer. Mungkin Walter Monginsidi pernah ditahan disini
Rumah Tahanan Militer. Mungkin Walter Monginsidi pernah ditahan disini
Tak jauh dari bekas kampement KIS ini terdapat rumah tahanan militer. KOnon katanya, Walter Manginsidi pernah ditahan di sekitar kampement KIS. Bisa jadi disinilah tempat Walter Manginsidi yang doyan kabur dan sebenarnya enggan menyerah pada Belanda itu ditahan.  Kawasan Jalan Rajawali, seperti juga beberapa kawasan lain adalah kawasan penting bagi kota Makassar di masa lalu. 
Sayang sekali, gedung ini bukan jadi sekolah pelaut yang sedianya bisa menjaga lautan Indonesia yang luas dan sering dicuri kekayaan lautnya.