Selasa, Desember 10, 2013

Cukup Bandara Sepinggan Saja

Tak ada yang salah dengan nama Sepinggan. Kemulian hati dan menghargai sejarah tak harus dengan memberikan nama raja sebagai Bandara.


Dulu, nama Jalan Affandi Yogyakarta adalah Jalan Gejayan. Tetap saja orang-orang yang terbiasa melewati jalan itu masih terbiasa menyebut nama jalan itu Gejayan. Bukan Affandi. Ini bukan berarti tak menghormati Affandi yang maestro lukis Indonesia yang tak boleh dilupakan. Cara menghormati seorang maestro bukan mencomot namanya, namun meneladani dan berkarya apa saja, seperti yang didedikasikan sang Maestro.
Sebagai kota pelabuhan, Balikpapan punya lapangan terbang. Lapangan terbang yang bernama Sepinggan ini, setidaknya sudah ada sebelum datangnya Balatentara Jepang. Ada yang menyebut bandara ini dibangun untuk kepentingan Bataafs Petroleum Maatschappij (maskapai minyak Belanda) yang kita sebut BPM. Sebagai lapangan terbang, Sepinggan adalah bagian penting dari sejarah Balikpapan.  
Soal mengapa namanya Sepinggan, sebetulnya masih jadi teka-teki yang menarik untuk membuat otak-otak orang berpikir. Ini bukan hal buruk, karena keberadaan seseorang itu ditentukan ketika dia berpikir. “Cogito Ergu Sum (Saya Berpikir Maka Saya Ada),” kata Rene Descartes. Toch berhenti berpikir akan membuat seseorang menjadi pikun dan lupa. Selama kita melatih otak kita untuk berpikir maka itu bisa menghindari pusing. Mengganti nama Sepinggan, yang sudah jadi icon Balikpapan, berarti membuat orang malas berpikir. Selanjutnya bisa menjerumuskan orang Balikpapan menjadi bodoh. Ini tentu alasan yang sulit diterima orang yang malas berpikir.
            Belakangan muncul wacana konyol: perubahan nama Sepinggan menjadi Sultan Adji Moehammad Soelaiman. Nama yang jadi wacana itu diambil dari nama seorang Sultan Kutai yang memberikan konsesi kepada maskapai minyak Belanda. Dari konsesi itu, pundi-pundi sang Sultan bertambah. Lalu, minyak dan para buruh minyak itulah yang bergerak membangun sebuah kampong yang boleh kita sebut sebagai Balikpapan menjadi sebuah kota modern.
Dulu, nama Jalan Affandi Yogyakarta adalah Jalan Gejayan. Tetap saja orang-orang yang terbiasa melewati jalan itu masih terbiasa menyebut nama jalan itu Gejayan. Bukan Affandi. Ini bukan berarti tak menghormati Affandi yang maestro lukis Indonesia yang tak boleh dilupakan. Cara menghormati seorang maestro bukan mencomot namanya, namun meneladani dan berkarya apa saja, seperti yang didedikasikan sang Maestro. Sebagai kota pelabuhan, Balikpapan punya lapangan terbang. Lapangan terbang yang bernama Sepinggan ini, setidaknya sudah ada sebelum datangnya Balatentara Jepang. Ada yang menyebut bandara ini dibangun untuk kepentingan Bataafs Petroleum Maatschappij (maskapai minyak Belanda) yang kita sebut BPM. Sebagai lapangan terbang, Sepinggan adalah bagian penting dari sejarah Balikpapan. Soal mengapa namanya Sepinggan, sebetulnya masih jadi teka-teki yang menarik untuk membuat otak-otak orang berpikir. Ini bukan hal buruk, karena keberadaan seseorang itu ditentukan ketika dia berpikir. “Cogito Ergu Sum (Saya Berpikir Maka Saya Ada),” kata Rene Descartes. Toch berhenti berpikir akan membuat seseorang menjadi pikun dan lupa. Selama kita melatih otak kita untuk berpikir maka itu bisa menghindari pusing. Mengganti nama Sepinggan, yang sudah jadi icon Balikpapan, berarti membuat orang malas berpikir. Selanjutnya bisa menjerumuskan orang Balikpapan menjadi bodoh. Ini tentu alasan yang sulit diterima orang yang malas berpikir. Belakangan muncul wacana konyol: perubahan nama Sepinggan menjadi Sultan Adji Moehammad Soelaiman. Nama yang jadi wacana itu diambil dari nama seorang Sultan Kutai yang memberikan konsesi kepada maskapai minyak Belanda. Dari konsesi itu, pundi-pundi sang Sultan bertambah. Lalu, minyak dan para buruh minyak itulah yang bergerak membangun sebuah kampong yang boleh kita sebut sebagai Balikpapan menjadi sebuah kota modern.
Di kota-kota lain, kebanyakan nama bandara adalah nama-nama orang, seperti Adisucipto, Sukarno-Hatta, Sultan Mahmud Badarudin II, Juanda, Ngurah Raid dan entah apalagi. Namun, ada juga yang masih nyaman dengan nama tempat seperti Sentani. Ini adalah hal yang sangat jarang alias sedikit kota yang melakukannya. Menjadi sesuatu yang sedikit itu adalah salah satu karakter.
            Selama ini banyak orang merasa jika Balikpapan adalah kota tak berkarakter apalagi tak beridentitas. Ini salah!!! Tak semua kota bisa setertib dan sebersih Balikpapan. Penyebrang jalan, bisa jadi raja di jalanan kota Balikpapan karena banyak pengendara rela memberi jalan pada penyebrang. Tak seperti Jakarta yang dibangga-banggakan Indonesia. Itu karakter dan identitas Balikpapan.
Ada lagi yang bisa dibanggakan sebagai karakter dan identitas Balikpapan: mempertahankan nama Sepinggan. Dengan itu, maka Balikpapan, beserta warga kotanya, akan terhindar dari image latah. Seperti halnya manusia, kota yang baik pun adalah kota yang bisa menjadi dirinya sendiri. Orang atau kota yang latah adalah kota yang tak layak disebut dalam sejarah.
            Saat ini, polemik perubahan nama terus berlangsung. Bagi yang ingin Balikpapan menjadi kota berkarakter, tentunya konsisten denga nama Sepinggan. Namun, pejabat lokal ingin adanya kemulian hati, atau kita sebut saja mengalah.
Di kota-kota lain, kebanyakan nama bandara adalah nama-nama orang, seperti Adisucipto, Sukarno-Hatta, Sultan Mahmud Badarudin II, Juanda, Ngurah Raid dan entah apalagi. Namun, ada juga yang masih nyaman dengan nama tempat seperti Sentani. Ini adalah hal yang sangat jarang alias sedikit kota yang melakukannya. Menjadi sesuatu yang sedikit itu adalah salah satu karakter. Selama ini banyak orang merasa jika Balikpapan adalah kota tak berkarakter apalagi tak beridentitas. Ini salah!!! Tak semua kota bisa setertib dan sebersih Balikpapan. Penyebrang jalan, bisa jadi raja di jalanan kota Balikpapan karena banyak pengendara rela memberi jalan pada penyebrang. Tak seperti Jakarta yang dibangga-banggakan Indonesia. Itu karakter dan identitas Balikpapan. Ada lagi yang bisa dibanggakan sebagai karakter dan identitas Balikpapan: mempertahankan nama Sepinggan. Dengan itu, maka Balikpapan, beserta warga kotanya, akan terhindar dari image latah. Seperti halnya manusia, kota yang baik pun adalah kota yang bisa menjadi dirinya sendiri. Orang atau kota yang latah adalah kota yang tak layak disebut dalam sejarah. Saat ini, polemik perubahan nama terus berlangsung. Bagi yang ingin Balikpapan menjadi kota berkarakter, tentunya konsisten denga nama Sepinggan. Namun, pejabat lokal ingin adanya kemulian hati, atau kita sebut saja mengalah.
“Mengakhiri polemik itu adalah kemuliaan hati dari warga Kalimantan Timur. Menambah nama Sultan Adji Moehammad Soelaiman pada nama bandara Sepinggan adalah suatu keluhuran yakni keluhuran pikiran, hati dan jiwa semua semua warga Kalimantan Timur,” kata Awang Yacoub, ketua DPRD Kutai Kartanegara. Maka baiklah, kami minta kepada semua pihak dengan kemulian hati untuk tetap mempertahankan nama Sepinggan sebagai nama bandara kebanggaan Balikpapan.  
            Bicara soal menghargai sang Sultan Kutai, sebaiknya dirikan saja sebuah universitas yang betul-betul dibutuhkan bagi masyarakat Kaltim. Atau jadikan saja nama jalan bagus yang menghubungkan banyak daerah. Mungkin bisa juga dijadikan nama jembatan di Tenggarong yang kemarin runtuh.
            Mari kita bertanya lagi, buat apa memberi nama Sultan Adji Moehammad Soelaiman pada sebuah bandara di kota kecil? Apakah itu artinya tidak menghina Sultan Adji Moehammad Soelaiman sendiri. Saya kira, nama Sultan Adji Moehammad Soelaiman akan dibutuhkan ditempat lain. Harus kita sadari, para Balikpapaner (baca: orang-orang Balikpapaner), sudah terbiasa dengan nama Balikpapan. Memaksakan nama baru, berarti menganiaya lidah Balikpapaner. Jadi mengganti nama Sepinggan bukan kebijaksaan atau kemuliaan hati. Jangan sampai belakangan kita sadar jika ada muatan politik dibalik nama baru bandara dalam rangka Pemilu 2014 atau politik dinasti. Itu akan memperburuk citra Balikpapan sebagai kota berkarakter...
“Mengakhiri polemik itu adalah kemuliaan hati dari warga Kalimantan Timur. Menambah nama Sultan Adji Moehammad Soelaiman pada nama bandara Sepinggan adalah suatu keluhuran yakni keluhuran pikiran, hati dan jiwa semua semua warga Kalimantan Timur,” kata Awang Yacoub, ketua DPRD Kutai Kartanegara. Maka baiklah, kami minta kepada semua pihak dengan kemulian hati untuk tetap mempertahankan nama Sepinggan sebagai nama bandara kebanggaan Balikpapan. Bicara soal menghargai sang Sultan Kutai, sebaiknya dirikan saja sebuah universitas yang betul-betul dibutuhkan bagi masyarakat Kaltim. Atau jadikan saja nama jalan bagus yang menghubungkan banyak daerah. Mungkin bisa juga dijadikan nama jembatan di Tenggarong yang kemarin runtuh. Mari kita bertanya lagi, buat apa memberi nama Sultan Adji Moehammad Soelaiman pada sebuah bandara di kota kecil? Apakah itu artinya tidak menghina Sultan Adji Moehammad Soelaiman sendiri. Saya kira, nama Sultan Adji Moehammad Soelaiman akan dibutuhkan ditempat lain. Harus kita sadari, para Balikpapaner (baca: orang-orang Balikpapaner), sudah terbiasa dengan nama Balikpapan. Memaksakan nama baru, berarti menganiaya lidah Balikpapaner. Jadi mengganti nama Sepinggan bukan kebijaksaan atau kemuliaan hati. Jangan sampai belakangan kita sadar jika ada muatan politik dibalik nama baru bandara dalam rangka Pemilu 2014 atau politik dinasti. Itu akan memperburuk citra Balikpapan sebagai kota berkarakter...