Jumat, Februari 01, 2008

Lihat Nusantara Lewat Mata Inada Dao

Letupan Krakatau itu mulai menyambut Inada Dao (Bunda Dao) untuk bercerita tentang anak-anaknya lewati gambar-gambar hidup. Fenomena letusan itu seperti mengajak kita untuk mendengar Inada Dao bercerita. Setelahnya akan muncul rangkaian gambar hidup mengenai suasana kolonial, yang mungkin juga akan memilukan sebuah bangsa nestapa kala itu yang ribuan tahun mendiami mendiami nusantara ini. Akan tergambar bagaimana orang-orang ribumi direkrut menjadi kuli kontrak untuk perkebunan. Diantara kuli itu mungkin juga beberapa dari mereka yang akan menjadi korban Poenale Sanctie dari onderneming (perkebunan), salah satunya di Deli, tempat mereka menyambung hidup. Seorang penginjil yang berkuda dengan diantar oelh seorang pribumi yang berjalan telanjang kaki akan terekam. Dimana penginjil itu itu mengalami nasib malang karena jatuh ke air ketika menyeberangi sungai.

Kisah Moeder Dao masih panjang. Di Bowomataluo, sebuah kampung penting di Teluk Dalam Nias Selatan, para ksatria Nias dengan pakaian kebesarannya berkumpul didepan rumah pemuka mereka, tepat ditempat yang sekarang biasa diadakan Hombo Batu (lompat batu Nias). Kemajuan jaringan kereta api dan konsumsi mobil oleh orang-orang kaya di Hindia Belanda juga disajikan. Mobil begitu ekskusif seolah hanya dinikmat oleh orang-orang Eropa kaya yang tinggal di tanah Jawa. Kala itu, 1912 hinga 1932, kereta api telah mampu melewati perbukitan, sungaiyang curam di Jawa Tengah. Inada Dao juga bercerita tentang suasana para buruh pabrk di Balikpapan bekerja di bengkel trem (kereta), sebuah kendaraan yan hilang dan tidak mungkin lagi ditemui di kota itu. Sejarah pelayaran modern di nusantara akan diwakili oleh seuah kapal milik Kononkljk Packetvart Maatschappij (KPM) yang melayari sungai besar di Kalimantan Bagian Selatan. Pemandangan aneh anak Bali yang merokok juga direkam dengan baik dalam film okumenter ini. Rasanya bukan cuma itu yang akan diceritakan Bunda Dao tentang Nusantara.
Selama 88 menit, mata penonton akan lihat bagamana nusantara, nama paling indah untuk menyebut kepulauan raya ini, dalam kurun waktu 1912 hingga 1932. Zaman dimana lebih banyak diputar film-film bisu di nusantara ini. Film ini tidak bercerita seperti film-film komersil. Gambar film ini berbicara lewat potongan-potongan film yang dirangkai Vincent Monnikendam sang sutradara.
Film ini dirilis pada 1995. Gambaran nusantara dalam film ini tidak disajikan secara runtut oleh Monnikendam. Sajian gambar secara acak itu cukup artistik, walaupun ketika gambar hdup itu diambil dalam kurun waktu 1912 hingga 1932 bukanlah untuk tujuan artistik.
Monnikendam kumpulkan rangkaian film-film bisu yang diambil oleh kameramen Belanda pada tahun 1912 hingga 1932. Dari gambar kita lihat dalam film itu, tampaknya sang kameramen harus mengunjungi daerah-daerah terpencil yang kala itu dalam genggaman Sang Ratu Wilhelmina dari Belanda. Betapa, dengan susah payah sang kameramen harus membawa peralatannya ke daerah yang sulit djangkau mesin mobil kala itu. Bisa di bayangkan bagaimana sulitnya dengan teknologi rekam gambar hidup yang jauh dengan masa sekarang. Demi Ratu Belanda, rasanya kameramen itu sajikan bagaimana Nusantara yang telah digenggam imperium keluarga wanita yang mungkin hanya bersolek di Istana Negeri Belanda.
Sangat menarik dari judul film ini adalah mengambil istilah Nias untuk ibu atau Bunda, "Inada". Inada Dao adalah sosok yang sangat dipuja oleh masarakat Nias kuno. Konon, manusia diturunkan oleh Bunda Dao ke dunia disebuah tempat yang disebut "Bumi Manusia" atau Tana Niha (pulau Nias). Bunda Dao bisa dipadankan dengan ibu pertiwi. Inada Dao mungkin hanya istilah orang Nias saja, namun itu sudah cukup untuk menyebut sosok yang melahirkan manusia nusantara, yang bercerita dalam film ini. Inada Dao bercerita tentang nusantara untuk mencintainya. Cinta yang akan menerangi manusia nusantara itu, seperti dalam sebuah lagu, "Bagai sang surya menyinari dunia".


Kamis, Januari 31, 2008

Genjer-genjer Tak Pernah Mati


"Genjer-genjer. Nong kedok’an pating keleler. Genjer-genjer. Nong kedok’an pating keleler. Emak’e tole, teko-teko mbubuti genjer. Oleh sak tenong. Mungkor sedot seng tole-tole. Genjer-genjer. Saiki wis digowo muleh. Genjer-genjer. Isuk-isuk didol ning pasar. Dijejer-jejer, diuntingi, podo didasar. Dijejer-jejer, diuntingi, podo didasar. Emae’ Jebreng. Podo tuku nggowo welasan. Genjer-genjer saiki wis arep diolah. (Muhammad Arief, Genjer-genjer)

Ini bukan lagu mars Partai Komunis Indonesia, ini hanya lagu rakyat Genjer-genjer.Tapi banyak orang menganggap ini lagu PKI. Seorang kawan pernah bilang, "aku bisa di tempeleng ayahku kalau nyanyikan lagu itu". Lagu itu biasa dinyanyikan sebagian mahasiswa nakal di kampus. Lagu tadi sudah menjadi lagu haram selama Suharto berkuasa. Kini, apalagi setelah sang diktator itu tumbang, lagu itu perlahan sudah tidak haram lagi. Hanya beberapa orang tua masih tabu dan menganggap itu "lagu PKI"
Memang banyak orang menganggap ini "lagu PKI". Sejarah Indonesia masa orde baru memang menggelikan. Sejarah orde baru seperti mencuri karya budaya Banyuwangi, untuk dijadikan "alat pembenci massa". Genjer-genjer yang awalnya jeritan berbentuk lagu rakyat miskin, lapar dan tertindas dijadikan "setan yang harus dibenci". Sama halnya, Das Kapital, yang merupakan buku anti kapitalisme. Oleh orde baru buku ini adalah "buku setan" padahal ini buku yang wajib dibaca mahasiswa Ekonomi. Pembodohan oleh negara selama 3 dekade ini sempurna sudah. Ada buku terlarang, lagu terlarang, mungkin juga keyakinan terlarang.
Budayawan Banyuwangi Fatrah Abbal, 76, menyatakan, lagu Genjer-genjer sebenaranya diilhami oleh masakan sayur genjer yang disajikan Ny. Suyekti, Istri Muhammad Arief di tahun 1943. “M.Arief heran, tanaman yang awalnya dikenal sebagai makanan babi dan ayam itu ternyata enak juga dimakan manusia, akhirnya ia mengarang lagu Genjer-genjer,” katanya. Lagu ini lalu menjadi lagu rakyat berjudul Tong Ala Gentong Ali Ali Moto Ijo. Lagu ini pernah dinyanyikan oleh Bing Slamet dan Lilis Suryani ketika orde lama belum tumbang.
Bisa ditangkap dari lirik lagu ini, isinya seputar kelaparan. Dimana seorang ibu berusaha keras memberi makan anaknya dari tanaman genjer yang tumbuh liar. Malangnya sang anak tidak tertolong. Setelah orde lama tumbang, lagu yang kerap dinyanyikan orang-orang kiri Indonesia lalu diberi "lebel haram". Lagu ini dicap sebagai lagu PKI, setelah PKI dan segala hal yang berbau dengan PKI dilarang.
Segera, lagu yang bercerita tentang kelaparan itu dilarang. Entah. Lagu ini tidak bicara dan mengajak orang untuk melawan negera. Lagu ini tidak mengajak manusia untuk berhenti bersujud pada Tuhan. Lagu ini hanya cerita seorang ibu yang memperjuangkan anaknya yang hampir habis usianya dengan mencabuti genjer-genjer yang tumbuh liar dipekarangan.
Dosa lagu ini, dimana rezim orde baru dan simpatisannya, hanya karena lagu ini pernah dinyanyikan orang PKI. Bila lagu ini tidak pernah dinyanyikan orang-orang PKI, maka lagu ini tidak akan menjadi lagu terlarang dimasa orde baru.
Dosa sebuah lagu ini juga menjadi azab bagi penciptanya, Muhamad Arif sekeluarga. Muhamad Arif harus menjadi korban vandalisme massa orde baru. Dimasa selanjutnya, nasib anak Muhamad Arif, Sinar Syamsi. Sebagai "anak PKI" Syamsi kerap di PHK tanpa alasan jelas. G 30 S seperti dianggap dosa ayahnya yang harus menimpa dirinya, seperti yang diinginkan rezim Suharto. Pernah terpikir oleh Syamsi untuk menjadi warga negara Belanda atau China. Berharap lagu genjer-genjer akan memberikan kebahagian dari orang-orang kiri disana. Ibu pertiwi sudah tidak bisa memberinya ketenangan. Ibu Pertiwi hanya milik penguasa, bukan milik "anak-anak PKI".
Lagu ini, boleh saja dsingkirkan pendukung orde baru. Namun Lagu ini akan abadi dinyanyikan orang yang lapar dan tertindas. Mengutip kata Jimi Multazam, "Yang Terekam Tak Pernah Mati". Pastinya, Genjer-gencer juga tak pernah mati. Lagu ini akan terus bercerita penderitaan rakyat di nusantara. Lagu ini juga pernah disenandungkan lagi dalam film "Gie". Bukankah ini berarti lagu ini mengabadi dalam ingatan, setidaknya dalam benak beberapa orang saja.

Senin, Januari 28, 2008

Sosok Dibalik Garuda Pancasila

Hampir semua ruang resmi selalu ada lambang burung Garuda Pancasila. Selalu ada pertanyaan dalam pelajaran sejarah, "siapa yang menjahir "Sang Saka Merah Putih"? murid akan menjawab "Ibu Fatmawati". Tapi tentang burung Garuda yang sudah meng-Indonesia itu, rasanya belum pernah guru di kelas bertanya, "Siapa yang merancang lambang negara "Garuda Pancasila?". Murid juga belum tentu bisa menjawabnya, begitu juga guru sejarahnya. Ini bukan kesalahan guru sejarah. Kurikulum sejarah di negara ini yang harus dirubah. Nasionalisme telah melahirkan kebisuan, dan akan bermuara pada kebohongan lagi.

Mengapa perancang burung Garuda itu dilupakan. Sejarah, yang ditulis kaum nasionalis negeri ini, seperti membuang nama tokoh ini dalam keranjang sampah. Sebagai orang yang tidak sejalan dengan kemauan besar orang-orang Indonesia, Revolusi dengan produk sebuah negara kesatuan, bukan federalis--seperti impian perancang burung garuda tadi.
Syarif Abdul Hamid Alkadrie, terlahir sebagai putra Sultan Pontianak--di Pontianak,Kalimantan Barat, 13 Juni 1913. Sebagai anak orang terpandang, Hamid bisa bersekolah di sekolah dasar untuk anak-anak Eropa, Europe Lager School. ELS Hamid dijalani dibeberapa kota seperti di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. Tamat ELS, Hamid belajar di sekolah menengah untuk anak Eropa dari yang biasanya lulusan ELS, Hogare Burger School. Tamat HBS, Hamid meneruskan ke Technische Hoge School Bandung (ITB sekarang, namun tidak sampai tamat. Sebagai Pangeran, Hamid seolah terobsesi dengan 'junker' di Eropa. Dimana anak laki-laki keluarga bangsawan menjadi perwira militer. Hamid lalu masuk Koninklijk Miliaitre Academie (Akademi Militer Kerajaan Belanda) di Breda, Negeri Belanda. Tamat dari sana Hamid meraih pangkat letnan II pada kesatuan KNIL (Koninklijk Nederlandsche Indische Leger: Tentara Kerajaan Hindia Belanda). Sebelum PD II, hanya sekitar 20an pemuda pribumi saja yang menjadi kadet KMA.
Hamid berdinas di KNIL hingga mendaratnya Balatentara Jepang. Belanda dan sekutunya dan sekutunya kalah. Kala Jepang mendarat, Hamid menjadi Letnan I KNIL di Balikpapan. Pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan bebas ketika Jepang menyerah kepada Sekutu. Pendaratan Jepang adalah masa buruk baginya, sebagai perwira KNIL yang ditawan juga sebagai anak dari Sultan Pontianak yang dibunuh Jepang. Setelah comeback-nya Belanda, mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Hamid adalah orang pribumi (Indonesia) termasuk orang dengan pangkat tertinggi dalam KNIL, walau dia tidak lagi pegang komando dalam pasukan KNIL semasa revolusi Indonesia. Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda.
Setelah ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II. Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil daerah istimewa Kalimantan Barat dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda. Hamid menjadi orang penting dalam masa-masa itu. Sebagai ketua delegasi BFO di KMB. Inilah mengapa banyak orang menilainya sebagai seorang pengkhianat revolusi Indonesia.
Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, Hamid masih menjadi orang penting di Nusantara, dimana dia diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio. Selama jabatannya sebgai menteri negara itu dia ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara. Hamid seolah tidak puas dengan posisinya ini. Hamid menginginkan kursi Menteri Pertahanan yang dipegang oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, kawan ELS Hamid di Yogyakarta dulu.
Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia teknis untuk membuat lambang negara dengan nama 'Panitia Lencana Negara'. Dimana Hamid menjadi koordinator. Susunan panitia teknis ini terdiri dari Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M. A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan RM Ngabehi Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.
Menurut Bung Hatta dalam “Bung Hatta Menjawab” ditulis, "untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M. Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M. Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang". Setelah rancangan dipilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan "Bhineka Tunggal Ika". Tanggal 8 Februari 1950, rancangan akhir lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan akhir lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.
Hamid kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali - Garuda Pancasila dan disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri. A.G .Pringgodigdo dalam “Sekitar Pancasila” terbitan Departemen Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, "rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan “'tidak berjambul”' seperti bentuk sekarang ini".
Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes, Jakarta pada 15 Februari 1950.
Penyempurnaan lambang negara itu terus berjalan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno. Tanggal 20 Maret 1950, bentuk akhir gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk akhir rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini. (Wikipedia.com)
Bagaimanapun ini juga karya Hamid, yang juga anak dari bangsa yang bernama Indonesia ini. Kendati Hamid punya sikap berbeda dengan bangsa ini.
Hamid II diberhentikan pada 5 April 1950 akibat diduga bersengkokol dengan Westerling dan APRA-nya. Hamid telah bersekongkol dengan Westerling. Setelah gagal dengan "Kudeta 23 Januari 1950", tanggal 24 Januari 1950 sekitar pukul 15.30 sore, Westerling mendatangi Hamid di hotel Des Indes bersama bekas Inspektur Polisi Frans Nayoan. Pertemuan itu melahirkan rencana membunuh Sri Sultan HB IX (Menteri Pertahanan), Ali Budiarjo (Sekretaris Jenderal Pertahanan) lalu T.B. Simatupang (Kepala Staf Angkatan Perang RIS) Dalam sidang menteri RIS di Pejambon. Dalam adegan pembunuhan itu, nantinya Hamid akan ditembak kakinya, sementara tiga orang yang disebut tadi akan dibunuh. Nyatanya Westerling dan pasukannya tidak jadi menyerbu dan hanya berputar dengan mobil di sekitar Pejambon. Westerling dan beberapa kawannya putus asa setelah gerakannya gagal. Semetara itu sidang menteri RIS tidak berjalan sebagai-mana mestinya, bubar sebelum waktunya karena Jakarta dianggap tidak aman.
Setelah konspirasi yang gagal itu Hamid hidup sebagai tahanan RIS.
Bagai kehidupan Hamid selanjutnya, seperti dicatat Wikipedia.com: "Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H. Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah, Pontianak. Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan berkas dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara. Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang."
Melihat Burung Garuda Pancasila yang dia rancang itu, rasanya tidak bijak jika mencap Hamid sebagai pengkhianat dalam sejarah Indonesia. Dia juga punya sumbangan lebih, lambang Garuda Pancasila, dibanding orang-orang yang mengatakannya 'pengkhianat'.

Penentu Sejarah Baru

Tidak ada kata pahlawan dan pengkhianat dalam sejarah. Bilapun ada hal itu tidak jauh dari amis politis rezim.Kejaksaan baru saja membakar buku-buku sejarah, seperti yang pernah terjadi beberapa waktu lalu. Entah apa maksud dari kejaksaan itu. Kejaksaan saat ini tidak ada bedanya dengan Kejaksaan zaman orde lama yang doyan menghanguskan piringan hitam The Beatles pada dekade 1960an.Seperti ada pihak yang menolak paradigma baru sejarah Indonesia yang berusaha lebih terbuka untuk melakukan rekonsiliasi nasional atas peristiwa berdarah sekitar 1965/1966, seperti yang mungkin termuat dalam buku-buku sejarah yang dibakar tadi.

Pembakaran buku-buku itu, salah satunya karena kasus G 30 S yang belum selesai. G 30 S/PKI seolah menjadi kasus yang sudah selesai oleh orang-orang yang umumnya menjadi bagian dari orde baru. Paradigma lain dengan istilah G 30 S berusaha meluruskan sejarah negeri yang bengkok. Apakah G 30 S harus pakai embel-embel PKI atau tidak, masih menjadi masalah yang tidak akan selesai hingga kini.

Seperti ada pihak yang menolak paradigma baru sejarah Indonesia yang berusaha lebih terbuka untuk melakukan rekonsiliasi nasional atas peristiwa berdarah sekitar 1965/1966, seperti yang mungkin termuat dalam buku-buku sejarah yang dibakar tadi.
Pembakaran buku-buku itu, salah satunya karena kasus G 30 S yang belum selesai. G 30 S/PKI seolah menjadi kasus yang sudah selesai oleh orang-orang yang umumnya menjadi bagian dari orde baru. Paradigma lain dengan istilah G 30 S berusaha meluruskan sejarah negeri yang bengkok. Apakah G 30 S harus pakai embel-embel PKI atau tidak, masih menjadi masalah yang tidak akan selesai hingga kini.

Dalam pembelajaran sejarah di sekolah, buku-buku sejarah harus menjadikan buku putih yang berjudul Tragedi Nasional: Percobaan Kup G 30 S/PKI Di Indonesia yang ditulis oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh, keduanya pejabat rezim lalu yang sudah tumbang—dimana PKI ditampilkan sebagai pelaku tunggal G 30 S. begitupun yang diterbitkan Sekretaris Negara, Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya. Setelah reformasi bergulir, banyak pendapat yang bertentangan dengan dua pejabat rezim orba itu, beberapa cetakan buku tidak memakai istilah PKI dibelakang G 30 S.
Sekarang permasalahannya tidak lagi pada pakai PKI atau tidak pakai PKI dalam istilah G 30 S. Hak setiap orang untuk menggunakan untuk memakai istilah G 30 S atau G 30 S/PKI—tidak peduli itu sejarahwan atau bukan karena menafsirkan sejarah adalah hak siapa saja, termasuk orang-orang awam dipinggir jalan sekalipun.
Sangat disayangkan adalah pembakaran itu telah menampilkan pembakar sebagai penentu kebenaran sejarah, dimana darinyalah semua boleh dipercaya. Kejaksaan rupanya telah memiliki fungsi baru sebagai penentu kebenaran sejarah di negeri ini. Sejarahwan paling kesohor sekalipun tidak akan mau menjadi penentu kebenaran karena bagaimanapun tugas sejarahwan bukan menentukan kebenaran, melainkan menafsirkan sebuah peristiwa sejarah.
Sejarahwan hampir selalu dikejar pertanyaan "mana yang benar?" oleh banyak orang. Ini pertanyaan sulit dijawab oleh sejarahwan karena kebenaran itu nisbi. Sejarahwan tidak perlu menjawab mana yang benar. Dengan memberikan penafsiran atas sebuah peristiwa sejarah saja, kendati menurut paradigmanya sendiri, sebenarnya sejarahwan telah melakukan tugasnya.
Sejarahwan besar saja tidak pernah merasa bahwa apa yang menjadi analisisnya adalah sebuah kebenaran. Begitupun sejarahwan lain, mereka lebih suka menafsirkan daripada membuat kebenaran. Dunia pendidikan Indoensia masih berusaha diarahkan ke alam fasis dimana institusi negara selalu benar—seperti dalam novel 1984 karya George Orwell. Paradigma pendidikan Indonesia, dalam memandang sejarah, tidaklah bersikap adil dan cenderung berpihak pada kekuasaan dan kemapanan.
Disayangkan pembenaran sejarah yang sering dilakukan rezim yang sudah lewat, tidak lebih untuk melegalisasi kekuasaannya agar terus bertahan. Akibatnya, lawan politis sang penguasa masuk keranjang sampah bergelar pengkhianat dan sang penguasa dan yang segaris dengan penguasa akan menjadi pahlawan.
Sejarah dijadikan daftar yang memuat para pahlawan dan pengkhianat, padahal sejarah mengajarkan manusia untuk tidak lebih bodoh daripada keledai. Nyatanya dengan paradigma sejarah yang dianut orba lebih menjadikan manusia Indonesia lebih bodoh daripada keledai. Dimana manusia Indonesia hanya dijadikan robot demi kekuasaan rezim.
Pelajaran sejarah disekolah menjadi lahan empuk bagi penguasa macam ini, dimana mereka menentukan sejarah mereka sendiri tanpa peduli paradigma sejarah menyesatkan generasi muda mereka. Sah sekali membakar buku bila buku itu tidak sesuai dengan paradigma mereka—begitupun mengganti kurikulum bila dirasa membahayakan.