Sabtu, November 19, 2011

Anak Kolong


"Tak ada ranjang, kolong pun jadi," begitulah fenomena anak kolong (anak tentara) dimasa-lalu. Anak Kolong sering ikuti jejak sang ayah, jadi tentara juga.


Tak kenal takut, tak kenal jorok dan agak bengal, rasanya itu yang dimiliki anak tentara. Mereka bisa bermain dimana saja. Tentu di mulai dari belakang tangsi, lalu ke sawah, sungai atau kemana saja. Boleh mengganggu siapa saja yang lewat. Tak ada yang berani sama anak kolong. Mirip cerita Teto dalam Burung-Burung Manyar.[1] Gambaran anak perwira KNIL di Magelang. Meski anak perwira, Teto dengan senang hati main dengan anak-anak kopral atau Spandrig—yang pangkatnya lebih rendah dari pada ayahnya yang Letnan KNIL.

Dimana istilah anak kolong bermula? Ini karena sempitnya tangsi. Dimana serdadu KNIL beristri selalu bawa anak-anak mereka jika mereka dimutasi. Setiap serdadu cuma punya jatah tempat tidur sempit. Hingga anak-anak mereka kudu tidur dan main dibawah kolong tempat ayah dan ibu mereka tidur.[2]

Rasanya, kondisi ini terjadi di awal-awal abad XX. Nasib anak kolong pelan-pelan pasti agak berubah. Dan predikat anak kolong kemudian tidak hanya untuk anak dari serdadu KNIL semata tapi juga anak-anak prajurit TNI.



Anak Tentara Jadi Tentara

Biasanya, anak tentara juga bakal jadi tentara. Begitulah yang terjadi bagi sebagaian orang. Banyak juga, bahkan lebih banyak anak tentara yang tidak jadi tentara. Biasanya karena tidak mau. Terlalu banyak aturan, tidak bebas, gaji kecil dan lainnya biasanya jadi alasan.

Dalam sejarahnya, banyak anak-anak dari tentara yang menjadi tentara. Sebut saja Vintje Sumual, Alex Kawilarang dan juga Nicolaas Sulu. Vintje Sumual juga anak serdadu KNIL. Vintje tidak bergabung dengan KNIL. Dia memilih belajar di sekolah pelayaran. Dimana dia kemudian melakukan pembangkangan terhadap perwira militer Jepang di kapal Jepang. Vintje lalu lari ke Jakarta. Dimana dia pernah berkumpul dan berjuang dengan para jagoan Senen.[3] Perang Kemerdekaan lalu membawa Vintje masuk TNI. Dimana dia bisa menjadi perwira. Dia kembali ke tanah kelahirannya sebagai Mayor. Vintje juga terlibat dalam Serangan Oemoem 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Serangan yang melambungkan nama Suharto.

Semua prajurit Kopassus pasti tahu siapa Alex Kawilarang. Alex adalah salah satu pendiri Kopassus. Ayah Alex adalah seorang mayor KNIL, Adolf Kawilarang. Tergolong sebagai pemuda-pemuda pertama yang masuk sekolah militer di Meester Cornelis (Jatinegara). Ayah Alex, termasuk orang Indonesia dengan pangkat tertinggi di KNIL. Adolf Kawilarang selalu berpindah-pindah tugas. Untuk itu dia harus membawa keluarganya. Termasuk Alex. Semasa di Tarutung, Sumatra Utara, Alex pernah ikut ayahnya patrol. Ayah Alex pernah menjadi komandan Kompi Infanteri KNIL di Tarutung, sebuah daerah yang menyisakan banyak instalasi militer sampai saat ini, pada dekade 1930an. Profesi sang ayah begitu mempengaruhi Alex. Dimana kemudian Alex pernah menjadi vaandrig (pembantu Letnan) di KNIL setelah lulus dari Koninklijk Militaire Academie (KMA) di Bandung. [4]

Kawan sekelasnya adalah Simatupang dan Nasution. Jika kedua kawannya itu ahli dalam masalah teori dan strategi militer, maka Alex ahli sebagai perwira lapangan yang bisa menguasai pertempuran. Tidak heran jika kemudian dunia militer begitu cocok dengannya. Jika sang ayah pension di KNIL sebagai Mayor, maka Alex masuk TNI dengan pangkat pertama Mayor. Beberapa kali, Alex menjadi komandan operasi yang cukup sukses juga di Indonesia Timur. Belakangan, Alex menjadi Panglima territorial di Jawa Barat, Siliwangi. Dimana dia mendirikan Kopassus.

Anak kolong lain adalah Ryamizard Ryacudu. Ayahnya adalah Brigadir Jenderal Ryacudu. Seorang perwira yang sudah bergabung dengan TNI sejak awal kemerdekaan. Ryacudu juga dianggap Jenderal yang loyal pada pemerintah. Sang Jenderal mempengaruhi anaknya, yang kemudian menjadi alumni akabri 1973 dan berkarir cemerlang di TNI. Melampaui ayahnya, Ryamizard di akhir karirnya menjadi Jenderal penuh. Masih banyak anak kolong lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu.



Anak Kolong Minahasa Yang Terjebak

Di Minahasa, menjadi KNIL bukan hal aneh. Jika si ayah jadi KNIL maka si anak tidak menutup kemungkinan akan ikut. Nicolas Sulu, sepertinya salah satu diantaranya. Terlahir di Bukittinggi 1 Februari 1927. Lalu sempat menikmati masa remaja di Minahasa. Masuk KNIL di tahun 1947 di Minahasa. Sempat terseleksi menjadi anggota Korps Special Troopen (baret hijau) yang pernah dipimpin Kapten Raymond Westerling. Sesudah penyerahan kedaulatan thn 1950, Nicolaas ditarik menjadi anggota TNI melalui Batalyon 3 Mei. Seterusnya menjadi anggota Batalyon 330 Siliwangi. Lagi-lagi masuk jadi pasukan khusus lagi. Dan menjadi RPKAD angkatan pertama di Batujajar.[5]

Nicolaas berpangkat Sersan di tahun 1956. Dia adalah salah satu prajurit andalan Angkatan Darat, RPKAD di Batujajar. Ketika konflik AD marak di decade 1950an, NIcolaas Sulu dan prajurit RPKAD lainnya terseret dalam Peristiwa Kranji juga. Dimana Nicolaas dan kawan-kawannya berencana bergerak di Jakarta, tapi mereka tertahan di lapangan Kranji Karawang. Nicolaas mengaku, “Kami meninggalkan Batujajar dengan berjalan kaki melawati sawah. Kemudian naik ke atas truk yang sudah menunggu, menuju Jakarta lewat Karawang.”[6]

Bukan sekali itu saja Nicolaas terjebak dalam konstelasi politik nasional yang kacau. Sangat wajar prajurit macam Nicolaas yang tidak ada urusan soal politik, tiba-tiba terlibat dalam pertentangan politik militer atau politik nasional di Indonesia. Setelah peristiwa Kranji, Nicolaas terjebak lagi dalam Permesta. Seperti dituturkan Phill Sulu:

“Sewaktu cuti ke Minahasa di tahun 1958 terjadi pergolakan daerah, sehingga menjadi anggota pasukan PRRI/Permesta dan sempat ditugaskan dalam operasi militer ke Sulawesi Tengah. Sekembalinya dari Sulawesi Tengah dengan berjalan kaki sampai ke Minahasa, menjadi pimpinan pasukan setingkat kompi dari Batalyon 999, yang kemudian dilebur menjadi Batalyon I Tarantula. Pangkat Nicolaas Kapten, jabatan Komandan Kompi I merangkap wakil Komandan Batalyon. Setelah usai (masalah) PRRI/Permesta, sempat memimpin Pasukan Detasemen M.Pramuka yang ditugaskan ke Kalimantan Utara di tahun 1963 dalam rangka Dwikora konfrontasi dengan Malaysia, menyamar sebagai sukarelawan TNKU (Tentara Nasional Kalimantan Utara). Sesudah itu dipensiunkan sebagai anggota TNI sampai beliau tutup usia di Kakaskasen - Tomohon, pada 11 April 2006.”[7]

Begitulah tentang Nicolaas Sulu, satu dari sekian banyak prajurit Indonesia. Dalam Dwikora, Nicolaas Sulu tentu menjalani pertempuran hebat. Musuh yang dilawan bukan pemberontak tak terlatih (yang tak lain saudara sendiri), tapi tentara musuh dari Negara lain. Dimana pasukan khusus Inggris diam-diam juga terlibat dalam pertempuran di Kalimantan Utara itu.


NB
[1] YB Mangunwijaya, Burung Burung Manyar, Jakarta, Djambatan, 2001, hlm. 1-5.
[2] R.P. Suyono, Peperangan Kerajaan di Nusantara, Jakarta, Grasindo, 2003, hlm. 330-340.
[3] Bert Supit & BE Matindas, Ventje Sumual: Menatap Hanya Ke Depan (Biografi Seorang Patriot, Gembong Pemberontak), Jakarta, Bina Insani, 1998, hlm. 1-40.
[4] Ramadhan K.H, A.E. Kawilarang Untuk Sang Merah Putih, Jakarta Pustaka Sinar Harapan, 1988. hlm. 13-15.
[5] Pengakuan Phill Sulu, 15 November 2011. Phill Sulu adalah adik dari Nicolaas Sulu.
[6] Julius Pour, Benny Murdani : Profil Prajurit Negarawan, Jakarta, Yayasan Kejuangan Panglima Besar Sudirman, 1993, hlm. 121.
[7] Pengakuan Phill Sulu, 15 November 2011. Phill Sulu adalah adik dari Nicolaas Sulu.

Rabu, November 16, 2011

Susur Kampung Bersama Arno


Sasaran kami kali ini adalah Kampung Arab. Sebuah kampung kuno yang unik di pesisir Musi.

Setelah sekian tahun, saya bertemu lagi dengan Arnaud Abbel—kami biasa panggil Arno. Kawan lama. Seorang sosialis Perancis. Kami bertemu di Museum Sultan Mahmud Badarudin II(12/11/2011). Arno tidak berubah. Tetap lusuh. Tetap bohemian. Padahal saya sudah agak borjuis sekarang. Arno tetap seperti dulu. Kami biasa dikusi dan sesekali mantau demo di Jogja.

Setelah berkenalan dengan Fara, Emak Yuniar dan Atira, Arno saya ajak menyusuri kampong kuno sekitar Ampera. Tujuan pertama adalah kampong Kapitan. Sebuah perkampungan Tionghoa dimasa lalu. Masih banyak peranakan di kampong itu. Kami tidak lama disini. Kami hanya bisa melihat rumah dan kantor kapitan Tionghoa. Sementara Fara, Emak dan Atira mengamati rumah ala peneliti, saya dan Arno sibuk ngobrol soal apa saja, dari Museum sampai Kampung Kapitan dengan melintasi Ampera.

Ini Tempat Setan
Kami sempat singgah sebentar di tepian dan sekedar diskusi. Soal jilbab dan pemerintah Perancis—yang dimata Arno sangat konyol. Bukan Arno jika tidak kritis dan ngece pemerintah mana pun di muka bumi ini. Dasar sosialis.

Beruntung, sebelum sampai Kampung Arab yang sebenarnya, kami banyak temukan rumah-rumah tua yang masih tegak berdiri meski seperti kurang terawat. Selanjutnya kami bergerak lagi. Tidak jauh dari masjid, kami temukan rumah besar. Paling besar di dusun itu.



Selanjutnya, kami bergerak lagi menysuri jalan aspal. Dimana seorang Bapak berbaju koko dan berpeci memberi tahu kami soal kampong Arab di daerah 13 Ulu. Kami segera berjalan kesana. Tepat menjelang matahari di atas kepala kami. Kami terus berjalan. Semua tampak semangat.

Perjalanan kali ini tidak seperti biasanya. Kami melewati banyak rumah orang, jalan sempit dan juga pesta perkawinan. Makanannya cukup menggiurkan. Apalagi di siang bolong yang terik. Perjalanan menguras cairan tubuh. Air saja yang saya butuhkan.veldvest saya nyaris kosong sepanjang jalan.

Begitu saya melihat sebuah Toserba, saya langsung masuk ke dalam. Sekedar ngadem. Dan berharap membeli minuman dingin. Arno mengintip dari kaca. Lalu dia menuju pintu dengan terburu-buru. Minuman dingin yang saya cari belum saya temukan. Arno memanggil saya dari luar dan saya mendekati pintu.

Ketika kepalanya sampai di pintu, Arno bilang ke saya, “Ini tempat setan,”katanya. Saya segera ketawa dalam hati. Saya ajak semua pergi. Sebelum penjaga toserba itu marah-marah. Niat mencari minuman pun saya lupakan. Bagi Arno, seperti yang saya amini, toserba itu juga ikut matikan perekonomian rakyat kecil. Saya juga salah satu pembunuh rakyat kecil karena sering belanja di toserba macam itu. Dunia memang rumit. Wajar Arno punya pikiran toserba macam itu tempat setan.

Soal Kampung Arab

Kami teruskan perjalanan. Setelah bertanya-tanya—tanpa memakai gaya Ayu Ting Ting “dimana…dimana…dimana..” yang rajin ditiru anak-anak—kami temukan dimana lorong masuk kampong itu. Kami masuki sebuah lorong. Dengan rumah-rumah tua. Di pinggir jalan adalah rumah batu. Di dalam lorong adalah rumah-rumah kayu yang cukup besar. Agak lebih besar daripada rumah besar di kampong Kapitan.

Kami amati pelan-pelan rumah-rumah di lorong. Bangunannya unik. Atira memperhatikan anak-anak kecil yang bermain. Menurut Atira, diantara mereka masih keturunan Arab jika dilihat dari wajahnya. Kami sepakat dengan Atira.

Warga keturunan asing bukan hal baru bagi Palembang. Menurut Djohan Hanafiah, Kesultanan memberikan ijin tinggal bagi para pendatang di kawasan Seberang Ulu. Dimana Kampung kapitan, yang dulunya penghuninya adalah orang-orang Arab juga, Orang-orang Belanda pun harus tinggal di Seberang Ulu. Begitu kebijakan Sultan dari abad XVI hingga XIX.[1] Di zaman Kesultanan Palembang, semua tanah dimiliki oleh Sultan dan tak ada bangunan yang didirikan tanpa seijin Sultan. Hanya orang Palembang asli yang diperbolehkan bermukim di daratan. Pendatang dan orang-orang asing, misalnya Tionghoa, Eropa, Keling dan Arab hanya boleh tinggal di rumah Rakit. Sumber lain menyatakan bahwa para pemimpin kerajaan tinggal di daratan sepanjang sungai, sementara orang kebanyakan tinggal terpisah di perairan, pada rumah Rakit yang tertambat suatu tiang atau tonggak.[2]

Komunitas Arab memang sudah ada di nusantara sejak lama. Mereka berdagang. Mereka juga membawa ajaran Islam dari tanah leluhur mereka. Mereka hidup turun-temurun di Palembang. Mereka juga mempertahankan darah Arab mereka. Tidak heran jika masih banyak orang-orang berwajah peranakan Arab di sekitar Kampung Arab. Karena warga kominitas Arab cukup banyak di Palembang, maka akan ada seorang pemimpin Arab dengan gelar letnan atau kapitan. Sebuah gelar yang diberikan pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Seorang kapitan, biasanya memimpin ratusan masyarakat—biasanya adalah masyarakat non pribumi seperti Arab maupun Tionghoa. Seorang kapitan memimpin ratusan orang asing. Jika lebih dari seribu, maka Mayorlah yang memimpin. Jika komunitas tidak terlalu banyak mungkin hanya dipimpin seorang letnan saja. Di Palembang memang terdapat beberapa lorong di Palembang.[3]

Kami singgah agak lama. Beristirahat di mushala tepi sungai yang teduh. Merendam kaki begitu menyenangkan. Sambil ngobrol lagi dengan Arno. Dari Kampung Arab kami cari makan lalu kembali ke Museum. Dan ketika menjelang sore kami melihat lomba perahu bidar. Setelah itu kami berpisah dengan Arno yang akan menuju Jakarta. Ala backpacker tentunya. Begitulah perjalanan kami ke kampong Arab.

NB:
[1] Johannes Adiyanto, Kampung Kapitan Interpretasi ’Jejak’ Perkembangan Permukiman dan Elemen Arsitektural, Program Studi Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya, hlm. 14.
[2] Myra P. Gunawan, Pariwisata Tepian SungaiMusi, Palembang, artikel dalam Monumen danSitus Indonesia, ICOMOS Indonesia, 1999, hlm.144
[3] Aryandini Novita & Sondang Siregar, Fragmen Peradaban Palembang Tempo Doeloe (Dari Sriwijaya hingga Kolonial), Balai Arkeologi Palembang, 2010, hlm. 36.

Sasaran kami kali ini adalah Kampung Arab. Sebuah kampung kuno yang unik di pesisir Musi.



Setelah sekian tahun, saya bertemu lagi dengan Arnaud Abbel—kami biasa panggil Arno. Kawan lama. Seorang sosialis Perancis. Kami bertemu di Museum Sultan Mahmud Badarudin II(12/11/2011). Arno tidak berubah. Tetap lusuh. Tetap bohemian. Padahal saya sudah agak borjuis sekarang. Arno tetap seperti dulu. Kami biasa dikusi dan sesekali mantau demo di Jogja.





Setelah berkenalan dengan Fara, Emak Yuniar dan Atira, Arno saya ajak menyusuri kampong kuno sekitar Ampera. Tujuan pertama adalah kampong Kapitan. Sebuah perkampungan Tionghoa dimasa lalu. Masih banyak peranakan di kampong itu. Kami tidak lama disini. Kami hanya bisa melihat rumah dan kantor kapitan Tionghoa. Sementara Fara, Emak dan Atira mengamati rumah ala peneliti, saya dan Arno sibuk ngobrol soal apa saja, dari Museum sampai Kampung Kapitan dengan melintasi Ampera.



Ini Tempat Setan

Kami sempat singgah sebentar di tepian dan sekedar diskusi. Soal jilbab dan pemerintah Perancis—yang dimata Arno sangat konyol. Bukan Arno jika tidak kritis dan ngece pemerintah mana pun di muka bumi ini. Dasar sosialis.

Beruntung, sebelum sampai Kampung Arab yang sebenarnya, kami banyak temukan rumah-rumah tua yang masih tegak berdiri meski seperti kurang terawat. Selanjutnya kami bergerak lagi. Tidak jauh dari masjid, kami temukan rumah besar. Paling besar di dusun itu.



Selanjutnya, kami bergerak lagi menysuri jalan aspal. Dimana seorang Bapak berbaju koko dan berpeci memberi tahu kami soal kampong Arab di daerah 13 Ulu. Kami segera berjalan kesana. Tepat menjelang matahari di atas kepala kami. Kami terus berjalan. Semua tampak semangat.



Perjalanan kali ini tidak seperti biasanya. Kami melewati banyak rumah orang, jalan sempit dan juga pesta perkawinan. Makanannya cukup menggiurkan. Apalagi di siang bolong yang terik. Perjalanan menguras cairan tubuh. Air saja yang saya butuhkan.veldvest saya nyaris kosong sepanjang jalan.



Begitu saya melihat sebuah Toserba, saya langsung masuk ke dalam. Sekedar ngadem. Dan berharap membeli minuman dingin. Arno mengintip dari kaca. Lalu dia menuju pintu dengan terburu-buru. Minuman dingin yang saya cari belum saya temukan. Arno memanggil saya dari luar dan saya mendekati pintu.



Ketika kepalanya sampai di pintu, Arno bilang ke saya, “Ini tempat setan,”katanya. Saya segera ketawa dalam hati. Saya ajak semua pergi. Sebelum penjaga toserba itu marah-marah. Niat mencari minuman pun saya lupakan. Bagi Arno, seperti yang saya amini, toserba itu juga ikut matikan perekonomian rakyat kecil. Saya juga salah satu pembunuh rakyat kecil karena sering belanja di toserba macam itu. Dunia memang rumit. Wajar Arno punya pikiran toserba macam itu tempat setan.



Soal Kampung Arab



Kami teruskan perjalanan. Setelah bertanya-tanya—tanpa memakai gaya Ayu Ting Ting “dimana…dimana…dimana..” yang rajin ditiru anak-anak—kami temukan dimana lorong masuk kampong itu. Kami masuki sebuah lorong. Dengan rumah-rumah tua. Di pinggir jalan adalah rumah batu. Di dalam lorong adalah rumah-rumah kayu yang cukup besar. Agak lebih besar daripada rumah besar di kampong Kapitan.



Kami amati pelan-pelan rumah-rumah di lorong. Bangunannya unik. Atira memperhatikan anak-anak kecil yang bermain. Menurut Atira, diantara mereka masih keturunan Arab jika dilihat dari wajahnya. Kami sepakat dengan Atira.



Warga keturunan asing bukan hal baru bagi Palembang. Menurut Djohan Hanafiah, Kesultanan memberikan ijin tinggal bagi para pendatang di kawasan Seberang Ulu. Dimana Kampung kapitan, yang dulunya penghuninya adalah orang-orang Arab juga, Orang-orang Belanda pun harus tinggal di Seberang Ulu. Begitu kebijakan Sultan dari abad XVI hingga XIX.[1] Di zaman Kesultanan Palembang, semua tanah dimiliki oleh Sultan dan tak ada bangunan yang didirikan tanpa seijin Sultan. Hanya orang Palembang asli yang diperbolehkan bermukim di daratan. Pendatang dan orang-orang asing, misalnya Tionghoa, Eropa, Keling dan Arab hanya boleh tinggal di rumah Rakit. Sumber lain menyatakan bahwa para pemimpin kerajaan tinggal di daratan sepanjang sungai, sementara orang kebanyakan tinggal terpisah di perairan, pada rumah Rakit yang tertambat suatu tiang atau tonggak.[2]



Komunitas Arab memang sudah ada di nusantara sejak lama. Mereka berdagang. Mereka juga membawa ajaran Islam dari tanah leluhur mereka. Mereka hidup turun-temurun di Palembang. Mereka juga mempertahankan darah Arab mereka. Tidak heran jika masih banyak orang-orang berwajah peranakan Arab di sekitar Kampung Arab. Karena warga kominitas Arab cukup banyak di Palembang, maka akan ada seorang pemimpin Arab dengan gelar letnan atau kapitan. Sebuah gelar yang diberikan pemerintah kolonial Hindia Belanda.



Seorang kapitan, biasanya memimpin ratusan masyarakat—biasanya adalah masyarakat non pribumi seperti Arab maupun Tionghoa. Seorang kapitan memimpin ratusan orang asing. Jika lebih dari seribu, maka Mayorlah yang memimpin. Jika komunitas tidak terlalu banyak mungkin hanya dipimpin seorang letnan saja. Di Palembang memang terdapat beberapa lorong di Palembang.[3]



Kami singgah agak lama. Beristirahat di mushala tepi sungai yang teduh. Merendam kaki begitu menyenangkan. Sambil ngobrol lagi dengan Arno. Dari Kampung Arab kami cari makan lalu kembali ke Museum. Dan ketika menjelang sore kami melihat lomba perahu bidar. Setelah itu kami berpisah dengan Arno yang akan menuju Jakarta. Ala backpacker tentunya. Begitulah perjalanan kami ke kampong Arab.



NB:



[1] Johannes Adiyanto, Kampung Kapitan Interpretasi ’Jejak’ Perkembangan Permukiman dan Elemen Arsitektural, Program Studi Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya, hlm. 14.



[2] Myra P. Gunawan, Pariwisata Tepian SungaiMusi, Palembang, artikel dalam Monumen danSitus Indonesia, ICOMOS Indonesia, 1999, hlm.144



[3] Aryandini Novita & Sondang Siregar, Fragmen Peradaban Palembang Tempo Doeloe (Dari Sriwijaya hingga Kolonial), Balai Arkeologi Palembang, 2010, hlm. 36.

Dengan Arnaud Abbel, Mei 2008

Mencari Kampung Arab