Selasa, September 25, 2012

Esek-esek Orang Tangsi

Dimana ada tangsi KNIL, disitu ada rumah bordil. Pemerintah Kolonial pun ikut pusing dan bikin solusi biar para Serdadu Sri Ratu  tidak kena penyakit macam raja singa.


Serdadu dan Wanitanya

Jadi serdadu, kadang bukan pilihan bagi orang-orang terbuang. Tentu lebih enak jadi Tuan Tanah. Berhubung masalahnya tak semua orang dapat jatah tanah luas, maka jadi apapun terpaksa dilakoni. Jadi orang buangan di tanah yang jau tentu bukan pilihan menyenangkan.
Serdadu KNIL adalah manusia yang butuh belaian wanita juga. Kehadiran wanita begitu penting bagi mereka. Entah sebagai teman hidup atau sekedar melepas hasrat.
Beberapa serdadu KNIL hidup dengan wanita mereka. Dengan atau tanpa ikatan. Terkadang, seorang wanita ditiduri bergantian dari serdadu satu ke serdadu lain. Ada juga serdadu yang menjual istrinya. ‘Main serong’ bukan perkara langka. Dimana perselisihan bisa juga timbul karenanya. Prostitusi pun menjadi hal biasa dalam tangsi. Tidak semua wanita di tangsi bisa ditiduri serdadu KNIL lain, selain suaminya.
Sebagian anak-anak kolong terlahir dari wanita-wanita tadi. Karena persetubuhan begitu bebas dan tanpa kontrol, seorang wanita hamil terkadang tidak tahu siapa ayah dari anaknya karena ada beberapa pria yang tidur dengannya. Wanita yang tinggal di tangsi, biasanya adalah istri-istri serdadu. Mereka terbiasa masak dan mencuci di dalam tangsi. Kadang mereka memasak bersama. Hidup mereka begitu komunal dan tak punya kesadaran bahaya akan penyakit kelamin.
Tinggal bersama pembantu rumah tangga atau gundik adalah kebiasaan umum di kalangan KNIL. Tangsi dibayangkan sebagai tempat penuh maksiat.  Seorang mantan perwira KNIL, S.E.W Roorda, menulis: “Dalam sebuah ruangan besar, ratusan prajurit tidur bersama gadis atau pembantu rumah tangga mereka di tempat tidur, yag bahkan tidak dipisahkan oleh tirai satu dengan yang lain. Tanpa mengindahkan kesopanan mereka bercinta, di hadapan penghuni lainnya.”[1]
Efek dari percintaan purba itu melahirkan anak-anak yang bisa jadi tidak diharapkan perempuan-perempuan itu. Bisa jadi pula, perempuan-perempuan itu tidak tahu bagaimana menuntut tanggungjawab dari bapak dari anak yang dikandungnya. Tak jarang ada perempuan yang memiliki anak-anak dari ayah yang berbeda-beda. Ada juga anak-anak yang ditinggalkan perempuan-perempuan di sebuah panti asuhan—karena perempuan ini berkeras mengikut serdadu yang berpindah-pindah. [2]
Resiko bercinta ala serdadu kompeni ini bukan tanpa akibat. Bukan hanya beresiko punya anak yang tak diinginkan, tapi juga kena penyakit kelamin. Penyakit kelamin masalah yang cukup serius bagi pemerintah kolonial. Tentu saja, Department van Oorlog jadi pusing. Penyakit kelamin, yang apa saja namanya bikin pusing. Bagaimana mungkin serdadu Sang Ratu bisa bertempur jikalah dia punya “barang” tak berdaya karena kena Raja Singa.
Petinggi militer pun berusaha keras mengurangi penyakit kelamin ini. Melarang serdadu bercinta juga bukan solusi. Menyediakan perempuan-perempuan buat semua serdadu juga tak mungkin buat pemerintah. Ada saran tak resmi untuk punya keluarga, konon hidup sama Nyai, resmi atau tidak resmi bikin mereka sehat rohani dan jasmani.[3]


Boet tjegah piara goendik dalem tangsi, perkara mana senantiasa diperhatiken oleh pemerentah, maka masih sadja teroes meneroes pemerentah membikin brapa roemah2 boeat onderofficier2Europa jang telah kawin dan boeat soldadoe jang telah kawin, begitoe djoega merobah keada’anja tempat2 tinggalja soldadoe bangsa Europa. Setelah dalem taon jang blakangan ini ada dibikin lagi 40 roemah, maka sekarang roemah jang telah disediaken bagi ouderofficier ada 574 tempat, sedang di Soerabaja, Tjilatjap dan Poerworedjo masing masing ada 2,6 dan 12 tempat boet anak militair berpengkat rendah jang telah rampoeng dibikin. Di Poerworedjo 6 dan di Meester Cornelis 20 roemah sedang dibekerdjaken. Dengan peroebahan keada’an tempat tinggalnja anak militair jang berpangkat rendah jang soedah kawin dari bangsa Boemipoetra, aken diperhatiken djoega nanti dengan pembikinan baik benteng Vastenburg di Soerakarta dan kempement2 lijf achtcavalerie di Djokdja, Mereudoe dan Koeta Tjane (Atjeh), sedang dengen pembikinan baik tangsi tangsi boet pegawei roemah sakit di Malang dan di Segli aken diperhatikan djoega perkara perminta’an tempat seperti di atas.[4]

Akhirnya, tanpa bertindak keras, dalam kehidupan tangsi pun diadakan pengawasan kesehatan rutin. Semua anggota KNIL dari serdadu sampai perwira pun kena periksa, ada penyakit kelamin atau tidak. Seperti tertera dalam  Artikel 197 Soerat Peratoeran akan Pekerdjaan Dalam Tangsi (Kampement) Bagai Artillerie Berkendaraan:

“Onderofficier, korporaal dan soldadoe, jang ada penjakit kotor, haroeslah memberi tahoe ini kapada sergeant piket, serta dihadapkan pada dokter oleh siapa jang melalaikan ini, dihoekoemkan dengan sangat. “[5]

Kepada serdadu yang kena penyakit kelamin, pemerintah tidak akan beri sangsi berat. Pemerintah bahkan menyuruh berobat agar sembuh itu penyakit. Tidak hanya si serdadu yang disuruh berobat, untuk mencegah korban lain di kalangan serdadu lain tentunya, maka perempuan penular yang tinggal di dalam tangsi pun kena perintah untuk berobat juga. Memang ada peraturan yang bunyinya: “Djikalau ada penjakit kentjing atawa penjakit perempoewan maka seboleh-bolehnja ditunujuk perempuan jang menjadikan penyakit itu kepadanya…….”[6]
Pemerintah Kolonial memang serius menjaga ‘barang’ serdadu-serdadunya dari ancaman penyakit sekelas Raja Singa. Berhubung banyak rumah bordil dimana serdadu-serdadu sang ratu “bertempur” diwaktu senggang, maka ada aturan keras lagi bagi yang ketahuan kena tular penyakit kelamin untuk menahan hasrat purbanya untuk keluar tangsi. Maksudnya agar si empunya penyakit tak lebih parah lagi.
Dokter tentara pun punya hak buat kasih larangan pada siapa saja yang tak boleh keluar. Dokter tentara adalah orang yang punya kuasa serdadu-serdadu agar tidak main tembak sembarangan mereka punya barang. Artikel 198 Soerat Peratoeran akan Pekerdjaan Dalam Tangsi (Kampement) Bagai Artillerie Berkendaraan, menyebut: “Dokter itoe menentoekan jang menentoekan siapa jang haroes dilarang akan keloear tangsi pada sore dan malam pada beberapa lama…”[7]
Begitulah cara KNIL waspada pada musuh dari celana dalam—yang bagi mereka mungkin lebih ganas daripada musuh dalam selimut. Demi Ratu Singa Wilhelmina maka Raja Singa, sifilis dan lainnya harus enyah. Beruntung belum ada kasus HIV di jaman Ratu Singa.


[1] Pendapat ini pernah dikutip dalam Het Koninklijk Nederlandsch Indische Leger, dalam Weerzien met Indie, Zwolle, Waanders, 1994, No 12, hlm. 289: Frances Gouda, Dutch Cultere OverseasColonial Practice in the Netherland Indie 1900-1942, ab Jugiarie Soegiarto & Suma Riella Rusdiarti, Dutch Cultere Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942, Jakarta Serambi, 2007, hlm. 198.


[2] Frances Gouda, Dutch Cultere OverseasColonial Practice in the Netherland Indie 1900-1942, ab Jugiarie Soegiarto & Suma Riella Rusdiarti, Dutch Cultere Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942, Jakarta Serambi, 2007, hlm. 198.


[3] Raggie Bay, Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda, Depok, Komunitas Bambu, 2010.

[4] Pewarta Soerabaia, 10 Juli 1918.

[5] Soerat Peratoeran akan Pekerdjaan Dalam Tangsi (Kampement) Bagai Artillerie Berkendaraan, Batavia,  Departement van Oorlog & Landsdrukkerij, , 1905, hlm. 98.

[6] Soerat Peratoeran akan Pekerdjaan Dalam Tangsi (Kampement) Bagai Artillerie Berkendaraan, Batavia,  Departement van Oorlog & Landsdrukkerij, , 1905, hlm. 98.

[7] Soerat Peratoeran akan Pekerdjaan Dalam Tangsi (Kampement) Bagai Artillerie Berkendaraan, Batavia,  Departement van Oorlog & Landsdrukkerij, , 1905, hlm. 100.