Senin, Desember 10, 2012

Kota Tangsi Baru

"Setelah jadi kota minyak, Balikpapan pun jadi kota tangsi"

Balikpapan pun mulai jadi kota tangsi setelah tentara Belanda pergi. Mayor Waluyo Puspoyudo adalah komandan militer RI pertama yang sampai Balikpapan.  Setelah tentara Belanda pergi Balikpapan mulai dibangun banyak instalasi militer. Entah berupa kantor, gudang amunisi, tempat latihan tentara atau perumahan bagi tentara.
Balikpapan kemudian  menjadi pusat atau markas dari apa yang disebut Komando Daerah Militer (KODAM). Mulai dari KODAM Mulawarman yang hanya membawahi Kalimantan Timur dan terakhir adalah KODAM Tanjungpura yang menaungi keamanan seluruh Kalimantan.
Banyak instalasi militer TNI di Balikpapan. Bekas tangsi KNIL sudah tidak ada lagi. Markas besar tentara (MAKODAM) lalu dibangun di sekitar Klandasan, tidak jauh dari Lapangan Merdeka dan Rumahsakit Pertamina.
Semasa Jenderal Hartoyo menjadi Panglima KODAM Mulawarman, BPM Shell sedang membangun pipa sepanjang kurang lebih 300KM dari Tanjung ke Balikpapan. Tenaga kerja yang dipakai adalah para transmigran yanG didatangkan oleh Jawatan Transmigrasi dari Jawa Tengah.  Ketika mereka berangkat, mereka dijanjikan lahan (tanah). Sialnya, pejabat-pejabat korup Jawatan Transmigrasi kemudian menelantarkan mereka. Selesai proyek, pekerja yang tinggal di kamp Petung itu. Jumlahnya hampir seribuan. Keterlantaran membuat mereka jadi pengemis dan membanjiri kota Balikpapan. Mereka disebut Pengemis Petung.[1]  Fenomena ini terjadi sekitar tahun 1950an.                      
Semasa Kecik, seorang Insinyur Belanda yang mengajar di ITB, pernah akan menuju ke Balikpapan untuk menyelidiki kemungkinan pengeboran airtawar untuk kebutuhan air bersih kota Balikpapan. Kecik menyetujui rencana itu. Insinyur itu menumpang sebuah pesawat Garuda dari Jakarta ke Balikpapan. Sayangnya pesawat garuda itu kemudian tak pernah sampai Balikpapan. Pesawat itu kemudian hilang. Beberapa perwira TNI, kepala percetakan Negara Balikpapan dan orang sipil lainnya pun hilang dalam pesawat itu. Hario Kecik yang semula akan menumpang pesawat itu membatalkannya. Dia naik mobil ke Surabaya lalu naik pesawat ke Balikpapan.[2]  
Pengakuan kecik:
“Kantor besar perusahaan (minyak asing) raksasa internasional ini terletak di Balikpapan, meradiasikan pengaruh besar kepada kehidupan sosial ekonomi dan politik dari masyarakat Kalimantan timur. Markas KODAM IX Mulawarman juga berada di Balikpapan dan berdasarkan prinsip militer, sebuah markas komando harus ditempatkan di lokasi yang aman, agar dapat efisien dipertahankan dan memenuhi tuntutan lain bersifat militer. Markas KODAM tidak dapat dipindahkan ke tempat lain, bukan hanya karena masalah kesulitan teknis dan keuangan tetapi juga karena pertimbangan strategis, politis dan psikologis. Jadi harus dicari alternative tindakan yang dapat menjamin tuntutan tersebut di atas.[3]
Mengenai  komplek perusahaan minyak asing di Balikpapan, Kecik menulis:
“Suatu masyarakat tersendiri dengan fasilitas-fasilitas mewah seperti klub, bioskop, kolam renang, lapangan golf, toserba, dan lain-lainnya. Dalam masyarakat seperti itu para pegawai menengah dan tinggi, asing maupun pribumi, hidup dalam suasana istimewa terlepas dari masyarakat biasa yang mengelilinginya.”[4]
Pernah terjadi kematian pekerja karena terlindas mobil pengendara bule, tapi orang bule itu bebas dari tuntutan hukum karena masih orang perusahaan asing.
Ada toko Centraal inkoop & verkoop Organisasaties yang menjual barang-barang impor untuk keperluan pegaawai tinggi perusahaan. Barang-barang import ini masuk tanpa pajak.[5]
Kepada Brigadir Jenderal Soemitro—yang baru ditunjuk sebagai Panglima KODAM Mulawarman—Sukarno berujar: “Generaal Mitro, saya titip reffinaderij (kilang minyak) yang ada disana. Jagalah baik-baik!” Sumitro, dengan sepenuh hati lalu menjawab: “Baik, pak. Akan saya perhatikan.” Amanah Sukarno itu dijalankan Sumitro dengan menjaga stabilitas kota Balikpapan ditengah pusaran politik nasional yang kian memanas pada dekade 1960an itu. Soemitro juga tidak ragu untuk turun langsung berpatroli menjaga kilang minyak yang diamanahkan Panglima besar Revolusi kepadanya. Soemitro sendiri sering berkeliling di sekitar kilang minyak pada malam hari. Soemitro menjaga agar panas-nya situasi politik nasional tidak sampai membakar Balikpapan.[6]
Atas usaha Sumitro, kota Balikpapan masih dianggap nyaman pada pertengahan dekade 1960an yang kacau. Balikpapan terhindar untuk menjadi ladang pembantaian orang-orang Komunis seperti yang terjadi di Jawa dan Bali—dimana telah memakan banyak korban yang mencapai angka ratusan ribu. Orang-orang Komunis, oleh Sumitro ditahan sebelum meletus G 30 S di Jakarta. Orang-orang Komunis itu banyak yang dilokalisasikan di Samboja dalam di dekat pantai.


[1] Gubernur Pranoto dan Jenderal Hartoyo adalah orang yang bertanggungjawab dalam hal ini. Mereka dianggap bekerjasama dengan SHELL dan BPM. (Hario Kecik, Pemikiran Militer 2: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2009, hlm. 188-189).
[2] Hario Kecik, Pemikiran Militer 2: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2009, hlm. 266-267.
[3] Hario Kecik, Memoar Hario Kecik, Jakarta, Pustaka Utan Kayu, 2002, hlm.563.
[4] Hario Kecik, hlm.564.
[5] Hario Kecik, hlm.564.
[6] Ramadhan K.H, Soemitro (Mantan Pangkopkamtib): Dari Pangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib,Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1994. h. 22-23.

Setelah 1945

Merdeka itu butuh aksi. Juga pengorbanan

Pada 13 November 1945: Demonstrasi rakyat Balikpapan di Karang Anyar, mengibarkan bendera merah putih. Demonstrasi ini dipelopori oleh rakyat  Komite Indonesia Merdeka (KIM) pimpinan Abdul Mutalib. Mereka menuntut, agar Belanda angkat kaki dari Indonesia. Pidato Abdul Mutalib yang berapi-api soal penolakan terhadap Belanda di Indonesia yang baru  merdeka itu membuat dirinya ditangkap. Akhirnya, Husein Yusuf membubarkan demonstrasi itu menghindari kerusuhan yang dirasa akan merugikan semangat perlawanan terhadap Belanda. Demonstrasi bubar teratur tanpa kekacauan. Sorenya, Abdul Mutalib yang ditangkap pihak berwenang pun dibebaskan, lalu di buang ke pulau Jawa.[1]
Sesekali terjadi aksi berani terhadap Belanda. Pada 18 November 1945, terjadi pelemparan granat di sentral NICA, Kampung Baru, Balikpapan. Dilakukan oleh Misbach dan Sabrie.[2]
Kaum pendukung kemerdekaan terus memperkuat diri. Pada 29 November 1945, Fonds Nasional Indonesia (Foni) didirikan, dipimpin Aminuddin Nata, Mas Saraman, dan S. Mawengkang.
NICA yang mulai menguasai Kalimantan Timur. Pengibaran bendera merah putih dilarang. Konferensi tentang kerajaan Kutai diadakan pada 17 Desember 1945. Dimana dibahas jika Kutai dibagi 5 Kepatihan: Kutai Selatan berpusat di balikpapan; Kutai Timur berpusat di Samarinda; Kutai Barat berpusat di Tenggarong; Kutai Tengah berpusat di Muara Muntai;  Kutai Ulu berpusat di Long Iram.  Keputusan ini baru diwujudkan tahun 1946. [3]
Kaum pro kemerdekaan pun menjadi bahan pengawasan bagi aparat NICA.  Di Samboja seorang mantan Gerindo bernama Djohan ditangkap NICA atas tuduhan kepemilikan senjata api. Di Balikpapan, Hasan Yusuf, yang juga mantan Gerindo,  ditangkap NICA juga.  Keduanya dulu aggota Gerindo.
Senjata api, sering dijual Tentara Australia yang berhasil merebut Balikpapan. Tentara Australia, sebelum meninggalkan Balikpapan sering menjual apa saja yang bisa mereka jual kepada warga Balikpapan yang kurang sandang, pangan, bahkan kelambu, pasca Perang Pasifik. Pakaian militer Australia pun tak ada masalah ketika dipakai orang sipil di Balikpapan selama tidak mengenakan tanda pangkat. [4]
Pada 6 Mei 1946, Kubu pertahanan Belanda Bronbeek (RSU Balikpapan, lahan Puskib) digempur pasukan Abdurrahman Muhidin dan Limpat (HA Talib). Sebulan kemudian, 5 Juni 1946, Partai Ikatan Nasional Indonesia didirikan di Balikpapan. Ketuanya Aminuddin Nata. Sebulan kemudian, pada 6 Juli 1946, Pasukan Limpat di Tanjung Batu, Balikpapan, diserang patroli BElanda. Pada 11 Juli 1946, Di Kampung Sepaku (PPU) pasukan Limpat dan pasukan Abdurrahman Muhididn diserang tentara Belanda. Pada 16 Juli 1946 Pasukan pecahan dari Muhidin/Limpat diserang di Kampung Riko (PPU) dan mundur ke Paser. Pada 14 Agustus 1946, Pasukan Limpat dan Abdurrahman Muhidin diserang di Paser. Sejumlah pejuang gugur. di Balikpapan, JF Sitohang dan Ny Suwito  membakar gudang NIGIO yang berisi hasil bumi untuk diekspor. Keduanya ditangkap di balikpapan. Pada 7 November 1946, Pasukan Anang Acil dkk menyerang Kamp Werk Kompie di Jembatan Bungkuk. Pada 11 November 1946, Markas Anang Acil di Kampung Damai, Balikpapan, diserang BElanda. Empat pejuang dan tujuh penduduk tewas. [5]
Aksi-aksi terus berlanjut, pada 30 November 1946, terjadi Pelemparan granat di Manila Club di Muara Rapak  yang epnuh tentara Belanda. Granat tidak meledak, tapi banyak yang tewas terinjak-injak. Kemudian, pada 1 Desember 1946, Seorang mata-mata Belanda mati dalam penyerbuan di Gunung Air Terjun. Polisi rupanya menyelidiki pelemparan granat di Manila Club.
Tanggal, 4 Desember 1946, Herman Rutambi berhasil melucuti patroli polisi di Sungai Wain, Balikpapan. Herman bergabung dengan pasukan Kasmani di Gunung Samarinda. Essok harinya, 5 Desember 1946, Penguasa militer Belanda melarang orang berjalan bergerombol lebih dari lima orang. [6]
Tanggal 10 Desember 1946, Tangsi Loc di Pandasari dan tangsi polisi NICA di Gunung Pipa, Balikpapan, diserang pasukan merah putih. Tanggal 11 Desember 1946, Bentrokan pasukan merah putih dengan serdadu Belanda di Muara Rapak. Tiga penduduk terkena peluru nyasar.
NICA tentu bertindak keras kemudian, pada 12 Desember 1946, Polisi NICA dibantu militer menyerang pasukan merah putih di Gunung Samarinda, Balikpapan. Seorang polisi NICA ditawan. Tanggal 14 Desember 1946, dengan senjata berta dan empat truk pasukan, Belanda menyerang pasukan Merah Putih di Gunung Samarinda. Pejuang mundur ke Kampung Damai. [7]
Tanggal 15 Desember 1946, Markas pejuang di Kampung Damai, Balikpapan. Puluhan pejuang Republik ditangkap. Esoknya, 16 Desember 1946: Pasukan Herman Ruturambi dan kawan-kawan yang lolos dari Kampung Damai kembali diserang di Gunung Bakaran, Balikpapan. Hingga tersisa lima pejuang, termasuk Herman, mereka mundur ke Handil Dua.
Tanggal 20 Desember 1946, Jip militer Belanda menggeledah rumah penduduk di Samboja termasuk kepala penjawat (camat) Abdul Gani. Ketika pulang ke Markoni, jip disergap pejuang. Seorang militer Belanda berpangkat vaandrig tewas.[8]
Kedua ada Jembatan Merah di Balikpapan, masih di zaman perjuangan kemerdekaan sekitar tahun 1945-1947, Jembatan Merah ini juga menjadi saksi bisu  pertempuran para pejuang Balikpapan. [9]


[1] Abdul Gani, Kronik Perjoangan Rakyat Kalimantan Timur, Samarinda&Jakarta, Jakarta Kaltim Group, 1993, hlm. 17.
[2] Abdul Gani, Kronik Perjoangan Rakyat Kalimantan Timur, Samarinda&Jakarta, Jakarta Kaltim Group, 1993, hlm. 19. 
[3] Abdul Gani, Kronik Perjoangan Rakyat Kalimantan Timur, Samarinda&Jakarta, Jakarta Kaltim Group, 1993, hlm. 19. 
[4] Abdul Gani, Kronik Perjoangan Rakyat Kalimantan Timur, Samarinda&Jakarta, Jakarta Kaltim Group, 1993, hlm. 20-30. 
[5] Abdul Gani, Kronik Perjoangan Rakyat Kalimantan Timur, Samarinda&Jakarta, Jakarta Kaltim Group, 1993, hlm. 20-30. 
[6] Abdul Gani, Kronik Perjoangan Rakyat Kalimantan Timur, Samarinda&Jakarta, Jakarta Kaltim Group, 1993, hlm. 20-30. 
[7] Abdul Gani, Kronik Perjoangan Rakyat Kalimantan Timur, Samarinda&Jakarta, Jakarta Kaltim Group, 1993, hlm. 20-30. 
[8] Kaltim Post Balikpapan - 14 Agustus 2012
[9] Abdul Gani, Kronik Perjoangan Rakyat Kalimantan Timur, Samarinda&Jakarta, Jakarta Kaltim Group, 1993, hlm. 20-30.