“Orang Indonesia akan bilang belum makan kalau belum makan nasi”

Nasi bukan satu-satunya makan di Indonesia. Meski harus kita akui, “orang Indonesia akan bilang belum makan kalau belum makan nasi.” Entah ini dosa rezim siapa? Sepertinya ratusan tahun silam tak seperti itu. Orang Madura biasa makan jagung. Orang Papua atau Maluku punya tradisi makan sagu. Kata seorang kawan, satu pohon sagu bisa mengisi perut satu keluarga selama beberapa bulan. Dalam sebuah acara di televisi, cacing yang ditemukan di pohon sagu pun bisa dimakan

Indonesia memang punya banyak makanan enak. Tak melulu yang dari beras. Papeda juga makanan enak dari sagu. Kata seorang anak Digulis, "asal bisa mengolah. Ikan dan sagu bisa menjadi makanan enak." Begitu kenangan ibu-ibu tua di masa bocahnya di pedalaman Papua, Boven Digoel.
Ada semacam konversi pangan. Nasi dijadikan makanan pokok Indonesia. Tak masalah jika itu hanya berlaku di Jawa, atau daerah-daerah yang bisa ditanami padi. Tap bagaimana dengan orang Papua dan Maluku yang sudah terbiasa dengan sagu? Kelaparan yang terjadi di Papua beberapa tahun silam jangan-jangan dosa pemerintah yang mengkonversi makanan pokok menjadi nasi. Nampaknya, ini hanya bagian dari bisnis. Agar orang-orang diluar Jawa tergantung pada beras. Agar orang terpaksa membeli beras. Tapi, rupanya pemerintah pun gagal sediakan beras murah.


Masalah pertanian rakyat pribumi juga menjadi perhatian Husni Thamrin. Masalah pemasaran gula, kedelai beras di dalam negeri dipelajarinya dengan teliti bahkan diperdebatkan dengan sengit jika masalah ini menyangkut kaum petani sebagai produsen lokal yang harus diperjuangkannya. Dalam sebuah sidang delegasi pada 24 Februari 1934 telah gagal dibatasinya Import beras. Thamrin kemudian mendesak untuk pemerintah segera mengubah tanah-tanah yang disewa perusahaan besar agar dikembalikan kepada petani untuk menanam padi pada musim hujan. Karena import beras yang harga pasarannya rendah maka terjadi banjir beras, baik yang berasal dari Jepang maupun dari Thailand. Dalam hal ini Thamrin mendesak dilakukannya keseimbangan antara beras lokal dengan beras import. Desakan Thamrin gagal, import beras telah mendorong gagalnya produksi beras dalam negeri, pemerintah juga rupanya lebih senang mengimpor beras Thailand yang lebih murah. Import beras mendatangkan rezeki bagi importir maupun pedagang Cina menangguk banyak untung. Pemerintah kolonial juga tidak lepas beruntungnya dengan bertambahnya keuangan mereka dari import beras ini. (Bob Hering , M.H. Thamrin and His Quest for Indonesian Nationhood 1917-1941 , hlm. 241)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar