Tanö Niha: Ngayau, Denninger dan Backpacker
Nias, terdengar agak menyeramkan bila belum mengerti. Banyak beredar cerita miring yang tidak seluruhnya benar. Hingga orang akan memilih Bali untuk berwisata dan melupakan Nias. Misteri Nias hanya menakutkan calon wisatawan, hanya beberapa peneliti yang bermimpi bisa mencapai pulau itu untuk menggali tanah penuh misteri ini.Beberapa peneliti mengatakan, Nias terkesan seperti Jepang sebelum restorrasi Meiji dengan politik isolasi. Sebelum abad XX, Nias adalah The Untouchable Island. Ada 2 orang misionaris Perancis meninggal di Pulau ini pada tahun 1830, seperti dalam buku Orang Indonesia Orang Perancis karya Bernard Dorleans.Usaha pemerintah Belanda gagal dengan beberapa ekspedisi militernya. Kesulitan di Nias, ini membuat pemerintah kolonial untuk melakukan pembaratan pada penduduk Nias dengan menghentikan ekspedisi militer. Sekelompok misionaris diajak bekerja di Nias. Maksud pemerintah kolonial adalah “memberadabkan” masyarakat Nias yang kala itu dianggap biadab lantaran mereka sulit dikuasai. Tentu saja “pemberadaban” itu dari sudut pandang pemerintah kolonial kal itu. Akhirnya tahun 1860an, Denninger masuk bersama RMG-nya untuk menyebarkan agama kristen.Ada cerita menarik tentang perkembangan agama kristen di Nias. Tersebutlah seorang pengayau (pemburu kepala) yang merasa dikejar dosa, dia merasa bersalah sekali. Akhirnya pengayau itu menemui Denninger. Atas saran Denninger, pengayau tadi menemui keluarga korban ngayau-nya. Awalnya pengayau itu ragu, karena rundung rasa bersalah, pengayau itu mau meminta maaf pada keluarga korbannya. Diluar dugaan keluarga korban tadi justru menangis. Padahal ngayau bisa meninggalkan dendam lebih dari tujuh turunan. Merekapun—pengayau dan keluarga korban tadi—seperti mendapat pencerahan atas saran Denninger. Cerita menyebar, ada seorang dukun membawa pencerahan di Gunung Sitoli—kebetulan Denninger menjalankan klinik di Gunung Sitoli. Dalam beberapa dekade dua pertiga penduduk Nias telah memeluk kristen.Perlahan-lahan isolasi Nias terbuka. Pengaruh barat tentunya masuk. Nias sekarang tidaklah seseram dulu, ratusan tahun lalu. Sudah pasti Nias membuka pintunya lebar-lebar untuk dimasuki pengunjung. Ada banyak tempat menarik disini. Sisa-sisa kebudayaan masa lalunya dan pantainya adalah obyek menarik.Mengunjungi Nias bisa melalui laut dengan kapal dari Jakarta singgah di Padang atau Sibolga yang semalam dari Gunung Sitoli. Atau dengan pesawat Merpati dari Medan setiap pagi. Bila kita dari Jakarta, kita bisa naik pesawat ke Medan lalu naik pesawat lagi ke Gunung Sitoli. Bila naik pesawat dari Medan-Gunung Sitoli terlalu Rp 500.000 terlalu mahal, ada travel ke Sibolga lalu naiklah kapal Ferry atau kapal kayu. Perjalanan darat Medan – Sibolga sangat menyenangkan karena kita bisa saksikan keelokan perbukitan Tanah Batak dan pastinya Danau Toba akan kita saksikan dari jendela mobil.Sampai di Gunung Sitoli, anda tidak akan temui hotel mewah sekelas, Dusit Iin. Mungkin anda bisa cari penginapan kelas melati. Tidak masalah bagi para Backpacker, anda bisa menginap dimana saja selama menginjak bumi. Untuk saat ini Nias cukup menantang bagi para Backpacker.Bagi anda yang tertarik mengkaji Nias, anda wajib kunjungi Museum Pusaka Nias yang letaknya dekat dengan pelabuhan. Disini disajikan beberapa miniatur rumah adat Nias kuno, baju perang ksatria Nias. Di museum ini juga dijual beberapa buku tentang Nias yang diterbitkan oleh Yayasan Pusaka Nias. Bila anda kurang puas, silahkan berbincang langsung dengan pastur Hammerlee, pendiri museum.Nias memiliki potensi wisata yang baik terutama wisata bahari-nya. Ada beberapa pantai yang baik untuk berselancar seperti Lagundri di Teluk Dalam, Nias Selatan atau pantai Sirombu du Nias Barat. Ada banyak pantai di Nias, hanya beberapa yang menjadi tempat wisata. Beberapa pantai di Nias Utara banyak yang belum bisa diakses. Di Nias Utara beberapa pantai memiliki ombak menantang untuk berselancar.Mengunjungi Nias tanpa melihat Hömbö batu (lompat batu), tidak lengkap rasanya kunjungan wisata kita. Hömbö batu dapat anda saksikan di Böwömataluö, sebuah desa dengan sisa-sisa budaya Nias kuno.Nias bukan tempat yang meyeramkan. Beberapa orang yang pernah ke Nias hampir semua berkeinginan kembali berkunjung ke pulau Nias lagi. Ini bukan pengaruh magic. Seorang dosen muda yang pernah menemani kawannya untuk penelitian beberapa tahun lalu, mengaku ingin kembali dan mengerjakan sebuah penelitian arkeologis di Gomo.
1 komentar:
Saohagölö khö ndra dalifusöda Petrik, yang menarik perhatian kita atas "The untouchable Island Nias...." dan nasibnya tempo dulu.
Tetapi demi tepatnya informasi - kalau bisa, hendaknya diperbaiki tulisan dalam bahasa Nias:
"Lompat batu" namanya: "Hombo batu" (bukan hömbö batu) dan desa Bawömataluo (artinya: Bukit mata hari) bukan (Böwömataluö)
A.K.S.
Nb. Kalau sudah diperbaiki, hendaknya komentar ini dihapus. T.K.
Posting Komentar