Dia tergolong sebagai orang Indonesia yang menuliskan memoarnya. Sudah pasti, Achmad Djajadiningrat bukan orang sembarangan di masa lalu, di awal abad XX lalu.
Djajadiningrat,
dari nama keluarga inilah muncul beberapa orang berpengaruh pada awal
pergerakan nasional. Beberapa Djajadiningrat itu menjadi orang berpengaruh
dalam pergerakan. Seorang menjadi doktor Indologi di Negeri Belanda, seorang
menjadi tokoh berpengaruh gerakan Sarekat Islam di Banten, dan yang tertua
mengikuti jejak ayah mereka, menjadi bupati dikemudian hari.
Ayah dari
orang-orang yang menyandang nama Djajadiningrat itu, adalah priyayi maju yang
nmelahirkan priyayi baru di Jawa. Walau begitu, ayah mereka tetap berusaha
tunduk pada tradisi dan selektif dalam menerima pengaruh luar.
Ayah mereka, yang bupati Banten itu,
sebenarnya menolak penggunaan nama Djajadiningrat sebagai nama keturunannya.
Namun anak tertuanya, Achmad menggunakan nama belakang Djajadiningrat menjelang
ujian akhir di HBS Batavia .
Belakangan nama itu dipakai oleh adik-adiknya seperti Husein, Hasan, Lukman dan
lainnya. Anak tertua inilah yang paling berpengaruh dalam keluarga
(Djajadiningrat) setelah wafatnya ayah mereka.
Achmad si
sulung-lah yang pertama kali mendukung perubahan di tanah Banten yang bernajak
modern. Gerakan Sarekat Islam masuk di Banten bahkan diberi ruang yang cukup
berarti oleh Achmad, walau Achmad tidak aktif dalam organisasi pergerakan itu.
Achmad justru aktif dalam organisasi lain yang mengantarkannya sebagai anggota
Volksraad. Sebagai bupati dan anggota Volksraad-lah Achmad memainkan peran-nya
dalam peregerakan.
Bupati Moderat
Keluarga priyayi
macam Djajadiningrat di Banten, disamping Wiranatakusuma dan Kusumo Utoyo
tergolong sebagai keluarga bupati liberal pada awal dilaksanakannya politik
etis.[1]
Posisi
sebagai priyayi, memungkinkan anak-anak mereka duduk dalam birokrasi.Setelah
lulus dari HBS Batavia, Achmad, anak sulung dari keluarga Djajadiningrat itu—bekerja
pegawai kolonial. Karirnya itu dimulai dengan magang pada tahun 1889. Karir
Achmad terus meningkat hingga menjadi bupati menggantikan ayahnya. Achmad
pernah bertugas di Bodjonegoro sebagai asisten wedana (27 Juli 1900-4 Juli
1901). Setelah itu, sejak 1901, dia menjadi bupati di Banten(Serang) menggantikan
ayahnya. Achmad pernah ditunjuk menjadi bupati Batavia —jabatan yang disandangnya sejak 1924
sampai 1929.[2]
Semasa
Achmad menjadi Bupati, Sarekat Islam yang belum lama beerdiri masuk ke Banten,
dari Achmad—yang saat itu telah menjadi bupati—SI mendapat sambutan positif.
Hal ini sungguh berbeda dengan daerah lain, dimana para pejabat pribumi agak
takut dengan perubahan yang akan dibawa oleh SI di daerah mereka. Adik Achmad,
Hasan Djajadiningrat, kemudian juga menjadi tokoh SI yang cukup berpengaruh di
Banten sampai akhir hayatnya.[3]
Masa-masa
Achmad Djajadiningrat menjadi pegawai kolonial bukan hal biasa penindasan tuan
tanah terhadap petani yang menggarap tanah. Hal macam ini adalah warna yang
nyaris dominan dipergantian abad XIX ke XX itu.
Mengenai
kekejaman tuan tanah swasta, Ahmad Djajadiningrat, bupati Serang sejak
1901-1927, pernah mengunjungi tanah partikelir di Cikande. Ketika rombongan Ahmad
datang, tidak ada yang menyambutnya sama sekali, berbeda dengan sikap penduduk
di daerah lain. Hal yang tidak lazim pada masa itu dan sekarang. Bila jumlah
cukai dan kontingenten demikian besar sehingga penduduk merasakannya diluar
batas, yang sering terjadi adalah ribuan penduduk tanah partikelir akan
mendatangi kantor resident, hampir dapat dipastikan mereka datang dari tanah
partikelir.[4]
Banyak
para priyayi yang peduli pada penderitaan kaum miskin disekitar dalem
(tempat tinggalnya)nya. Kebanyakan mereka tampak tidak peduli, jarang
kepedulian priyayi itu ditampakkan. Achmad Djajadiningrat-pun begitu, kondisi
mungkin sudah terlampau parah, hingga membuat Achmad Djajadiningrat mengeluh.
Sebelum
terjadi pemebrontakan PKI tahun 1926, Ahmad Djajadiningrat sudah memperingatkan
tentang gawatnya keadaan kaum miskin daerah pinggiran Betawi.Orang-orang miskin
itu kekurangan makan, tinggal berjubel dipondok-pondok tanpa ventilasi.[5]
Ahamd Djajadiningrat, sejak didirikannya
Volksraad tahun 1918 tergolong anggota yang aktif berpolitik. Achmad
Djajadiningrat duduk di Volksraad mewakili NIVB—(Nederlandsche Indische
Vrijzennige Bond) organisasi yang berdiri tahun 1916 yang mewakili orang-orang
konservatif.[6]
Achmad
begitu tertarik pada NIVB pada tahun 1917, karenanya tahun itu juga dia
bergabung.[7]
NIVB akhirnya mengantarkannya measuk Volksraad—didukung popularitas Achmad
sebagai Bupati terpandang didekat Batavia diawal abad XX itu.
Azas
yang dirancangnya untuk NIVB, seperti juga yang dituntutnya dalam sebuah mosi
bersama Cokroaminoto, menjadi dasar pijakan sekaligus agennda kerjanya sebagai
anggota Volksraad.
“Didalam tanah
Kerajaan Nederlandsche (Nederlandsche Wereldrijk) hendaklah Indonesia berdiri
sendiri (politik autonome eenheid) yang sama haknya dengan tanah-tanah lain
yangberdiri sendiri didalam kerajaan itu. Segala keperluan kerajaan harus
diatur oleh satu Dewan Kerajaan (Rijksraad). Didalam Dewan Kerajaan itu
haruslah orang Indonesia mempunyai wakil yang sama haknya dengan wakil tanah-tanah
lain yang berdiri sendiri (autonoom) didalam kerajaan itu. Sekalian bangsa
Indonesia di dalam wet. Kebebasan didalam bergerak, kemerdekaan didalam
berkata-kata, pendeknya pada umum adalah ialah segala hak yang ada pada
penduduk yang merdeka, haruslah diberi kepada bangsa Indonesia, kecuali bila
kemerdekaan itu mesti dibatasi karena menggangu peri keamanan umum….Rancangan…itu
menetapkan pula aturan membagi tanah autonoom menjadi provinsi-provinsi, serta
menetapkan pemerintahan provinsi itu; menetapkan pemerintahan local gebeid
(regentschaap, gemeente, dan lain-lain).[8]
Bersama
Cokroaminoto, Achmad sebagai anggota Volksraad diakhir tahun 1918, mengeluarkan
mosi yang menghendaki wewenang penuh parlemen bagi volksraad dengan kontrol
anggaran dan tanggung jawab kepala departemen da bukan langsung pada Gubernur
Jenderal. Mosi itu juga menghendaki jaminan atas kelanjutan desentralisasi dan
dikuranginya peran Raad van Indie sekedar sebagai penasehat Gubernur Jenderal.
Lebih lanjut, mosi itu menghendaki hak interpelasi bagi anggota-anggota dewan.
Sebuah komisi perubahan dan interpelasi—Herzieningscommissie—dibentuk
berdasar surat keputusan pemerintah no. 1 tertanggal 17 Desember 1918. Komisi
tersebut lalu menyusun rancangan desentralisasi. Kerja komisi ini berhasil
meredakan mosi anggota dewan yang kemudian dicabut dengan tenang oleh
Cokroaminoto, Cipto Mangunkusumo dan Achmad Djajadiningrat.[9]
Agenda
Achmad itu, sangatlah hebat untuk seorang moderat—yang tidak luput disebut
konservatif. Apa yang juga menjadi buah
pikirannya itu, adalah langkah yang cukup radikal bagi perubahan Hindia Belanda. Suara Achmad Djajadiningrat
bersama Cokroaminoto, Cipto Mangunkusumo dan lainnya itu memang terlupakan
dalam sejarah Indonesia. Tuntutan macam tadi,nyaris tidak pernah dibicarakan
orang, kecuali Petisi Soetardjo 1938—tigapuluh tahun setelah mosi Achmad cs
dikeluarkan.
Achmad
Djajdiningrat juga menuntut kesetaraan dari pemerintah kolonial dalam posisi
pemerintahan baik sipil maupun militer. “Jabatan Negeri, baik sipil ataupun
militer, kata Achamd dalam mosi-nya, akan dilakukan oleh bangsa Indonesia. Jika
kekurangan bangsa Indonesia, barulah diambil bangsa-bangsa lain dari tanah
autonoom yang lain dalam kerajaan.”[10]
Dikalangan
Pergerakan, Achmad tergolong senior. Dirinya tidak dekat dengan Boedi
Oetomo—yang sekarang diagung-agungkan sebagai tonggak kebangkitan Nasional itu.
Usia dan posisinya dalam struktur birokrasi kolonial—sebagai bupati dan anggota
Volksraad—membuat Achmad berpengaruh. Pengaruh besar itu, setidaknya terasa
bagi orang pergerakan macam Husni Thamrin—yang ayahnya pernah jadi wedana
seperti Achmad sebelum menjadi bupati. Bagi Thamrin, yang masih muda,Achmad
Djajadiningrat itu adalah mentor dalam perpolitikan di Hindia Belanda. Setelah berdinas
lebih dari tiga dekade, Ahmad Djajadiningrat akhirnya pensiun pada tahun 1933.[11]
Achmad Djajadiningrat
pernah menjadi delegasi Belanda dalam konferensi buruh Internasional
(Arbeidsconferentie) di Jenewa, Swiss. Posisi Achmad yang matang di Hindia dan
mengerti kondisi sosial kaum miskin pribumi mendudukannya sebagai penasehat
teknis (technisch adviceur)dalam delegasi Belanda itu.[12]
Dimata
sebagian kaum muda pergerakan, Boedi Oetomo, Achmad dianggap sering memandang
sebelah mata pada kaum muda lulusan STOVIA—School tot Opleiding voor Indische
Artsen, sekolah dokter pribumi—tiap kali berpapasan. Suatu kali salah satu
lulusan STOVIA, yang merasa diremehkan itu, menyindir Achamd secara halus. Achmad-pun
lalu minta maaf. Dilain kesempatan, seorang lulusan STOVIA yang lainnya
menyindir dengan kasar pada Achmad, “Tuan menjadi Regent (bupati) karena
karuania Tuhan, tetapi saya telah menjadi dokter karena kekuatan dan kemauan
saya saya sendiri.[13]
Willem van Banten.
Ahmad
Djajadiningrat terlahir pada 16 Agustus 1877, di desa Kabayan, Pandegelang,
Banten. Saat itu ayahnya belumlah menjadi seorang bupati. Ketika Ahmad masih
kecil ayahnya adalah seorang wedana di Kramatwatu.[14]
Sebagai
putra Banten yang lahir sebelum pergantian abad, Achmad yang baru berusia 6
tahun ikut menjadi saksi letusan Gunung Krakatau (1883)yang dasyat itu. Dalam
Memoar-nya, yang dibuat setelah pensiun dari jabatan anggota Dewan, Achmad
menceritakan kejadian menyeramkan itu juga. Peristiwa penting lain yang terjadi
di Banten saat Achmad masih kecil adalah pemberontakan Petani Banten (1888),
saat Achmad sebelas tahun dan duduk di sekolah dasar.[15]
Ketika
masih bocah, Ahmad dimasukan ayahnya ke pesantren. Bocah itu harus mengalami
transisi pertama, berpisah dari ibunya di rumah wedana yang sedianya nayaman.
“Upacara itu
dimulai. Anak bangsawan Banten itu dicukur rambutnya, sampai gundul. Ibundanya
sendiri yang melakukannya.Didekatnya, seorang membacakan kitab Abda’u. Begitu
rampung, si bocah diganti pakaiannya. Ia kini harus mengenakan sarung kasar,
baju sang-sang putih tanpa kancing—hingga dadanya selalu terbuka—dan dikepalanya
dipasang selingkar destar bersahaja. Si Achmad, cucu bupati Pandeglang Raden
Adipati Aria Natadiningrat, harus pergi dari rumahnya untuk jadi santri. Ini
terjadi sekitar tahun 1880an….Bapaknya, wedana di Kramatwatu, menekankan agar
putranya diperlakukan sama dengan para santri lain—anak-anak dusun.”[16]
Banyak hal yang
ditemui Achmad di pesantren, hanya kepada Achamd saja para santri lain mengolok
kaum priyayi dan pegawai kolonial lainnya, mungkin saja karena dia satu-satunya
anak priyayi disitu. Kondisi pesantren dan rumah ayahnya yang berbeda,
setidaknya, membuat Achmad tertekan. Pembimbing santri-nya pernah bilang
padanya, saat Achmad melafalkan kata-kata Arab,”Kamu tidak akan dapat
mempelajari ini! Karena perutmu penuh dengan nasi haram!”. Saat itu, di Banten
yang relijius, gaji dari pemerintah kolonial adalah haram. Di Pesantren, yang
kala itu masih anak wedana, memperoleh dera atas apa yang dikerjakan orang
tuanya—sebagai pegawai kolonial yang umumnya dibenci kaum santri.[17]
Tidak menutup
kemungkinan, kondisi yang dialaminya ketika kecil mempengaruhi langkah-langkah
politis dan pembelaannya terhadap kaum miskin kota ketika dirinya menjadi
Bupati Batavia. Thamrin sejalan dengan priyayi baru satu ini.
Tekanan Achmad
nyaris tanpa akhir dimasa pertumbuhannya dimasa kanak-kanak. Lepas dari
pesantren, lepas dari olokan anak dusun sebangsanya, Achmad yang memmulai
pendidikan sekulernya ekharus berhadapan dengan anak-anak Eropa yang lebih jago
mengejek. Lepas dari perang kelas di pesantren, Achmad harus ditekan
bocah-bocah rasis di sekolahnya, saat sekolah di Europe Lager School—SD
paling elit sebelum dan sesudah ada Hollandsche Indlandsche School di tanah
Hindia.
Untuk bisa
diterima di Hogare Burgere School (HBS) Batavia, Ahmad memakai nama Willem van Banten, agar
terkesan Belanda dimata murid-murid lain yang rasis dan memiliki rasa sentimen
pada orang-orang pribumi—walaupun orang pribumi itu adalah dari golongan
ningrat.[18]
Mengenai rasisme
Kolonial Hindia, Achmad menulis dalam memoar-nya,”Kruseman tidak suka bila
pecah kabar…disekolahnya ada murid anak bumiputra. Mula-mula saya masuk
sekolah…dia berkata ‘mulai hari ini namamu bukan Achmad lagi melainkan Willem
van Banten.” Achmad tentu tidak kuasa menerima pembaratan Kruseman itu. Dirinya
harus terima nama baru itu, itulah jalan yang harus ditempuhnya untuk terus
bisa bersekolah.[19]
Disekolah Achmad
menyadari bahwa orang pribumi digolongkan sebagai orang lemah, Sickman Asia.
Achmad tergolong sebagai minoritas di sekolah—yang baru sedikit jumlahnya
juga murid pribuminya.
Tentang
pergaulannya di sekolah, Achmad juga melakukan kenakalan remaja—yang dianggap
lumrah bagi remaja seusianya masa itu. Achmad dan kawan-kawan Eropanya dikepung
polisi ketika mengganggu gadis-gadis Eropa seusianya. Buntutnya, Achmad dan
kawan-kawannya—semuanya Eropa kecuali Achmad—harus berurusan dengan polisi dan
asisten residen. Kejadian itu dipicu oleh mitos dikalangan anak-anak Eropa
bahwa anak pribumi selalu ketinggalan, termasuk dalam melakukan kenakalan macam
tadi. Dihari tuanya Achmad menulis mengapa ia bisa terlibat dalam kenakalan
itu.
“Saya telah
Insyaf bahwa bangsa Eropa terutama kawan-kawan disekolah saya, agak menghinakan
diri saya, karena saya hanya orang bumiputra saja. Oleh karena itu timbullah
angan-angan dalam kalbu saya akan menunjukan pada sekalian orang, bahwa saya
tidak sekali-kali ketinggalan tentang apapun juga dari mereka itu.”[20]
Achmad berusaha
bangkit dari ketertinggalan orang pribumi, seperti mitos kawan-kawan Eropa-nya,
dia berhasil ujudkan angan-angannya tadi. Walau dengan kenakalan sekalipun.
Achmad
Djajadinningrat menjalani pensiun setelah menjabat anggota Raad van Indie pada
tahun 1932, jabatan itu sebelumnya hanya diisi orang Eeropa. Snouck Hurgronje,
adalah pembimbing Ahmad dan adik-adiknya dalam berproses menjadi orang modern
Hindia. bersama Snouck, Ahmad dan adik-adiknya berhasil melewati prasangka
orang-orang pribumi maupun kulit putih.[21]
Balai Pustaka pernah
ikut membantu menterjemahkan buku untuk diterbitkan oleh Firma G. Kolff &
Co di Batavia. Buku iut adalah Kenang-kenangan
Pangeran Aria Ahmad Djajadiningrat—aslinya berbahasa Belanda dengan judul Herinneringen
van Pangeran Aria Ahmad Djajadiningrat—tahun 1936.[22]
Dalam buku ini kita bisa membaca kondisi Banten masa kolonial, menurut kacamata
seorang Achmaad Djajadiningrat.
Bagi
para bangsawan tidak merdeka diawal abad XX, termasuk Achmad Djajadiningrat,
akar dari keksatrian adalah kepatuhan pada Ratu (Belanda) yang mengusai btanah
Hindia Belanda—termasuk juga Banten dimana Achmad menjadi penguasa
tradisionalnya. Achmad begitu hormat pada Ratu—kala itu adalah Ratu Wilhelmina—karena
hormat Achmad menyebutnya dengan kata Zij—Ia dengan huruf kapital besar
pada huruf pertama.[23]
Bagaimanapun,
Achmad adalah orang yang skeptis pada pemerintah kolonial kendati dia tergolong
moderat—juga dianggap koperatif sebagai orang pergerakan yang setia
dijalurnya—dia tidak sepenuhnya percaya pada pemerintah kolonial dikemudian
hari. Dalam sebuah artikel Darmo Kondo edisi tanggal 12 Januari 1934, Achmad
berkata
“Saya tidak
berharap pertolongan apapun dari negeri Belanda agar Indonesia keluar dari
krisis yang dialami dewasa ini. Untuk dukungan semacam itu Belanda terlalu
memusatkan pada kepentingannya sendiri, dengan demikian mereka akan melanjutkan
apa pun yang dapat diambilnya dari koloni.”[24]
Memang,
dimanapun didunia ini, kaum penjajah dalam sejarah hanya mengambil apa saja
dari objek yang dieksploitasinya dengan berbagai cara. Di negara koloni,
prioritas pertama untuk negara induk dan berikutnya baru untuk pribumi, bila
memungkinkan penguasa kolonial itu. Itulah mengapa Achmad Djajadiningrat tidak
mau berharap banyak pada pemerintah kolonial di Hindia Belanda.
[1]
Bob Hering. M.H. Thamrin and His Quest For Indonesian Nationshood, ab.
Harsono Soetedjo, M.H. Thamrin: Membangun Nasionalisme Indonesia , Jakarta , Hasta Mitra, 2003. h. 174n.
[7] Achmad
Djajadiningrat, Herinneringen van Pangeran Aria Ahmad Djajadiningrat,ab
Balai Pustaka, Kenang-kenangan Pangeran Aria Ahmad Djajadiningrat, Batavia,
Kolff-Bunning-Balai Pustaka, 1936. h. 392.
[16]
Gunawan Muhamad, Kenangan Pangeran Achmad Djajadiningrat, dalam kumpulan
esai Catatan Pinggi, Jakarta,
Pustaka Utama Grafiti, 1997. h. 278-279: Tempo 1 November 1980.
[20] Ibid., h. 100.