"Sejarah akan bicara dari mulut anak-anaknya. Sejarah ada karena manusia ada. Hingga akhir dunia sejarah akan tetap ada."
Senin, Juni 14, 2010
Menyusuri Gowa
Suatu sore, 10 Juni 2010, Acil iseng mengajak saya survey ke Gowa. Tanpa pikir panjang, saya terima tawaran itu. Tidak akan ada ruginya, bahkan akan sangat menyenangkan sekali, karena akan mengunjungi dan melewati banyak perkampungan orang-orang Makassar. Dua hari sebelumnya, saya sudah mengunjungi perkampungan orang-orang Bugis di pantai barat Sulawesi. Saya pun bersiap dan menunda beberapa acara dengan sejumlah kawan yang meminta saya berdiskusi soal penulisan. Tidak ada yang keberatan, jadi saya semakin bersemangat untuk ikut Aci survey ke Gowa.
11 Juni 2010
Setelah menyandang ransel, saya bersama Acil, Irfan dan Muhtang, menuju sebuah desa teerpencil di Gowa. Untuk mencapai desa itu kami harus menyusuri jalan poros Gowa, Takalar dan Jeneponto. Perjalanan panjang ini kami lalui dengan bermotor. Sepanjang jalan saya masih melhat rumah-rumah orang Makassar, yang bentuknya tidak jauh berbeda rumah orang Bugis. Sepengelihatan saya, rumah-rumah orang Makassar yang kami lewati banyak yang memakai dinding seng.
Kata Acil, kawan seperjalanan saya, di Jeneponto ada coto kuda. Karena kami belum sempat sarapan pagi, maka kami pun mampir menikmati coto kuda. Coto kuda tidak berbeda dengan coto Makassar pada umumnya. Hanya daging kuda saja yang membedakannya. Karena biasanya coto Makassar menggunakan daging sapi. Tidak butuh waktu lama menikmati coto kuda. Karena kami harus bergegas ke desa Biringbulu.
Sulawesi selatan memiliki populasi kuda lebih banyak dengan daerah bagian utara. Saya tidak banyak melihat kuda di daerah Barru. Dari apa yang saya ketahui, Jeneponto tidak jauh dari Bulukumba—dimana daerah itu terkenal dengan kudanya. Kuda yang saya lihat sepanjang jalan sedikit lebih besar dari kuda Sumba.
Kami tidak lama ke Jeneponto, karena kami harus berbelok menuju Biringbulu, yang merupakan bagian dari Kabupaten Gowa. Sebuah distrik yang sebenarnya lebih dekat dengan Jeneponto ketimbang Sungguminasa, yang merupakan pusat Gowa.
Setelah menikmati jalan aspal yang begitu panjang, kamipun melewati jalan berbatu. Dengan sepeda motor kami harus merasakan jalan batu berliku. Tujuan kami adalah Biringbulu, tepatnya desa Parangloe. Setelah menyebrangi sungai dengan sebuah jembatan baru, kami harus berjalan menanjak dan akhirnya menemukan sebuah desa yang sudah masuk kabupaten Gowa, tapi bukan Parangloe namun desa Taring.
Jalan desa masih berbatu dan menanjak. Bentuk rumah penduduk masih berupa rumah Makassar. Seperti umumnya petani Indonesia, para petani disini hidup sederhana jika melihat rumah mereka. Penduduk desa umumnya adalah petani Jagung. Hampir di tiap rumah di desa Taring, saya melihat ada kuda. Setidaknya satu ekor tiap rumah.
Selepas desa Taring, kami berpisah jalan. Dua kawan, Irfan dan Muhtang, harus menuju desa Tonrorita, yang letaknya jauh dari desa Parangloe. Tidak lama setelah berpisah dengan dua kawan tadi, saya dan Acil menemukan lagi jalan aspal—sebelum akhirnya tiba di Parangloe.
Rumah yang pertama yang kami tuju adalah rumah kepala desa. Kepala desa tidak dirumah awalnya, namun datang juga tidak lama kemudian—karena waktu Shalat Jum’at hampir tiba. Setelah berbincang dan menyampaikan keinginan kami yang akan melakukan survey, dan mendapat restu dari kepala desa, kami pun pergi Shalat Jum’at. Kepala desa Parangloe adalah mantan prajurit Infanteri Wirabuana—yang pernah dikirim ke Timor Leste. Sosoknya cukup ramah dan santai.
Selesai shalat Jum’at kami pun dijamu makan siang di rumah kepala desa. Kami disuguhi ikan, yang memang menjadi makanan paling digemari orang Bugis dan Makassar sehari-hari. Sorenya, kami berkelana mencari data penduduk desa. Kami menemukan data penduduk di rumah seorang guru muda bernama Siradjudin—yang merupakan koordinator tim sensus di desa.
Karena hari menjelang senja, kami pun diajak menginap dan makan dirumah Daeng Siradjudin. Kami pun menerima tawaran itu dengan senang hati. Aci begitu sibuk dengan data-data desa. Saya pun mengobrol sedikit dengan daeng Siradjudin tentang desanya, termasuk soal jagung, kuda dan sarana umum yang harus disediakan pemerintah pada desa ini. Petani di desa ini umumnya menanam jagung dan kapas.
Acil harus mengunjungi rumah ke rumah, saya pun ikut. Pemandangan desa cukup menarik di malam hari. Melihat bintang dari Parangloe sangat baik karena jarang ada sinar lampu desa ini. Hingga bintang-bintang itu menghampar seperti pasir. Dimana banyak penduduk berbahasa Makassar yang kami tidak paham. Aci, yang Bugis dari Palopo, tidak paham bahasa Makassar. Kami menggunakan bahasa Indonesia jika berbicara pada siapa saja.
Karena ingin mengenal karakter penduduknya, saya menyempatkan berbincang dengan beberapa penduduk dimuka rumah yang sedang mengadakan pesta. Mereka kadang berbicara dalam bahasa Makassar dengan sesamanya, namun saya sama sekali tidak merasa diacuhkan. Saya justru senang mereka bicara dengan bahasa daerahnya. Walau saya tidak mengerti dan peduli dengan apa yang mereka bicarakan. Selama berbincang, saya merasakan keramahan mereka.
Saya juga mengobrol dengan seorang guru sekolah dasar yang belum diangkat PNS. Sepertinya dia sangat senang menjadi guru, namun tidak banyak yang diberi pemerintah padanya. Karena hampir malam, kami kembali kerumah daeng Siradjudin. Dimana kami harus istirahat karena esok hari Acil harus mewawancarai responden.
Sampai rumah daeng Siradjudin, kami melihat ada keributan di sebuah pesta—yang diadakan tidak jauh dari rumah daeang Siradjudin. Dimana beberapa orang dengan membawa badik (pisau kecil khas Makassar) mengamuk dan dipihaknya seseorang telah membawa parang. Tujuan amukan orang itu adalah pada seseorang yang menyakiti salah seorang anggota keluarganya yang terluka kepalanya hingga banyak keluar darah diawal keributan itu. Sasaran amukan tentu saja dilindungi keluarganya agar tidak terluka. Sementara para tetangga hanya bisa melerai sekedar menghindari korban lagi.
Sebuah hal wajar bagi orang Makassar, Sirri’ atau kehormatan harus ditegakan. Saya pun tidak terlalu kaget dengan hal semacam itu, meski saya benci kekerasan sebenarnya. Tidak lama setelah keributan terjadi, kami pun tidur. Sampai esok harinya keributan harus diredam kepala desa.
12 Juni 2010
WC adalah tempat paling langka di Parangloe. Orang biasa buang hajat di sungai. Karena populasi penduduk yang tidak banyak, serta air sungai yang terus mengalir jernih, MCK bukan menjadi masalah penting bagi Parangloe. Tentu saja kami mandi pagi di sungai. Setelah sarapan, kami pergi mencari responden hingga siang hari. Tidak terlalu sulit, bahkan cukup menyenangkan. Akhirnya kami selesai siang itu juga. Setelah makan siang, Aci melengkapi berkas, kamipun pamit dan hanya bisa berucap terimakasih atas segala bantuan dan keramahannya pada keluarga daeng Siradjudin dan Kepala desa tentunya.
Kami meninggalkan Parangloe, kami menuju desa Tonrorita. Dalam perjalanan, kami singgah membenahi sepeda motor disebuah bengkel sederhana, sebelum akhirnya terus berjalan menuju desa Tonrorita. Jalan yang kami lalui jauh lebih berat dari sebelumnya. Selain penuh tanjakan curam, jalannya pun hanya berupa batu yang dikeraskan. Ditengah perjalanan, hujan pun turun. Cukup deras. Hingga jalan menjadi licin. Kami sempat berteduh sebentar dibawah pohon. Karena hari sudah sore dan diperkirakan hujan akan terus mengguyur, kami pun memutuskan terus berjalan. Bukan hal tentunya, karena jalan licin.
Setelah berkali-kali bertanya, kami pun menemukan juga jalan aspal lagi sebelum akhirnya sampai di desa Tonrorita. Dimana kami bertemu kembali dengan Irfan yang mensurvey desa itu. Irfan sudah lama selesai ketika kami tiba. Dia sedang duduk-duduk dirumah seorang penduduk ketika kami tiba. Malam sebelumnya Irfan menginap di masjid. Di desa ini, Aci harus mengganti ban dalam motornya. Tidak lama Muhtang pun datang dari surveynya di desa Batumalonro. Karena hampir malam kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan esok hari, kembali ke Makassar dan melaporkan hasil survey mereka.
Kami diterima dengan ramah oleh Pak Djummang, tempat Irfan duduk-duduk tadi. Kami pun duduk-duduk dan mengobrol. Pak Djummang tidak terlalu bisa berbahasa Indonesia. Namun bukan masalah besar. Saya jadi sedikit belajar bahasa Makassar, tentu saja saya kesulitan. Pak Djummang adalah petani jagung sederhana. Saya cukup salut dengan kesederhanaannya. Di rumahnya kami disuguhi makanan untuk menahan hawa dingin. Setelah makan kami berbincang dengan Pak Djummang. Tentu hanya membicarakan hal sederhana saja. Tidak lama saya pun memutuskan tidur di kasur yang disediakan istri Pak Djummang yang tidak kalah baiknya. Kami disediakan selimut karena malam sangat dingin.
13 Juni 2010
Pagi ini, saya harus bersiap lagi. Mengemasi barang di ransel lagi, lalu duduk-duduk dan mengobrol santai dengan Pak Djummang dengan bahasa campuran antara Makassar dan Indonesia. Tidak lama kemudian, kami lalu sarapan pagi dengan nikmatnya. Setelah sarapan, kami pun pamit pada Pak Djummang dan mengucapkan terimakasih atas keramahannya.
Setelah isi bensin, sepeda motor kamipun berangkat. Lagi-lagi menyusuri jalan desa yang sempit dan naik-turun. Namun kami tidak menemukan jalan batu, hanya jalan aspal saja. Jalan berkelok-kelok, membuat kami harus berhati-hati.
Pagi ini masih dingin. Masih banyak pucuk gunung masih tertutup kabut. Pemandangan sepanjang perjalanan begitu indah. Tentu saja kami berfoto dengan latar pucuk pegunungan tertutup kabut. Lalu melewati hutan pinus yang rindang, tentu saja berfoto. Akhirnya kami pun memasuki daerah hutan Suaka Margasatwa Komara. Tidak ada hewan satu pun terlihat dipinggir jalan. Kami sempat singgah disitu, dekat sungai kecil yang airnya jernih. Pemandangannya cukup bagus. Lagi-lagi berfoto.
Sekitar seperempat jam berhenti dan menikmati alam yang sejuk kami pun berjalan lagi. Hingga akhirnya kami menemukan bendungan Bili-bili. Dan Makassar semakin dekat. Jalan raya di sekitar bendungan tidak cukup baik dengan lubang-lubangnya, yang di musim hujan menjadi masalah.
Setelah dua jam perjalanan dari rumah Pak Djummang, kami pun samapai juga di Sungguminasa, Gowa. Dimana kami melewati Istana Balalompoa yang megah. Istana kebanggaan raja Gowa ini terbuat dari kayu dan tampak kurang terawat. Sultan Hasanudin si Ayam Jantan dari Timur itu, pernah bertahta di istana ini. Sejak melewati Gowa dua hari sebelumnya, pikiran saya selalu melayang pada sosok Sultan pemberani itu.
*****
Banyak hal yang saya pelajari dari perjalanan bersama tiga kawan dari Unhas. Perjalanan saya ke Gowa, sedikit mencari jawaban, mengapa Gowa-Tallo (Makassar) bisa menjadi kerajaan besar dan berkuasa di Sulawesi Selatan diabad XVII?
Wilayah Gowa yang luas dan pertaniannya cukup maju, dan posisi Makassar yang memiliki laut dan pelabuhan, membuat Makassar kuat dalam perniagaan dan kelautan. Hal ini memungkinkan Gowa memiliki senjata-senjata modern yang belum tentu dimiliki kerajaan lain disekitarnya. Populasi kuda di daerah selatan Gowa, juga mempengaruhi kekuatan militer Gowa. Dimasa itu pula Gowa sudah menjadi kerajaan terbuka. Tidak heran jika kerajaan di utara seperti Bone dan lainnya dikuasai. Itu hanya simpulan sementara saja. Masih butuh kajian mendalam lagi, dan juga perjalanan yang lebih panjang lagi. Mungkin lain waktu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar