Sunyi sepi sendiri, gelap tak berbintang.
Sedih sang seniman, merenung diri.
Teringat kasih yang ingkar janji.
Manis seribu rayu, janji tak bertepi.
Tapi apa yang terjadi, semuanya berganti.
Tinggallah seniman sendiri.
Sia-sia semuanya sudah.
Tak berkawan dalam derita.
Tinggallah biola yang setia.
(Seniman dan Biola, AKA)
Lagu diatas cocok ditujukan pada Wage Rudolf Supratman (kita panggil saja Dolf)—yang kita kenal sebagai penggubah lagu Indonesia Raya. Banyak yang percaya, Dolf tutup usia dalam kesendirian. Alias mati jomblo. Meski setidaknya ada dua orang wanita yang pernah mengaku jadi istrinya (entah resmi atau tidak, karena Kantor Urusan Agama tak dianggap bagi dua sejoli yang ingin bersama di jaman Kolonial, Supratman tetap saja sendiri seperti lagu gubahan band pimpinan Ucok Harahap bernama AKA itu. Konon, pernah ada yang jadi istrinya, namun tak lama meninggalkannya karena Dolf miskin. AKA, yang singkatan Apotik Kali Asin itu memang asal Surabaya. Dan Dolf menghembuskan nafas terakhirnya di Surabaya. Kuburannya akan dipinggir jalan ke arah Jembatan Suromadu. Di akhir lagu Seniman dan Biola, terdapat sesi gesekan solo biola yang menyayat. Pikiran saya teringat Dolf mendengarnya. Saya tak tahu pasti, kenapa AKA membuat lagu ini. Namun bagi saya, Dolf Banget!!! Bicara soal derita, Dolf sudah alami sejak lama. Di usianya yang ke-sebelas tahun, 1914, ELS (Europe Lager School: Sekolah dasar 7 tahun bagi anak pembesar pribumi atau Belanda) Makassar menendangnya dari sekolah. Itu bukan karena berkelahi, memakai barang terlarang atau tindak asusila, hanya karena ketahuan dia bukan keturunan Belanda. Dia cuma anak angkat W.M van Eldik, kakak iparnya yang memberinya nama tambahan Rudolf. Dolf tentu sedih. Maklum ELS sekolah elit bergengsi yang belum tentu bisa dimasuki orang pribumi.
Dolf sejatinya anak dari Siti Senen dan Joemeno Senen, seorang Sersan KNIL (Koninklijk Nederlansche Indische Leger: Tentara Kerajaan Hindia Belanda). Lahir tepat hari wage: 19 Maret 1903, Sebagian masa kanak-kanaknya dihabiskan sebagai anak kolong alias anak serdadu bawahan. Dolf mengalami masa jadi anak kolong disekitar Meester Cornelis (Jatinegara), Jakarta. Setelah ibunya meninggal, kakaknya, Rukiyem Supratiyah, dan suaminya van Eldik yang pernah jadi anak angkat orang Belanda dan warganegara Belanda. Di Makassar, van Eldik memiliki sebuah band yang biasa manggung di pesta-pesta penggede di Makassar. Van Eldik pun menghadiahi Dolf sebuah biola warisan. Dan, Dolf kemudian serius bermain musik. Masa-masa beranjak remaja di Makassar, dihabiskan belajar dan bermain musik sepulang sekolah. Dan, kemampuannya sebagai pe,main biola terasah hingga van Eldik menariknya sebagai pemain biola di band yang dipimpinnya. Dolf remaja pun pernah jalani hidupnya sebagai anak band. pemain biola di sebuah band professional yang biasa main di pesta-pesta pembesar Belanda di Makassar.
Tak seperti kebanyakan pemuda, Dolf agak beruntung, dia pernah sekolah di Normaalschool (semacam sekolah lanjutan khusus yang lulusannya bisa menjadi guru). Dolf sempat menjadi pegawai di sebuah firma sebelum akhirnya bosan dan hijrah dari Makassar. Setelah luntang-lantung tak jelas di Surabaya, Dolf tinggal di rumah ayahnya di Cimahi. Akhirnya Dolf jadi wartawan suratkabar Kaoem Moeda di Bandung yang juga berhaluan nasionalis. Awalnya, Dolf yang baru terjun jadi kuli tinta, sempat mundur sebentar karena kurang berpengalaman dan gaji kecil. Dia sempat kembali sebentar menggesek biola untuk band yang sering tampil di Societeit (tempat pesta atau pertemuan orang-orang Eropa) di Bandung. Seorang tokoh penting pers Indonesia, Parada Harahap yang pernah memimpin suratkabar Bintang Hindia, lalu menariknya jadi wartawan lagi di Kantor Berita Alpena (Algemene Pers en Nieuw Agentschap) di Betawi (Jakarta). Nasib kantor berita ini singkat, hanya setahun. Dolf pun tak punya kerjaan tetap. Dia hanya jadi wartawan lepas di Sin Po. Selama di Jakarta, Dolf terpengaruh oleh Sukarno dan juga A. Rivai yang terkenal sebagai jurnalis yang juga seorang dokter. Hingga dia pun masuk dunia pergerakan. Sebagai pemuda pribumi yang berpenghasilan sangat rendah yang tak diurus perutnya oleh Pemerintah Kolonial; pernah ditendang dari ELS Makassar karena bukan anak Belanda; dan pernah dipukuli tiga orang Belanda yang menghinanya: “Inlander Busuk!!”, maka tak ada lagi alasan untuk tidak melawan kolonialisme Belanda di Indonesia. Masuk gelanggang pergerakan nasional untuk melawan pemerintah kolonial Belanda alias penjajah adalah jalan suci bagi Dolf. Jalan yang dipilih Dolf tak mudah. Masuk pergerakan, berarti siap miskin, jadi incaran PID (Politieke Intelingent Dienst: polisi rahasia Belanda yang mengurusi masalah politik), bahkan masuk penjara. Kebetulan, Dolf masuk pergerakan di kala pemerintah kolonial mulai bersikap sangat keras kepada kaum pergerakan.
Meski tak lagi jadi anak band, Dolf tak meninggalkan musik sama sekali. Apalagi setelah majalah Timboel, menyerukan kebutuhan lagu kebangsaan. Dolf pun akhirnya menulis Indonesia Raya, yang menurut beberapa ahli terpengaruh lagu Belanda: Pinda-Pinda. Toch terpengaruh adalah hal yang lumrah. Tetap saja Indonesia Raya, yang terdiri dari beberapa stanza itu, jadi lagu kebangsaan Indonesia Raya. Meski dianggap berbahaya oleh PID karena liriknya mengajak orang percaya ada sebuah bangsa besar bernama Indonesia, lagu ini nekadi dimainkan dengan biola tanpa lirik di Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928 di Jakarta. Indonesia Raya, yang membahayakan pemerintah kolonial itu, adalah jawaban sekalgus perlawanan atas nasib Dolf sial sebagai pribumi yang harus miskin, tak boleh masuk sekolah ELS, digebuki dan dikatai: Inlander busuk di tanah airnya sendiri. Penghinaan memang bisa dilawan dengan banyak jalan, yang berujung pada kemerdekaan dan kemulian. Dolf melakukannya melalui membuat lagu. Dolf ternyata juga menulis novel: Darah Muda, Kaum Fanatik dan Perawan Desa. Novel terakhir yang saya tulis, sebenarnya adalah novel pertama yang membuat berang PID. Novel itu berbersinggungan dengan nasib buruk perempuan Indonesia yang dijebak menjadi perempuan dikawin tapi tak dinikah oleh laki-laki Belanda alias Nyai. Novel yang dirilis 1929 ini, gagal rilis karena dia kemudian dauber-uber PID. Pembalasan pada kolonialis dan perjuangan untuk jadi orang merdeka belum selesai, sambil jadi wartawan di Koran kuning (yang biasa dan banyak memuat berita kriminal), Dolf terus menulis lagu pencerahan kebangsaan Indonesia. Dolf melakukannya meski sakit-sakitan dan miskin. Karena sakit paru-paru, 1934, dirinya pernah tinggal di Cimahi tempat ayahnya. Pemesan lagu sering datang kesana. Karena terus diintai PID, Dolf ke Surabaya tempat kakaknya, Rukiyem. Membuat lagu perjuangan tetap berlanjut. Sampai dua orang PID menjemput paksa Dolf dari studio NIROM Surabaya, 10 hari setelahnya, Dolf meninggal. Dolf yang mati muda, mati dalam keadaan miskin, jomblo dan jadi musuh pemerintah. Lengkap sudah deritanya, kecuali mati muda. Tak ada satu wanita pun menemaninya ketika ajal menjemput. Jika pun ada sosok wanita yang dekat dalam hidupnya, itu pasti ibu atau saudara perempuannya. Mungkin, biola warisan dari van Eldik akan lebih setia ketimbang wanita. Seperti lagunya AKA, “tak berkawan dalam derita, hanyalah biola yang setia.”
Jejak derita Dolf dan juga usahanya agar sumber deritanya hancur atau deritanya tak terulang lagi pada yang lain, bisa kita lihat dalam Majalah Detik edisi edisi khusus kemerdekaan 19-25 Agustus 2013 no 90 atau sumber-sumber lain entah berupa biografi atau bahkan buku pelajaran sejarah.