Meski menyimpan sisi kelam, Kemaro tetap Pulau yang teduh. Tanpa harus "lupa" atas pembantaian 1966, biarkan semuanya damai.
Pagi 30 Juli 2011, saya masih orang baru di kota Palembang. Sangat penting bagi saya untuk mempelajari sejarah kota Palembang. Bersama Daniel, Ansor, Reza, murid-murid saya, maka saya sempatkan diri mengunjungi tempat-tempat bersejarah di kota Palembang. Pertama menyusuri Jembatan Ampera dengan berjalan kaki. Awalnya, Daniel sempat protes. Kenapa kami harus turun angkot sebelum jembatan? Begitu ambil gambar jembatan Ampera dan berjalan perlahan, Daniel pun paham perlunya jalan kaki susuri jembatan. Entah bagaimana Daniel memaknainya? Daniel bisa menikmati belajar sejarah sambil jalan-jalan. Tentu saja dia ambil foto dirinya di jembatan itu.
Kami berempat lalu ke Museum Sultan Mahmud Badarudin.Tidak terlalu mahal tarif masuknya. Menikmati artefak kebudayaan Sumatra Selatan--khususnya Palembang. Ini pertama kalinya saya masuk Museum di Palembang. Museum terbilang ramai, meski tak seramai candi Borobudur. Hampir satu jam kami di dalam Museum. Sebenarnya, Museum ini cukup bisa dibanggakan. Setelahnya, saya sering mengunjungi Museum ini. Bersama murid-murid yang lain jika libur sekolah.
Dari Museum kami menuju Benteng Kuto Besak yang hanya bersebelahan dengan di batasi jalan saja dari Museum Sultan Mahmud Badarudin. Kami hanya berjalan kaki saja. Seperti biasa sambil berbincang-bincang dan bersenda-gurau saja. Kami berencana masuk tapi kami harus kecewa. Ternyata, kami tak bisa masuk. Benteng Kuto Besak yang seharusnya bisa menjadi situs cagar budaya yang bisa diakses warga kota dan siapa saja, harus menjadi tempat tertutup. Ini pemerkosaan terhadap ilmu pengetauan dan kebudayaan. Kenapa para pejabat berwenang atas situs itu, sampai tahun 2012, masih belum jadikan tempat itu situs bersejarah yang bisa diakses semua orang. Siapa yang tidak berbudaya sekarang?
Tak lama kami kecewa. Setelah ambil foto, Reza, Daniel dan Ansor kasih saran ke saya untuk ke Pulau Kemaro. Mereka seperti bocah yang ingin tunjukan pulau harta karun pada bajak laut macam saya. Saya iyakan saja ajakan mereka. Kami harus susuri Sungai Musi, kira-kira 6 kilometer.Melewati Psar 16, Pelabuhan Boom Baru, Komplek Pupuk Sriwijaya.Sepanjang jalan, bisa disimpulkan Palembang jelas kota niaga yang mengandalkan ssungai sedari dulu. Dan masihberlangsung hingga sekarang.
Bukan hal mudah buat saya. Saya tidak bisa berenang. Alasan klise yang bikin saya ogah masuk Akademi Angkatan Laut. Saya tidak mau semboyan AL yang semula di laut kita jaya menjadi di laut kita tenggelam. Sepanjang perjalanan jantung saya naik turun. Perahu bermesin yang disebut ketek,kami tumpangi, selalu goyang kanan dan goyang kiri. Entah kenapa orang Palembang menyebutnya ketek? Jantung merasa hampir copot dan keringat dingin tiap ada gelombang menghantam ketek kami. Tapi syukur kami selamat.
Akhirnya kami sampai juga. Bocah-bocah SMA itu pun sumringah tunjukan pemandangan Pulau Kemaro. Mungkin dalam imajinasi mereka itu pulau seperti kota yang hilang. Di pulau ini ada kelenteng Hok Cing Rio. Dimana bangunan megah mirip Pagoda berdiri megah. Murid saya di kelas selalu bercerita tentang legenda pulau ini. Tentang turunan putri Tiongkok yang bernasib naas di jaman Musi dipenuhi bajak laut. Ketika hari makin siang kami putuskan kembali ke kota. Naik ketek lagi. Sport jantung lagi. Tak banyak yang saya tangkap dari Pulau Kemaro saat itu. Hanya Klentang, legenda putri Tiongkok dan sport jantung saja. Itu pengalaman pertama susuri Musi.
Sekitar November 2011, saya kunjungi lagi pulau itu. Kali dengan rombongan yaang lebih banyak. Ada Pak Nanang Adi Prayitno, Bu Uthe alias Ukhti Ciptawati, Bu Sally Kharisma Putri, Bu Indriyaningsih, Bu Hesti, Bu Karen, enam murid dari Australia, juga murid-murid saya yang lain. Saya agak lupa siapa saja murid saya yang ikut waktu itu, tapi ada Fikri, Atira dan Area. Saya tidak terlalu sport jantung saat itu. Ukuran kapal lebih besar dan tahan gelombang. Kami lebih ramai dan penuh tawa. Menyusuri Musi jelas menyenangkan sebenarnya. Kita bisa membayangkan bajak-laut bajak-laut di masa lalu bersemayam di sekitar sungai Musi. Bisa dibayangkan betapa amannya Palembang yang letaknya tidak persis di tepi laut. Pengalaman susuri Musi bisa dilakukan dengan menumpang jet foil ke Bangka. Saya pernah melakukannya lagi bersama Bu Sally, Bu Erma Retnowati (Kepala Sekolah) kami dan Bu Indri.
Akhir Mei 2012, saya kunjungi Pulau Kemaro lagi. Kali bersama Azizi, Nabilla dan Ansor. Ini kedua kalinya bersama Ansor. Kami banyak ambil foto. Ini masa terakhir jalan-jalan di SMA bagi Azizi dan Ansor yang akan pergi kuliah taun depannya. Kami sempat ambil gambar Pagoda, Klenteng, dermaga dan sungai Musi. Tapi, saya kaget, kenapa banyak foto Nabilla yang diambil Azisi. Saya dan Ansor seperti mengantar orang pacaran saja. Maklum Azizi dan Nabilla baru jadian. Dasar anak SMA. Ya sudahlah. Kami tetap ingin kunjungi pulau itu lagi dalam kesempatan yang lebih baik.
8 Oktober 2012, Saya terkejut ketika membaca Tempo edisi Algojo (7 Oktober 2012). Saya tidak lagi di Palembang. Saya terkejut membaca salah satu artikel. Pulau Kemaro pernah menjadi ladang pembantaian. Sungai yang saya potret bersama Ansor adalah tempat pembuangan mayat-mayat korban pembantaian orang-orang yang dituduh komunis. Saya tak pernah punya kesan jika pulau ini dulunya ladang pembantaian. Kami pun tak temukan bekas kamp tahanan politik 1966 bagi orang-orang yang dituduh komunis. Dimana hanya karena komunis mereka dituduh tak bertuhan. Tuduhan MUI Sumatra Selatan yang mengatakan komunis itu atheis juga tak bisa dibenarkan.
Muchtar Effendi salah satu tokoh sosial di Palembang pernah punya pengalaman pahit di Pulau ini hanya lantaran dia dituduh komunis. Dia tidak sendiri. Banyak yang lebih malang lagi. Ada yang disiksa sampai mati. Pernah ada penyusutan dalam tiga malam, ratusan orang dihabisi hingga tinggal 17 orang. Mungkin Muchtar Effenddi termasuk di dalamnya. Kemaro mungkin indah bagi orang-orang masa kini, tapi mimpi buruk yang pahit bagi Muchtar Effendi. Muchtar Effendi mengisahkannya dalam sebuah buku, Perjuangan Mencari Ridho Tuhan: Catatan Tiga Zaman dari Balik Terali Penjara Rezim Tirani Suharto.
Saya paham kenapa Pulau ini dijadikan tempat wisata yang dipenuhi mitos yang terkait dengan Tionghoa. Di satu sisi sangat baik dan perlu bagi orang-orang Tionghoa yang ingin beribadah. Di sisi lain menjadikannya tempat wisata bisa membuat para algojo tingkat atas untuk "cuci tangan" atas pembantaian ratusan orang yang dituduh komunis. Cerita perjalanan saya pun jadi kelam di pulau yang sebenarnya indah. Seketika jadi rusak dalam benak saya karena rezim membuat tempat itu jadi kamp pembantaian. Mengerikan sekali berbagi cerita kejam itu. Tapi tak membaginya pada murid-murid saya jelas dosa besar buat saya. Maaf Anak-anak :(
Penguasa memang jago membuat orang "lupa" soal kekejaman mereka. Meski sulit terima kenyataan suram itu, tetap saja kami harus berpikir bagaimana tak ada kamp penyiksaan lagi di masa depan. Suatu hari, kami harus mengunjunginya lagi. Setidaknya sekedar mengingatkan pada siapa saja agar tak ada lagi kamp penyiksaan lagi. Tetap saja saya berterimakasih pada Ansor, Daniel dan Reza yang pertama kali mengantar saya pertama kali ke pulau itu, agar saya selalu ingat untuk melawan "lupa." Mari buat semua lebih baik Boy ;)