"Sejarah akan bicara dari mulut anak-anaknya. Sejarah ada karena manusia ada. Hingga akhir dunia sejarah akan tetap ada."
Rabu, Juni 30, 2010
Enrekang-Tana Toraja, Negeri Diawan
Menginjak Tana Toraja membuat saya bernyanyi sebuah lagu yang populer waktu saya kecil. Negeri Diawan judulnya. Yang video klipnya sangat bagus sekali.
Naar de Tana Toraja
Saya terbangun ketika bus malam yang saya tumpangi sudah mencapai Enrekang. Artinya, dari Makassar saya sudah melewati Maros, Pangkajane Kepulauan, Barru, Pare-pare dan Sidrap. Saya teringat, pemandangan di jalan-jalan menuju Tana Toraja begitu indah. Saya pun tidak bisa memejamkan mata lagi. Hari masih subuh, namun pelan-pelan pemandangan indah mulai terlihat.
Pelan-pelan, hari mulai terang. Barisan pegunungan yang berselimut kabut begitu indah di daerah Enrekang. Jalan menuju Tana Toraja dari Enrekang terus menanjak. Serasa bus akan mendekati awan.
Setelah melewati kota Enrekang yang begitu kecil, bus terus berjalan menanjak lagi mengitari lereng-lereng gunung. Di seberang gunung, masih ada gunung lagi yang lebih tinggi dengan dengan hanya dibatasi sebuah jurang yang cukup jalan. Sekitar 59 KM dari Enrekang, bus akhirnya melewati perbatasan Toraja-Enrekang. Di perbatasan itu terdapat sebuah gerbang tak berpintu dengan dilengakapi beberapa ruangan sebagai pos.
Ketika pagi datang, Tana Toraja masih menyisakan kabutnya. Meski hari sudah terang, beberapa pucuk gunung masih diselimuti kabut. Bukan hal buruk. Namun sebaliknya, disinilah daya tariknya Tana Toraja yang berada di dataran tinggi Sulawesi Selatan.
Pemandangan khas dari Tana Toraja adalah bentuk rumahnya yang agak mirip dengan suku Batak. Menyerupai bentuk tanduk. Bangunan unik khas toraja itu, yang saya lihat kali ini lebih kecil. Sebuah bangunan yang sebenarnya berfungsi sebagai lumbung. Bangunan yang lebih besarlah yang dimanfaatkan sebagai rumah untuk ditinggali sebuah keluarga.
Orang-orang Toraja masih mempertahankan kebudayaan lamanya. Yaqng tentunya sangat berbeda dengan suku Bugis atau Makassar yang terpengaruh Islam. Menurut Yamin Buan, kawan saya yang asli Toraja yang sekarang tinggal di Makassar, agama asli orang Toraja adalah semacam Animisme. Agama yang sekarang berkambang disana masuknya belakangan. Dibeberapa wilayah bahkan baru dianggap beragama ala pemerintah ketika zaman orde baru.
Sebuah pemberontakan terbesar di Sulawesi Selatan, yang mengatasnamakan sebuah agama dominan, konon agak memaksakan masuknya sebuah agama yang dianut pemberontak. Anda yang pernah baca buku sejarah Indonesia pasti bisa menebak agama apa itu, saya enggan sebut merek.
Orang-orang Toraja yang saya lihat adalah orang dengan kulit bersih karena alam mereka yang sejuk. Mereka biasa menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Toraja sebagai bahasa ibu. Meraka salah satu masyarakat agraris dengan lahan pertanian yang subur.
Mereka tergolong sebagai masyarakat yang hidup modern, namun masih menjalankan tradisi lama, seperti pemakaman ala Toraja yang menghabiskan banyak dana. Mempertahankan penguburan orang yang sudah meninggal di bukit berbatu.
Beberapa hari sebelum saya injakan kaki di tanah Toraja, Tana Toraja, terutama di Makale—pusat pemerintahan Kabupaten Tana Toraja—begitu mencekam. Sekelompok masssa yang menolak hasil PEMILUKADA menyerang kantor KPUD Tana Toraja. Kotak suara hasil pilihan rakyat pun dibakar dan menuntut pemilihan ulang. Ketika saya melewati kantor KPUD, kantor itu masih diberi segel oleh polisi.
Selain Makale di Kabupaten Tana Toraja, di kabupaten Toraja Utara yang baru dimekarkan terdapat Rantepao. Keduanya adalah pusat kabupaten. Jarak dua daerah itu sebenarnya berdekatan. Hanya butuh waktu 15 menit dengan berkendaraan mobil. Keduanya adalah kota kecil yang cukup teratur. Makale tidak sedatar Rantepao.
Upacara Kematian
Ada beberapa kuburan batu di Tana Toraja dan Toraja Utara. Semuanya memiliki daya tarik. Upacara pemakaman orang Toraja juga memiliki daya tarik bagi pihak luar. Meski sebenarnya berkabung, upacara pemakaman yang besar-besaran itu terkesan seperti pesta.
Dari pengakuan orang-orang Toraja yang saya kenal, pemakaman itu ramai dan harus memotong banyak kerbau karena banyak anggota keluarga jauh datang menghadiri acara pemakaman itu.
Sebagai bentuk penghormatan pada tamu yang datang, yang kebanyakan dari luar daerah karena banyak orang Toraja merantau jauh dari Toraja, diluar Sulawesi Selatan tentunya. Dan perjalanan menuju Tanah Toraja tentu saja menguras banyak tenaga, maka menghidangkan makanan dalam jumlah besar menjdi keharusan. Tidak hanya bagi sanak keluarga yang dtang dari jauh saja, tapi juga semua yang hadir dalam acara. Itulah jawaban orang-orang Toraja atas betapa mahal dan ramainya upacara kematian keluarga mereka yang telah pergi.
Dalam upacara kematian biasanya dipotong beberap ekor kerbau. Padahal harga kerbau di Toraja cukup tinggi. Maklum, postur kerbau Toraja cukup besar dan nampak sehat. Kerbau Toraja umumnya berbulu. Dan kerbau Toraja adalah harta penting petani Toraja. Sebelum dipotong, kerbau diadu terlebih dahulu. Adu kerbau tentu menjadi tontotan yang mengasyikan bagi banyak orang. Cara penyebelihan kerbau pun dengan mengikuti tradisi lama.
Kadang, upacara penguburan menjadi agenda yang ditunggu-tunggu banyak wisatawan dari luar Tana Toraja. Paling ramai adalah ketika musim libur, dimana banyak anggota keluarga bisa berkumpul lebih banyak.
Menikmati Kota Kecil
Sebenarnya, Tana Toraja cukup menyenangkan. Alam dan kultur masyarakatnya yang masih asli cukup menyenangkan. Karena saya juga penasaran pada daerah lain di Tana Toraja, maka saya tidak bisa berlama-lama di Tana Toraja. Saya harus menuju Enrekang, yang subuh tadi saya lewati. Penginapan di Enrekang jauh lebih murah daripada di Tana Toraja. Jika ingin berhemat, untuk menginap ketika mengunjungi Tana Toraja dalam waktu yang singkat, sebaiknya menginap di Enrekang. Apalagi jaraknya tidak terlalu jauh, hanya sekitar 59 KM.
Daerah ini memiliki pesona alam yang tidak kalah indahnya dengan Tana Toraja. Enrekang memiliki Gunung Latimojong, yang merupakan Gunung tertinggi di Sulawesi Selatan. Enrekang juga punya gnung eksotik yang dikenal orang sebagai Gunung Nona, karena bentuknya yang menyerupai payudara wanita. Gunung ini dapat dilihat dalam perjalanan dari Enrekang ke Tana Toraja.
Enrekang dan Tana Toraja memiliki kultur masyarakat yang berbeda. Toraja adalah suku tersendiri di Sulawesi Selatan selain Makassar dan Bugis. Seperti ditulis Pelras. Sementara Enrekang, meski dianggap sebagai bagian dari suku Bugis, lebih merasa sebagai bagian dari Mesenrempulu. Sebuah komunitas yang memiliki perbedaan bahasa dengan Bugis.
Sebenarnya ingin mencari tahu sejarah Enrekang. Tapi sulit mencari jejaknya. Kecuali sebuah monumen perjuangan laskar Harimau Indonesia dan BPRI di jalan poros. Sebuah saksi bisu perjuangan dua laskar penting di Sulawesi Selatan. BPRI (Badan Pemberontak Republik Indonesia) terdapat ditempat lain di Indonesia. Dimana Soetomo alias Bung Tomo, tokoh penting 10 November 1945 adalah pimpinannya. Sementara Harimau Indonesia, hanya ada di Sulawesi Selatan. Walter Manginsidi pernah terlibat dalam laskar ini dalam menghadapi tentara Belanda. Selain monumen tadi, saya hanya ingat jika pasukan pemberontak pimpinan Kahar Muzakar pernah bergerilya melawan TNI di pegunungan Enrekang.
Perjalanan panjang dari Makassar Tana Toraja tentu melelahkan. Sekarang waktunya istirahat. Sambil menikmati dua tanah yang saya sebut saja Negeri di Awan, karena kabut begitu rajin datang kemari.
Senin, Juni 28, 2010
Ziarah Minggu Pagi
Sekian lama di Makassar, saya lebih sibuk kunjungi kota diluar Makassar. Hari inilah saya bisa menyusuri sedikit situs sejarah Makassar dan Gowa.
Hari minggu lagi. Bangun pagi lagi. Kali ini, dengan sepeda motor pinjaman Acil. Dengan badan masih bau, saya meluncur ke Jalan Peristis Kemerdekaan-Urip Sumoharjo-A.P Petarani-Sultan Alaudin-Sultan Hasanudin. Acara pagi ini hanya cuci-mata. Tentu saja ke situs sejarah seperti biasa. Sebuah ritual yang terus saya lakukan sejak kuliah sejarah.
Ada yang kurang dalam perjalanan saya. Mengunjungi makam pemberontak terhebat dalam sejarah Indonesia. Arung Palaka namanya. Saya memasukannya, dan dengan bangga pernah menulis artikel tentangnya dalam buku Pemberontak Tak Selalu Salah: Seratus Pembangkangan di Nusantara.
Saya mengira Arung Palaka dimakamkan di Bone. Ternyata tidak. Di Bone hanya ada keturunan dan penerusnya saja. Beberapa minggu lalu, Andi Irvan Zulfikar menyarankan saya mengunjungi makamnya di Gowa. Dia juga menyarankan saya mengunjungi makam Syech Yusuf—seorang pemuka agama Islam tersohor asal Sulawesi Selatan. Mungkin sekarang saatnya.
Ketika mencapai perbatasan Makasar-Gowa, saya mulai menurunkan kecepatan motor. Saya mencari jalan masuk ke makam Arung Palaka. Saya tidak menemukan plang tulisan Makam Arung Palaka, padahal saya melihatnya tiga hari yang lalu ketika kembali dari Selayar.
Maksud hati saya semula adalah menuju Makam Arung Palaka, namun yang saya temukan justeru makam Sultan Hasanudin. Tanpa pikir panjang, saya ikuti juga plang itu dan berbelok, menuju Makam Sultan Hasanudin. Setelah bertanya arah makam pada seorang tukang besak, saya temukan juga makamnya. Sebuah bangunan gaya lama dan cukup besar.
Makam Sultan Hasanudin, nampaknya bergaya Eropa. Tentu saja ada plang bertulis Pahlawan Nasional-nya. Sayangnya saya hanya bisa memotret sedikit dari luar saja. Tak apalah, saya tidak bisa berlama-lama di depan makam. Saya kembali pada tujuan semula, makam Arung Palaka. Karena masih agak lupa saya ke Balalompoa, rumah kebesaran kerajaan Makassar di Gowa. Bangunan ini cukup megah dan menjadi symbol kebesaran Gowa dimasa lalu. Hanya sebentar saja di Balalompoa, yang masih dalam perbaikan. Hanya memotret dari jauh saja.
Saya pun kembali mencari makam Arung Palaka lagi. Saya kembali ke jalan yang saya lewati sebelumnya dan mengamati plang-plang dipinggir jalan raya yag saya lewati. Akhirnya saya menemukan gerbang bertulis Makam Arung Palaka. Saya pun girang dan langsung menuju makam.
Jalanan menuju Makam Arung Palaka tidak sebagus jalanan ke Makam Sultan Hasanudin. Namun makam Arung Palaka lebih mudah dijangkau dengan berjalan kaki dari jalan raya.
Seperti halnya Makam Sultan Hasanudin, Makam Arung Palaka juga bergaya Barat juga. Terbuat dari batu dan berwarna putih. Makamnya cukup megah dari luar meski agak berlumut, seperti bangunan tua lainnya. Meski dimakan usia, baik makam Sultan Hasanudin maupun Arung Palaka sama-sama masih tampak kokoh.
Rupanya makam Arung Palaka sedang terkunci, maka saya hanya memotret dari luar saja. Meski saya tahu Arung Palaka bukan komunis maupun Sosialis, namun karena perjuangannya juga melawan penindasan maka saya menyanyikan dalam hati lagu Internasionale yang legendaris itu. Sebagai bentuk penghormatan saya atas pejang kemanusiaan yang berani berontak melawan penindasan.
"Bangkitlah kaum yang tertindas. Bangkitlah kaum yang lapar. Cita mulia dalam perjuangan. Senantiasa bertambah besar. Pikirkan adat paham lama, kita masa rakyat yang sadar. Dunia telah berganti rupa, untuk kemenangan kita. Perjuangan Penghabisan, bangkitlah melawan. Internasionale pasti jaya di dunia.Perjuangan Penghabisan, bangkitlah melawan. Internasionalepasti jaya di dunia."
Ini adalah lagu pemberontakan rakyat tertindas di seluruh dunia. Namun Arung Palaka dan pembebas lain dunia banyak yang berjuang sebelum lagu ini ada. Setelah itu saya pergi dengan bangga karena pernah berkunjung ke makam Arung Palaka.
Selanjutnya saya memacu kendaraan saya ke arah Benteng Sombaopu. Benteng terpenting milik Kerajaan Makassar melawan VOC dan sekutunya. Hanya sekitar 30 ment saja dari Makam Sultan Hasanudin dan Makam Arung Palaka. Benteng ini cukup besar dan menjadi pusat perekonomian di Sulawesi Selatan abad XVII. Dimana beberapa perwakilan asing seperti Portugis, Denmark, China dan Belanda pernah berkantor di sekitar benteng.
Di komplek situs sejarah benteng Sombaopu, terdapat museum Kareng Patingalong. Sebagai penghormatan pada penguasa Tallo yang begitu peduli pada ilmu pengetahuan. Dia adalah guru dan pelindung Arung Palaka ketika di Gowa, sebelum berontak. Sangat sedikit koleksi museum ini.
Setelah puas memotret saya meninggalkan komplek benteng Sombaopu. Jadi saya sudah menziarahi empat situs sejarah. Mulai dari makam Sultan Hasanudin; Istana Bolalompoa; makam Arung Palaka dan Benteng Sombaopu. Selanjutnya saya meluncur dengan sepeda motor pinjaman ke arah kota Makasar. karena asal jalan, saya tersesat. berkat jurus primitif saya ketika tidak tahu, bertanya, maka saya pun selamat. Seseorang menunjukan pada saya arah jalan raya menuju Makassar. Tidak butuh uang, cukup bermodal senyum saja.
Ternyata saya menyusuri jalan raya yang melewati Trans Studio, sebuah tempat wisata yang cukup besar. Dimana Yusuf Kalla dianggap berjasa dalam pembangunannya. Setelah itu saya ,elewati pantai Losari yang cukup ramai. Maklum hari minggu. Sebenarnya saya ingin ke Fort Roterdam, namun saya tidak tahu persis dimana tempatnya. Maka saya tunda dulu.
Saya pun berjalan ke arah Masjid Al Markaz-yang dibangun mantan Jenderal M Yusuf. Saya pun teringat plang bertulis makam Diponegoro ketika baru sampai di Makassar, tiga minggu sebelumnya. Saya pun mencari plang itu dan menemukannya. Saya ikuti plang itu dan menemukan juga makam Diponegoro. Pemberontak yang tidak diakui oleh kaum nasionalis. Malang sekali.
Bagi saya Pangeran Diponegoro jelas-jelas berontak pada Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Meski bukan hal memalukan, menganggap Diponegoro sebagai Pemberontak karena tujuan dia berontak sangat mulia juga, melawan keserakahan pemerintah kolonial yang sok modern dengan menyerobot tanah makam leluhur Diponegoro dan kemudian membangun rel keretapi diatasnya. Sebuah hal politis untuk mencap semua pemberontak adalah salah. Karena teladan dan kharisma Diponegoro yang besar, maka gelar suci Pangeran DIponegoro sebagai pemberontak hebat di nusantara pun dihilangkan. Dasar Nasionalis picik.
Kampung kelahiran nenek saya adalah kampng yang berdiri pasca Perang Jawa yang dipimpin Diponegoro. Setelah Diponegoro ditawan, maka pengikutnya pun bubar dan membangun banyak kampung di sekitar daerah Temanggung, Bagelen dan lainnya. Jadi riwayat saya maski tersangkut oleh Diponegoro, meski saya bukan turunannya. Mungkn keturunan pengikutnya.
Dengan makam Pangeran Diponegoro, maka sudah lima situs saya ziarahi. Selanjutnya saya kembali lagi ke Tamalanrea, basecamp saya. Untuk menulis lagi tentang perjalanan ini. Dan tentu saja mengembalikan sepeda motornya Acil.
Jika saya hidup di zaman perang Jawa, saya memilih ikut berontak dengan Pangeran Diponegoro. Dan jika saya hidup di zaman orang Bone dikerja-paksakan, maka saya memilih bergabung dengan Arung Palaka, meski saya bukan orang Bugis.
Langganan:
Postingan (Atom)