Inilah buku Sejarah Nasional Indonesia penting tentang Indonesia. Tak terhitung orang yang membacanya.
Ditahun-tahun mengerikan di SMA, antara 2000-2001, saya pernah berdebat dengan guru SMA saya. Hanya soal, usia minimal seorang Seinendan. Guru saya bilang, 12 tahun. Saya berkeras 14 tahun. Kawan-kawan sekelas yang selalu anggap saya gila hanya melongo. Tentu saja saya menangkan debat itu, karena begitulah kata buku sejarah, bukan karena saya pintar tentunya.
Guru sejarah saya itu tidak marah sedikitpun pada murid bebal macam saya. Justru dia perlihatkan saya buku babon sejarah Indonesia yang legendarisitu, Sejarah Nasional Indonesia. Karena pada dasarnya Guru sejarah saya itu baik hati, saya pun dipinjamkan buku itu. Saya membaca buku itu dari jilid satu sampai jilid enam. Butuh waktu sebulan lebih untuk itu. Bukan prestasi hebat. Itu hanya hal paling menyenangkan di Kelas Dua.
Beberapa tahun kemudian saya baca lagi buku itu. Karena tuntutan kuliah. Babon-babon Sejarah Nasional Indonesia yang banyaknya enam jilid ini, jadi buku wajib mata kuliah sejarah Indonesia kuno sampai modern. Babon-babon ini acuan untuk kurikulum pelajaran sejarah di sekolah. Semua buku paket pelajaran sejarah sekolah, entah bikinan penerbit mana pun, selalu mengacu dari sini. Meski sudah puluhan tahun terbit dan berganti cover.
Untuk Mencacinya
Dalam diskusi sejarah di kampus, tidak jarang buku ini juga kami hujat. Buku ini berbau orde baru. Terutama di jilid terakhir. Buku ini juga terkesan Jawasentris juga. Jawa melulu kadang kesannya, karena lebih banyak bicarakan jawa sebagai sentral sejarah Indonesia. Sebagian besar sejarawan yang dilibatkan pun adalah orang-orang Jawa.
Tentu sajabuku ini hanya garis besar sejarah Indonesia. Karena Indonesia itu luas dan punya sejarah panjang. Jelas saja babon-babon ini tidak detail. Itu jelas bisa dimaklumi. Selama penulisannya, buku-buku ini jadi bahan perdebatan. Seorang professor sejarah mundur karena baginya penulisan sejarah nasional belum waktunya, karena basis sejarah local di Indonesia belum mendukung untuk penulisan sejarah Nasioanl. Itu yang saya tangkap.
Pada jilid-jilid terakhir, babon-babon ini terkesan menonjolkan peran militer. Nugroho Notosusanto, seorang sejarawan yang dimiliterkan—yang kemudian jadi menteri pendidikan—ikut serta dalam proyek ini. Pangkat terakhirnya Mayor Jenderal. Bisa jadi dia satu-satunya sejarawan TNI yang menulis, jika Nasution dan Haryo kecik tidak dimasukan hitungan sebagai sejarawan. Dalam penulisan ini peran Nugroho Notosusanto begitu dominan. Hingga sejarah nasional Indonesia pasca kemerdekaan selalu berbau militer. Ini seperti menutupi peran kaum non militer yang juga tidak kalah punya jasa dalam perjuangan Indonesia.
Bagi saya, dengan sinis yang tiada tara, Nugroho adalah Dewa bagi Sejarawan Kacang Ijo yang mandul karena tidak berkarya membuat buku-buku sejarah militer. Tentu saja, babon-babon ini, terutama jilid-jilid terakhir, jadi senjata pamungkas bagi sejarawan Kacang Ijo yang mandul-mandul itu.
Tetap Harus!
Terlepas dari kekurangannya, juga cacian-cacian saya, bagi saya pribadi buku ini tetap penting. Mahasiswa sejarah tentu harus baca. Entah untuk memuji atau mencaci?
Untuk mempelajari Indonesia lebih dalam, buku ini mungkin saja bisa memberi petunjuk untuk mempelajari peristiwa sejarah tententu. Para sejarawan atau beberapa peneliti ilmu-ilmu sosial di Indonesia lainnya yang risetnya terkait dengan sejarah Indonesia, setidaknya pernah membaca buku ini.
Buku ini pasti banyak dimasukan dalam daftar pustaka skripsi, tesis, disertasi maupun tulisan-tulisan sejarah tentang Indonesia. Nyaris semua sarjana sejarah atau sarjana pendidikan sejarah di Indonesia pernah membacanya.
Jika suatu hari jadi guru sejarah, buku ini menjadi buku wajib bagi para siswa. Ini demi menyiasati terciptanya gerakan membaca bagi anak-anak SMA yang terus payah di Indonesia. Metode menghafal, dalam pembelajaran sejarah di sekolah, memusnahkan waktu membaca bagi anak-anak di sekolah. Hingga mereka tidak bisa rasakan nikmatnya membaca.
Membaca sejarah, termasuk membaca babon-babon ini, adalah perlu bagi anak-anak SMA. Harus diakui, soal membaca SMA masa kini payah. Jauh lebih payah daripada zaman kolonial dulu. Dimana murid-murid Algemene Midelsbare School (AMS)—SMA di zaman kolonial—harus membaca setidaknya 30 judul buku. Tentu saja itu bukan buku paket pelajaran yang doyan ganti tiap ada penguasa baru.
Itu bisa buku sains, filsafat, sejarah sastra atau yang lainnya.
Siswa SMA sekarang, lebih banyak ditekankan untuk baca buku paket saja, karena UAN menuntut demikian. Dimana seorang anak dinyatakan sudah belajar kalau sudah mencapai nilai tertentu. Entah kapan lubang neraka bernama UAN yang penuh pembodohan? UAN hanya standart sementara tapi tidak punya implikasi nyata dalam kehidupan nyata yang menuntut lifeskill ketimbang statistik di raport. Karenanya, membaca itu jauh lebih penting daripada UAN.
Membaca buku, termasuk buku babon ini akan membuat siswa menjadi tahu. Tidak perlu menghafalnya hanya membacanya saja sudah cukup. Tentu saja juga membaca buku-buku yang lain. Saya tidak sudi sarankan siswa untuk membaca buku paket pelajaran sekolah.
Jadi, siswa saya nanti wajib baca buku-buku babon Sejarah Nasional Indonesia ini. Mereka juga wajib baca buku-buku lain. Membantah tulisan dan omongan saya boleh, tapi menolak membaca buku yang melimpah, “Sana! silahkan keluar dari kelas saya! Jadi Inlander Forever saja sana!”
Suka tidak suka, buku-buku babon ini terus jadi kawan saya. Hampir selalu saya mengutip darinya. entah buku-buku sejarah maupun artikel sejarah yang saya tulis. Sudah pasti dua skripsi saya. Beruntung, setelah bertahun-tahun hanya melihatnya di perpustakaan, akhirnya dengan uang keringat menulis di tahun 2007 6jilid buku itu saya beli di Balai Pustaka Jakarta.
Sudah pasti saya akan membawanya kemana pun saya mengajar. Dan membaca buku ini dan buku sejarah dunia lainnya adalah titah saya yang tidak bisa dibantah! Akhir kata, kepada Bu Betty yang perkenalkan babon-babon ini pada saya, saya berutang ucapan Terimakasih….
Dedicated to Ibu Betty Guru Ilmu Sosial di SMA Negeri 2 Balikpapan.