Tanah
kering di Blora yang kaya hutan jati itu ternyata memiliki sosok
Mahatma Gandhi yang telah membentuk masyarakat komunalnya seperti
Utopia-nya Thomas Robert More. Sejarah Indonesia telah mencatat perlawanan Samin Surantiko, walau hanya sedikit.
Potret Samin Sang Pencerah dan Pembebas Kaum Kromo
Sebenarnya
orang-orang Samin setelah kematian sang pemimpinnya yang bernama Samin
Surontiko, tidak suka dijuluki Samin. Kata Samin memiliki konotasi
bodoh, tapi bukan kebodohan karena tidak atau kurang cerdas, tetapi
bodoh yang keras kepala dalam mengukuhkan pendirian mereka.
[1] Orang-orang Samin lebih suka dijuluki Wong Sikep (orang yang bertanggungjawab dalam konotasi baik dan jujur).
[2]
Samin
yang awalnya nama seorang pernah melawan kekuasaan dengan cara yang
unik itu, kini menjadi kata juga cemoohan. Kata samin yang menjadi bahan
ejekan bisa jadi bersifat politis. Hal ini diciptkan oleh penguasa yang
telah menghancurkan perlawanan tanpa kekerasan ditambah sebuah ejekan.
Samin yang semula adalah berusaha memanusiakan manusia, telah dijadikan
ejekan yang tidak manusiawi.
[3]
Samin
yang kadang diartikan bodoh ini telah menutupi keharuman nama samin
dalam sejarah perlawanan sosial di Indonesia. Samin adalah sosok gerakan
sosial yang nyaris dilupakan dalam sejarah. Samin bisa disejajarkan
dengan Pitung
Robinhood Betawi yang juga dikecilkan dan nyaris tidak disebut dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
Samin telah meninggalkan masyarakat Samin yang telah dibentuknya lebih dari seabad lalu.
Masyarakat Samin adalah masyarakat eksklusif yang hidup
komunial dibeberapa kabupaten diutara perbatasan Jawa Tengah-Jawa
Timur. Mereka memulai perlawannya dari sebuah protes atas program
perluasan hujan jati oleh pemrintah kolonial dan pendukung pribuminya.
Lama-kelamaan gerakan ini berkembang menjadi gerakan kebatinan yang
menentang segala bentuk formalitas. Seperti administrasi negara dan
lembaga sekolah. Hal menarik dari Samin adalah mereka menolak membayar
pajak.
[4]
Perlawanan Tanpa Kekerasan dan Masyarakat komunal gaya Samin
Mereka
tidak mau membayar pajak kepada pemerintah manapun di zaman
kemunculannya; kepada penguasa lokal pribumi; juga pada pemerintah
kolonial Belanda. Ini juga salah satu ajaran politik Samin Surontiko
yang membuat pemerintah kolonial berang dan menindaknya. Dalam ajaran
Samin ada tradisi lisan:
"Dhék
jaman Landa niku njaluk pajeg boten trima sak legané nggih boten
diwéhi. Bebas boten seneng. Ndandani ratan nggih bebas. Gak gelem wis
dibébaské. Kenék
jaga ya ora nyang. Jaga omahé dhéwé. Nyengkah ing negara telung taun dikenék kerja paksa." (Di
zaman Belanda dulu orang-orang membayar pajak bukan berdasar sukarela,
tetapi atas paksaan (ditentukan besarnya) hingga orang-orang (Samin)
tidak mau membayarnya. Mereka tidak senang. Memperbaiki jalan tidak mau.
Dikenai ronda mereka juga tidak senang; lebih baik menjaga rumah. Bila
berselisih dengan pemerintah mereka akan dikenakan hukuman kerja paksa.)
[5]
Keengganan
orang Samin untuk membayar pajak juga pernah disaksikan oleh sorang
wartawan yang berkunjung ke Rembang. Seorang Samin diperiksa seorang
patih karena tidak mau membayar pajak. Patih bertanya: "Kamu masih
hutang 90 sen kepada negara." Orang Samin itu bilang: " Saya tak hutang
kepada negara." Patih naik darah lalu bicara dengan nada memaksa: "tapi
kamu harus bayar pajak." Orang Samin itu menjawab lagi: "Wong Sikep
(orang Samin) tak kenal pajak." Jawaban tadi terlalu berani menurut
patih. Seorang polisi yang duduk disebelah orang Samin tadi lalu disuruh
menampar muka orang Samin itu. Reaksi orang Samin yang tenang-tenang
saja atas pemukulan itu semakin membuat patih marah. Lebih lanjut sang
patih bertanya lagi: "Apa kamu gila tau pura-pura gila?" Orang Samin
menjawab: "saya tidak gila atau pura-pura gila." Patih lalu bilang lagi:
"Kamu biasanya bayar pajak, kenapa sekarang tidak?" Orang Samin
menjawab sambil balik bertanya: "Dulu itu dulu, sekarang itu sekarang,
kenapa negara tak habis-habisnya minta uang?" Dengan lagak birokratnya
patih bilang: "negara mengeluarkan uang juga untuk penduduk pribumi.
Kalau negara tak mempunyai cukup uang, tak mungkin merawat jalan dengan
baik." Orang Samin berargumen lagi: "Kalau menurut kami keadaan
jalan-jalan itu tidak mengganggu kaki, kami akan membetulkan sendiri."
Patih lalu membentak: "jadi kamu tak mau bayar pajak." Sekali lagi orang
Samin menjawab dengan mantap: "Wong Sikep tak kenal pajak." Berargumen
sepeti orang Samin tadi tentu saja membutuhkan keberanian luar biasa.
Dizaman itu priyayi rendahan masih ditakuti; karena dianggap
perpanjangan tangan dari raja Jawa, kadang tiap katanya kadang harus
diikuti.
[6]
Apa
yang dipegang oleh orang Samin dalam kutipan diatas adalah salah satu
bentuk perlawanan tanpa kekerasan. Ciri pemberontakan Samin memang tanpa
kekerasan. Cara perlawanan mereka yang individual adalah umum. Dunia
luar hanya mengenal Mahatma Gandhi dari India, nama Samin tidak dikenal
sama sekali. Ketika gerakan Samin sedang berkembang, Gandhi sedang di
Afrika Selatan; sebagai pengacara dan masih mencari jati dirinya sebagai
seorang Mahatma (jiwa yang agung). Kesamaan antara Gandhi dengan Samin
adalah perlawanan mereka terhadap kolonialisme kulit putih yang merengut
kemanusian kulit berwarna diluar benua kulit pucat, Eropa. Gandhi
sendiri mengakui bahwa perlawanan tanpa kekerasan bukan hal baru.
Sebelum dia mejalankannya, memang sudah ada
perlawanan tanpa kekerasan, namun tanpa nama.
[7]
Orang-orang
Samin bukan orang berpendidikan Modern. Cara perlawanan mereka kepada
penguasa sangat unik. Ketika mereka diperintah oleh penguasa memindahkan
onggokan batu, mereka hanya memindahkannya satu saja dan membiarkan
batu-batu yang lainnya. Ketika mereka disuruh mengangkat kayu untuk
dipindahkan, mereka akan mengangkat tadi lalu meletakannya ditempat
semula tanpa membawanya kemana-saja. Ketika dimintai cap oleh petugas
pemerintah untuk melengkapi sebuah surat, mereka menjawab: sudah ada
yang mereka harus cap sendiri, yaitu istrinya.
[8]
Orang-orang Samin hidup
secara komunal besama kaumnya. Mirip warga Utopia, sebuah negeri
imajiner dalam buku Thomas Robert More sahabat Desiderius yang kesohor
itu.
Utopia, buku More itu mengilhami kaum komunis dan sosialis yang sebagian besar dicap atheis.
Sebagai "wong deso sing ndeso" Samin tidak nyaris tidak mengenal peradaban barat.
Bagaimana mungkin seorang buta huruf seperti Samin
membacanya. Tidak ada catatan yang menyebutkan Samin pernah berhubungan
dengan dunia pendidikan barat sekuler. Di zamannya ketika muda saja
sekolah sekuler Belanda macam
Hollandsche Inlands School belum tersebar.
Orang-orang
Samin yang layak disebut komunis dengan sistem masyarakat komunalnya,
tidaklah atheis. Mereka bukan Islam mereka menganut agama Adam.
[9] Seperti ungkap Samin dalam tradisi lisan desa Tepalan:
"Agama iku gaman, Adam pangucapé, man gaman lanang."
[10]Maksudnya
adalah Agama Adam adalah senjata. Agama Adam-lah yang mereka imani.
Mereka merasa mereka semuanya adalah budak Tuhan; semua yang terjadi
didunia bagi mereka adalah takdir Tuhan. Manusia adalah utusan Tuhan.
Mereka juga percaya pada pembalasan Tuhan. Samin pernah meyabdakan hal
ini pada pengikutnya:
.........Janjining
manungsa gesang wonten ing dunya punika dados 'utusaning pangeran,'
sageda amewahi asrining jagad, namung Sudarmi nglapahi. Dados
dhumanwahing lalampahan begja tuwin cilaka, bingah tuwin susah, saras
tuwin sakit, sadaya wau sampun ngantos angresula sanget, amergi sampun
sagah déné prajanjining manusa. Gesang wonten ing dunya punika sageda
angestokaken angger-anggering Allah, dateng aselipun
piyambak-piyambak.......
Maksudnya:....Menurut
perjanjian, manusia adalah pesuruh Tuhan didunia untuk menambah
keindahan dunia jagat raya. Dalam hubungan ini manusia harus menyadari
bahwa mereka hanyalah sekedar melaksanakan perintah. Oleh karena itu
apabila amnusia mengalami kebahagiaan dan kecelakaan, sedih dan gembira,
sehat dan sakit, semuanya harus diterima tanpa keluhan, sebab manusia
sudah terikat pada perjanjiannya. Yang terpenting adalah manusia hidup di dunia ini harus mematuhi hukum Tuhan yaitu memahami pada asal-usulnya masing-masing.
Orang Samin menganggap hidup
hanya sekali. Tidak ada orang Samin yang percaya pada penitisan atau
reinkarnasi. Ajaran lisan Samin Surontiko kepada pengikutnya tentang hidup adalah:
"Wong urip kudu ngerti uripé, sebab urip siji digawa salawasé"
( setiap orang hidup harus mengerti hidupnya karena hidup hanya sekali dan akan ditanggung selamanya).
[11]
Orang-orang Samin adalah orang yang menghargai hidup dengan caranya. Hidup
mereka dijaga dari pengaruh luar yang membelenggu. Tidak heran jika
mereka begitu berani menentang pemerintah kolonial yang siap memuntah
amunisinya untuk menghancurkan penetangnya, termasuk juga orang-orang
Samin.
Riwayat Samin Sang Ratu Adil
Seorang priyayi rendahan bernama Raden Surowijoyo di desa Ploso Khediren pada tahun 1859 menerima kehadiran putra keempatnya.
Bayi itu diberi nama Kohar. Didepan namanya dia berhak memakai gelar Raden. Dalam
tradisi lisan di desa Tapelan, Samin adalah putra dari Raden Surowijoyo
dari Bojonegoro. Priyayi yang menjadi bromocorah dan bekerja untuk
kepentingan orang-orang desa yang miskin. Raden Surowijoyo dikenal
sebagai Samin Sepuh. Raden Kohar sendiri memiliki pertalian darah dengan
Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro; juga dengan Pangeran Kusumaningayu
(Dalam tradisi Jawa Timur disebut Pangeran Kusumawinahyu). Pangeran
Kusumaningayu adalah nama lain dari Raden Mas Adipati Brotoningrat yang
sejak 1802-1826 memerintah Kabupaten Sumoroto (sebuah daerah di
Tulungagung)
[12]
Ketika
dewasa, Raden Kohar menjadi petani dengan sawahnya yang tiga bau dan
ladang satu bau. Enam ekor sapi juga dimilikinya. Raden Kohar menganti
namanya menjadi Samin. Sebuah nama yang merakyat, kendati dirinya adalah
turunan priyayi rendahan. Samin mulai menyiarkan ajarannya sejak tahun
1890 di desa Klopodhuwur. Banyak orang dari desa itu, juga desa
(sebelahnya) Tapelan kemudian berguru padanya. Awalnya pemerintah
kolonial tidak peduli pada ajaran ini. Waktu itu ajaran ini tidak
mengganggu keamanan dimata pemerintah. Samin hanya dianggap ajaran
kebatinan. Lebih ekstrim lagi hanya dianggap agama baru saja. Laporan
Residen Rembang ada sekitar 772 orang Samin yang tersebar di 34 desa
dalam lingkup Kabupaten Blora di bulan Januari
1903. Ajaran ini kian lama kian berkembang. Orang-orang
Samin mulai terlihat mengubah tatacara hidupnya dalam kehidupan
sehari-hari di tahun 1905 oleh Pemerintah. Mereka tidak mau lagi
menyetor pajak kepada pemerintah. Mereka juga tidak mau lagi
mengandangkan sapi-sapinya bersama sapi-sapi milik orang bukan Samin.
Mereka telah menganut agama Adam. Hal ini tidak lain dirunut dari sikap
Samin yang memang enggan untuk membayar pajak.
[13]
Awal
tahun 1907 jumlah pengikut Samin semakin meningkat. Angka pengikut
Samin yang mencapai 5000 orang itu mengejutkan pemerintah kolonial.
Ketakutan pemerintah muncul setelah ada kabar: Maret 1907 akan ada
pemberontakan orang Samin. Orang-orang Samin yang hadir dalam selamatan
di desa Kedhung Tuban lalu ditangkapi dengan alasan sedang mempersiapkan
sebuah pemberontakan.
Oleh
pengikutnya, 8 November 1907, Samin diangkat menjadi Ratu Adil dengan
gelar Prabu Pangeran Suryangalam. Raden Pragola, Asisten Wedana di
Randublatung di Blora bertindak atas nama pemerintah dengan menangkap
sang Ratu Adil pada hari ke 40 setelah pengangkatan itu. Sang Ratu
Adil-pun dikurung di bekas tobong pembaran batu gamping, sebelum
akhirnya dibawa ke Rembang untuk diintrogasi. Bersama pengikutnya Sang
Ratu dengan pengikutnya dibuang keluar Jawa.
[14]
Pemerintah
merasa bahaya geger Samin harus diatasi dengan pembuangan Samin dan
pengikutnya keluar Jawa. Sepeninggal Samin, gerakannya masih terus
berkembang. Wongsorejo, seorang pengkut Samin ditahun 1908 giat
mengembangkan ajaran Samin di distrik Djiwan,
Madiun. Orang-orang desa disana dianjurkan untuk tidak
membayar pajak kepada pemerintah. Nasib Wongsorejo-pun dibuat sama
dengan panutannya oleh pemerintah. Bersama dua kawannya, Wongsojuga
dibuang.
[15]
Surohidin, menantu Sang Ratu dan Engkrak, murid sang Ratu ditahun 1911 menyebarkan ajaran Samin ke Grobogan
(Purwodadi). Karsiyah, pengikut Sang Ratu lainnya
mengembangkannya di Kajen, Pati. Penyebaran ajaran Samin di daerah
Jatirogo, Kabupaten Tuban pada tahun 1912 mengalami kegagalan.
Pemerintah
kolonial ditahun 1914 menaikan pajak. Hal ini semakin memperhebat
gerakan Samin. Di Grobogan, orang-orang Samin tidak lagi menghormati
para pamong desa dan pemerintah kolonial. Orang-orang Samin di distrik
Balerejo, Madiun membohongi pegawai pemerintah untuk menghindari pajak.
Di Kajen, misi Karsiyah sukses dengan himbauannya pada orang-orang desa
untuk tidak membayarmpajak kepada pemerintah. Di Larangan, Pati
orang-orang Samin menyerang lurah dan polisi. Di Tepalan, Bojonegoro
orang-orang Samin yang tidak mau membayar pajak juga mengancam Asisten
Wedana. Mereka lalu ditangkap dan penjarakan.
Perlawanan
ditahun 1917 semakin meningkatkan pergerakannya terhadap pemerintah.
Perlawanannya masih dalam bentuk perlawanan pasif. Tidak dengan
kekerasan. Pemerintah yang semakin gerah kemudian menindas perlawanan
pasif ini. Gerakan Samin sejak 1930 perlahan memudar dengan tidak adanya
pemimpin tangguh bagi gerakan. Samin Surontiko alias Sang Ratu
meninggal dalam pembuangannya tahun 1914, di Padang.
[16]
"Wajah
pucat, tangan diikat, rambut digundul, celana kolor hitam, dan lemah
lunglai tubuhnya." Begitulah ungkap seorang warga Samin dari desa
Tapelan melihat pemimpinnya diseret oleh pemerintah kolonial menuju
tempat pembuangannya.
[17]
Semasa
menjadi dokter pada sebuah rumah sakit Zending di Blora, dr Soetomo
sejak tahun 1913-1918, sang pendiri Budi Utomo ini pernah melakukan
penelitian mengenai masalah gerakan sosial, termasuk gerakan Samin.
Samin yang menjadi bahan ejekan para priyayi yang merasa prestise mereka
diacuhkan oleh orang-orang Samin, tapi tidak oleh priyayi bernama
Soetomo ini. Soetomo malah menjadikannya sebagai bahan agitasinya dalam
pergerakan nasional. Setidaknya Soetomo bahkan menyanjung semangat
demokratis mereka (orang-orang Samin).
[18]
Bicara tentang Ratu Adil, ketika ditanya apakah dirinya Raja atau
Ratu? Samin menjawab "tidak." Ketika ditanya: "apakah Samin tahu
akan datangnya Ratu Adil atau Herucakra?" Samin juga menjawab tidak
tahu.
[19] Samin Surontiko mungkin ingin menunjukan sikap bodoh khas Samin-nya.
Setidaknya, dengan sikap bodoh-nya orang-orang Samin telah menunjukan pada kita:
bodoh ala Samin juga perlawanan yang cukup menggeramkan penguasa
lokal dan pemerintah kolonial Belanda ketika. Ketika di Aceh, Tanah
Batak dan Bali bergiat untuk melawan pasukan KNIL
[20] demi kedaulatan raja-raja feodal, maka orang-orang Samin melawan demi dirinya sendiri.
[1] Paulus Widiyanto, Samin Surantiko dan Konteksnya, Majalah Jurnal Prisma edisi 8 Agustus 1983. h. 59.
[3] Paulus Widiyanto, Samin Surantiko dan Konteksnya, Majalah Jurnal Prisma edisi 8 Agustus 1983. h.60.
(10 April 2007 pukul; 16.20)
[5] Saripan Sadi Hutomo, Samin Surontiko dan Ajaran-ajarannya, Majalah Basis edisi Januari 1985. h. 7-8.
[6] Paulus Widiyanto, Samin Surantiko dan Konteksnya, Majalah Jurnal Prisma edisi 8 Agustus 1983. h. 65
[7] Ibid., h. 65.
[8] Ibid.
[9] Marwati Djuned dkk, Sejarah Nasional Indonesia jilid IV, Jakarta, Balai Pustaka, 1993. h.327.
[10] Saripan Sadi Hutomo, Samin Surontiko dan Ajaran-ajarannya, Majalah Basis edisi Januari 1985. h.7.
[11]Ibid., h. 7.
[12] Ibid., h.4.
[13] Ibid.
[14] Ibid., h.5
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Ibid., h. 2.
[18]Paulus Widiyanto, Samin Surantiko dan Konteksnya, Majalah Jurnal Prisma edisi 8 Agustus 1983. h. 65
[19] Marwati Djuned dkk, Sejarah Nasional Indonesia jilid IV, h. 326-327.
[20] KNIL: Koninklijk Nederlandsche Indische Lager (Tentara Hindia Belanda)