Pertama yang terbesit bagi orang-orang yang pernah belajar sejarah di sekolah adalah menghafal. Banyak yang mengamini belajar sejarah adalah pelajaran yang menghafal. Jadilah pelajaran sejarah sebagai pelajaran yang dihindari di sekolah. Hebat juga orang yang membuat siswa harus menghafal. Akhirnya, esensi sejarah untuk berkaca dari masa lalu untuk menghadapi masa depan hanya omong kosong. Mungkin ini yang diinginkan dunia pendidikan di Indonesia.
Menghafal
Semua orang sepakat pelajaran sejarah adalah pelajaran menghafal. Menggali hal-hal menarik berupa nilai-nilai kemanusiaan bukan lagi hal penting. Anak-anak SMA tentu merasa sejarah adalah pelajaran menghafal tanggal-tanggal.
Karena tuntutan menghafal, membuat banyak orang yang awalnya agak tertarik dengan pelajaran sejarah jadi bosan dan kehilangan rasa tertarik itu. Sejarah memang untuk mengobati rasa penasaran. Bukan berarti harus menghafal detilnya saja. Tapi mencari esensi dibalik peristiwa itu. Rasanya yang diinginkan pejabat pendidikan Indonesia hanya generasi yang bisanya hanya menghafal. Dan bukan generasi yang bisa belajar dari masa lalu. Kita tahu, para siswa dibuat menghafal menjelang ujian dan kemudian lupa karena tidak membekas sama sekali. Kita tahu banyak hal yang kita lupa setelah kita berjuang keras menghafal.
Memang banyak orang yang belajar sejarah bisa hafal—dalam jangka waktu—beberapa hal dalam sejarah tertentu. Biasanya itu bukan karena memaksakan diri untuk menghafal, tapi lebih karena membaca santai dan tidak dalam tekanan. Setidaknya itu pengalaman saya dan beberapa kawan (sejarawan) muda saya yang bergelut dengan sejarah. Mereka hanya membawa tanpa menekan diri mereka untuk hafal. Kami tak terlalu berniat menghafal, tapi entah mengapa akhirnya kami hafal? Bagi kami menghafal bukan hal penting, yang terpenting bagi kami adalah menggali esensi dari sebuah peristiwa atau tokoh sejarah.
Harus diakui, sejarah adalah pelajaran paling gila. Betapa tidak semua anak sekolah dari SD hingga SMA harus menghafal semuanya. Tidak penting menggali nilai-nilai yang ada dalam sejarah. Selalu diarahkan untuk menghafal. Dan hafalan itu akan keluar dalam ujian. Dan ujian sejarah seperti Who Wants to Be a Millionaire. Bedanya ujian bertujuan untuk menentukan nilai siswa untuk lulus, sedang Who Wants to Be a Millionaire kita dijanjikan uang banyak jika bisa jawab pertanyaan.
Yang terus menjadi pertanyaan saya, pentingkah menghafal sesuatu dan kemudian lupa begitu saja? Jujur saja, saya lupa apa saja yang saya jawab waktu ujian di sekolah saya. Jika pun saya bisa mengingat sesuatu itu bukan karena menghafal, tapi lebih karena saya menggelutinya—sekedar membacanya tanpa tekanan.
Pertanyaan lain, siapakan sebenarnya yang untung dari memaksakan siswa untuk menghafal isi pelajaran sejarah yang begitu banyak? Terutama fakta-fakta yang sebenarnya masih bisa diperdebatkan. Apakah siswa untung? Rasanya siswa alami itu hanya sebagai fase untuk lulus sekolah.
Melawan Lupa
Teringat Milan Kundera, jika megucap berjuang melawan lupa. Hidup adalah berjuang. Termasuk berjuang melawan lupa. Dimana sejarah adalah media untuk berjuang melawan lupa. Orang-orang berpikiran maju biasanya orang-orang yang tidak ingin dibohongi oleh siapa saja. Termasuk oleh pemimpinnya. Orang-orang berpikiran maju tentu saja orang berjuang untuk tidak menjadi orang yang amnesia terhadap sejarah.
Kita tahu banyak penguasa dunia berusaha membangun sejarah yang begitu herois, dimana menampilkan sosok si penguasa sebagai pahlawan yang harus senantiasa didukung. Dan pelajaran sejarah di sekolah pun dijadikan media propaganda semacam itu. Semua orang Indonesia rasanya sudah mengerti hal itu. Dimana semua orang dibuat percaya heroisme penguasa (sejarah) melalui banyak hafalan. Rasanya kebenaran sejarah, yang sebenarnya relatif, menjadi bukan hal penting. Yang terpenting, versi penguasa selalu benar bagi mereka yang mendukung pemerintah. Begitulah pembodohan di Negara Dunia Ketiga.
Dengan membuat generasi muda tidak suka sejarah dengan menghafal yang sedemikian rupa, maka sebuah rezim sukses membuat sebuah amnesia sejarah bagi generasi di masa depan. Juga menjadikan jurusan sejarah sebagai kampus buangan adalah ide yang bagus untuk menjaga wacana sejarah, yang katanya selalu benar itu.
Yang terjadi memang banyak siswa enggan belajar sejarah karena enggan menghafal banyak data yang diantaranya kebenarannya masih diragukan. Ditambah lagi dalam pelajaran sejarah di sekolah gagal mengajak siswa untuk menangkap esensi dari peristiwa atau teladan dari pelaku sejarah dengan jujur.
Sepertinya, ada sebuah ketakutan jika siswa-siswa di sekolah belajar menggali sejarah masa lalu. Bisa jadi kebusukan sejarah sebuah rezim penguasa akan terbongkar dan image si penguasa akan jatuh di mata rakyatnya. Ketakutan akan kebohongan itu terbongkar tentu disiasati dengan memaksakan fakta-fakta yang dimaui si penguasa untuk di hafal generasi muda.
Kebosanan dalam pelajaran sejarah, karena terus dipaksa menghafal, tentu akan membuat siswa yang awalnya suka jadi tidak suka. Belajar sejarah, membuat seseorang menjadi ditektif yang terus menemukan fakta baru, tidak jarang faktu itu begitu memalukan bagi sebuah rezim. Itulah kenapa Suharto dan pengikutnya tidak ingin melawan lupa. Sudah pasti agar kebusukan mereka dimasa lalu tertutupi dan hanya mengumbar sisi baiknya saja agar bisa terus berkuasa. Rezim semacam itu tentu takut dengan orang-orang yang berjuang melawan lupa.
Orang-orang yang berjuang melawan lupa itu bisa siapa saja, tidak harus sejarawan. Mereka bisa pelajar-pelajar di sekolah atau orang-orang yang punya minat terhadap sejarah. Orang-orang semacam ini biasanya adalah orang-orang jujur yang apolitis. Mereka hanya ingin tahu yang benar. Mereka adalah orang yang berbahaya bagi sebuah rezim. Karenanya sebuah rezim tidak menginginkan orang-orang seperti ada. Bagi sebuah rezim, sangat penting untuk menjadi lupa. Dan bagi yang jujur dan berpikiran maju akan memilih menjadi orang yang berjuang melawan lupa.