Belakangan, banyak kawan-kawan marah perihal bekas Jenderal yang akan dijadikan penasehat calon Presiden terbaru RI (2014-2019). Bagi yang tahu
track record ini Jenderal akan paham, kenapa ini Jenderal harus dijauhkan dari kekuasaan. Apapun jasanya, dalam menaikan Presiden terbaru itu, dia tetaplah harus dijauhkan. Toch banyak orang yang berjasa dalam menaikkan ini Presiden baru juga jauh dari kekuasaan. Selanjutnya, mari kita lihat seberani ihklas ini Jenderal. Kalau dia minta macam-macam, terlihat betapa tak ihklasnya dia.
Bicara dosa yang dikerjakan atas nama Negara, Jenderal yang kita maksud diatas, Peristiwa Talangsari sejatinya lekat nama sang jenderal. Apapun yang dia dan pembelanya katakanya, penghilangannya nyawa tak bisa dibenarkan.
Kita sedang bicara tentang Hendropriyono. Satu dari sekian Jenderal yang ahli Intelejen. Catatan karirnya sebagai militer sudah pasti gemilang. Nah, orang-orang Islam yang merasakan bahayanya Hendropriyono harusnya tahu apa itu Peristiwa Talangsari 1989. Hanya karena curiga ada gerakan berbahaya (tentu dalam versi Hendropriyono cs), maka tengah malam menjelang 7 Februari 1989, Kolonel Hendropriyono, memimpin pasukan yang terdiri 3 peleton batalyon 143 dan sepeleton Brigade Mobil (Polisi). Pukul 04.00 tanggal 7 Februari 1989, pasukan menyerbu Umbul Cideung. Sebanyak 246 pengikut Warsidi tewas, termasuk Warsidi sendiri.[1] Begitulah cerita hitam Talangsari.
Tentang Perwira-perwira Yang Seenak Udel
Sejarah sudah kasih bukti betapa buruknya kelakuan Jenderal-jenderal kebanyakan. Segelintir orang Indonesia yang tidak terpana dengan sejarah hebatnya Pahlawan Revolusi, mungkin pernah dengar
poligami-nya Ahmad Yani—walau kata Soe Hok Gie dia pernah kasih peringatan pada anggota Angkatan Darat yang dia pimpin untuk tidak beristri lebih dari satu, tapi Ahmad Yani pun punya simpanan. Sudah jadi “tradisi” kalau Jenderal boleh
ngapain aja di negeri ini.
Itu masih belum apa-apa. Masih ada cerita-cerita buruk yang katanya buruk tentang para Jenderal di Indonesia. Jangankan jenderalnya, banyak orang-orang tua yang paham soal kelakuan para komandan di daerah-daerah. Di Sulawesi Selatan ada Andi Selle, Andi Sose atau Kahar Muzakkar. Dua nama pertama dikenal sebagai perwira kaya. Mereka menumpuk kekayaan dari bisnis mereka dan memiliki banyak pasukan (diluar dari jumlah semestinya yang ditetapkan pemerintah). Bukan hanya mereka berdua yang bisa semena-mena, tapi juga bawahan mereka. Tentang Selle Barbara Sillars Harvey dalam risetnya menulis:
Selle dianggap sumber utama suplai barang bagi DI. Selle terkenal sebagai komandan yang kaya. Kancing baju dan lencananya terbuat dari emas. Dia bisa seenaknya memberikan jam tangan begitu saja kepada gadis-gadis cantik yang dia lihatnya di kota Makassar. Selle pernah memberikan hadiah Marcedes Benz kepada dokter yang merawatnya ketika sakit ringan di Rumah Sakit Pelamonia—yang merupakan rumah sakit militer. Dia juga pernah memberikannya pada istri Warouw. Dua anak buah Selle yang sedang mabuk pernah buat onar di sebuah pesta perkawinan. Kekacauan itu membuat salah seorang prajurit itu terbunuh yang satunya terluka namun bisa kembali ke barak. Solidaritas buta kawan-kawan dua serdadu mabuk yang naas itu pun bergerak. Mereka datangi lokasi pesta. Pembantaian pun terjadi dimana orang-orang yang ada di sana terbunuh.[2]
Tentu saja, Nasution tak suka dengan kelakuan perwira macam Selle. Nasution tentu berusaha menghancurkan Selle, dengan memakai tangan M. Jusuf—yang belakangan jadi Panglima ABRI jaman Orde Baru. Jusuf sukses, Selle tewas. Sementara Sose ditahan di Jakarta.[3] Tak hanya di Sulawesi Selatan, Pahlawan Toraja, Frans Karangan pun dicap sebagai Warlord juga ketika menjadi komandan di Sulawesi Tengah.
Kengerian perwira-perwira penguasa terjadi juga di kota Makassar sendiri. Kota yang nampaknya kota teraman di Sulawesi Selatan di masa-masa merajalelanya gangguan keamanan di sana.
Alkisah, seorang di antara perwira pengendali kekuasaan ini – yang dalam banyak hal perilakunya masih tergolong jauh kurang buruknya dari yang lain – memiliki isteri muda yang jatuh hati kepada seorang pria muda penyanyi
band terkenal di daerah ini yang rekaman piringan hitamnya di Perusahaan Rekaman Lokananta menembus pasar nasional. Kisah jatuh cinta ini menjadi pangkal tragedi. Sang penyanyi, yang sebenarnya juga sudah punya seorang isteri yang cantik, lenyap bagai ditelan bumi dan hanya menyisakan kabar telah dieksekusi dengan cara-cara yang menyengsarakan tanpa belas kasihan. Penyanyi muda yang dimaksud adalah Djajadi Djamain putera sebuah keluarga Jawa di Sulawesi Selatan. Tetapi mampu mempopulerkan lagu-lagu daerah setempat ke tingkat nasional. Beberapa adik perempuannya yang hijrah ke Jakarta juga mengikuti jejaknya menjadi penyanyi yang cukup dikenal.[4]
Cerita ngeri yang terkait
infotainment ini nampaknya dengan cepat dilupakan orang. Saya tak tahu siapa perwira pengendali kekuasaan yang dimaksud? Nasib naas macam Djajadi Djamain ini tentu bisa terjadi pada siapa saja. Pembunuhan Djajadi Djamain itu, mungkin peringatan: jangan macam-macam dengan perwira itu!!! Nampaknya nasib yang serupa Djamadi Djamain bisa terjadi pada siapa saja.
Warlord No 1 di Indonesia
Mari kita bicara soal
Warlord terbesar di Indonesia. Siapa yang tak mengenal Suharto. Jika tak mengenalnya sebagai
warlord no 1 se-Indonesia, Anda pasti mengenalnya sebagai Presiden ke-2 RI, yang gelarnya “Bapak Pembangunan”.
Sebegai Jenderal dengan puluhan ribu tentara, kiprah Suharto jauh lebih besar daripada Selle, Sose atau
warlord-warlord manapun di Indonesia. Berkedok sebagai Presiden RI, dia bisa melakukan apapun. Bahkan sebelum Presiden, jejaknya sudah cukup hitam.
Tak banyak buku sejarah Indonesia menyinggung kasus dan bisnisnya ketika jadi Panglima di Jawa Tengah dengan Liem Sioe Liong (Sudono Salim mantan pemilik BCA) dan Bob Hasan di akhir decade 1950an. Mereka bertiga dipersatukan karena kedekatan dengan Letnan Jenderal Gatot Subroto. Bob Hasan diklaim sebagai anak angkat Jenderal Gatot Subroto. Suharto nyaris dipecat dari AD. Beruntung Gatot Subroto masih punya pengaruh di AD—hingga akhirnya Suharto hanya dicopot jadi Panglima dan hanya disekolahkan di Seskoad Bandung. Nama Suharto nampaknya jadi bersih setelah Operasi Mandala Trikora, dimana dia jadi Panglima. Penyerangan Papua yang disiapkan Suharto dan stafnya tak pernah terlaksana karena Diplomasi bersama Amerika mengakhiri sengketa Indonesia Belanda berebut Papua.
Setelah G 30 S 1965, Suharto jadi ”kuda hitam”. Dari Jenderal tak dianggap, yang jauh dari lingkaran Staf Umum Angkatan Darat yang didominasi grup dari Ahmad Yani, Suharto mulai bersinar setelah kematian Yani dan stafnya oleh pasukan G 30 S yang dipimpin Untung.
Jejak hitam terbesar Suharto adalah pembantaian pasukan AD terhadap orang-orang yang diduga PKI yang tak terhitung jumlahnya. Sarwo Edhi Wibowo, komandan pasukan khusus Resimen Para Komando Angkatan Darat, yang memimpin langsung pembersihan PKI di Jawa, pernah mencatat jumlah korban nyaris mencapai 3.000.000 jiwa.
Jejak hitam Suharto terkait korupsi, plus Kolusi dan Nepotisme-nya, jelas bukan rahasia lagi. Apapun dosa Suharto, bagi pendukung yang pernah hidup enak di jamannya akan tetap memujanya. Sementara bagi yang merasa jadi korban akan memcacinya, bahkan setelah kematian Suharto.
Mental Tentara Pendudukan
Sebagian besar perwira Indonesia yang menguasai Angkatan Bersenjata Republik Indonesia di tahun 1960an, sebagian terbesar adalah perwira-perwira didikan Jepang. Mereka pernah jadi tentara sukarela Jepag Pembela Tanah Air (PETA) di Jawa atau Gyugun di Sumatera.
Mereka nampaknya kurang diajari teori-teori militer atau hukum perang, dibanding pribumi Indonesia yang pernah dilatih jadi Tentara Belanda,
Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL). Mereka hanya diajari semangat bertempur, namun kurang di teknik-teknik bertempur dalam skala besar.
Sialnya, selaku tentara pendudukan di Indonesia Balatentara Nippon alias Jepang itu rupanya mewariskan semangat tentara pendudukan pada perwira-perwira muda macam Suharto dan ratusan lainnya.
Revolusi yang kacau 1945-1949 semakin memantapkan mental pendudukan tadi. Tentara Republik seringnya lebih mirip preman yang rebutan lahan parker dengan sesame tentara Republik yang lain. Mereka tampaknya kurang begitu intens menggempur tentara Belanda. Di mata beberapa orang, tentara-tentara Republik yang kebanyakan bermental Nippon ini kalah heroik dibanding laskar-laskar rakyat.
Tentara-tentara itu kurang mendidik dirinya untuk menjadi tentara professional yang terlatih. Mereka kadang berebut wilayah. Belakangan muncul istilah daerah militer mulai dari level Komando Daerah Militer (KODAM) sampai Komando Rayon Militer (Koramil). Di level terbawah, terdapat Babinsa (bintara Pembina desa). Tak jarang mereka mirip
Warlord. Di Negara berkembang, Tentara punya wilayah kekuasaan. Begitu juga di Indonesia.
Pewarisan semangat Balatentara Jepang sebagai tentara pendudukan nampaknya ditradisikan Suharto. Jangankan militer, orang sipil saja disuruh baris-berbaris. Barisan penjaga kampung macam Hansip diadakan. Di kampus ada Resimen Mahasiswa (yang mirip ROTC di Amerika tapi tak dijadikan perwira jika di Menwa). Sebagian besar anak-anak Indonesia merasakan Senam Kesegaran Jasmanai tiap jum’at pagi yang mirip Taiso di jaman pendudukan Jepang.
Mental fasis yang diwariskan Suharto jelas menjangkit ke beberapa Jenderal. Mereka terlihat menghalalkan segala cara dalam menghadapi masalah—termasuk pada orang-orang yang berbeda pandangan. Orang-orang pasti tahu bagaimana nasib Theys Eluwe atau orang-orang dalam peristiwa Tanjung Priuk yang mirip pembantaian terhadap Kiai Haji Zaenal Mustofa di Sukamanah waktu jaman Jepang.
Orang-orang Fasis menghalalkan segala cara, tentu saja atas nama Bangsa dan Negara. Keburukan pemimpin mereka, demi Bangsa Negara maka harus ditutupi. Yang tak sepaham dengan mereka adalah musuh besar Negara yang harus dihabisi. Orang-orang Indonesia tak sadar jika mereka diarahkan menjadi fasis di sekolah-sekolah. Pelajaran sejarah dijadikan media penting dalam doktrinasi Fasis.
Efek dari pendidikan yang fasis itu, karena diajarkan keggahan tentara, maka banyak orang suka berseragam dan belakangan pakai baret. Lucunya, belakangan ada Jenderal marah-marah jika ada ormas-ormas yang baretnya mirip TNI (termasuk baret merah). Jenderal ini sangatlah bodoh, dia tak tahu sejarah: seniornya di AD bernama SUhartolah yang membuat orang-orang Indonesia doyan berdandan
Army Look.
Note:
[1]
Tempo, 18 Februari 1989: Abdul Syukur,
Gerakan Usroh di Indonesia: Peristiwa Lampung 1989, Jogjakarta, Ombak, 2003, hlm. 125-139.
[2]Barbara Sillard Harvey, Pemberontakan Kahar Muzakkar: dari tradisi ke DI/TII, Grafitipers, 1989 hlm. 326.
[3] Meski hartanya disita, Sose yang kemudian keluar dari TNI akhirnya jadi lebih kaya setelah tak jadi warlord lagi. Pengaruh Sose nampaknya tak hanya masih kuat di kampung kelahirannya, Duri (Enrekang) saja, tapi bahkan di Makassar.
[4] Rum Aly, Titik silang jalan kekuasaan tahun 1966: mitos dan dilema : mahasiswa dalam proses perubahan politik, 1965-1970,Jakarta, Hasta Mitra, 2006, hlm. 9.