Senin, Oktober 06, 2014

Robohnya Surau Kami

Surau menghilang, Masjid menjamur.

Sebelumnya, saya minta beribu maaf pada Ali Akbar Navis—karena mencomot judul cerpen sohornya itu. Ini semua karena obrolan ngawur ngalor ngidul  bersama murid saya: Nyak Arzaq. Senja tadi, Nyak Arzaq bercerita: Di beberapa kota di Aceh jumlah Masjid tidak banyak. Masjid hanya di pusat kota. Di kampung-kampung atau dusun, surau-surau (atau langgar atau mushola) masih ditemukan. Orang-orang mungkin akan shalat Subuh; Dzuhur; Ashar; Magrib dan Isya di surau. Sepertinya, orang-orang harus pergi ke Masjid yang letaknya jauh di pusat kota.
Cerita bocah yang ngebet  (ingin) kuliah Arkeologi ini, jelas bertolak belakang dengan apa yang saya alami saat ini. Soalnya, saya bisa temukan Masjid di tiap sudut jalan. Begitulah yang saya alami sekitar  19 tahun terakhir.
Saya baru sadar kenapa saya jarang lihat langgar atau Mushala atau Surau. Dulu masih banyak Surau-surau atau Mushola yang sering dipakai shalat wajib dan tempat anak-anak belajar mengaji. Serta harus jalan jauh ke Masjid jika ingin shalat Jum’at.  Saya pernah alami itu semua waktu tinggal di sebuah desa urban bernama Loa Janan (perbatasan Kutai Kartanegara dengan Samarinda).  Dan juga ketika awal-awal tinggal di Balikpapan.
Kata orang Islam Indonesia masa kini, banyak masjid itu bagus. Mungkin sebuah masyrakat akan terlihat religius kalau banyak masjidnya. Atau, orang-orang percaya kalau “penghuni surga itu dekat dengan masjid.” Jadi kalau gagal tinggal di dekat atau samping masjid—karena mahalnya harga tanah atau rumah di daerah strategis yang juga dekat masjid—maka otak diputar. Agar rumah dekat masjid, sementara masjid tak mungkin dipindah, maka dibuatlah masjid baru dekat rumah. Lalu masjid pun bisa kita temui dimana saja.
Hak azasi orang-orang itu untuk membangun masjid sekehendak mereka. Entah pakai duit pribadi, atau sumbangan-sumbangan, masjid selalu bisa dibangun. Konon, Ir Sukarno sang Presiden cum Arsitek Indonesia pernah bilang: tak ada masjid yang tak selesai (dibangun). Kita sering melihat ada orang-orang yang menarik sumbangan yang entah apa istilahnya berdiri di jalan dengan menodongkan ember ke mobil-mobil yang melintas jalan. Tentu saja, toa masjid dengan nyaringnya mengiangkan doa-doa atau shlawat untuk menarik perhatian. Itu semua dalam rangka mencari duit buat bangun masjid baru. Begitulah kira-kira bagaimana sebuah masjid baru muncul. Penduduk bertambah banyak, jadi masjid tua yang besar pun tak muat lagi daya tampungnya. Itu mungkin alasan kenapa jumlah masjid terus bertambah. Itu tidak bisa disalahkan.
Kembali ke masa lalu. Dulu, pergi ke masjid waktu shalat Jum’at, walau melelahkan karena jauh tetap hal menyenangkan. Biasanya, ada uang jajan buat bocah nakal seperti saya. Pulang dari masjid bisa jajan es buah kesukaan di belakang masjid. Masjid selalu ramai karena semua orang yang ‘ingin’ shalat jumat pasti ke masjid satu-satunya. Bahkan banyak orang-orang yang rela shalat di luar. Sudah pasti, daerah sekitar masjid itu pun jadi ramai pada hari Jum’at. Sebagai anak kecil, daerah itu hanya ramai di hari Jum’at—tepatnya menjelang dan sesudah Shalat Jum’at.
Banyaknya masjid, mungkin membuat masjid besar di Loa Janan yang terletak tak jauh dari pertigaan jalan ke Tenggarong; Samarinda dan Balikpapan itu tak seramai waktu saya kecil dahulu. Begitu juga masjid Darusalam, dekat SMP 3, tak seramai dulu lagi. Karena para Jamaah tersebar ke masjid lain yang letaknya lebih dekat dengan rumah. Dan Jum’at pun bukan hari besar lagi buat saya. Sama saja dengan hari lain, hanya bedanya jam kantor lebih sedikit dari hari lain (kecuali Sabtu Minggu yang biasanya libur). Tak jarang, masjid jadi pasar kaget setelah shalat jum’at.
Masjid-masjid di kota-kota jaman dulu, biasanya berada di alun-alun. Dimana dekat alun-alun selalu ada rumah atau kantor penguasa; kadang ada pasar; dan jika di Jawa nyaris selalu ditemukan masjid. Keramaian hari jumat tentu bisa jadi sumber rezeki bagi para pedagang di sekitar masjid. Apalagi orang-orang yang datang ke masjid harus jalan jauh dan kadang merasa perlu membeli sesuatu di kota.
Shalat di masjid dekat alun-alun selalu didatangi para pejabat. Jumat mungkin waktunya penguasa dan rakyat berkumpul. Bahkan, kawan-kawan jauh dari kampung sebelah atau yang beda kampung lain yang letaknya jauh pun bisa Anda temui.
 Jumat, harusnya bisa jadi hari silaturahmi bagi orang-orang Islam—tentu saja bukan untuk bikin Negara Islam. Semacam kumpul-kumpul tentu tak sekedar simbol kerukunan, tapi juga bisa untuk merukunkan. Bertukar kabar dan bertukar pikiran dengan kenalan lama setelah shalat Jum’at kadang lebih tenang dan nyaman di hari jumat.
Yang saya tangkap, terbatas dan terpusatnya masjid jelas bikin orang-orang bisa lebih saling kenal dan mengakrabkan lebih banyak orang di masjid besar ketimbang sekedar datang ke masjid kecil di dekat rumah. Dan bisa menjadi pintu dalam mencari rezeki. Barangkali Anda bisa bicara bisnis seusai shalat.
Tentu saja ada yang hilang dari maraknya masjid itu. Jum’at  jadi hari yang biasa-biasa saja. Banyaknya langgar-langgar; mushala-mushala; atau surau-surau yang menyulap diri jadi masjid, maka tiap jumat Anda akan mendengar suara Adzan yang saling bersautan.
Tak jarang, tiap Masjid pun akan punya ideologinya masing-masing. Yang terlihat, orang-orang Islam menjadi orang-orang yang terpecah-pecah.  Surau-surau pun, tempat anak-anak biasa mengaji, banyak menghilang. Surau-surau itu tak dihancurkan kaum vandalis, tapi “dibunuh” masjid-masjid baru yang menjamur. Begitulah Surau-surau roboh dan jadi masjid.





Tidak ada komentar: