Senin, Oktober 06, 2014

Jejak Harta Karun Nakamura


Sabtu siang, kami menginjak Jalan Braga, Bandung. Jalan yang pertama kali dengar namanya ketika bikin skripsi dulu. Setiap lewati jalan ini, Toko Buku Djawa no 79 jadi tujuan saya. Tak seramai Gramedia dagangannya. Tapi, ada buku menarik yang barangkali tak diditemukan di Gramedia. Disini, bersama adik sepupu saya, Yudha Pradita, kami temukan sebuah buku unik: Rampok. Tulisan Musa Dahlan, terbitan Granesia.
Buku ini sepertinya ditulis berdasarkan riset beberapa fakta sejarah ini, apapun opini sejarawan atas buku ini, tetap saja buku ini punya cerita yang cukup menarik.  Tentu saja cerita tentang perampokan. Bukan perampokan bank ala film-film koboi Hollywood-nya John Wayne. Melainkan perampokan emas dan berlian yang bukan main banyaknya.
Perampokan ini diklaim sebagai perampokan terbesar abad lalu, abad XX maksudnya. Setidaknya 960 Kg emas berhasil digasak dari Pegadaian di daerah Kramat, Jakarta. Emas-emas ini adalah emas yang dikumpulkan saudara tua alias balatentara Nippon (Jepang) dari emas-emas rakyat Indonesia alias saudara muda semasa perang Pasifik.
Hukum yang berlaku di jaman pendudukan Jepang: apapaun yang saudara  tua mau, makasaudara muda harus kasih. Apapun klaim atas emas-emas dan perhiasan lainnya, tetap saja itu milik saudara muda alias rakyat Indonesia.
Perampokan ini dilakukan oleh Kapten Nakamura—ahli politik militer Jepang di Jawa. Tentu saja atas sepengetahuan atasan-atasannya. Modus perampokannya cukup sederhana: Petinggi Militer Jepang ingin mengamankan emas-emas itu melalui tangan Kapten Nakamura.  Nakamura dibantu supir pribumi andalan atasannya yang bernama Akas; dua orang serdadu jepang.
Meski truk yang dipakai merampok sempat sulit dinyalakan mesinnya, tetap saja pemindahan emas atau perampokan itu sukses. Semua ditampung di rumah Nakamura. Oleh Nakamura, hasil rampokan itu dibagi dalam beberapa bagian untuk disebar ke beberapa komandan Jepang untuk dana operasional tentara Jepang selama di Indonesia. Pasca 14 Agustus 1945, militer Jepang di Indonesia tak disuplai lagi dari pusat. Karenanya, atasan-atasan Nakamura memutar akal untuk mencari dana. Kebetulan Nakamura tahu dimana emas-emas dikumpulkan.
Hasil rampokan itu pun bocor, karena gundik Nakamura yang keturunan Indo bernama Carla Wolff diam-diam mencuri jarahan Nakamura tadi. Sebagai wanita boros, Carla memakai uang itu berfoya-foya. Nama Carla Wolff juga dikenal karena terlibat dalam gerombolan bule bernama Nederland Indische Geurilla Organization (NIGO)—yang terkait dengan gerakan Westerling. Mungkin cerita ini ada kaitan dengan  mitos-mitos soal Harta Karun Nakamura.  Cerita perampokan ini lalu bergulir dan melibatkan lebih banyak orang lagi: perwira-perwira Inggris dan belanda; dan tentu saja perempuan-perempuan haus harta yang rela ditiduri.
Bagi saya pribadi, yang terhebat dari perampokan ini bukan hanya jumlah rampokannya yang besar, tentu saja karena orang-orang Indonesia nyaris tak pernah tahu soal perampokan besar-besaran itu. Bahkan berpikir perampokan itu tak pernah ada. Maklum, negeri terjajah yang selalu dirampok puluhan tahun.  
Orang-orang Indonesia tentu saja lebih asyik dengan Proklamasi  Kemerdekaan Indonesia oleh Sukarno cs di Pegangsaan Timur no 56. Merdeka dan dirampok, itulah Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Dan belakangan jadi Negara yang terus dirampok oleh penguasa bangsa lain dan bangsa sendiri. Mungkin Indonesia lahir untuk dirampok. Para perampok itu, pintar memilih ‘hari baik’ untuk beraksi.
Para sopir dan dua serdadu Jepang tak merasa jika mereka terlibat sebuah perampokan besar—tentu saja mereka tak dapat bagian yang pantas. Perampokan ini, menurut saya jauh lebih rapi ketimbang perampokan Kusni Kasdut di Museum Gajah yang heroik itu karena harus ada peluru yang meletus. Nakamura melakukannya dengan tenang. Kisah perampokan ini, boleh dipercaya boleh tidak, tapi pastinya menarik sekali untuk dijadikan film. Karena itulah kami beli buku Rampok di Jalan Braga 79.

Tidak ada komentar: