Jagoan ini terlalu nekad, di
kandang singa-pun dia masih berani berteriak. Dia masih bisa gembira dengan
keyakinannya, walaupun akhirnya harus rela diterkam dan digigiti singa tadi.
Tokoh
radikal ini telah malang
melintang dalam dunia pergerakan, sejak remaja. Masa mudanya diliputi kisah
pergerakannya. Dia bukanlah jago kandang. Dimanapun, pada siapapun dia berani
keras, apalagi pada penindasan pemerintah kolonial di Hindia Belanda.
Separuh karirinya dalam
pergerakannya dilalui di Eropa setelah pemebrontakan PKI di Silungkang gagal
yang dengan gemilang ditumpas polisi Belanda dan KNIL. Rustam Effendi bukan
pengecut dengan lari dari Sumatra Barat, dia tidak lari dari kenyataan, dengan
pergi ke Belanda. Ke Negeri Belanda berarti memasuki kandang singa buas yang
bisa menerkam dan menggigit kapan saja
Berteriak di kandang Singa
Suatu
minggu ditahun 1933, ketika Jerman dikuasai Adolf Hitler, Orang muda Hindia
berpidato dalam sebuah rapat umum untuk pemilihan umum angota parlemen di Tiel.
Dalam rapat umum itu pemuda itu menuduh Hitler sebagai 'Oorlogsmoordenaar'
(calon pembunuh perang). Karenany pemeroiontah Belanda mengenakan delik,
menghina kepala negara tetangga, pemuda itu diadili di kota itu juga. Karena
kesal dengan sikap arogan sang hakim yamng terlalu merendahkan dirinya, pemuda
itu berkata. "En wat doen yullie,
uitbeitter in mijn land?".(Dan apa yang dilakukan Yullie, lebih baik di
negerinya). Publik yang hadir dalam pengadilan itu bereaksi, mereka memberikan
simpatinya pada pemuda itu dengan sorakan yang mempermalukan hakim tadi.
Kendati dapat banyak simpati, tetap saja pemuda itu dijebloskan juga ke
penjara. Bagi pemuda ini dikemudian hari, pemerintah Belanda dengan sengaja
ingin menjegalnya sebagai anggota parlemen. Menurut ketentuan saat itu, orang
terhukum tidak diperbolehkan menjadi anggota parlemen. Karena bukan terlibat
kasus pidana atau perdata usaha pemerintah Belanda di negeri Belanda
menghalangi pemuda itu naik ke kursi Tweede Kamer itupun gagal. Atas simpati
sebagian rakyat Belanda lewat surat yang dikirim orang-orang Belanda yang
simpati pada orang-orang Hindia, popularitas pemuda itu naik, dan akhirnya
terpilih sebagai anggota parlemen.
[1]
Penindasan pemerintah kolonial
terhadap Zeven Provincien, menimbulkan reaksi di Belanda. Kaum radikal lalu
mengadakan demonstrasi besar-besaran. Suasana di parlemen juga panas karena
pemberontakan itu. Ketika Rustam sedang membuat catatan, Jan Schouten dari kubu
anti revolusioner yang mendukung tindakan refresif pemerintah kolonial,
menurutnya pemerintah memang harus melakukan hal itu terhadap pemberontakan
yang terlupakan dalam sejarah Indonesia itu. Ketika Jan Schoutman melontarkan
kata-kata: "En de regering moet regeren!" (Pemerintahan harus memerintah)—maksud
kalimat itu, peme5rintah kolonial berhak menindas pemerontak diatas kapa itu.
Bukan Rustam Effendi bila diam saja mendengar kalimat macam itu. Spontan Rustam
melompat dan membalas kata-kata tadi dengan kalimat yang agak emosional: "En
mijn volk moet zeker creperen?" (Dan bangsaku harus terus sengsara).
Peserta sidang-pun terkejut dan terdiam mendengar kata-kata Rustam tadi.
[2]
Tahun 1935, Rustam menghadiri sebuah
upacara pembukaan parlemen. Banyak yang bertanya mengapa dirinya hadir? Rustam
sendiri agak cemas ketika berada ditengah-tengah kaum reaksiner yang diantara
berseragam militer dengan embel-embel bintang
kebesarannya. Biasanya, setelah ratu memberikan sambutan, semua hadirin
bersorak "leve Oranje!" (hidup
dinasti Oranje). Ketika itu pula Rustam berteriak "Indonesia Merdeka!",
hasirin-pun diliputi rasa panik oleh ulah Rustam yang tampak puas dengan ulanya
itu. Ulah Rustam ini berbuah penganiayan polisi dan petugas keamanan yang
tersebar dan bersembunyi dibalik-balik gorden. Rustam-pun babak belur atas
teriakan yang berdasar dari keyakinannya itu. Harga bagi seorang yang terlalu
nekad di kandang Singa. Itulah Rustam Effendi.
[3]
Pemuda Rantau
Rustam
Effendi, kelahiran Padang, 13 Mei 1903, sebuah daerah yang cukup banyak
melahirkan kaum pergerakan baik yang koperatif bahkan radikal dalam sejarah. Rustam Effendi
menikmati kebijakan politik etis dari pemerintah kolonial, dia mengenyam pendidikan
dasarnya di Hollands Inlandsche School (SD
dengan pengantar bahasa Belanda) di Padang. Setamat dari sekolah dasar, Rustam
masuk Kweekschool (sekolah calon guru) di Bukittinggi—sebelumnya Tan Malaka
pernah bersekolah disitu sebelum berangkat ke Negeri Belanda. Dari sekolah itu,
dia meneruskan ke Hogare Kweekschool di Bandung, kendati tidak memperoleh
diploma dari HKS, Rustam masih belajar lagi di beberapa lembaga pendidikan
keguruan di Den Haag, ketika lari ke Belanda. Setidaknya Rustam pernah menempuh
pendidikan di lagere Acte voor Onderwijs dan MO voor Ekonie, keduanya di Den
Haag, Belanda. Hohe Schule für Journalistik, di Berlin. Pendidikan lain di
Lenins Universiteit di Moskow.
[4]
Ketika
Rustam Effendi masih muda dan menjalani sekolah menengah keguruannya di
Bandung, adalah masa-masa kuartal
pertama abad XX, masa-masa kolonial menjadi dewa atas tanah Hindia. Semua lini kehidupan adalah berbau kolonial,
termasuk pendidikan. Dalam politik pendidikan kolonial, siswa-siswa yang
belajar di sekolah menengah, kejuruan maupun tinggi tidak pernah diajarkan ilmu
atau soal-soal politik, sehingga dalam bidang ini kebanyakan siswa-siswa tidak
mengerti sedikitpun tentang politik, termasuk Rustam sendiri. Ketika itu,
Rustam duduk sebagai siswa di HKS (Hogare Kweek School) mempelajarinya dari
ayahnya. Ayah Rustam adalah Sulaeman Effendi, salah satu tokoh propaganda NIP (Nationalis
Indische Partij) pimpinan oleh Douwes Dekker, R.M. Suwardi Suryaningrat dan dr
Cipto Mangunkusumo. Oleh sang ayah, Rustam sering dibawa oleh ayahnya berkunjung
ke rumah orang-orang pergerakan tadi. Percakapan-percakapan dan diskusi
orang-orang tua itu diamati Rustam, dari situ, sikap kritis dan benci pada
orang-orang Belanda tumbuh dalam darah mudanya. Entah dirumah dr Cipto atau di
rumah Douwes Dekker, untuk pertama kali Rustam mengenal Soekarno, yang kuliah di Technische Hoge School (sekolah tinggi
tehnik) di Bandung. Kala itu hubungan Rustam dengan Soekarno cukup akrab sebagai
kawan berdiskusi, hampir pembicaraan selalu diakhiri dengan ajakan Soekarno: "Ayo kita kita cari sate keluar, ambil
angin!" katanya. Mereka berdua
sama-sama prihatin dengan banyaknya organisasi-organisasi pemuda waktu itu
bergerak sendiri-sendiri. Mereka mengibarkan
dan mengikuti bendera kesukuannya masing-masing. Mereka antara lain:
Jong Java; Jong Sumatranen Bond (JSB); Jong Minahasa; Sekar Rukun; Jong Ambon
dan lain-lain.
[5]
Rustam sendiri waktu itu adalah anggota
JSB, tetapi lama-lama dia tidak begitu yakin dengan corak kedaerahan
organisasi-organisasi tadi. Ketika itu, belum ada format organisasi pemuda yang
bergerak dan beridentitas sama dalam pergerakan, antara Soekarno dan Rustam
juga belum terlintas bagaimana menyatukan mereka dalam satu wadah dan bergerak
bersama. Terdorong keinginan hendak berbaur dengan pemuda-pemuda dari lain
suku, Rustam-pun tertarik masuk perkumpulan DVI (Dienaren van Indie) yang
dipimpin oleh dua orang Eropa, Ir Fournier dan Ir van Leeuwen. Anggota DVI ini
diperoleh dengan bantuan dari tokoh-tokoh terkemuka dari organisasi kesukuan
diatas, seperti Dr. Amir, Basuki, Sukamsa, Sanusi Pane, Muhamad Yamin, M.
Thabrani, Adinegoro, Darsa Arsa, dan lain-lain yang kemudian menjadi
orang-orang berpengaruh dalam pergerakan nasional.
[6]
Sekitar tahun 1922 Rustam lulus dari
HKS Bandung. Saat itu suasana dan gelombang politik kaum 'non cooperation' sedang panas. Ketika
itu, berdasar keputusan departement van Onderwijs melalui telegram, Rustam telah diangkat sebagai guru
kepala HIS di Siak Sri Indrapura, Sumatra. Rustam dihadapkan pada dua pilihan,
jadi guru dengan pengfhasilan baik, atau hidup sebagai orang pergerakan dengan
segala resiko. Tanpa pikir panjang lagi dan siap menghadapi berbagai resiko
yang akan dihadapinya Rustam memilih yang kedua. Tentu saja isi telegram itu tidak
lagi dipedulikannya. Rustam tidak lagi ingin menjadi guru. Akibatnya Rustam
tidak mendapatkan diploma guru-nya sebagai tamatan HKS Bandung.
[7]
Pelarian Politik dari Padang.
Di
tanah kelahiran saya di Padang yang
penuh dengan warna pergerakan, Rustam mulai dikenal sebagai 'Jago Non'.
Awalnya, menurut Soe Hok Gie dalam skripsinya Orang-orang Dipersimpangan Kiri Jalan, Rustam tidak berani
berpolitik dan dicap sebagai koperator. Namun perlahan sebagai 'anggota Inlander' dalam gementeeraad (dewan kota) disana, dia
mulai bersentuhan pemikiran non koperator. Terjadinya pemberontakan kaum
komunis di Silungkang (1926). Rustam merasa, dirinya tidak ada sangkut pautnya dengan pemberontakan
kaum komunis itu, sebab saya bukan komunis, namun PID—Politieke Intellingen
Dienst: polisi yang mengawasi kaum pergerakan—berusaha menjebloskannya dalam
barisan komunis pemberontak itu. Untuk menghindari hal terburuk, Rustam dengan
terburu-buru memutuskan meninggalkan Indonesia dan pergi ke Belanda. Mengenai
pemberontakan PKI yang gagagl itu, Rustam sangat tidak menyetujuinya, seperti
halnya Tan Malaka. Rustam, menganggap
pemberontakan PKI itu tidak memenuhi syarat-syarat obyektif, jadi mereka
revolusi yang dicetuskan dari pertemuan di Prambanan tidak dipersiapkan secara
matang. Karenanya pemberontakan itu nyaris sia-sia dan menjadi bomerang bagi
kaum pergerakan pasca pemeberontakan—dimana posisi kaum non koperator semakin
desak. Seperginya Rustam dari Indonesia, tercetuslah Sumpah Pemuda, sebuah
langkah pertama menuju persatuan pemuda-pemuda Indonesia dari suku-suku yang
berbeda menjadi satu untuk sebuah kamunitas 'Bangsa
Indonesia'. Komunitas yang bukan lagi imajiner, tetapi nyata. Dikemudian hari
Rustam yang saat iut di Eropa tidak menghadirinya.
[8]
Belanda
Rustam ditampung oleh Perhimpunan Indonesia yang diketuai Muhamad Hatta. Dari
Hatta , Rustam banyak memperoleh bimbingan politik. Di PI, Rustam diperbantukan
di redaksi dan administrasi majalah 'Perhimpuan
Indonesia'. Seperti diketahui PI juga menjadi anggota perkumpulan
Internasional 'Liga menentang Imperialisme dan menunjang perjuangan kemerdekaan
Nasional bangsa-bangsa yaqng tertindas'. Di Negeri Belanda, PI merupakan
menjadi tumpuan penggerak dari eksistensi dan gerakan liga-nya orang pergerakan
negeri yang tertindas itu. Rustam yang ditunjuk oleh Hatta sebagai penghubung antara PI dengan
organisasi-organisasi lainnya mulai berhubungan dengan kaum radikal. Ada banyak
organisasi radikal di Eropa, antara lain: 'Sosialis kiri', 'Anti Militaris',
'Anarche Syndikalis', Partai Pasifis, Komunis dan lain-lain, dengan sendirinya
Rustam-pun terpengaruh. Disisi lain dirinya juga mempergunakan hubungan
tersebut dengan baik, yakni memperluas propaganda pergerakan nasional di Eropa
pada kaum –kaum radikal tadi.
[9]
Rustam
berusaha memaksimalkan kerjasama dengan mereka, baik dalam rapat terbuka maupun
lewat pena. Kepada majalah-majalah kaum radikal Eropa itu, Rustam berusaha
menuangkan semaksimal mungkin pemikirannya. Tulisan Rustam pernah dimuat di
"Links Socialist', 'De Opbouws', 'De Anti Muiliteristi, 'De Branding', dan
lain-lain milik kaum radikal itu. Dipastikan hubungan Rustam dengan kaum
radikal Eropa itu menyeretnya ke arah radikalisme. Pastinya ini tidak disukai
Hatta dan bisa berkibat buruk pada ideologi PI dimasa depan. Ketika Hatta
hendak menyudahi studinya dan berencana pulang ke Hindia, pimpinan PI-pun
diserahkan pada Abdul Syukur. Saynmgnya, pengganti Hatta ini kurang mempunyai
wibawa dimata para anggota PI yang sebagian mulai radikal, termasuk
Rustam. Dimasa-masa akhir inilah Hatta
menulis karangannya dalam majalah PI, didalamnya tersisip kalimat, " kami tidak ingin menjadi kuda penarik
kereta Moskow." Kalimat ini tentunya
menimbulkan topan reaksi dikalangan orang-orang Komunis dalam tubuh PI.
Dilingkungan PI sendiri timbul kegelisahan, yang meluap-luap dan berubah
menjadi oposisi yang kuat. Ini bukan dipandang dipandang dari kepentingan
komunis, melainkan dari sudut praktis politik. Menurut Rustam, jika PI atau
pergerakan Indonesia lainnya memusuhi Moskow kala itu, maka kita dunia Internasional
macam komintern tidak akan ada sokongan positif dari pihak mereka. Pihak
oposisi ini yang dipelopori oleh Abdul Madjid, Setiadjid dan Rustam sendiri. Mereka
berhasil dalam suatu rapat pleno, setelah melalui perdebatan sengit, mengalahkan
Hatta dan Sutan Syahrir dengan suara terbanyak. Sejak itu PI di Belanda mulai dikendalikan
oleh 'tiga serangkai' (Abdul Madjid,
Setiadjid dan Rustam). Mereka-pun akhirnya terjerumus mengikuti jalur Moscow
(Komintern), seperti yang dihindari atau mungkin ditakuti Hatta. Aktifitas dan
popularitas Rustam dikalangan buruh Belanda , rupanya menarik perhatian Moscow
juga, yang melalui CPN (Partai Komunis Belanda) mencalonkan Rustam untuk
menjadi anggota Tweede kamer der Staten
General. Untuk alasan itu pula Rustam-pun menjadi anggota resmi dan terbuka
dari CPN itu, sedangkan kawan-kawan seperjuangan yang lain tetap dalam PI yang sebagiannya adalah anggota ilegal. Sebelum
Rustam, beberapa orang-orang Indonesia pernah dicalonkan oleh Partai Komunis
Belanda, pada tiap-tiap pemilihan umum, mulai dari Tan Malaka, Alimin, Semaun,
Musso, Darsono dan lain-lain. Namun tidak ada satu-pun dari mereka yang terpilih. Dalam sejarah, Rustamlah orang
Indonesia pertama yang menduduki kursi
palemen Belanda itu. Saat itu, Rustam tampil sebagai anggota termuda dari semua
anggota Parlemen.
[10]
Rustam
akhirnya berusaha melepaskan diri dari pemgaruh Moscow yang dominan terhadap
pergerakan radikal Indomnesia di Belanda. Moscow berambisi, Negara baru yang
merdeka ditanah Hindia adalah negara komunis, bukan feodal borjuis. Terbukti
Moscow mengutus Musso ditahun 1948.
[11]
Rustam
menginginkan sebuah koalisi antara kelompok sosialis yang ada, ketika sebuah
ide untuk menyatukan kaum sosialis di Negeri Belanda maupun di Hindia Belanda
ditolak oleh segolongan orang-orang Eropa dari pimpinan buruhreformis dan
sosial demokrat Belanda, Rustam amat kecewa sekali dengan sikap orang-orang
Belanda itu. Orang-orang Belanda itu dicap sebagai 'pimpinan sayap kanan SDAP (Belanda) yang sombong'. Menurut Rustam,
penolakan kerjasama itu, sama saja memberikan kesempatan pada pemeritahan
Colijn untuk berlaku reaksioner pada kaum pergerakan. Disisi lain hal ini juga
merugikan rakyat Hindia yang tarap hidup-nya dibawah standar dan semakin
menjerumuskan mereka dalam kelaparan, bahkan akan memiskinkan kaum buruh di
Negeri Belanda juga. Rustam bisa bergembira ketika konsentrasi kekuatan rakyat
anti imperialisme dan kolonialisasi terbentuk di Indonesia, yakni fusi pada
bulan Desember 1935, antara Partai Bangsa Indonesia pimpinan Soetomo dengan
Boedi Oetomo—yang awalnya didirikan dan dipimpin Soetomo juga. Fusi ini terus
berkembang dengan bergabungnya organisasi kecil intelektual macam: Kelompok Intelektual Banten Tirtajasa, Kaoem
Betawi, Sarekat Soematra, Partai Sarekat Selebes (Parsas), juga
anggota-anggota Partai Rakyat Indonesia. Formasi ini adalah front nasional bernama Partai Indonesia Raya. Biasa disingkat
Parindra. Partai yang dip[impin oleh orang-orang koperatif macam Thamrin,
Soetomo dan lainnya. Walau tidak sepenuhnya seperti yang diimpikannya, karena
partai ini bersifat elitis borjuis, Rustam bisa gembira sejenak.
[12]
[1] Roestam Effendi, Menyusuri Kenang-kenangan Perjuangan Masa Muda,dalam Bunga Rampai Sumpah Pemuda,
dihimpun
oleh Yayasan Gedung-gedung Bersejarah Jakarta, Jakarta, Balai Pustaka, 1986. h.
399-400.
[8] Roestam Effendi, Menyusuri Kenang-kenangan Perjuangan Masa Muda,dalam Bunga Rampai Sumpah Pemuda,
dihimpun
oleh Yayasan Gedung-gedung Bersejarah Jakarta, Jakarta, Balai Pustaka, 1986. h.
398-399: Soe Hok Gie, Orang-orang
Dipersimpangan Kiri Jalan, Yogyakarta,
Bentang, 1997. h. 29: Rustam Effendi, Sedikit
Penjelasan Soal-soal Trotskisme, Jakarta,
Patriot, 1950. h. 21.
[9] Roestam Effendi, Menyusuri Kenang-kenangan Perjuangan Masa Muda,dalam Bunga Rampai Sumpah Pemuda,
dihimpun
oleh Yayasan Gedung-gedung Bersejarah Jakarta, Jakarta, Balai Pustaka, 1986. h.
398-399.
[12] Bob Hering. M.H. Thamrin and His Quest For Indonesian Nationshood, ab. Harsono
Soetedjo, M.H. Thamrin: Membangun
Nasionalisme Indonesia, Jakarta, Hasta Mitra,
2003. h. 256-257.