Pink Floyd menghentikan langkah saya. Dan saya mulai menulis catatan perjalanan singkat ini.
Saya ingin pergi tidur di penginapan. Rupanya ada yang menahan saya. Bukan orang jauh, sekelompok pemuda keren di masa lalu, yang kesohor dengan rock eksperimentalnya. Siapa lagi kalau bukan Pink Floyd. Setelah berhari-hari, saya dengarkan lagi sealbum The Wall dari Pink Floyd. Ini begitu luar biasa. Sebuah Café yang tak jauh dari jam Gadang Bukittinggi.
Tak disangka, di kota elok macam Bukittinggi pun saya masih bisa mendengar musik-musik mereka. Musik yang mewarnai masa-masa kreatif saya dan sesudahnya. Musik Pink Floyd, kadang jadi teman mabuk, atau menikmati narkoba. Saya menikmatinya untuk menulis atau mengerjakan hal diluar menulis. Pink Floyd membuat saya menulis cacatan perjalanan singkat ini. Ketika menulis kalimat ini, Comfortable Numb sedang diputar di café.
Padang, 23 Desember 2011
Padang adalah kota pertama yang saya singgahi. Bersama Arif—murd saya—dan juga Hafif (adik Arif), kami pergi ke Museum Adityawarman setelah Shalat Jum’at. Sialnya Museum sedang dipugar lagi. Mungkin karena Gempa 30 Setember 2009. Beberapa bangunan masih menjadi saksi gempa tersebut. Namun, lebih banyak lagi banguna yang diperbaiki. Tidak lama kami di Museum.
Kami lalu pergi ke Teluk Bayur. Kawasan pelabuhan yang cukup sohor di masa lalu. Dulu Teluk Bayur disebut Emma Haven. Kota Padang cukup kecil dan tenang. Dimasa lalu, Padang adalah kota dengan sarana pendidikan yang cukup baik. Karena sudah ada MULO (SMP) di zaman kolonial. Hatta dan Rosihan Anwar adalah lulusan MULO Padang.
Sawahlunto, 25 Desember 2011
Bersama keluarga besar Pak Irman, kami menuju kota tambang Sawahlunto yang cukup kesohor itu. Kota ini tidak banyak berubah sepertinya. Tata kotanya tidak banyak berubah meski produksi batubaranya tidak seperti dulu.
Kami bisa temukan bekas Dapur besar yang kini disebut Museum Gudang Ransum. Ini adalah Dapur umur terbesar dalam sejarah Indonesia. Dapur ini bisa memberi makan seisi kota Sawahlunto—yang hidup dari pertambangan batubara. Tidak jauh dari museum juga terdapat lubang Mbah Suro. Nama Jawa ini dimaksudkan untuk menghargai jasa mandor yang bernama Surono yang dikenal sebagai Mbah Suro ini.
Setelah masuk Museum dan melihat tungku-tungku besar dan foto-foto buruh tambang. Kami melihat nisan tak barnama, namun berangka. Angka itu sepertinya no register buruh tambang. Nama buruh tak menjadi hal penting. Sepertinya itu nisan dari buruh yang meninggal.
Batusangkar, 26 Desember
Adityawarwan yang ternyata pengikut sekte Bhairawa—ajaran pra Islam yang punya ritual mempersembahkan manusia sebagai kurban. Diperkirakan, sisa kerajaan Adityawarman, yakni Pagaruyung, bisa ditemukan jejak-jejaknya di daerah Batusangkar (Kabupaten Tanah Datar). Dimana beberapa prasasti dan beberapa kuburan dengan nisan yang bentuknya cukup unik bisa ditemukan dipinggir jalan.[1]
Tahun 1818,Thomas Stanford Raffless pernah berkunjung ke daerah sini. Dia sudah tidak menjadi Letnan Gubernur Jenderal Inggris lagi ketika itu. Ketika melakukan perjalanan itu, Raffless menemukan reruntuhan kerajaan Pagaruyung itu.[2]
Bukittinggi, 26-27 Desember 2011
Beruntung, keluarga Arif mengantar saya sampai Bukittinggi. Kota ini menjadi tujuan saya dari awal. Objek pertama yang saya lihat adalah Jam Gadang yang kesohor itu. Dimana angka empat (4) tidak ditulis IV (dalam Romawi), melainkan IIII. Unik juga. Setelah berpisah dengan keluarga Arif yang besar kebaikannya pada saya, saya mencari penginapan murah.
Setelah mendapat kamar dan mandi, saya menyusuri bukit tinggi di malam hari. Saya masih penasaran dengan gedung SMA Negeri 2 Bukittinggi. Saya curiga itu adalah bekas kweekschool Fort de Kock. Sekolah guru tertua di Indonesia. Saya kesana dan bertanya, tapi belum yakin. Setelah itu saya kembali ke kamar dan tidur nyenyak hingga pagi.
Bangun tidur, saya langsung berjalan mencari benteng Fort de Kock dan Ngarai Sianok. Jalan pun saya susuri hingga saya mencapai lembah di Ngarai Sianok. Sebuah sungai membelah ngarai. Airnya cukup jernih meski ada sampah-sampah yang tidak sedap dipandang mata.
Dari Ngarai, saya bergerak menuju benteng. Letaknya tidak terlalu jauh. Bisa dengan berjalan kaki. Udaranya di pagi hari cukup sejuk. Sampai benteng, pikiran saya tertuju pada Jenderal Markus de Kock. Jenderal Belanda yang berhasil menjerat Diponegoro. Dan perlawanan Diponegoro berakhir karenanya.
Fort de Kock adalah benteng alami. Tanpa tembok besar seperti benteng-benteng pada umumnya. Letak fort de Kock adalah diatas bukit yang indah. Benteng ini dibangun dimasa Perang Paderi oleh Kapten Beuss. Benteng ini beralih fungsi menjadi kebun binatang yang tidak banyak koleksinya. Tempat ini rindang, cocok dijadikan tempat bersantai.
Ada jembatan Limpapeh yang menghubungkan benteng dengan bukit lain. Panjangnya sekitar 25 meter. Dari jembatan, sebagian kota kecil Bukittinggi terlihat. Terutama kampong Cino.
Dari kebun binatang, saya menuju rumah kelahiran Bung Hatta. Letaknya tidak begitu jauh dari Kebun Binatang. Hanya mencari tangga dekat Pasar Wisata, lalu turun dan letaknya tidak jauh dari pertigaan di Pasar Banto. Tidak sulit mencarinya. Warga Bukittingi pasti tahu tempat itu. Rumah ini termasuk bangunan lama. Kawasan ini sekarang adalah pasar. Dulunya, ada areal persawahan di depan rumah.
Hatta, adalah contoh dari anak keluarga pedagang yang cukup berada di Pasar Bawah, Bukittinggi. Rumah orangtua Hatta, cukup besar dan bagus. Keluarga ini memiliki sebuah bendi (kereta kuda) beserta kudanya.[3] Hatta kemudian bersekolah di MULO Padang setamat ELS Bukittinggi. Hatta adalah kebanggaan wargakota Bukittinggi.
Hari ini adalah tanggal penting bagi Hatta. Di Den Haag, 27 Desember 1949, Hatta menandatangi kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB). Dimana Belanda mengembalikan kedaulatan Indonesia, yang dirampas karena serangan militer dan pendudukan Belanda di Indonesia. Dimana Hatta adalah ketua delegasi Indonesia disana.
Tempat lain di Bukittinggi yang bersejarah adalah pusat Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dipimpin Syafrudin Prawiranegara. Apajadinya jika PDRI tidak ada. RI pasti selesai karena Jogja sebagai ibukota diduduki tentara Belanda dan Pemimpin besar Republik ditangkap. PDRI nampaknya tidak bisa dihabisi Tentara Belanda karena Bukittinggi adalah kota yang memiliki benteng alam yang cukup baik. Sangat sulit tentara Belanda mengerahkan pasukan ke Bukittinggi. Gerilyawan pro Republik bisa menyergap mereka ketika berjalan menanjak ke arah Bukittinggi. Kata Prof Syafii Maarif, dosen saya kuliah dulu, Bukittinggi kota pedalaman yang sulit dijangkau.[4]
Siang ini, saya kunjungi lagi SMAN 2 Bukittinggi untuk memastikan ini adalah Kweekschool Fort de Kock dulunya. Saya perkirakan, gedung SMA Negeri 2 Bukittinggi[5] dulunya adalah Kweekschool (sekolah guru), yang orang biasa sebut Sekolah Raja.
Saya mujur perkiraan saya benar. Gedung SMA 2, dulunya adalah Kweekshool Fort de Kock. Gedung ini sengaja dipertahankan dan masih digunakan untuk kegiatan belajar-mengajar. Saya kira, Harry Albert Poeze pernah mengunjungi sekolah ini karena dia adalah ahli soal Tan Malaka dan juga ahli sekali soal sejarah kemerdekaan Indonesia.[6]
Di dalam gedung tua ini, sebuah foto tua masih terpampang. Juga beberapa tulisana berbahasa Belanda yang memastikan bahwa ini dulunya adalah Kweekschool Bukittinggi. Mungkin, para siswa tidak pernah tahu jika gedung sekolah ini, yang pernah disebut sekolah raja adalah sekolah guru tertua di Indonesia.
Siang ini, siswa-siswi yang classmeeting pasca ujian belum pulang. Guru-guru masih rapat. Saya putuskan untuk memotret dan menulis. Akhirnya saya diperbolehkan memotret. Setelah memotret saya putuskan mencari bekas kantor PDRI (Pemerintah Daruarat Republik Indonesia). Ada petugas yang menyatakan jika kantor dinas pendidikan dulunya kantor PDRI, namun banyak yang tidak yakin.
Payakumbuh, 27 Desember
Saya putuskan pergi ke kampong Tan Malaka siang ini. Saya naik colt L300 dari Bukittinggi. Mobil ini membawa saya ke Suliki, salah satu kecamatan di Kabupaten Limapuluh Kota. Jalan ke kampong Tan Malaka cukup indah. Jauh dari modern ketika Tan Malaka kecil.
Ketika sampai Payakumbuh, saya terkejut melihat sebuah jalan bernama Tan Malaka. Ini pertama kalinya saya melihat nama jalan dari tokoh kiri hebat macam dia. Saya segera sumringah. Saya hampir sampai rasanya. Saya lalu berganti mobil. Jarang ada mobil ke Padamgadang, kampong Tan Malaka.
Sebagian orang bilang hanya ojek yang bisa bawa saya. Tapi, seorang Ibu yang berjualan lotek menolong saya mencarikan mobil. Setelah menghabiskan lotek saya pun berangkat ke Padamgadang.
Saya belum tahu persis dimana lokasinya. Saya katakana ke sopir, “rumah Tan Malaka”. Supir mengerti dan menurunkan saya di kaki bukit. “Itu, kata dia. Saya turun dan bayar bis lalu keluar. Hanya beberapa puluh meter dari jalan raya. Kata remaja yang tinggal dekat situ, rumah tidak terkunci. Saya masuk.
Tidak ada yang isitimewa di dalamnya. Hanya ada buku-buku terkait dengan Tan Malaka. Seperti Dari Penjara ke Penjara yang legendaries itu. Sudah pasti buku tulisan Harry Albert Poeze—seorang Indonesianis yang selama 30 tahun meneliti tentang Tan Malaka. Saya pernah bertanya, pada Poeze dalam sebuah diskusi di Jogja,kenapa dia betah meneliti Tan Malaka selama 30 tahun? Poeze bilang pada saya, dia melihat sejarah perubahan Indonesia dari perjuangan puluhan tahun dari Tan Malaka.
Ya. Saya percaya hal itu. Tan Malaka memang layak disebut Bapak Republik. Entah karena pikirannya dalam buku Menuju Republik dan juga perjuangannya hingga menjadi buronan Negara Imperialis macam Belanda dan Inggris. Sayang penghargaan pada Tan Malaka begitu kurang. Ini karena kebodohan sejarawan pemerintah yang sok anti komunis, namun tidak pernah tahu esensi dari komunis.
Saya tidak lama di rumah Tan Malaka. Hari hampir sore dan saya harus ke kota yang lain lagi. Hari ini saya sudah ke sekolahnya (di Kweekschool Bukittinggi) dan ke rumahnya juga. Saya seperti mencari teman yang membolos karena pulang kampong. Pada Tan Malaka, saya ingin katakana sesuatu:
“Bung, aku tadi ke sekolahmu. Kau tak disana. Apa kau sedang mebolos di jam gadang? Rasanya tidak. Apa kau sedang ngedate sama Syarifah Nawawi? Wah kurang ajar kau! Kau berani kecengi anak guru. Aku lalu ke rumahmu. Eh kau juga tak ada. Aku mau bertanya Tan, kenapa kau tidak pulang saja ke kampung selulus dari Kweekschool? Hidupmu akan lebih baik. jadi guru yang dihormati. Kau juga tidak akan menjomblo di akhir hidupmu. Setahu aku, gadis Suliki manis-manis Tan. Kau bisa dapat satu setidaknya. Yang paling cantik diantara mereka. Yah. Apa boleh buat, kau pilih jalanmu seperti kupilih jalanku, jalan-jalan. Aku seperti lupa fakta sejarah, kau sudah dihabisi di Kediri. Tapi aku harus bilang kau petualang dan pejuang sejati bung. Salam dariku.”
Perjalanan di Sumatra Barat sejauh ini menyenangkan. Butuh banyak waktu lagi. Terlalu banyak yang harus disinggahi. Tidak semua saya singgahi. Hanya sebagian kecil. Perlu juga untuk kunjungi tanah Minang ini suatu hari. Kuputuskan tinggalkan Payakumbuh. Menuju kota lain sebelum akhirnya kembali bekerja.
Note:
[1] Saya berucap banyak terimakasih pada keluarga besar Bapak Irman dan Pak John yang membawa dan memperkenalkan pada saya tempat bersejarah sisa istana Pagaruyung di Batusangkar dan juga alam indah tanah Minangkabau.
[2] Anthony Reid (peny), Sumatra Tempo Doeloe, Jakarta, Komunitas Bambu, 2011, hlm. 203-211.
[3] Rumah Hatta bisa dikunjungi hingga kini. Kejayaan keluarga orangtua Hatta sebagai pedagang yang terpandang masih bisa disaksikan.
[4] Prof Achmad Syafii Maarif mengatakan itu ketika dalam perkuliahan. Syafii jelas tahu hal itu karena beliau berasal dari Sumpurkudus, yang tidak terlalu jauh dari Bukittinggi.
[5] SMA 2 di kota-kota Indonesia, biasanya adalah bekas Sekolah Pendidikan Guru (SPG).
[6] Sangat jarang siswa yang tahu jika di gedung yang menjadi kelas dan kantor guru itu dulunya adalah tempat Tan Malaka sekolah. Mereka mungkin tidak pernah tahu jika Tan Malaka adalah Bapak Republik.