Orang-orang sering bicara kejamnya pasukan Tjakrabirawa yang
menculik para jenderal pemimpin SUAD. Tapi tak pernah bertanya, Mengapa
Pasukan Untung Tega Membunuh Yani?
Jelang 30 September 1965, Batalyon II Kawal Kehormatan
pimpinan Letnan Kolonel Untung dibariskan dalam sebuah apel. Pasukan Kompi Doel
Arif dikumpulkan. Pasukan yang dikumpulkan tidak banyak tak lebih dari
satu kompi. Bahkan hanya sekitar 60 orang saja. Meski begitu, merekalah ujung
tombak misi penangkapan. “Dini hari, semua pasukan dikumpulkan. Kira-kira pukul
satu dini hari baru ada pemberitahuan dari masing-masing komandan pasukan.
Intinya, tugas kami adalah melakukan penangkapan,” Sersan Kepala Bungkus
dalam sebuah wawancara dengan D&R.
Selain karena Untung komandan Tjakrabirawa, menurut Bungkus:
“karena lebih taktis, bisa langsung akses ke Istana. Sedangkan pasukan lain
bertugas melindungi di garis luar.” Pasukan bergerak dari pukul tiga dinihari,
dan harus sudah di Lubang Buaya sebelum pukul enam pagi. Perintah jelas,
“tangkap hidup atau mati.” Pasukan itu sukses membawa target yang harus
ditangkap. Setelah misi sukses pasukan penculik itu, gerakan Letnan Kolonel
Untung mulai berantakan. Rupanya, tak ada jatah makanan untuk menjaga
perut pasukan juga. Logika gerakan pun mandeg setelah logistik tak terpenuhi.
Pasukan yang dibawa Untung untuk gerakannya adalah pasukan yang
dipimpin Letnan Satu Dul Arif. Untung sudah bersama pasukan itu sejak
lama, sebelum Untung dan pasukannya itu dimasukan dalam Tjakrabirawa. Dulunya,
Untung adalah Komandan Batalyon 454 Banteng Raider Diponegoro yang
bermarkas di Srondol, Semarang. Pasukan Banteng Raider sendiri didirikan
Ahmad Yani ketika operasi penumpasan DI/TII Jawa Tengah, ketika pangkat Yani
masih Letnan Kolonel.
Tentu saja pasukan itu sering berubah formasinya. Orang-orang Jawa
Timur seperti Jaharup, Bungkus, dan Dul Arif dari pasukan Anjing Laut pun
kemudian masuk. Meski berganti formasi, harusnya ada tradisi lisan soal sejarah
pasukan atau sejarah Batalyonnya. Dimana ada cerita soal siapa pendiri pasukan
Banteng Raider. Harusnya, sebagai pendiri Banteng Raider, seharusnya Yani
adalah tokoh yang dihormati pasukan eks Batalyon 454 yang ditempatkan di
Tjakrabirawa. Tentara memang bertindak berdasarkan perintah, jika
perintahnya hanya menangkap, harusnya pasukan penculik yang Letnan
Jenderal Yani, lebih bisa bersabar menghadapi Yani yang keras pada bawahan.
Tak menutup kemungkinan Yani tergolong perwira tak simpatik bagi
banyak prajurit bawahan. Toch, Yani bukan perwira macam M Jusuf—Panglima ABRI
era orde baru yang begitu disayang oleh prajurit TNI rendahan. Ketika Yani
menempeleng salah anggota Tjakrabirawa yang menangkapnya, Raaswad langsung beri
perintah pada Giyadi untuk menembak sang Jenderal. Raaswad dan lainnya
barangkali sudah tak sabar pada Yani. Apakah pasukan penculik terpengaruh pada
isu Dewan Jenderal—julukan bagi sekelompok jenderal yang tidak loyal pada
presiden akan yang akan melakukan kudeta pada Sukarno? Hingga mereka tak merasa
ragu untuk kejam kepada Yani.
Setelah terbunuhnya para jenderal, awan hitam dan mimpi buruk
adalah milik Untung dan pasukannya yang berantakan. Setelah para jenderal
tewas, konon Untung hanya membisu. Dia merasa hilang kontrol atas gerakannya.
Nampaknya dia tak mengerti hingga kenapa Jenderal yang terbawa hidup-hidup
terbunuh semua. Dalam waktu singkat mereka dihabisi. Pasukan Untung yang dari
Tjakrabirawa ditangkapi. Sementara Dul Arif selaku pemimpin eksekusi
terhadap para Jenderal pun hilang. Padahal Dul Arif adalah mata rantai yang
bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di lubang buaya.
Selanjutnya, kemalangan milik Untung . Setelah melompat dari
bus, karena merasa akan ditangkap oleh tentara yang sedang naik bus yang
ditumpanginya. Orang-orang yang melihat Untung lompat dari bus mengira Untung
copet hingga dia dikejar lalu digebuki hingga babak belur. Hansip lalu ambil
alih dan membawa Pahlawan Operasi Mandala itu ke Polisi Militer. Setelah
pengadilan, Untung dieksekusi mati. G 30 S pun makin kabur, sudah pasti terus
menjadi isu nasional yang membuat Mayor Jenderal Suharto—yang merupakan rival
terseblubung Yani—naik bintangnya. Hingga belakangan, setelah Suharto lengser
dari kekuasaan, ada yang menuduh Suharto adalah dalang G 30 S. Pendapat ini
meragukan karena sebelum 1965 Suharto yang pernah kena kasus di Jawa Tengah dan
konon nyaris ditampar Yani adalah perwira yang jauh dari politik macam Yani.
Bintang Yani yang diatas Suharto tentu membuat Suharto tak berani macam-macam.
Dalam Mahkamah Militer Luar Biasa yang mengadili Untung, pernah
menyebut bahwasanya alasan ekonomi (baca: kesejahteraan prajurit) juga pernah
dibahas ketika Untung dan kawan-kawannya menyusun gerakan. Barangkali banyak
prajurit Angkatan Darat tahu soal Yani yang hidup mewah dan poligami—sementara
prajurit bawahan hidup dalam ekonomi yang sulit di masa demokrasi terpimpin.
Diorama di Lubang Buaya begitu gamblang menggambarkan bagaimana
pasukan Tjakrabirawa—yang tugas sehari-harinya menjaga keselamatan
Presiden/Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, Sukarno—menculik para
Jenderal-jenderal Angkatan Darat. Hingga orang-orang terus menyalahkan
Tjakrabirawa. Dan karena ada Syam Kamaruzaman yang dinyatakan sebagai biro
khusus PKI—padahal Biro Khusus tak ada dalam PKI—yang katanya
bertugas membina Perwira Progresif Revolusioner. Hingga jadilah PKI sebagai
tersangka, dalang dari peristiwa yang disebut G 30 S—yang kata rezim Orde Baru
harus disebut G 30 S/PKI agar orang ingat PKI adalah pelakunya.
(Dimuat pertama kali
di http://geotimes.co.id/g-30-s-untuk-perwira-tak-simpatik/)