“Yang tertulis akan mengabadi dan yang terucap akan
terbawa angin.”
Menulis adalah tahap
terakhir dari seorang peneliti setelah dia menelaah apa yang diteliti atau
dipelajarinya. Menulis diktat, selama ini adalah kebiasaan dosen. Namun, tak
ada larangan bagi seorang guru untuk membuat diktat.
Seorang
guru, sebelumnya tentu belajar banyak perihal bidang atau ilmunya
masing-masing. Tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana pun seseorang harus
melalui skripsi. Ketika membuat skripsi pun, sejatinya sangat mirip dengan
menyusun buku. Jadi, di masa sekarang para tentu sudah pernah menulis buku
(alias skripsinya)—dimana sebelumnya mereka telah menulis banyak paper atau
makalah dalam beberapa mata kuliah.
Sebagai seorang guru di era sekarang, tak mesti
seorang guru harus membuat karya tulis ilmiah saja, tak ada salahnya jika
membuat tulisan populer tentang ilmu atau bidang yang diajarkannya. Tulisan populer, nyatanya jauh lebih menarik
untuk baca orang lain, termasuk para siswa. Nah, tujuan guru menulis dalam
konteks ini adalah agar dibaca siswa.
Dengan menulis seseorang akan dipaksa untuk berpikir
lebih jernih dan membaca jauh lebih banyak. Membaca lebih banyak, akan membuat
seseorang bertambah wawasannya. Sejak awal,
guru dituntut untuk memiliki wawasan yang luas, apalagi siswa masa sekarang
saja adalah siswa-siswa yang kritis. Siswa semakin lebih sering bertanya
tentang banyak hal. Tak jarang tentang hal di luar materi pelajaran, namun
sebenarnya masih terkait dengan pelajaran.
Apa yang
harus ditulis guru?
Sebaiknya, guru menulis
tentang apa yang biasa dan harus diajarkan. Tidak harus semua materi, menulis
per bagian dari materi-materi yang diajarkannya pun sudah cukup membantu. Bahkan hal-hal di luar materi pelajaran,
namun terkait pun bisa di tulis. Seumpama Anda baru saja membaca buku, tak ada
ruginya Anda menuliskan resensi atau review buku tersebut. Setidaknya itu akan
menambah pengetahuan siswa, syukur jika siswa tersebut membaca juga apa yang
direview. Sebenarnya, apa yang ditulis guru tak hanya tulisan saja. Untuk
merangsang siswa-siswa yang malas membaca, mencantumkan foto atau gambar
terkait dengan materi yang ditulis
justru lebih baik, walaupun tulisannya tak banyak. Buku bergambar lebih
diminati ketimbang buku yang banyak tulisannya oleh pembaca.
Bagaimana
menuliskannya?
Banyak guru yang sudah
membuat powerpoint sebelum mengajar. Ketika membuat powerpoint sebenarnya seorang guru sudah menulis juga. Ada baiknya, ketika membuat powerpoint guru mencantukan sumber dari
apa yang ditulis di powerpoint, pencantuman
sumber akan memperkuat pendapat dan juga ikut mengajarkan pada murid tentang
kejujuran. Jika seluruh powerpoint itu dikumpulkan, lalu
dikembangkan sebenarnya guru tersebut sudah bisa membuat buku tipis.Bahkan
banyak guru juga punya blog pribadi bahkan punya akun di kompasiana. Saya juga
percaya beberapa guru bahkan sering menulis di harian Nasional. Tak kalah
dengan para dosen di kampus ternama. Beberapa buku bahkan sudah mereka
terbitkan. Idealnya, guru yang menulis bisa menularkan kebiasaan itu ke siswa.
Sesudah itu siswa dibimbing. Pengalaman di sekolah kami ada guru Sosiologi yang
membimbing siswa menulis puisi, kebutulan sang guru yang bernama Narudin itu
adalah penyair. Tak sampai setahun setelah Sang Guru menerbitkan buku puisi indie-nya, si murid yang bernama Satrio
pun merilis buku puisi indie
pertamanya: Tentang Biji dan Yang Lampau.
Apa yang
harus dilakukan guru?
Tentu saja guru harus
membimbing. Di sekolah kami, SMA Sampoerna, tahun lalu Pak Hasan Basri (guru
Sosiologi) mengumpulkan puluhan esai dari hampir dua ratus esai untuk
dibukukan. Beliau mencari yang terbaik, selanjutnya beliau memposisikan diri
sebagai editor yang sering berkonsultasi dengan murid. Maka jadilah buku: Membentang Pita Garuda (Pengalaman Reflektif Memaknai Nilai-nilai
Ke-Indonesiaan), yang diterbitkan penerbitan indie Sibuku dari Jogja.
Tahun
ini, Bu Udan Bitteraty (guru Bahasa Indonesia), juga melakukan hal yang sama
seperti Pak Hasan di tahun sebelumnya. Bedanya, beliau ikut melibatkan beberapa
siswa yang aktif dalam dunia penulisan dalam proses pra-produksi. Ada yang
menjadi editor, illustrator, cover design dan lay-outer. Sedangkal pengalaman
saya, dengan formasi yang dimiliki beliau itu sebuah penerbitan bisa berjalan,
alias mereka bisa bikin penerbitan sendiri, meski mereka baru tahapan belajar.
Nah, dari proyek bersama tahun ini, lahirlah buku: Terra Incognito yang diterbitkan penerbitan indie Garudhawaca.
Tidak
mesti seorang guru. Guru-guru ilmu humaniora dan Bahasa harusnya bisa ikut
memberi bimbingan. Diantara para guru itu bisa mengadakan proyek bersama. Dimana
sebuah tugas siswa bisa dievaluasi dan dinilai oleh beberapa guru bidang studi
yang berbeda. Untuk tema, diantara
guru-guru itu haruslah memiliki benang merahnya. Jika tidak ada halangan, tahun
depan guru Bahasa, Kewarganegaraan dan sejarah berusaha berkolaborasi.
Harus Kemana
Tulisan Itu Kemudian?
Sudah banyak guru yang
meng-upload karya-karyanya di blog pribadi. Dimana banyak
orang bisa mengakses karya-karya itu, termasuk para siswa tentunya. Jika tak puas di blog pribadi, yang sulit
menjaring banyak pembaca, karya-karya itu bisa disalurkan ke Kompasiana.com
atau academia.edu. dia dua media online tadi, karya-karya Anda bahkan bisa
mendapat respon bahkan kritik, dimana dengan kritik kita bisa membenahi karya
kita. Dengan kritiklah guru, peneliti dan penulis bisa maju dan
berkembang. Di Academia.edu, Anda tak
hanya bisa meng-upload artikel pendek. Naskah panjang seperti buku pun bisa Anda upload. Karya Anda akan bisa diakses
oleh banyak orang disini.
Jika
Anda percaya diri dengan buku yang Anda tulis, Anda bisa mengirimnya ke
penerbit buku komersil. Jika Anda tidak
yakin dengan penerbit besar, sementara Anda ingin menerbitkan naskah Anda,
penerbit-penerbit indie sudah menjamur. Bahkan ada penerbit yang mau
menerbitkan naskah Anda, dengan modal Rp 400.000 saja.
Beberapa
murid sering bertanya pada saya: kemana harus mengirim naskah? Saya sarankan ke
mereka kirim ke jalur komersil (penerbit besar) yang ketat dan orientasi
pasarnya yang luar biasa, dan mereka
saya sarankan cari penerbit indie juga macam: Sibuku, Garudhawaca dan
NulisBuku.com—hanya itu yang saya tahu walau ada banyak penerbitan indie diluar sana. Beberapa minggu silam
saya terkejut menemukan buku
Harapan Ke Depan
Guru yang menulis
cenderung dihormati oleh para siswanya, apalagi yang ditulis adalah buku yang
berkualitas dan dibaca oleh banyak orang diluar sekolah. Seorang guru kadang menyuruh siswanya
menulis, jadi guru harus memulainya. Meski jaman sudah banyak berubah, tetap
saja murid masih mengikuti apa yang dilakukan gurunya. Sudah seharusnya, bangsa
Indonesia terus mengembangkan tradisi menulis.
Guru
yang menulis juga akan membuat siswa-siswa yang punya minat untuk menulis untuk
belajar lebih dalam menulis. Bahkan bisa jadi akan membuat siswa lain yang
tidak berminat menulis kemudian mau untuk menulis juga. Jika perlu bentuklah club menulis di sekolah
atau diluar sekolah yang melibatkan para siswa.
Harapan ke depan, adalah ikut memajukan dunia
kepenulisan dan perbukuan di Indonesia yang sebenarnya sedang lesu. Pengalaman menulis, toch akan berguna bagi
siswa kelak ketika menyusun tugas akhirnya. Dan syukur akan ada murid Anda yang
jadi penulis masa depan dengan karya yang lebih baik daripada kita semua.
Setidaknya,
dengan menulis Anda akan selalu dingat murid Anda, bahkan bahkan setelah Anda mati. Kata pepatah Yunani: Scripta Manen Verba Volant (Yang
tertulis akan mengabadi dan yang terucap akan terbawa angin). Dan, “yang
terekam tak pernah mati,” kata The Upstair. Begitu juga yang tertulis.
Petrik M, Guru
Sejarah dan Penulis