Ternyata, cerita dari serdadu-serdadu KNIL asal Bagelen, bisa ditemukan di majalah komunitas pensiunan KNIL: Trompet. Mungkin ini bukti, orang Bagelen punya darah serdadu.
Kampung nenek-moyang, di sisi timur Bagelen[1], kami tak subur. Tak bisa ditanami padi. Hanya singkong dan kelapa yang bisa menghidupi. Waktu orang kampong tak kenal uang semua mungkin baik-baik saja, namun ketika uang sudah dikenal dan didewakan, banyak orang harus pergi berburu uang di kota. Dan, bakat berkelahi yang diwarisi sebagai turunan pengikut Diponegoro yang dulu melawan Belanda, tentu saja membuat banyak pemuda jadi serdadu KNIL. Tak masalah, meski KNIL adalah tentara Belanda juga, karena waktu Diponegoro melawan KNIL belum ada. Ini mungkin pleidoi untuk mereka jadi serdadu, meski sebenarnya uanglah akar utamanya.
Sireng salah satu jagoan kampong. Jadi jago kandang jelas tak baik. Lebih baik adu jago diluar. Kalo kalah tak masalah, yang penting bukan jago kandang. Sireng masuk KNIL. Dan berdinas puluhan tahun. Dua anak pertama lahir di tangsi,yang ketiga lahir di kapal dan satu lagi yang terakhir lahir waktu Sireng pension dan sudah punya nama Ki Hadiwijoyo yang dihormati orang kampong nenek yang kering.
Waktu belum masuk KNIL, Sireng belum bisa baca-tulis, dan setelah dinas dia mulai belajar baca-tulis huruf latin. Tak banyak lagi cerita tentangnya. Hanya saja, dia pernah kunjungi banyak tempat di Indonesia sebagai serdadu KNIL. Kami tak tahu nomor registrasi prajuritnya. Pangkatnya pun cuma Spandrig (prajurit bawahan), tak lebih. Ada banyak pemuda macem Sireng, si kakek buyut saya itu, di tanah Bagelen yang sebagian besarnya gersang.
Mungkin tiap kampungnya pernah berikan pemudanya yang suka berkelahi jadi serdadu dan pulang kampong sebagai orang yang dihormati. Seperti orang Ambon. Ada juga yang tak kembali ke kampong dan pilih tinggal di sekitar kota yang ramai, karena mereka sudah terbiasa dengan hal-hal modern yang barbau barat. Mereka bukan lagi orang kampong.
Redjakrama (No. 20329)
Ada Marsose asal Bagelen bernama Redjakrama. Pemuda kelahiran Kedungwaru, Bagelen—Kabupaten Purworejo sekarang—tahun 1867. Diusianya yang ke-18, tahun 1885 diateekensoldij (daftar jadi tentara) di Gombong. Setehun kemudian Redjakrama dikirim ke Aceh untuk pertama kalinya. Tahun 1887 Redjakrama ditempatkan di Sulawesi.
Tanggal 21 Desember 1888, Redjakrama resmi menjadi kopral dan 2 Oktober 1890 sudah menjadi seorang sersan. Sebuah prestasi hebat untuk seorang pemuda kampung yang tidak terpelajar macam dirinya. Pada 2 Oktober 1901, Redjakrama dimutasikan ke Marsose. Sebagai Marsose Redjakrama telah menunjukan keberaniannya—seperti yang dimuat dalam majalah Trompet. Pada 26 Juni 1904, Sersan Redjakrama ditugaskan di daerah Beureuleueng, Pidie—Nangroe Aceh Darussalam sekarang.
“Sementara berkelahi ini, maka satu bahagian dari kumpulan musuh darai Pang Andah tahan sekuat-kuatnya didalam dua rumah dari sini mereka pasang pada Marsose. Cuma dengan pendek saja, pasangan dari musuh dibalas oleh Marsose, lantas Marsose tarik jatuh dinding dari kedua rumah. Ini pekerjaan dikerjakan oleh brigade, dimana terdapat sesan Redjakrama yang telah enam bulan lamanya pegang komando dari brigade ini yang telah menunjuk gagah beraninya. Ini onderofficer biasa terdapat ditempat-tempat yang ada dan sikapnya ada satu contoh yang bagus buat soldadu-soldadu. Yang perlu sabar dan tiada hilang otak sehat, sebab brigade terdiri dihadapan musuh yang tahan dengan sekuat-kuatnya dirumah-rumah dimana seperti dekking, musuh memakai karung-karung dengan beras. Contoh yang gagah berani dari sesan Redjakrama yang pertama kali masuk rumah, ada sebegitu rupa sehingga dituruti oleh brigade, yang bikin kalah musuh dan sesungguh-sungguhnya.” (TROMPET edisi Februari 1940)
Redjakrama setelah dinasnya, kemudian pension dan tinggal di Cilacap. Semasa dinasnya dia beberapa mendapat medali: MWO kelas 4. Ridder Militairre Willems Orde klaas 4e berdasar Koninklijk Besluit (keputusan Kerajaan) no 49 yang dikarenakan jasa-jasanya bertempur di Aceh.
Matsalim (No. 42308)
Marsose bagelen lainnya adalah: Matsalim. Dia jug lahir pada 1873 di Karangpoh, Bagelen. Di usia yang ke-20 tahun, pada 1893, dirinya bergabung dengan KNIL di Salatiga. Dua tahun kemudian dia dikirim ke Aceh. Tahun 1897, dia dimasukan ke korps Marsose.
Tahun 1903, pangkatnya pun naik jadi kopral. Tujuh tahun kemudian, 1910, pangkatnya naik jadi sersan. Ini mungkin pangkat orang tinggi yang paling banyak dicapai orang kampong, dengan pendidikan tak jelas, dalam kemiliteran KNIL.
Matsalim terbiasa denganAceh, lebih dari 10 tahun dalam karirnya adalah sebagai Marsose di Aceh. Bahkan menjelang pensiunnya ditahun 1913, tepat diusia 40 tahun. Selain di Aceh, dia pernah dikirim ke Sulawesi. Matsalim, ketika cerita ini dirilis sedang menghabiskan masa pensiunnya di Gombong. Begini cerita tentang Matsalim dalam Trompet edisi Juni 1939:
Pada tanggal 25 Maret 1903 terimalah Letnan Satu dari Marechaussee Watrin pada malam dari Lam Meulo dengan 4 brigade afmarscheren (berbaris/berjalan) ke Reudenep untuk menangkap Tangkoe Manja Keumala atau bikin mati ia. Oleh sebab itu, maka tiada lagi berjalan di alur, tetapi diperintahkan akan insluiten (masuk),kampong. Bertentangan dengan musuh berawas-awas, dan sawah-sawah basah, sehingga marcheren (berbaris) diam-diam tak bisa, berjalan didalam hutan juga ada halangan. Sebab disituada terdapat beberapa rumah. Waktu Marsch (jalan), dan membikin omtrekken (lingkar), maka diketahui musuh dan patrouille (patroli) dipasang. Dengan lekas brigade cari masing-masing punya tempat dan satu brigade mulai cari tempat sembunyi dari moesoeh, waktu terang sedikit. Satu watchpost (pos pemantau) dari musuh terdiri 4 orang, mencoba lari dari selatan, disitu tempat yang terdapat separuh brigade dibawah komando Sersan Matsalim. Oleh sikapnya Matsalim yang teratur, maka 4 orang musuh itu ditembak mati; diantara mayat-mayat itu ada mayat dari Pang Aron dari keumala, satu Beamount, gonderbus dan beberapa senjata lainjatuh ditangan brigadenya Matsalim. Pada malam di Keumala Raja dibivak, maka dikasih perintah akan cari lading dari Pang Amat terdapat disebelah selatan dari gunung di keumala. Ladang itu menurut gids (penghantar) terdapat di Aloe Intan, satu kali yang belum diketahui. Pada pagi hari, tanggal 27 Maret, maka patrol itu berangkat, gids itu pada waktu malam tiada bisa tunjuk itu voetpad (jalur). Aloee Intandengan gampang ketemui dan berjalan ikut Aloee Intan keatas. Waktu datang disatu mata jalan, dimana gids menyatakan, bahwa lading dari Pang Amat tiada jauh lagi, maka diperintahkan 2 brigade dibawah komando seorang sersan Belanda berjalan richting (arah) selatan, supaya diatas gunung boleh menjaga. Satu brigade dekking trein (mungkin berkendara kereta), dapat perintah menunggu 10 menit dan kemudian turut Aloee keatas, sedang Letnan Watrin dengan 4 brigade ikut voetpad ke sebelah utara. Sesudahnya naik kereta kira-kira 10 menit., maka letnan Watrin melihat itu lading, dimana terdapat 14 rumah yang berdiri jauh-jauh. Supaya mengasih tempo pada brigade yang dibawah komando dari sersan Belanda ambil stelling (posisi bertahan), maka brigadenya Letnan Watrin diopstel (dipasang) dengan sembunyi. Tiada lama lagi, maka kedengaran revolverschot (tembakan pistrol revolver) dari pihak musuh, waktu itu juga kelihatan satu grup yang dengan cepat naik pada gunung disebelah selatan. Cuma Marechaussee de Fretes yang diingedeeld (ditempatkan) di brigade yang belakang, lari dan tinggalkan teman-temannya, supaya boleh bersama-sama kopral Patty dan kedua laki-laki maju ke muka dengan tiada peduli dengan vuren (tembakan) musuh, asal saja bezetten (menempati tempat) tjot (bukit) yang paling tinggi. Sesudah revolverschot kedengaran, maka ada serupa alarm di lading dan 30 orang Aceh mencoba melarikan mereka punya diri, di jura dan tjot. Satu bagian dari musuh lari dirichting utara, dimana tiada ada afdeeling (bagian) marechausse. Letnan Watrin perintah saru brigade ke richting utara untuk omtrekken (mengitari) musuh, dan potong pas (jalur) mereka. Letnan sendiri pergi ke brigade yang dekken trein ditjot itu, tetapi dekat aloee. Tempo Letnan lihat , bahwa brigade itu mendapat perintah buat omtrkekken musuh barangkali telat, maka ia perintahkan brigade dari brigade dari treindekking buat buru musuh. Seorang kopral yang ditunjuk seperti komandan begitu perlahan, dan dengan begitu susah turun dari tjot, sehingga Letnan Watrin menunjuk Marechausssee Matsalim seperti komandan. Mat Salim turun dari tjot tingginya kurang lebih 30 meter dengan looppas (berjalan); sesudahnya itu lari dengan cepat di lading yang lebar , kurang lebih 100 meter dan penuh dengan pohon-pohon yang ditebang, masuk di kali Aloee dan kemudian naik dengan tiada berhenti tjot yang begitu tanjak, tinggi 150 meter, dan beralang-alang. Pada permulaan dan kemudian Cuma Matsalim dikikuti Marechaussee Laloan.ini Marechausse yang buru pada musuh. Ketemu mereka dan tembak beberapa dari musuh, biarpun Matsalim dan Laloan berulang kali mesti berhenti untuk vuren (menembak) pada musuh. Selain dari ini, maka Matsalim dan Laloan tembak beberapa musuh yang sembunyi di alang-alang. Laloan sendiri afslaan (turun/memberi) satu aanval (serangan) dari dua musuh yang sembunyi di alang-alang, dan kedua musuh ditembak oleh Laloan, dimana dua senapan Beaumont jatuh ditangan kita. Dari 15 orang musuh yang sudah lari kemuaka dan jatuh, maka Cuma 5 orang yang luput dari pelor kompeni (kompi). Matsalim Cuma dengan 6 orang serdadu, tembak 10 orang musuh, diantara yang ditembak terdapat Keuci Putih. Selain dari ini, maka 3 Beaumont, 1 voorlaad, 1 donderbus, dan banyak senjata lainmenjadi kepunyaan kompeni. (Trompet, edisi Juni 1939).
Matsalim yang menjalani hidupnya sebagai pensiunan KNIL di Kuwarasan, Gombong itu, dianugrahi bintang Militairre Willems Orde 4e klasse dan Eervolle Vermelding. Dapat bintang sebagai serdadu KNIL adalah kebanggaan tersendiri.
Sanin (No. 62069)
Tersebutlah seorang pemuda bernama Sanin, yang teekensoldij pada 6 Desember 1900. Usianya 19 tahun kala itu. Terlahir di desa Semawung. Dia pernah dikirim ke Aceh, Sumatra Tengah, dan Timor. Seperti serdadu KNIL lain, dirinya pernah dikirim ke daerah bergolak dimana dirinya pernah terluka. Dengan panjang lebar, Trompet edisi Oktober 1910:
Kediaman di Lewo Lera (Flores) sesudahnya Marsch bivak (tangsi) diaanval (diserang musuh yang kuat dan kemudian mundur ke pantai dari tanggal 25 sampai 29 September 1914. Satu brigade infanteri (prajurit jalan kaki), terdiri dari sersan Belanda, 3 fuselier Ambon, dan 14 fuselier Jawa, pada pagi hari 25 September 1914 dengan sekonyong-konyong diaanval dibivak Lewo Lera (Pulau Lomblen) oleh musuh yang kuat, sehingga hasilnya satu sersan Belanda, komandan brigade dan satu fusilier Jawa meninggal, sedang 2 fuselier Ambon dan 4 fuselier Jawa luka bayah dan 2 fuselier Jawa luka enteng. Cuma 8 fuselier tiada kejadian apa-apa. Dikeliling penduduk yang bermusuh dan kira-kira 1,5 hari marsch (jalan) dari bivak di Wae Komo, maka kedudukan brigade itu amat susah. Biarpun bukan soldadu tua, maka Fuselier Sanin ambil over komando dan urus semua perkara. Ia memberanikan teman-temanya yang akukan ia seperti komandan. Sanin ceritakan teman-temannya akan tahan pada musuh biarpun mereka ada banyak di satu bukit, sampai bantuan dari militairen yang tiada lama lagi datang, sebab seorang strapan (orang hukuman atau orang rantai) telah pergi minta bantuan itu. Stelling yang baru dikuatkan dengan rintangan bamboo, soldadu yang baru luka ditaruh ditengah-tengah dan 4 orang strapan dikasih pakaian seperti soldadu, dan dikasih senjata, supaya musuh boleh keliru dari kekuatannya brigade. Pada hari itu begitu pun dua hari yang lain musuh maju ke bivak. Hari kedua, musuh bakar tiada jauh dari bivak dan pasang pada brigade vuurlaadgeweren (mungkin maksudnya temabakan senjata api). Semua aanvallen ini ditangkis dan dibalas dengan pasangan (mungkin tembakan) dari brigade. Sesudahnya 3 hari dan 2 malam tahan pada musuh, dengan tiada dapat pertolongan maka brigade mengerti juga, bahwa tahan sedemikian tiada bisa diteruskan. Brigade tidak mempunyai kekuatan lagi oleh tiada tidur dan terus dipost, begitupun rawati mereka yang luka dimana diantara mereka telah meninggal dunia. Selain dari ini, maka bangkai dari mereka yang yang meninggal begitu bau sehingga tiada bisa tahan lagi. Pada malam ketiga, troep (pasukan) mundur dengan begitu susah, sebab amat capai (lelah). Troep ini terdiri dari 13 orang, dimana 5 yang luka payah dan 2 luka enteng. Biarpun begitu capai mereka tinggal menunjuk keberanian mereka, sikap ini yang dipuji amat. Bukan saja mereka yang luka , tapi juga semua wapens (senjata) dan patronen (bawaan) dibawa, sampai satu zak (kantung) yang penuh dengan uang-uang belasting (pajak). Troep ini juga sekali-kali tiada mamu kasih tinggal apapun di bivak. Dua orang yang luka payah dipikul oleh 4 orang strapan didalam tandu. Sedang ketiga yang luka payah oleh sebab tiada tandu lagi, dipikul sendiri oleh Sanin. Begitu troep ini maju dengan perlahan dalam gelap gulita, dengan mencoba jalan puter kampong Lewo Lera, supaya boleh datang di pantai. Dengan segera musuh tahu maksudnyabrigade, sehingga terpaksa tinggalkan voetpad dan berjalan terus lewat terrain (tempat) umtuk sampai di pantai. Biarpun begitu brigade bisa teruskan perjalannya dengan berulang kali lawan pada musuh dan mesti jalan turun ke satu jurang yang dalam. Pada salah satu rustplaats (peristirahatan), maka dengan tiada sengaja satu karaben (senapan pendek) dengan tiada mempunyai Grendel (kunci) ditinggalkan.tempo sudah berjalan jauh, maka berpikirlah brigade itu apakah mereka mesti kembali ambil itu karaben, tetapi penghabisan diputus, putusan ini adalah baik, kasih tinggal saja itu karaben. Juga pada hari esoknyamesti Marsch terus dan lagi satu malam mesti berdiam di terrain yang mempunyai tumbuh-tumbuhan. Waktu troep itu dengar stoomfluit darikapal setengah komepni, maka ia serupa menambah kekuatan kekuatan pada mereka. Pada hari 29 September 1914 dengan memaksa marsch terus dan penghabisan jam 10 pag, maka mereka sampai di pantai, dimana mereka mendapat pertolongan dari lain brigade yang datang untuk kasih bantuan. Brigade ini bertemu dengan mereka yang sudah semuanya tenaganya hilang, kelaparan dan dimana merek yang luka amat payah. Kesusaha besar tiada lama dihabiskan, waktu mereka dinaikan diatas kapal Pelikaan. Boleh dikata bagian besar dari pekerjaan ini sampai brigade itu berselamat adalah dari fusilier Sanin, tetapi juga oleh pertolongan besar dari teman-temannya dan 4 orang strapan. Jikalau ini tidak ada, maka musuh bisa bikin habis semua yang orang yang di brigade. (Trompet, Oktober 1940)
Begitulah cerita Sanin dan pasukannya yang bertahan hidup dari kejaran pemberontak yang nekad melawan pemerintah kolonial itu. Tak lama setelahnya, 11 Desember 1914, Sanin naik pangkat jadi kopral, setelah 14 tahun berdinas. Dan 18 Juni 1919, dirinya naik pangkat jadi Sersan. 22 Desember 1923, Sanin pension dari KNIL dan tinggal di Gombong. Dia memperoleh bintang MWO kelas 4.
NB: [1] Bagelen saat ini adalah nama Kecamatan di Kabupaten Purworejo. Sebenarnya dahulu ada yang disebut Karesidenan Bagelen, sebelum akhirnya dihapus.