Butahuruf bukan ahkhir segalanya, karena revolusi nyatanya bisa jadi jalan kemuliaan. Dan Revolusi adalah jalan Abdullah jadi perwira, yang mungkin dia tidak pikirkan sebelumnya.
Revolusi, tak hanya menghilangkan kambing, radio, pakaian beras dan lainnya. Revolusi mampu membalikan sebuah keadaan—yang semula tertutup menjadi terbuka—untuk sementara waktu, selama revolusi. Revolusi Indonesia mampu menghancurkan strata baru, yang walau belakangan dimapankan dengan bungkusan yang baru. Perubahan hanya ada ketika revolusi, setelahnya keadaan kembali seperti semula.
Kita mungkin pernah nonton film Nagabonar, dimana seorang bekas copet yang mendadak jadi gerilyawan disegani dengan konyolnya mengangkat diri jadi Jenderal. Ini film mungkin fiksi, namun dalam kehidupan nyata ada juga mantan copet yang ngaku Jenderal bernama Timur Pane.
Di sekitar front Jawa Timur, ada bekas tukang becak yang sebelum tahun 1947 masih buta huruf. Konon, pemuda tukang becak yang berasal dari Gorontalo ini lahir tahun 1920. Dia baru berhenti jadi tukang becak tahun 1945, bertepatan dengan datangnya revolusi. Pemuda bernama Abdullah, mungkin ada yang menyebutnya Dullah.
Revolusi adalah latihan dasar kemiliterannya. Peristiwa 10 November 1945, adalah medan pertempuran pertamanya, bahkan bisa jadi terhebat dalam hidupnya. Menggempur tentara asing berpengalaman macam Inggris, tentu prestasi yang hebat.
Mula-mula, Dullah bergabung sebagai anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR) Laut. Meski namanya BKR Laut, sebenarnya pasukan ini jauh lebih banyak bertempur di darat ketimbang di laut. Sebagai anggota ALRI Divisi VII, dirinya menunjukan kemampuan memimpin pertempuran, sebagai komandan kompi. Akhirnya, dirinya dijadikan komandan Batalyon—yang membawahi beberapa kompi.
Tentang karir militernya Rusdi Hoesein menulis:
Pada tahun 1946, Abdullah memimpin pasukan yang diberi nama “Bajak Laut”. Pasukan ini mampu bertahan disebelah utara Sidoarjo. Dalam pertempuran disekitar Buduran-Sruni, Abdullah mampu memperlihatkan kecakapannya dan keberaniannya. Karena kemampuannya memimpin pasukan itulah pada April 1947, dia di-serahi memimpin barisan “Pelopor” dengan pangkat Kapten. Ketika TLRI direorganisir pada Maret 1948, Barisan Pelopor berubah menjadi “Depot Batalyon”. Markasnya juga pindah kesekitar Lawang. Sebagai komandan Abdullah naik pangkat menjadi Mayor. (Roesdy Hoesein, Pahlawan 10 November yang Gugur di Ceram,sejarahkita.blogspot.com)
Dullah yang awalnya buta huruf, mulai istrinya membaca setelah diajari istrinya yang konon Indo, pada 1947. Sang istri, yang saya tidak tahu namanya, adalah lulusan HBS 5 tahun. Bukan perempuan bodoh pastinya. Kemampuan membaca harusnya membuat karirnya bertambah baik. Ketika itu Abdullah terlibat gerilya di sekitar Jawa Timur. Broer Tumbelaka dan J.F Warouw, yang belakangan terlibat perjuangan Permesta, adalah kawan seperjuangannya. Pasukan yang dipimpin Dullah isinya bermacam-macam etnis.
Nama militer Indonesia memang silih berganti, begitu pun organisasinya. Berdasar dekrit wakil Presiden, September 1948, TLRI dilebur menjadi TNI. Depot Batalyon, yang dipimpin Abdullah pun menjadi Batalyon XVII, Brigade I Divisi Brawijaya. Dimana Kolonel Sungkono yang pernah terlibat pemberontakan Kapal Zeven Provincien adalah komandan divisi ini. Selama di Batalyon 17, kepala staf Batlyon adalah Broer Tumbelaka, orang Manado, yang menjadi kepala staf pasukan. . (Barbara Silar Harvey, Permesta: Pemberontakan Setengah Hati, hlm. 216.)
Abdullah tampak dekat dengan kelompok kiri (sosialis). Dia bersama Warouw ikut serta penandatangan Pakta Kawi, yang nampaknya independen dan bebas dari pengaruh petinggi tentara di Yogyakarta. (Harry Albert Poeze, Tan Malaka: gerakan kiri, revolusi Indonesia IV, hlm. 308) Nampaknya, ini diindikasikan jika Abdullah adalah komandan kiri. Konon, Slamet Riyadi pun juga dianggap kiri, setidaknya berasal dari Divisi Senopati yang kiri. Ketika berlangsung perundingan Linggajati, antara Indonesia dengan Belanda di KUningan, Kapten Abdullah adalah pimpinan pasukan TLRI yang bertugas didaerah Kuningan. Ketika itu, Perdana Menteri adalah Syahrir yang sosialis.
setelah Belanda angkat kaki dan bekas pasukan KNIL yang tergabung dalam Republik Maluku Sleatan yang diproklamirkan Soumokil, Abdullah pun dikirim kesana. Abdullah nampkanya terbiasa memimpin siapa saja. Namun, sniper RMS adalah musuh tersembunyi yang bisa membunuh siapa saja, termasuk Abdullah. Dalam bukunya, Kawilarang mengatakan:
Batalyon Abdullah sudah menempatkan pasukan APRIS di kepulauan Tamimbar, Kei, Aru hingga kepulauan Geser dan beberapa tempat di Seram Selatan. Mayor Abdullah gugur dalam salah satu pendaratan di Seram Selatan. Ternyata pasukan RMS dapat menyeberangkan sebagian pasukannya dengan perahu-perahu ke Pulau Seram dan menyerang Amahai. Tetapi serangan ini dapat di patahkan oleh pasukan Mayor Soeradji. (Ramadhan KH, Untuk Sang Merah Putih.)
Dalam buku "Sedjarah Bataljon Y", tercatat: Mayor Abdullah gugur pada tgl 25 September 1950 dalam pendaratan di Negeri Angar Ceram Timur. Dia gugur dalam posisinya sebagai komandan batalyon XVII Divisi Brawijaya (Jawa Timur).
Soal orang ini masih menarik untuk dibicarakan. Termasuk pengirimannya ke menumpas RMS. Kenapa harus komandan yang dekat dengan orang kiri macam Slamet Riyadi dan Abdullah yang dikirim. Belakangan mereka berdua gugur disana. Dibalik opini yang herois, mungkin ada sebuah kebetulan disana. Perwira kiri yang handal, meski minim pendidikan militer, yang bisa jadi saingan perwira yang lebih berpendidikan.
Kematian mereka, setidaknya, walau tanpa disengaja, bisa jadi menguntungkan perwira-perwira yang beda paham dengan dua orang yang karismatik ini. Kebetulan lagi, nama Mayor ini kalah sohor dan terlupakan. Begitu sedikit yang saya tahu soal Mayor hebat ini. Dia pembuat sejarah kaum tak berpunya yang mampu menonjol dalam sejarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar