Kenapa harus malu dibilang Kampungan atau nDeso? Itu adalah fakta bagi banyak orang Indonesia.
KAMPUNGAN, jadi teringat album Slank, band papan atas Indonesia. Kampungan, memang jadi kata yag memalukan di beberapa kalangan. Karena identik dengan orang yang kurang beradab dan ketinggalan jaman. Entah siapa yang memulai itu? Dasar gila, memang kampung salah apa? Hingga kata kampungan begitu buruk?
Kitorang, sedari dulu dasarnya emang kampungan. Kenapa tidak, toch banyak dari kita yang tinggal di kampung-kampung. Itu fakta. Meski tinggal di rumah gedongan atau bangsal-bangsal, tetap saja masih ada mental kampung diantara kita.
Akar orang-orang di Nusantara (nama keren dari Indonesia) adalah desa (kata lain dari kampung). Begitulah. Karena kota sendiri adalah hal baru. Sepertinya, orang-orang India yang pernah punya Mahenjodaro-Harappa, adalah orang-orang yang mempengaruhi orang-orang di Nusantara untuk memiliki kota. Kitorang bisa lihat bagaimana kota kuno Majapahit di Trowulan. Tapi, rasanya jauh lebih banyak kampung di Indonesia ketimbang kota.
Jauh sebelum bangsa asing masuk ke Indonesia, orang-orang Indonesia sudah beradab. Lihat saja kampung-kampung di Flores atau Nias yang tidak terasa sama sekali pengaruh Hindu atau Budha.
Orang-orang di Nusantara sudah kenal kampung dari awal. Kampung adalah susunan masyarakat terpenting bagi orang-orang di Nusantara. Sedari awal, masyarakat di nusantara hanya kenal kampung. Setelah masa kehidupan berburu dan berpindah-pindah, mereka hidup menetap dan pelan-pelan kampung-kampung terbentuk di nusantara.
Orang kampung tidak butuh sistem kerajaan, seperti yang dibawa orang-orang India, sebenarnya. Orang kampung hanya perlu kepala kampung yang bijaksana. Yang mengerti kebutuhan mereka. Yang selalu melindungi semuanya. Kita semua tahu, raja kadang sering lalim. Cuma bisa menindas dengan perang, lalu pungut hasil panen, tak lupa ambil perempuan kampung untuk penuhi hasrat raja yang katanya suci.
Mereka sebenarnya bisa hidup damai sebelum orang asing datang. Karena tiap manusia pasti punya hasrat jadi raja. Agar bisa semena-mena atau setidaknya kaya dan dihormati. Sistem kerajaan, karena rawan permusuhan, rasanya tidak baik bagi orang-orang kampug rindu damai. Dalam sejarah, sering terjadi perang antar kerajaan, dengan alasannya ingin berjaya katanya. Belum lagi permusuhan dilingkungan keluarga raja sendiri sering bikin suasana tidak tentram. Dan orang kampung pasti jadi korban.
Kampung, atau biasa disebut desa, begitu penting sebenarnya. Kota-kota biasanya tidak bisa hidup tanpa adanya kampung-kampung. Bahkan di dalam kota-kota juga ada kampung-kampung yang membuat kota jadi hidup. Kota butuh kampung karena dari kampung dipinggiran kota yang punya lahan pertanian, orang kota bisa dapat pasokan makanan.
Tidak heran jika gerilyawan komunis menganggap kampung begitu penting. Karena makanan ada disana. Jika kampung dipegang, maka kemenangan atas serangan kaum komunis ke kota hanya menunggu waktu saja. Begitulah tentang, “desa mengepung kota.”
Jadi, banggalah jadi orang kampung. Toch kekuatan orang-orang di Indonesia adalah di desa. Desa adalah akar. Desa adalah rumah. Desa pastinya juga lumbung. Dimana kehidupan bisa berjalan karenanya. Kota hanyalah pusat segala administrasi dan pasar yang tidak akan hidup tanpa desa.
Pernah ada orang bilang, tidak ada kota besar di Indonesia, hanya ada desa besar. Mungkin terkait dengan perilaku orang Indonesia yang tidak bisa tertib. Orang kampung, pada dasarnya orang yang penyabar, namun budaya kota membuat orang-orang kampung kekota-kotaan dan jadi agresif.
Akhirnya kampung sebagai tempat yang nyaman pun hilang. Namun beberapa kampung seperti sebagaian kampung-kampung Badui seolah berusaha menjadi diri mereka sendiri. Bangga jadi orang kampung yang damai.
Jadi, kepada semua orang Indonesia, sadarilah kampung sebagai akar kita. Dari sana kita bisa hidup dan kota nyatanya hanya formalitas. Dan, soal Negara apapun bentuknya, hanya pelengkap yang kadang tidak perlu dan menyebalkan. Padahal dengan hidup di kampung saja, orang-orang nusantara pernah sentosa.
Banggalah jadi orang kampung.