Senin, Februari 20, 2012

Untuk Yang Berhak

Beasiswa, harusnya bisa menjadi sebuah penghargaan atas tindakan positif dan kerja keras, dan juga menjadi harapan atas masa depan yang lebih baik untuk semua.

Tersebutlah bocah dekil penuh kudis. Dia berumur 9 tahun. Ketika itu dia sedang bermain bersama teman-temannya di dekat alun-alun. Seorang Belanda, bernama Hazeu, lalu memberikan beberapa keping uang ke bocah dekil itu. Hazeu lalu geleng-geleng. Si bocah dekil itu kemudian membagi kawan-kawannya. Hazeu terkesima. Lalu si bocah dekil itu dijadikan anak angkatnya. Tentu saja bocah dekil itu di sekolahkan. Bocah dekil itu tak lain adalah Alimin.[1]

Hazeu adalah pejabat urusan pribumi Hindia. Dia adalah pejabat penting di HIndia Belanda. Alimin, yang berasal dari keluarga miskin itu kemudian di sekolahkan di sekolah elit bernama Europe Lager School—yang biasanya diperuntukan bagi anak-anak Eropa maupun pribumi kaya di Hindia Belanda (Indonesia sekarang). Alimin kemudian dikenal sebagai tokoh pergerakan kiri yang membuat Indonesia merdeka juga.[2] Alimin bukan satu-satunya anak Indonesia berasal dari keluarga miskin yang beruntung. Mungkin masih banyak contoh.

Hazeu mengambil Alimin sebagai anak karena bocah ini memiliki rasa berbagi yang sangat tinggi. Bagaimana mungkin bocah miskin, yang tidak punya uang anyak, masih mau berbagi uang. Alimin jelas luar biasa di masa bocahnya. Hazeu memilih orang yang tepat untuk di sekolahkan.

Bagi Yang Berminat

Tidak semua anak miskin berminat untuk sekolah. Pikiran mereka lebih banyak untuk berpikir bagaimana caranya bertahan hidup dan mencari uang. Penting kiranya untuk mencari hanya anak-anak yang berminat keras. Biasanya anak yang punya minat dia akan berusaha keras untuk mejadi lebih baik dan mengusai sebuah bidang.

Sudjojono, Bapak Ahli gambar Indonesia, juga berasal dari keluarga miskin. Namun, beruntungnya, sejak usia 4 tahun si bocah sudah djadikan anak angkat oleh seorang guru. Hingga bisa bersekolah dan menjadi ahli gambar atau pelukis terkemuka Indonesia. Sedari kecil, Sudjojono memang pintar hingga diangkat anak oleh Yudhokusumo—sang guru yang baik hati itu.

Sangat sulit untuk bisa mencari anak yang berminat sekolah seperti yang dilakukan Hazeu. Sekolah mungkin tidak terpikir Alimin awalnya. Begitu juga Yudhokusumo mengangkat Sudjojono sebagai anak. Baik Alimin atau Sudjojono, jelas keduanya memiliki sisi menonjol, walau belum menghasilkan prestasi.

Di masa kini, beasiswa biasanya diberikan kepada anak-anak yang diketahui cerdas meski belum memiliki prestasi. Penting juga untuk mengetahui minat seorang bocah yang tidak mampu bersekolah. Biasanya, seorang bocah memiliki cita-cita tinggi. Sedikit diantaranya obsesif. Hingga mereka tampak keras berusaha mengejar cita-cita atau mimpi mereka.

Penghargaan dan Harapan

Selain minat belajar, perlu kiranya dilihat latar belakang atau tindakan positif si anak dari keluarga miskin. Seperti yang pernah dilakukan Alimin. Membagi uang, seperti dilakukan Alimin yang sama miskinnya, pada anak miskin lainnya jelas hal luar biasa.

Banyak juga anak-anak miskin dengan pemikiran maju, meski hidup mereka dalam kesulitan. Mereka biasanya punya mimpi. Mulai dari ingin punya taman bacaan dan lain sebagainya. Diantara anak-anak itu juga, pasti ada yang berjiwa pemimpin. Anak berjiwa pemimpin biasanya memiliki semangat tinggi untuk terus belajar dan bertindak.

Rasanya penting juga bagi pihak pencari anak-anak penerima beasiswa dari keluarga miskin, untuk melihat hal positif yang pernah dilakukan si anak. Setidaknya sebagai penghargaan tas solidaritasnya. Dan harapan kedepannya, dengan ilmu dan kesuksesan yang dimiliki di masa depan, maka dia bisa menolong orang miskin yang lainnya.

Banyak bocah-bocah miskin di masa-lalu. Banyak diantara mereka yang tidak mampu bersekolah. Tidak heran jika seorang bernama RM Suryopranoto, kakak dari KI Hajar Dewantara mendirikan Hollands Inlandsche School Adhi Dharma di Yogyakarta. Sebuah sekolah untuk anak-anak miskin.[3] Tentu saja itu hanya bisa dinikmati oleh anak-anak di sekitar Yogyakarta saja.

Setidaknya, sedikit anak itu bisa menjadi pemimpin di kampungnya. Dimana akan ada harapan kampong akan bisa lebih maju dan tercerdaskan pelan-pelan.

Note:

[1] Tempo, 8 November 2010.

[2] Parakirti Simbolon, Menjadi Indonesia, Jakarta, Kompas, 2003, hlm. 619.

[3] Bambang Sukawati, Raja Mogok Suryopraoto: Sebuah Buku Kenangan, Jakarta, Hasta Mitra, 1983, hlm. 72-74.

Tidak ada komentar: