"Sejarah akan bicara dari mulut anak-anaknya. Sejarah ada karena manusia ada. Hingga akhir dunia sejarah akan tetap ada."
Jumat, November 26, 2010
Yang Terlupakan di Baret Merah
Orang hanya mengenal Prabowo Subianto atau Benny Murdani sebagai tokoh penting dalam sejarah pasukan komando Indonesia. Ternyata ada banyak orang yang membangun korps yang ditakuti dan disegani ini. Beberapa dari tokoh dalam sejarah pasukan komando Indonesia, memang nyaris terlupakan.
Apapun yang terjadi, serta siapapun yang berkuasa, nama mereka harus masuk dalam sejarah militer Indonesia. Walau mereka pernah bersebrangan dengan pemerintah. Ataupun mereka bukan berdarah Indonesia. Orang asing yang berjasa pada militer Indonesia diantaranya adalah Hunzhohl di Marinir (KKO) atau Rokus Bernadus Visser.
Andi Azis: Orang Indonesia Pertama
Dia memang bukan anggota Kopassus. Namun pengalamannya sebagai orang Indonesia yang pernah dilatih sebagai pasukan khusus oleh tentara Inggris cukup menarik. Andi Azis sendiri hanya sebentar di TNI sebelum berontak. Jika masih berdinas di TNI dia tentu akan ditempatkan di pasukan khusus karena pengalamannya bertempur ala komando di Eropa.
Andi Abdul Azis asli Bugis putra orang Bugis. Andi Azis lahir tanggal 19 September 1924, di Simpangbinangal, kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Andi Azis memulai pendidikan dasarnya di Europe Leger School namun tidak sampai tamat. Europe Leger School adalah sekolah dasar kolonial yang memiliki gengsi paling tinggi dibanding Holandsche Inlandsch School. Sekolah ini diprioritaskan untuk anak-anak Belanda atau Eropa. Walau begitu banyak juga anak-anak pribumi terpandang yang belajar disekolah ini. Andi Azis tidak lulus sekolah ini bukan karena dia tidak mampu secara akadenis maupun finansial, melainkan karena dibawa ke Negari Belanda sebelum lulus—ketika dibawa ke Negeri Belanda usianya sekitar 11 tahun.[1]
Andi Azis lalu diangkat sebagai anak dibawa seorang pensiunan Asisten Residen bangsa Belanda ke negeri Belanda. Di Negeri Belanda tahun 1935 ia memasuki Leger School dan tamat tahun 1938, selanjutnya meneruskan ke Lyceum sampai tahun 1944.[2] Sebenarnya Andi Azis sangat berhasrat untuk memasuki sekolah militer di negeri Belanda untuk menjadi seorang prajurit Belanda pada masa damai. Tetapi niat itu tidak terlaksana dengan baik karena pecah Perang Dunia II. Namun Andi Azis jadi anggota militer juga. Andi Azis memasuki Koninklijk Leger (KL), Tentara Kerajaan Belanda di Negeri Belanda.
Di KL, Andi Azis bertugas sebagai tim pertempuran bawah tanah melawan Tentara Pendudukan Jerman (NAZI). Dari pasukan bawah tanah kemudian Andi Azis dipindahkan kebelakang garis pertahanan Jerman, untuk melumpuhkan pertahanan Jerman dari dalam. Karena di Eropa kedudukan sekutu semakin terjepit, maka secara diam-diam Andi Azis dengan kelompoknya menyeberang ke Inggris, daerah paling aman dari Jerman—walaupun sebelum 1944 sering mendapat kiriman bom Jerman dari udara.[3]
Di Inggris kemudian Andi Azis mengikuti latihan pasukan komando di sebuah Kamp sekitar 70 kilometer di luar London. Andi Azis lulus dengan pujian sebagai prajurit komando. Selanjutnya mengikuti pendidikan Sekolah calon Bintara di Inggris dan menjadi sersan kadet (1945).[4] Di bulan Agustus 1945 karena SEAC dalam usaha mengalahkan Jepang di front timur memerlukan anggota tentara yang dapat berbahasa Indonesia, maka Andi Abdul Azis kemudian ditempatkan ke komando Perang Sekutu di India, berpindah-pindah ke Colombo dan akhirnya ke Calcutta dengan pangkat Sersan.[5]
Andi Azis mungkin satu-satunya orang Indonesia yang mendapat latihan pasukan komando di Inggris. Andi Azis juga orang Indonesia yang ikut menjadi bagian, walau tidak secara langsung, dari kelahiran pasukan-pasukan komando dunia seperti SAS milik Inggris dan KST Belanda. Andi Azis, seperti halnya Westerling, merupakan orang-orang yang luar di negeri Belanda yang ikut membebaskan Belanda dari pendudukan Jerman. Seperti Halim Perdana Kusuma, Andi Azis juga orang Indonesia yang ikut serta dalam perang Dunia II di front Barat Eropa.
Setelah Jepang menyerah tidak syarat pada sekutu, Andi Azis diperbolehkan memilih tugas apakah yang akan diikutinya, apakah ikut satuan-satuan sekutu yang akan bertugas di Jepang atau yang akan bertugas di gugus selatan (Indonesia). Dengan pertimbangan bahwa telah 11 tahun tidak bertemu orang tuanya di Sulawesi Selatan, akhirnya ia memilih bertugas ke Indonesia, dengan harapan dapat kembali dengan orang tuanya di Makassar.
Pada tanggal 19 Januari 1946 satuannya mendarat di Jawa (Jakarta), waktu itu ia menjabat komandan regu, kemudian bertugas di Cilinding. Dalam tahun 1947 mendapat kesempatan cuti panjang ke Makassar dan mengakhiri dinas militer. Tetapi di Makassar Andi Azis merasa bosan. Ditinggalkannya Makassar untuk kembali lagi ke Jakarta dan mengikuti pendidikan kepolisian di Menteng Pulo, pertengahan 1947 ia dipanggil lagi masuk KNIL dan diberi pangkat Letnan Dua. Selanjutnya menjadi Ajudan Senior Sukowati (Presiden NIT), karena Sukowati berhasrat memiliki Ajudan bangsa Indonesia asal Sulawesi (Makasar), sedang ajudan seniornya selama ini adalah Kapten Belanda totok. Jabatan ini dijalaninya hampir satu setengah tahun, kemudian ia ditugaskan sebagai salah seorang instruktur di Bandung-Cimahi pada pasukan SSOP—sekolah pasukan payung milik KNIL bernama School tot Opleiding voor Parachusten—(Baret Merah KNIL) dalam tahun 1948.
Pada tahun 1948 Andi Azis dikirim lagi ke Makasar dan diangkat sebagai Komandan kompi dengan pangkat Letnan Satu dengan 125 orang anak buahnya (KNIL) yang berpengalaman dan kemudian masuk TNI. Dalam susunan TNI (APRIS) kemudian Ia dinaikan pangkatnya menjadi kapten dan tetap memegang kompinya tanpa banyak mengalami perubahan anggotanya.[6]
Tentu saja pasukan dari kompi yang dipimpinnya itu bukan pasukan sembarangan. Kemampuan tempur pasukan itu diatas standar pasukan reguler Belanda—juga TNI. Daerah Cimahi, adalah daerah dimana banyak prajurit Belanda dilatih untuk persiapan agresi militer Belanda II. Ditempat ini setidaknya ada dua macam pasukan khusus Belanda dilatih: pasukan Komando (baret hijau); pasukan penerjun (baret merah). Andi Azis kemungkinan melatih pasukan komando—sesuai pengalamannnya di front Eropa.
Pasukan Andi Azis ini menjadi salah satu punggung pasukan pemberontak selama bulan April sampai Agustus di Makassar—disamping pasukan Belanda lain yang desersi dan tidak terkendali. Apa yang terjadi dalam pemberontakan APRA Westerling yang terlalu mengandalkan pasukan khusus Belanda Regiment Speciale Troepen—yang pernah dilatih Westerling—maka dalam pemberontakan Andi Azis hampir semua unsur pasukan Belanda terlibat terutama KNIL non pasukan komando. Westerling kurang didukung oleh pasukan KNIL—Westerling lebih menaruh harapan pada RST yang desersi. Pasukan lain non RST hanya pasukan pendukung semata. Pemberontakan Andi Azis, tulang punggung pemberontakan adalah semua pasukan tanpa melihat kualifikasi pasukan.
Alex Kawilarang: Pendiri Kopassus
A.E. Kawilarang mengikuti jejak sang ayah, menjadi perwira KNIL. Jalur yang ditempuh Alex berbeda dengan yang ditempuh sang ayah. Sang ayah masuk KNIL ketika masa damai lewat Inlandsche Officieren School, sedang Alex menjalani sesuatu yang baru di Hindia Belanda, Akademi Militer. Saat itu Belanda terjepit oleh ancaman Jepang.
Beberapa pemuda Indonesia di beri kesempatan belajar di KMA untuk dijadikan perwira KNIL. Pemuda-pemuda itu tentu bukan pemuda sembarangan. Mereka setidaknya harus lulusan sekolah menengah. Seperti diakui Alex Kawilarang, “kedudukan orang tua memungkinkan saya masuk HBS-V Bandung.” Ayahnya adalah pensiunan Mayor KNIL. Setamat HBS 5 tahun itu di Bandung itu, Alex memilih masuk CORO sebelum akhirnya masuk KMA Bandung.[7]
Mengikuti jejak sang ayah adalah hal biasa bagi seorang anak. Hal yang lumrah jika kemudian Alex Kawilarang masuk KNIL sebagai perwira. Tahun 1940 Alex masuk CORO dan sembilan bulan lamanya saya dilatih dan belajar disitu. Waktu itu pemerintah Belanda mempercepat mengisi kebutuhan akan perwira-perwira. Pada tingkat pertama semua menjadi milisi biasa. Pada tingkat kedua diadakan seleksi. Yang terpilih jadi bintara-bintara militer. Setelah itu mereka diseleksi lagi dan yang terpilih lagi menjadi taruna-taruan (kadet) dan langsung duduk ditingkat kedua KMA. Selebihnya menjadi vaandrig (pembantu letnan calon perwira) milisi. Beberapa ratus pemuda Belanda dan beberapa belas pemuda Indonesia diterima menjadi siswa milisi CORO di Bandung. Kebutuhan perwira juga prajurit membuat petinggi militer di Hindia Belanda berpikir cepat untuk mengisi tenaga pertahanan.
Tahun 1941 Alex diterima masuk di KMA. Diantara kami ada tujuh orang Indonesia disiapkan menjadi Infanteri, yaitu A.H. Nasution, Aminin, Rachmat Kartakusuma, Mantiri (yang bersama ayah Alex Kawilarang A.H.H Kawilarang pada tanggal 18 September 1944 tenggelam din Laut Hindia dekat Muko-muko, perbatasan Bengkulu-Sumatra Barat, sebagai tawanan Jepang) Liem King Ien, Lim Kay Hoen dan saya. Satu orang di Arteleri, Askari. Dan dua orang untuk administrasi, yakni Samsudarso dan Tan. Waktu latihan kami sangat berat, sehingga terbatas sekali waktu untuk rekreasi. Ada dua ratus siswa KMA dalam dua tahun pendidikan yang dibagi dalam enam seksi itu. Alex termasuk diantara yang seratus orang yang duduk dikelas tertinggi.”[8]
Masuk CORO tidaklah mudah, seleksi diadakan ketat sekali. Menurut T.B Simatupang, seleksi masuk KMA. Ada beberapa tahapan bagi calon kadet yang akan belajar di KMA dengan masuk CORO terlebih dahulu. Pertama, orang-orang pribumi yang mendaftar menjadi sukarelawan akan dites selama dua sampai tiga bulan, jika lulus mendapat pangkat brigadir. Dengan pangkat Brigadir mereka akan menjalani masa uji coba lagi pada tahap dua. Jika lulus dalam tahap dua mereka akan menyandang pangkat sersan. Para sersan ini dimasukan ke CORO di Bandung. Pendidikan CORO berlangsung selama sembilan bulan. Setelah itu akan ada seleksi tahap tiga untuk para sersan CORO itu. Jika lulus, mereka akan dimasukan ke KMA dengan pangkat sersan-kadet.[9]
Pendidikan di KMA bagi kadet yang pernah dilatih di CORO dimulai dengan kurikulum tahun kedua. Begitu juga bagi yang telah menjalani wajib militer atau Dienstplicht. Mantan kadet pelatihan CORO atau wajib militer yang telah menjalani pendidikan dan pelatihan militer di KMA Bandung selama dua tahun diluluskan dengan pangkat vaandrig (calon perwira atau pembantu Letnan).[10]
Alex Evert Kawilarang (lahir di Jakarta 22 Februari 1920). Semasa kemerdekaan Alex Kawiralang bergabung dengan kesatuan Siliwangi. Ketika pertama kali bergabung dalam TKR, karenan pernah menjadi kadet KMA Bandung, dia memperoleh pangkat Mayor. Awal 1946, sebagai komandan Brigade II dengan wilayah operasi Cianjur, Bogor dan Sukabumi, dengan pangkat Letnan Kolonel. Tahun 1948 Alex dikirim ke Sumatra untuk menjadi komandan Sub Teritorial VII/Tapanuli/Sumatra Timur dan Selatan.
Setelah pengakuan kedaulatan, Alex diangkat sebagai Panglima Tentara & Teritorial Sumatra Utara, tanah dimana Ayahnya dulu bertugas sebagai komandan kompi KNIL. Ketika Peristiwa Andi Azis meletus, Alex ditunjuk sebagai komandan operasi-nya dengan ikut menggunakan pasukan Letnan Kolonel Soeharto. Andi Azis, selesai Alex dikirim lagi ke Maluku, untuk menghantam RMS. Setelah tugasnya di Indonesia Timur selesai, pada November 1951, Alex diangkat sebagai Panglima Tentara & Teritorial/III Jawa Barat.
Selama di Jawa barat ini, Alex ikut memimpin penumpasan DI/TII Jawa Barat yang dipimpin langsung oleh Kartosuwiryo. Dari pasukan Siliwangi ini, Alex ikut memprakarsai pendirian KKAD—yang lalu bermetamorfosa menjadi RPKAD, Kopasanda, Kopassus. Semasa rezim Soekarno berkuasa, Alex Kawilarang bersebrangan dengan pemerointah pusat-nya Soekarano, sehingga dia ikut terlibat dalam PRRi/Permesta, saat itu Kawilarqang sedang menjadi atase militer RI di Washington. Tahun 1959, Kawilarang dicantumkan sebagai Kepala Staf Angkatan Perang Permesta. Dua tahun kemudian, setelah posisi Permesta terjepit, Kawilarang menyerah.[11]
Alex Kawilarang nyaris hilang namanya karena dia terlibat Permesta. Ada rumor menyebutkan bahwa ketika menjadi atasan Suharto, dia pernah menampar Suharto di Makassar. Dan ini mungkin alasan yang membuatnya hilang dari sejarah baret merah Indonesia. Padahal dia yang berjasa dalam pendirian korps ini.
Mochammad Idjon Djanbi: Komandan Pertama
Terlahir di Kanada sekitar tahun 1915, dengan nama Rokus Bernardus Visser. Dia putra seorang petani Tulip yang sukses. Selepas menyelesaikan kuliahnya, Visser muda membantu ayahnya berjualan bola lampu di London. Ketika itu perang dunia kedua dimulai dan karena tidak bisa pulang ke Belanda yang dikuasai oleh Jerman, Visser mendaftarkan pada dinas Ketentaraan Belanda yang mengungsi ke Britania dan membentuk kekuatan baru disana. Setelah itu dia ditugaskan menjadi sopir Ratu Wilhemena.
Setelah setahun di post tersebut dia mengundurkan diri dan mendaftarkan diri di sebagai operator radio (Radioman) di pasukan Belanda ke 2 (2nd Dutch Troop). Bersama dengan pasukan sekutu, Visser merasakan operasi tempurnya yang pertama, yaitu Operasi Market Garden pada bulan September 1944, saat itu pasukan Belanda ke 2 bagian dimana Visser berada, dimasukan dalam Divisi Lintas Udara 82 Amerika Serikat. Diterjunkan melalui pesawat layang Visser dan teman-teman Amerikanya mendarat di bagian dengan konsentrasi pasukan Jerman tinggi. Dua bulan kemudian saat dikumpulkan kembali, Visser digabungkan dengan pasukan Sekutu yang lain dan melakukan operasi pendaratan amphibi di Walcheren, sebuah kawasan pantai di Belanda bagian selatan.[12]
Karena dianggap berprestasi maka dia disekolahkan di Sekolah Perwira sebelum di kirim ke Asia. Selanjutnya Viser dikirmkan ke Sekolah Pasukan Para di India dan dimaksudkan bergabung dengan pasukan untuk memukul kekuatan Jepang di Indonesia. Kekalahan pasukan Jepang pada 1945 mengakhiri perang dunia ke 2 dan Jepang mundur dari Indonesia sebelum pasukan Visser sempat dikirimkan ke Indonesia. Mundurnya Jepang dari Indonesia membuka peluang kepada Belanda untuk kembali menguasai Indonesia. Karena keadaan di Belanda sedang kacau dan mereka tidak mampu mengirimkan pasukan dari Eropa ke Indonesia, maka mereka berusaha membentuk kesatuan unit khusus di India dengan mendirikan School voor Opleiding van Parachutisten (sekolah pasukan terjun payung) dan pasukan ini dikirim ke Jakarta pada 1946. dibawah pimpinan Letnan Visser, sekolah ini kemudian di pindah ke Jayapura (Hollandia) di Irian Jaya yang waktu itu dinamakan Dutch West Guinea oleh Belanda , menempati sebuah bangunan rumah sakit Amerika yang telah ditinggalkan oleh pasukan Jenderal Douglas Mc Arthur.
Dengan segala kondisi yang ada Visser ternyata menyukai hidup di Asia,sehingga dia meminta istrinya (wanita Inggris yang dinikahinya semasa perang dunia 2) dan keempat anaknya untuk ikut dengannya ke Indonesia. Ketika istrinya menolak, Visser memilih untuk bercerai. Saat kembali ke Indonesia pada 1947, Sekolah pimpinannya sudah dipindah ke Cimahi, Bandung dan Viser dipromosikan naik pangkat menjadi Kapten. Selama tahun 1947 sampai akhir 1949 , Sekolah pimpinan Kapten Visser terus melahirkan tentara terjun payung sampai saat dimana Belanda harus menyerahkan kekuasaaanya kepada Republik Indonesia. Karena sudah merasa nyaman dengan gaya hidup Asia, maka Kapten Visser memutuskan untuk tinggal di Indonesia sebagai warga sipil. Keputusan ini sangat berisiko, karena walaupun dia bukan termasuk pasukan baret hijau belanda yang dikenal sangat kejam (Visser sendiri berbaret merah), tapi tidak ada yang bisa meramalkan bagaimana keamanan seorang mantan perwira penjajah di negara jajahanya yang baru saja merdeka.[13]
Akhirnya dia menetapkan keputusannya untuk tinggal di Indonesia, pindah ke Bandung, bertani bunga di Pacet, Lembang, memeluk agama islam, menikahi kekasihnya yang orang Sunda dan mengubah namanya menjadi Mochammad Idjon djanbi. Dalam hidupnya, Visser hanya mengenal dua macam pekerjaan, sebagai petani maupun sebagai prajurit. Selama tidak menjadi tentara dia bertani.[14]
[1] Disjarahad, Sejarah TNI AD (1945-1973) 2 Peranan TNI AD Menegakan Negara Kesatuan RI, Jakarta, Disjarahad TNI AD. 1979. h. 97-98
[2] Andi Azis diangkat anak oleh orang Belanda itu—seperti halnya Alimin yang diangkat anak oleh seorang penasehat urusan pribumi. Sebagai anak angkat orang Belanda terpelajar mereka pastinya menikmati pendidikan modern yang hanya bisa dinikmati segelintir orang pribumi. Berbekal semua itu sebenarnya Andi Azis memiliki bakat menjadi orang berpengaruh di Indonesia Timur bila NIT masih bertahan.
[3] Disjarahad, Sejarah TNI AD (1945-1973) 2 Peranan TNI AD Menegakan Negara Kesatuan RI, Jakarta, Disjarahad TNI AD. 1979. h. 97-98: Disjarahad Militer AD, Naskah Pemebrontakan PRRI Permesta, Andi Azis, RMS dan OPM, Bandung, 1972. (Manuskrip).
[4] Andi Azis bisa jadi pernah bertemu Westerling disana. Disana mereka dilatih menjadi pasukan khusus. Pendidikan disini sangat berat. Paling berat dibanding pasukan-pasukan lain yang akan terjun dalam front Eropa.
[5] Disjarahad, Sejarah TNI AD (1945-1973), h. 97-98.
[6] Disjarahad, Sejarah TNI AD (1945-1973), h. 97-98.
[7] Ramadhan K.H, A.E. Kawilarang: Untuk Sang Merah Putih, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1988, hlm. 14-16.
[8] Ibid.
[9] T.B. Simatupang, Membuktikan ketidakbenaran suatu Mitos Menelusuri Makna Pengalaman Seorang Prajurit Generasi Pembebas Bagi Masa Depan Masyarakat, Bangsa dan Negara, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1991. hlm. 81-82: Coen Husein Pontoh, op. cit., hlm. 15.
[10] Buku Kenang-kenangan Alumni KMA Breda, op. cit., hlm. 84.
[11] Ensiklopedia Nasional Indoneseia, Jakarta, Cipta Adi Perkasa, 1991. h. 238-239.
[12] Ken Conboy, Kopassus: Innside Indonesia’s Special Forces, Jakatarta-Singapore, Equinox Publishing, 2003, hlm. 16: Wawancara dengan Jan Linzel 5 maret 1999
[13] Ibid., hlm. 17.
[14] Ibid., hlm 17-18.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar