RASA penasaran itu seketika hilang. Berganti senyum dan ucapan “wooow”. Kampung yang membuat saya bertanya dimana letaknya sudah saya kunjungi, walau sebentar. Kampung yang saya cari ternyata mudah dijangkau. Tidak jauh dari pusat kota. Tepat diseberang Benteng Kuto Besak.
Kampung Kapitan adalah kampung yang saya maksud. Namanya cukup unik, kapitan. Kapitan adalah jabatan pemuka masyarakat di zaman kolonial. Jika dalam istilah militer, kapitan sama saja dengan kapten. Seorang kapitan, biasanya memimpin ratusan masyarakat—biasanya adalah masyarakat non pribumi seperti Arab maupun Tionghoa. Seorang kapitan memimpin ratusan orang asing. Jika lebih dari seribu, maka Mayorlah yang memimpin.
Warga asing atau para pendatang bukan hal asing bagi kesultanan Niaga macam Palembang Darusalam. Menurut Djohan Hanafiah, Kesultanan memberikan ijin tinggal bagi para pendatang di kawasan Seberang Ulu. Dimana Kampung kapitan, yang dulunya penghuninya adalah orang-orang Tionghoa, memang termasuk kawasan Seberang Ulu. Tidak hanya Tionghoa, orang-orang Belanda pun harus tinggal di Seberang Ulu. Begitu kebijakan Sultan dari abad XVI hingga XIX.[1]
Menurut kisah, Menurut kisah, pada zaman Kesultanan Palembang, semua tanah dimiliki oleh Sultan dan tak ada bangunan yang didirikan tanpa seijin Sultan. Hanya orang Palembang asli yang diperbolehkan bermukim di daratan. Pendatang dan orang-orang asing, misalnya Tionghoa, Eropa, Keling dan Arab hanya boleh tinggal di rumah Rakit. Sumber lain menyatakan bahwa para pemimpin kerajaan tinggal di daratan sepanjang sungai, sementara orang kebanyakan tinggal terpisah di perairan, pada rumah Rakit yang tertambat suatu tiang atau tonggak.[2]
Bisa dibilang, Palembang adalah kota yang heterogen. Ada banyak etnis dari luar Palembang atau Sumatra Selatan yang bermukim. Bisa jadi, di Zaman Kerajaan Sriwijaya pun sudah ada banyak pendatang dari banyak bangsa masuk, dan mungkin juga bermukim di sekitar Musi atau Palembang.
Kohar, salah seorang tetua Kampung Kapitan adalah salah satu keturunan Kapitan Tionghoa di Palembang. Kohar sudah sulit berbicara karena usia. Menantunya, yang bernama Eng Sui memberikan saya keterangan mengenai rumah dan kantor Kapitan Tionghoa di kampung Kapitan. Soal bagaimana rumah kapitan juga beralih fungsi menjadi tempat peribadatan kepercayaan Tionghoa. Seperti Klenteng. Juga tentang taman depan rumah yang sedang dirombak.
Eng Sui adalah nama Tionghoa. Namun Eng Sui yang ramah itu, punya juga nama Indonesia. Dia pakai nama Suryanto. Kepala saya pun melayang ke zaman orde baru dan politik Indonesianisasi yang konyol. Dimana semua orang Tionghoa dipaksa halus pakai nama Indonesia. Sebuah pembunuhan karakter yang dilegalkan. Teringat Soe Hok Jin alias Arif Budiman—kakak dari Soe Hok Gie.
Kampung Kapitan membuat saya sadar, kapitan adalah pemimpin masyarakat. Bukan seperti yang tergambar dalam sebuah lagu, “Aku seorang kapitan mempunyai pedang panjang....” Sebuah lagu yang rasanya untuk mengenang Kapitan Pattimura. Bukan mengenang kapitan-kapitan di zaman kolonial. Tidak lebih dari satu jam mampir kampung Kapitan, karena saya harus jalan lagi. Saya akan kembali bersama banyak kawan lain kali.
Catatan Akhir
[1] Johannes Adiyanto, Kampung Kapitan Interpretasi ’Jejak’ Perkembangan
Permukiman dan Elemen Arsitektural, Program Studi Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya, hlm. 14.
[2] Myra P. Gunawan, Pariwisata Tepian SungaiMusi, Palembang, artikel dalam Monumen dan
Situs Indonesia, ICOMOS Indonesia, 1999, hlm.144