Seandainya serdadu Nippon tak serbu Hindia Belanda, juga tak ada fasisme Jepang, bocah Teto alias Setadewa yang separuh Londo tak akan menderita. Ibunya yang bule Londo tak akan dijadikan gundik Komandan Tentara Jepang dan ayahnya yang Letnan Tentara Kerajaan Hindia Belanda tak akan jadi buruan Kenpeitai (Polisi Rahasia Jepang). Teto sendiri tak perlu terlibat gerakan bawah tanah dan jadi pemuda pendendam dan sinis pada Indonesia—yang baginya bikinan Jepang.
Kekejaman Jepang pada keluarganya membuatnya benci pada Jepang. Hal berbau Jepang pun lalu dibenci, termasuk kepemimpinan Sukarno yang baginya bekas kolaborator juga dimusuhinya. Maka pilihan terbaik Teto adalah jadi Letnan KNIL juga—atas rekomendasi mayor Verbrugen. Jadi bandit-bandit VOC jelas lebih baik daripada jadi Anjing Fasis.
Masa muda Teto yang suram membuatnya benci pada Republik. Teto melihat Indonesia sebagai Negara bikinan balatentara Jepang, dimana para bekas kolaborator Jepang adalah pemimpinnya. Hingga Teto tak merasa perlu menghormati mereka. Menembaknya jauh lebih baik.
Derita Teto seolah tak habis setelah Indonesia merdeka. Ibunya begitu nestapa dan jadi gila. Teto menemukannya di rumah sakit jiwa Magelang. Balatentara Jepang tak hanya memeras harta benda, darah dan keringat tapi juga bikin orang jadi gila. Mungkin tak hanya ibu Teto tapi juga seluruh orang Indonesia yang tiba-tiba doyan pegang bedil dan pakai baju militer.
Di usia tuanya, Teto mengunjungi Indonesia setelah berpuluih tahun hidup di Luar Negeri dan punya karir bagus di perusahaan asing. Rasa sinis Teto tak hilang, meski dia tampak lebih memaklumi dari sebelumnya.
Membaca novel ini dan menikmati diri masuk ke dalam cerita sebagai Teto membuat kita melihat Indonesia sebagai seorang pembenci—meski ada rasa cinta di balik benci itu. Rasanya, kita perlu melihat Indonesia sebagai pembenci. Itu bukan pendekatan yang buruk. Apalagi dalam kondisi Indonesia yang semakin tidak menyenangkan seperti sekarang.
Cerita dalam novel jelas menarik. Tak perlu diragukan. Namun, hal yang paling menarik buat saya adalah bagaimana Romo Mangun memberikan gambaran nyata Indonesia di masa lalu. Setidaknya itu membuat kita berimajinasi ke masa lalu. Saya kira, Romo Mangun begitu kuat membangun setting cerita, soal karakter dan plot saya tak ragukan. Ini mungkin karena Romo Mangun hidup di jaman ketika Indonesia masih disebut Hindia Belanda. Dia terlibat langsung dalam revolusi dan mengalami Indonesia masa presiden Sukarno dan Suharto.
Novel Romo Mangun yang dirilis tahun 1981 ini sangat membantu saya menulis sejarah—baik buku maupun skripsi. Nama Romo Mangun sering saya singgung selama mata kuliah Sejarah Indonesia Modern. Meski fiksi, gambaran Indonesia masa kolonial soal anak kolong saya bisa dapat.
Romo Mangun punya latar belakang sebagai arsitek, rohaniawan, aktivis sosial kelas kakap selain sebagai penulis. Itu semua tentu membuatnya menjadi orang yang banyak paham soal Indonesia. Baginya, mungkin Indonesia ibarat bangunan yang harus dilihat dari berbagai macam sisi.
Novel Romo Mangun ini sangat membantu saya menulis sejarah—baik buku maupun skripsi. Nama Romo Mangun sering saya singgung selama mata kuliah Sejarah Indonesia Modern. Meski fiksi, gambaran Indonesia masa kolonial soal anak kolong saya bisa dapat. Dari sekian banyak penulis hebat yang menulis soal Indonesia, Romo Mangun adalah salah satu yang mempengaruhi.
Tribute: Romo Mangun (Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, lahir di Ambarawa 6 Mei 1929. Menulis banyak novel historis, salah satu yang terkenal adalah Roro Mendut.romo Mangun yang pernah belajar arsitektur di Eropa, juga dikenal sebagai arsitek yang karya-karyanya memiliki bentuk yang unik. Orang-orang layak menyebutnya sebagai budayawan penting. Orang cerdas di Jogja pasti mengenal tokoh yang meninggal pada 10 Februari 1999).