"Sejarah akan bicara dari mulut anak-anaknya. Sejarah ada karena manusia ada. Hingga akhir dunia sejarah akan tetap ada."
Minggu, Februari 01, 2009
Geef Mij Maar Nasi Goreng
Saya terkejut ketika Wieteke van Dort menyanyikan lagu Geef Mij Maar Nasi Goreng. Lagu itu seperti mengisyaratkan kerinduan sekelompok kecil orang di Negeri Belanda yang rindu akan suasana dan makanan Indonesia.
Jangan lupa, Nasi Goreng adalah budaya kuliner Indies—seperti juga Sambel Goreng Tempe yang angkringan-angkringan (warung yang menyediakan menu nasi kucing) di Jogjakarta dikenal dengan nama kering. Kering menjadi teman nasi dalam sebungkus nasi kucing. Di beberapa kota di Jawa, banyak Warteg (Warung-Tegal) yang menyediakan kering untuk dimakan dengan nasi.
Di setiap kota di Indonesia menemukan nasi goreng jauh lebih mudah daripada menemui pejabat daerah yang jarang di kantor. Nasi goreng pun memiliki rasa, bumbu dan campuran yang beragam. Bukti bahwa makanan ini lestari dan kaya ragam.
Budaya kuliner tadi terus lestari dan menjadi bagian dari budaya Indonesia, meski ada enggan mengakuinya. Maklum orang-orang Indonesia yang keracunan rasa Nasionalisme sering enggan tidak mau mengakui jasa pihak luar terhadap diri dan kebudayaannya.
Nasi goreng mungkin lahir dirumah gedongan Tuan dan Nyonya Belanda di Nusantara. Roti mungkin sulit didapat di nusantara. Bila ada, pabrik roti di nusantara hanya ada di kota-kota pelabuahan macam Batavia, Surabaya, Semarang maupun kota pedalaman yang banyak terdapat orang-orang Belanda atau orang Eropa seperti Bandung, Yogyakarta atau Malang.
Sebelum jumlah wanita Eropa memadai agar setara dengan jumlah laki-laki, dapur orang-orang Eropa tentu saja kekurangan menu makanan Eropa. Karenanya dapur-dapur orang Eropa banyak diurus nyai pribumi—pengurus rumah tangga merangkap teman ranjang yang bisa juga menjadi Sleeping Dictionary (kamus tidur) dimana laki-laki Eropa itu belajar bahasa setempat. Nyai tentunya menjadi penyerap nilai-nilai barat selain pegawai pemerintah kolonial dan anak-anak pribumi yang bersekolah di sekolah Eropa di nusantara. Kehadiran nyai tentu saja ikut mempengaruhi lidah laki-laki kulit putih yang mereka urus.
Untuk bertahan hidup, orang-orang Eropa di nusantara pun mencoba bahan makanan pokok bagi orang pribumi, beras yang dimasak menjadi nasi. Nasi itu lalu mereka oleh menjadi nasi goreng. Begitu juga tempe yang dioleh disebuah wajan setelah diiris, lalu jadilah sambel goreng tempe.
Makanan ini, belakangan tidak hanya dinikmati orang-orang gedongan. Jongos-jongos (pembantu rumah tangga) dari rumah tuan dan nyonya, maupun nyai-nyai yang sudah tidak diperlukan orang Belanda, yang harus pulang itu pun membawa resep nasi goreng maupun sambel goreng-nya ke kampung-kampung mereka. Orang-orang kampung pun mencoba dan menyantapnya.
Rasanya, di zaman Hindia Belanda, tiada ada larangan makan nasi goreng dari pemerintah kolonial. Seorang pribumi pun tidak akan diseret ke Landraad (pengadilan rendah untuk orang pribumi) jika dilihat opas Polisi atau orang Belanda ketahuan sedang makan nasi goreng. Artinya nasi goreng bukan makanan terlarang, hingga nasi goreng pun menjadi makanan yang cukup populer.
Makanan seperti itu akhirnya menyebar dan menjadi milik rakyat nusantara. Bukan cuma milik tuan dan nyonya Belanda di rumah gedongannya. Berbagai lapisan bisa menikmatinya. Bedanya, lapisan atas bisa menikmati nasi goreng mahal yang disajikan di restoran bergengsi, sementara lapisan bawah cukup menikmatinya di kali-lima saja. Nasi goreng yang mahal tentu banyak campurannya dagingnya. Bicara soal mana yang enak, itu urusan lidah. Rasa juga sesuatu yang nisbi dan tidak punya standar tertentu. Bagaimananpun rasa dan campurannya, nasi goreng tetap nasi goreng. Ada nasi yang digoreng dengan bumbu-bumbu tertentu.
Di Negeri Belanda, beberapa makanan ala Indonesia masih ada. Restoran khusus makanan Indonesia pun ada di Negeri Belanda. Sekelompok eksodus kiri pasca gagalnya G 30 S juga mendirikan restoran. Dimana adik D.N. Aidit, Sobran Aidit, ikut serta dalam mendirikan restoran itu. Makanan Indonesia tentu saja menjadi menu di restoran itu.
Nasi goreng sendiri cukup diminati sebagian orang-orang di Negeri Belanda, baik orang Belanda asli maupun orang-orang Indonesia yang tinggal di negeri Belanda. Keturunan orang-orang Republik Maluku Selatan pengikut Ir Manusama, mungkin juga penyantap nasi goreng. Bagaimanapun, meski mereka sudah biasa makan roti isi daging, nasi tentu tidak asing bagi lidah mereka karena nenek-nenek moyang mereka juga sering makan nasi. Jadi tidak sulit bagi mereka untuk makan nasi goreng.
Nasib nasi goreng di negeri Belanda bisa jadi jauh lebih baik daripada Soto Babat. Berdasar pengalaman Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara—yang kala dibuang ke Negeri Belanda sekitar tahun 1910an masih bernama Suwardi Suryaningrat—sering memasak Soto Babat bersama istrinya. Karena sering membeli usus—yang di Negeri Belanda adalah makanan anjing—maka si penjaga toko dengan sopan bertanya, “berapa anjing tuan?.” Ki Hajar mungkin hanya bisa diam berpikir betapa apa yang dimakan anjing di Eropa juga dimakan manusia di Hindia Belanda (Indonesia).
Dari sini bisa saja Soto Babat yang bahannya sama dengan makanan anjing peliharaan juga semakin merendahkan pribumi. Tapi nasib Soto Babat zaman ketika Ki Hajar Dewantara dibuang tentu berbeda nasib nasi goreng di Belanda sekarang. Dimana nasi goreng disajikan di restoran-restoran. Bisa jadi sulit menemukannya di kaki-lima seperti di Indonesia.
Sangat disayangkan, sejarah kuliner Nusantara seperti nasi goreng sulit ditemukan. Padahal nasi goreng adalah fenomena menarik dalam kehidupan Indonesia. Orang-orang banyak tidak mengerti bagaimana nasi goreng yang mereka pernah makan itu itu lahir di Indonesia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 komentar:
lha, wong endonesya ki seneng mangan. ora ngulik2 sejarah kok...
hidup mangan...
sebuah saran dari seorang kawan berjengot yang ketemu di lingkungan KJM Jogja...^_^, sejauh sy tahu, restoran indonesia yang didirikan Sobron Aidit dkk, terletak di Prancis, silahkan lihat sumber, situs seorang pendiri restoran itu, http://kontak.club.fr/cv%20singkat.htm, cari 1982 (Desember) gimana ??? salam bung
wah, gitu toh....!!!
baru tau aq... (biasa orang Andonesya kan rada kurang bersejarah-dirinya sendiri, kadang cepet lupa sejarahnya sendiri, tapi kadang fanatik pada (sesuatu-bagian dari sejarah itu)/(panutan???)... :)
cd mu piye? dah tak copy hardisk,
yang buat ruki dah tak bakar, dan tak kirim.
punyamu mau diambil kapan, tak tunggu ya, ato pie???
Posting Komentar