Jumat, Oktober 26, 2012

Jaman Merdeka Jaman Susah

Jaman revolusi jaman susah. Tak ada kata merdeka bagi yang lapar.

Kata merdeka jelas begitu indah bagi orang-orang anti kolonial.Tapi, masih membingungkan bagi orang-orang yang sulit membedakan antara terjajah dan tidak terjajah. Perang Pasifik sudah selesai, Proklamasi Indonesia boleh berkumandang, tapi orang miskin tetap hidup miskin. Revolusi itu proses. Proses yang menyakitkan bagi banyak orang. 

Orang miskin menidurkan anaknya di jalanan Jakarta (Februari 1947)

Kedatangan serdadu Balatentara Jepang, tak membawa kebaikan bagi banyak orang. Kedatangan serdadu Jepang, bikin orang Indonesia susah tanam padi. Kelaparan pun jadi bencana di depan mata. Sebagian besar orang miskin harus rela pakai baju dari karung goni. Beras jadi barang langka. Meski kondisi sulit, ratusan pemuda mendadak punya seragam dan bedil. Dimana seragam dan bedil itu membuat mereka selalu ingin selalu pegang bedil dan jadi penguasa. Dan ketika pemuda-pemuda ini jadi pemimpin dalam rezim Suharto, tentara Indonesia pun mirip serdadu balatentara Jepang, punya komando teritorial. Pemuda-pemuda bermental fasis bisa makan sedikit lebih enak daripada rakyat miskin. 

Di masa pendudukan Jepang dan masa revolusi, orang miskin merasa lebih baik menidurkan anaknya yang lapar. Agar anaknya tidak merasa lapar. Ketika si anak bangun dan minta makan karena lapar, si anak ditidurkan lagi. Berharap si anak tidur lama, bahkan bisa tidur selamanya, karena lapar. Si anak, bisa bermimpi makan enak dalam tidurnya. Sebelum perih di perut mereka berontak atau barangkali maut menjemput karena lapar.

Seorang Ibu yang bersusah payah cari makanan dan memasaknya demi menngganjal perutnya yang lapar(1945-1949)

Setelah serdadu Jepang kalah dan angkat kaki, orang miskin tetap miskin. Merdeka jadi tak berarti lagi buat mereka. Bagaimana teriak lantang merdeka dengan perut lapar. Pemerintah Republik yang baru lahir sulit berbagi beras dan mengenyangkan perut orang miskin tadi. Jaman 45, itu bisa dimaklumi tapi bukan berarti kondisi itu harus berlangsung selamanya. Meski jaman perang sudah lama berlalu, orang miskin dan lapar masih jadi pemandangan di kolong-kolong jembatan. 

Serdadu-serdadu Belanda membagi makanan mereka pada anak-anak. (1 Januari 1947-28 Februari 1947)

Ketika Republik tak bisa urusi orang-orang kelaparan, maka ada juga orang-orang asing yang peduli. Orang-orang Belanda atau Inggris atau Australia yang jadi tentara kadang rela berbagi makanan pada penduduk miskin yang lapar. Terutama pada anak-anak kecil yang begi mereka lucu. Tentu orang-orang nasionalis akan berprasangka sinis, yang kadang salah kadang betul, "Ah orang-orang Belanda itu kan cuma cari simpati." Seperti calon anggota legislatif yang sedang kampanye. 

Seorang anak perempuan menikmati makanannya. Dunia terasa damai baginya ketika makan.(1947)

Tidak penting apa niat mereka dibalik bagi-bagi makanan buat anak-anak. Yang pasti tak boleh ada anak-anak kelaparan. Apapun alasannya, membiarkan anak-anak kelaparan adalah dosa besar. Keceriaan anak kecil adalah segalanya bagi masa depan. Dunia yang dalam bermula dari sini. Perkara niat terselubung serdadu Belanda yang katanya cari simpati itu, biarkan jadi urusan mereka dengan Tuhan.

Sumber foto: tropenmuseum (http://collectie.tropenmuseum.nl)

Tidak ada komentar: