Senin, Oktober 22, 2012

Kota Kami Dalam Foto Tua


Tak Banyak catatan soal kota kami. Tapi, beberapa foto bisa bercerita pada kami bagaimana kota kami di jaman Ratu Singa. 

Nenek kakek kami datang ke kota ini. Megadu nasib. Mencari penghidupan yang baru. Minyak menyeret mereka kemari. Dengan penuh harap, mereka akan temukan apa yang disebut bahagia. Punya tanah, rumah, dan juga uang. Jadi, ini adalah kota harapan bagi mereka. Dan kota kelahiran kami.
 Kota kami punya teluk indah di masa-lalu. Sebelum sampah-sampai menghiasi beberapa sudut teluk ini. Muara sungai di kota kami, bertemu air laut dan air Sungai Wain. Kota kami punya Beruang Madu dan Orang Utan. Mungkin dulu lebih banyak dari sekarang.  Kota kami kaya. 

Pulau Tukung dan Teluk Balikpapan terlihat dari atas bukit

Sebelum Kakek dan Nenek kami kemari. Semak belukar perlahan jadi pabrik dan rumah-rumah. Sampai pada kelahiran kami, semak belukar perlahan-lahan berkurang. berubah jadi kampung-kampung ramai yang mengepung megahnya kota. Orang yang kunjungi kota ini dimasa-lalu, kota ini sudah tergolong maju. Kota kami memang jauh dari Batavia--yang katanya punya segalanya. Tapi, modernisasi harus singgak ke kota kami. Jika tidak, kantung BPM dan Ratu Singa yang bertahta di Holland sana takkan kaya-raya. Kota kami pun punya pabrik minyak. Minyak disedot dari perut bumi tanah orang-orang Dayak.

Garnisun KNIL di Balikpapan sebelum perang

Waktu dulu Ratu Singa jadi penguasa, orang-orang di Nusantara sering berontak. Mereka kadang mengamuk membunuh orang kulit putih dari Holland yang mengaku Tuan atas tanah saudara-saudara kami. Tentu saja saudara-saudara kami marah. Hingga langit jadi merah oleh api pemberontakan. Mereka tidak salah. Pemberontakan tak selalu salah. Dan, kota kami di masa punya tangsi KNIL (Koninklijk Nederlansche Indische Leger). Dimana serdadu-serdadu KNIL bersiaga. Siap angkat bedil jikalau ada pemberontak mengganggu kilang minyak milik kolega Sang Ratu. Belakang tangsi ada Jalan Dondang. Serdadu-serdadu kadang kesana. Sekedar tuntaskan hasrat mereka. Buktikan kejantanan mereka pada wanita-wanita yang bisa mereka beli. Setelah membeli, bukan cuma kepuasan yang mereka dapat. Penyakit pun bersemayam di "bedil" mereka.    


Bersama kerbau membuat batu bata
Dulu, sebelum Amerika membom kota kami untuk mengusir orang-orang Jepang, kota kami punya gedung-gedung ala Indis atau Art Deco. Kota kami punya Societeit juga. Dimana Tuan-tuan Belanda datang dengan Nyonya-nyonya mereka. Untuk dansa atau bergosip. Societeit bukan tempat sembarang.Inlander, begitu Tuan-tuan tadi memanggil nenek moyang kami, tak boleh masuk. Societeit tempat kebanggan tuan-tuan tadi. Mungkin kalah megah sama Societeit Harmonie di Batavia.

Gedung batu  berdiri kota kami. Tapi lebih banyak dari kayu. Orang-orang Kalimantan suka bikin rumah pakai kayu daripada bata. Gedung batu dibangun pakai batu bata. Warnanya merah, pipih dan halus. Tanah di Kalimantan biasanya berwarna merah. Orang pribumi biasa bikin batu bata. Mereka pakai kerbau untuk membuat adonan tanah liat sebelum dibentuk jadi batu bata tadi. Sebenarnya, jika pesawat bomber dari Amerika tidak membom kota kami, tentu masih banyak lagi gedung yang megah berdiri. Gedung yang kami lihat sekarang, dibuat setelah perang selesai. 

Kerbau bukan buat bajak sawah di kota kami. Kota kami bukan desa-desa di Jawa. Kota kami tak punya sawah. Kata orang, sedari dulu kota kami sudah modern. Ingat itu! Kota kami pernah punya trem juga. Tapi tak ada bekasnya. Dan, akhirnya trem-trem atau kereta api cuma mitos saja buat kami. Padahal orang-orang Belanda pernah merekam bagaimana saudara-saudara kami yang jadi kuli di BPM angkut roda kereta dari besi yang minta ampun beratnya.
 Soal saudara-saudara kami yang jadi kuli di BPM. Mereka cukup malang nasibnya. Kerja pakai celana pendek dan tanpa alat pengaman. Mereka paling cuma tinggal beramai-ramai di sebuah bangsal tak begitu jauh dari kilang minyak. Kalau pegawai tinggi jelas enak. Selain gaji bagus dan tak berpanas-panasan tiap hari, mereka juga dapat rumah.

Perumahan pegawai BPM
Kota kami berbukit-bukit. Rumah-rumah BPM selalu menghiasi kaki bukit sejauh mata memandang. Itu di masa lalu. Waktu tidak begitu banyak orang di Balikpapan. Orang-orang kampung biasa bikin rumah kecil saja. Mereka tak butuh rumah besar seperti pejabat perusahaan. Kampung-kampung di masalalu tak seperti sekarang. Cuma banyak rumah gubuk saja. Begitulah orang kampung yang sederhana. Beda dong sama Tuan-tuan Belanda dan keluarga mereka.


Rumah Panggung megah
Dari bukit dekat Pelabuhan, kami bisa melihat dengan jelas Teluk Balikpapan, Penajam dan juga Pulau Tukung. Pulau Tukung jadi saksi pembantaian serdadu Jepang di kota kami. Mereka tembaki orang-orang Belanda yang mereka suruh berjalan ke arah laut. Langkah demi langkah mereka menuju pada kematian.

Dari bukit, melihat laut begitu indah. Apalagi di kala sore. Sampai hari ini, kota kami masih ada. Kami bangga pada kota kami. Karena kami adalah Balikpapaner.

Tidak ada komentar: