Tak perlu uang pelican! Langsung teekensoldij dan Anda jadi KNIL.
KNIL boleh hancur dan menanggung malu karena kalah dengan balatentara Jepang. Tapi, riwayat KNIL belum selesai sepenuhnya. Masih ada sisa-sisa KNIL yang bertahan di Australia. Bahkan beberapa regu KNIL sempat bergerilya melawan serdadu Jepang di Saumlaki dan sekitarnya. Julius Tahiya salah satunya.
Sebelum Perang Pasifik selesai, KNIL dibentuk lagi di Australia. Mereka dari KNIL terdahulu yang ikut menyeberang ke Austalia sebelum serdadu-serdadu Jepang mendarat dan mengalahkan mereka di Jawa. Itu Batalyon Infanteri pertama. Setelahnya dibentuk lagi di Tarakan dan Balikpapan setelah Jepang mulai dikalahkan.
Di Indonesia KNIL mengambil bekas tawanan dari kamp interniran Jepang sebagai serdadu. Orang-orang pribumi pun dibujuk untuk bergabung di KNIL. Mantan serdadu pun dipanggil lagi. Ada juga orang muda yang jadi serdadu untuk direkrut.
KNIL rela melatih orang muda dari nol. Di masa lalu, banyak KNIL tak bisa membaca bisa masuk. Bagi yang sudah bisa membaca akan ada kesempatan jadi kopral. Jika tak bisa baca tulis paling bisa jadi fuselier atau spandrig saja. Itu sudah cukup sangar bagi orang-orang di Bagelen.
Orang-orang Bagelen dari bukit gersang akan bisa membaca setelah teekensoldij. Serdadu KNIL termasuk orang-orang yang menerima “pembaratan” selain para nyai dan priyayi. Kalau para priyayi menerima pembaratan di sekolah atau di kantor; para nyai di kasur, sumur dan di dapur; dan kalau serdadu di tangsi. Serdadu KNIL agen “pembaratan” dalam sejarah juga sebenarnya.
Ada beberapa alasan kenapa pemuda Indonesia jadi serdadu KNIL. Serdadu adalah pekerjaan hina bagi kalangan keluarga terpandang. Kehidupan mereka keras. Kadang dekat dengan maksiat.
Orang yang bergabung dengan KNIL biasanya orang yang berasal dari daerah gersang. Dimana mereka tak bisa bertani. Uang adalah alasan. Demi bertahan hidup. “Saya menjadi KNIL demi perut, tampaknya beberapa rekan saya pun begitu. Mereka menjadi alat pemerintah kolonial bukan karena ideologi, tapi untuk memenuhi kebutuhan hidup.”kata Didi Kartasasmita.[1]
Bagi sebagian orang, jadi serdadu berarti bisa hidup di jaman kolonial. Mereka bisa dapat gaji yang cukup buat hidup. Juga foya-foya bagi yang muda dan galau. Juga bisa buat beristri. Di masa kolonial, tak hanya berdasar pangkat tapi juga berdasar warna kulit. Jadi KNIL militer yang sangat diskriminatif.[2]
Keluarga serdadu yang berbeda warna kulit tentu kesejahteraannya berbeda. Keluarga serdadu rendahan pribumi hanya bisa sekolahkan anak mereka disekolah ongko loro. Anak Indo bisa akan lebih baik karena bisa ke sekolah macam Holandsch Inlandsch School (HIS) atau Europe Lager School (ELS). Jika si anak bersekolah di HIS atau ELS maka jika masuk KNIL dia bisa jadi Sersan—seperti Gatot Subroto. Sementara lulusan sekolah ongko loro hanya bisa jadi kopral—dan jika bagus juga bisa jadi sersan seperti Suharto.
Kehidupan di KNIL, secara ekonomis agak lebih baik daripada jadi kuli di perkebunan tentunya. Anak kolong, yang terbiasa dengan kehidupan tangsi biasanya akan mengikuti jejak ayahnya. Di dalam tangsi, anak kolong akan punya pemikiran soal posisi serdadu. Itu bukan pekerjaan hina. Itu adalah sesuatu yang mendarah daging. Apalagi jika si anak sekolah di Ambon School yang dipenuhi anak tangsi yang bandel.
Di masa revolusi, banyak anak bekas KNIL yang bergabung dengan ketentaraan. Bagi yang terpengaruh semangat kemerdekaan akan memilih masuk BKR/TNI. Bagi yang memiliki dendam atau tidak suka pada orag-orang Republik akan memilih masuk KNIL seperti ayah mereka. Banyak anak KNIL di Jakarta dan Bandung masuk KNIL karena keluarga mereka diganggu orang pro Republik yang seenak udel menganiaya, bahkan membunuh keluarga mereka atas nama Revolusi pada “masa bersiap.”
Ada juga orang-orang yang pernah ikut tentara Indonesia terpaksa bergabung dengan KNIL. Biasanya karena tertinggal, ditinggalkan atau meninggalkan diri dari tentara Republik ketika kota diduduki tentara Belanda. Mereka adalah orang-orang yag buta politik.
Hasil dari serdadu didikan KNIL Belanda cukuplah baik. Mereka dianggap lebih terlatih daripada bekas. Biasanya mereka sering dijadikan pelatih di TNI, daripada jadi komandan tempur.
Cerita bekas KNIL yang dijauhi kadang hal biasa dalam ketentaraan Indonesia. Di tahun 1960an masih terasa. Z.A Maulani pernah alami hal itu. Dia punya atasan setingkat lebih tinggi pangkatnya. Si atasan dulunya bekas KNIL. Gerrits Kakisina adalah lulusan Kader School Gombong sebelum perang dunia II. Dia ikut mengungsi ke Australia. Sebagai Sersan II KNIL, dia dilatih tentara Amerika untuk tugas Field Combat Intelliegence untuk menyerbu Asia Tenggara. Konon, Gerrits pernah bertugas di front Pasifik juga. Setelah Jepang menyerah, Gerrits adalah anggota NEFIS. Gerrits masuk ke Surabaya pada November 1945.
Gerrits buta politik. Dia hanya berpikir dirinya serdadu yang harus professional yang harus jalankan apapun perintah komandan. Bukan mengikuti perkembangan politik. Selama di Australia, atasan-atasan Belandanya mengatakan yang akan dihadapinya di Indonesia adalah Ektrimis.
Ketika bertugas di TNI, di tahun 1960an, dengan pangkat Letnan Satu, di Sumatra Selatan. Gerrits tidak begitu disukai. Bahkan dijauhi. Karena dirinya bekas musuh TNI di masa revolusi. Gerrits tak banyak bicara. Dia pensiun dengan pangkat Kapten.[3] Ketika KNIL bubar dirinya juga punya pilihan untuk ikut KL ke Belanda. Tapi itu tidak dipilihnya. Masih ada orang seperti Andi Azis. Dia juga kemudian memilih mundur, sebagai bekas KNIL dirinya jelas kurang dihargai dalam ketentaraan Indonesia.
Mantan KNIL pasca kemerdekaan masih bisa sampai jenderal, tapi tak akan pegang jabatan strategis walau pintar. Kesalahan mereka hanya teekensoldij.Tentu saja, di Negara yang katanya nasionalis ini, orang yang bergabung dengan tentara Belanda di jaman revolusi dianggap pengkhianat. Tidak sepaham atau beda, di negeri ini dianggap musuh. Itulah orang Indonesia masa kini, mungkin juga dulu.
Jika ditelisik, ada banyak alasan dulu ketika jaman revolusi banyak orang Indonesia yang bergabung dengan KNIL. Pertama, Republik Indonesia, nyatanya identik dengan Jawa walau orang macam Hatta dan Syahrir jadi pemimpin juga. Kedua, tak dijelaskan dalam proklamasi mana saja wilayah Indonesia itu. Di jaman pendudukan Jepang, wilayah Indonesia dibagi menjadi tiga bagian. Daerah timur beda penguasa militer dengan Jakarta. Ketiga, tidak semua orang tahu berita proklamasi dan juga tak paham apa itu Indonesia. Keempat, kebanyakan pendukung Republik di awal kemerdekaan tak beda dari kaum fanatik yang main pukul dan tak bersahabat. Ini hal paling fatal karena banyak pengikut republik menghabisi bekas orang yang bekerja pada Belanda. Kelima,Republik Indonesia adalah Negara baru yang dianggap belum mapan. Tak heran jika banyak orangtua dimasa itu terkesan tak berpihak karena opurtunisme mereka.
Di masa lalu, orang Bagelen biasa teekensoldij di Gombong. Orang sekitar Indonesia Timur bisa ke Ambon atau Manado buat teekensoldij. Tak semua orang Indonesia mau teekensoldij. Sebagian besar orang Bugis atau Makassar merasa malu jadi serdadu kompeni alias Belanda. Hanya segelintir dari mereka yang mau jadi serdadu.
Jika Anda hidup di jaman ratu Belanda, meski tak bisa baca tulis tak apa. Anda bisa teekensoldij buat jadi serdadu. Apalagi Anda sangar! Itu lebih baik. Barangkali Marsose akan terima Anda. Cukup Teekensoldij saja.
Endnote:
[1] Tatang Sumarsono, Didi Kartasasmita:Pengabdian Untuk Republik, Jakarta, Pustaka Jaya, 1993, hlm. 39.
[2] A. Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas (Kenangan Masa Muda), Jakarta, Gunung Agung, 1982, hlm. 46-47.
[3] Z.A. Maulani, Melaksanakan Kewajiban Kepada Tuhan danT anah Air (Memoar Seorang Prajurit TNI),Jakarta, Desata, 2005, hlm. 132-134.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar