Tak anak yang tidak bermain dan belajar. Dalam belajar mereka tampak dan tergoda untuk bermain, tapi sebenarnya dalam bermain pun mereka belajar.
Tak ada masa yang seru selain masa bocah. Tak perlu berpikir serius, cukup menikmati permainan, maka hidup pun indah. Asal bisa bermain hidup pun indah. Di masa lalu, anak-anak kecil tak seperti sekarang. Mereka tidak bermain Video Game atau semacamnya. Mereka bermain di alam terbuka. Membuat pikiran mereka lebih jernih dan dekat dengan alam. Apa yang mereka mainkan, biasanya dekat dengan alam. Mainan mereka kadang agak nakal. Berburu burung dengan ketapel. Alam menyediakan mainan untuk mereka.
Setelah lelah bermain, biasanya seorang anak kecil akan disuruh pergi ke surau. Untuk sembahyang dan mengaji. Pengaruh pesantren biasanya kuat di Indonesia. Pesantren lebih tua usianya dibanding sekolah-sekolah yang berdiri di Indonesia. Sebelum Islam datang, cikal-bakalnya Guru-kulosudah berkembang di jaman Hindu-Budha. Sistem pendidikan lama tadi, banyak memberi peluang bagi anak untuk bermain dan belajar dari alam.
Seperti di masa kini, tak semua anak punya banyak waktu bermain. Di masa lalu pun ada juga anak-anak yang sulit bermain. Mereka kadang harus bekerja membantu orang tua mereka. Ikut berladang; kerja di perkebunan dengan upah kecil; atau ikut berjualan. Yang bekerja di perkebunan mungkin yang paling malang. Jam kerja mereka cukup panjang. Bagi yang membantu orang tua di kebun masih bisa bermain di sela-sela membantu orang tua mereka. Banyak yang bisa mereka mainkan di ladang.
Di masa lalu, ketika Indonesia belum merdeka, di sekolah murid-murid sekolah dasar diajarkan mainan tradisional. Kata para budayawan dan pemerhati pendidikan, permainan tradisional banyak terkandung nilai-nilai kearifan lokal. Di masa sekarang, mulai banyak permainan tradisional yang hilang. Entah karena maraknya video game atau terlalu banyaknya jam pelajaran yang membuat anak-anak SD sulit bermain dan belajar bersama alam.
Dalam buku pelajaran sejarah, orang-orang Belanda digambarkan sebagai orang jahat. Sementara raja-raja pribumi yang melawan Belanda serta keturunannya yang punya moral bejat dijadikan pahlawan. Orang Belanda, memang bermaksud cari kekayaan ke Indonesia. Tapi, bukan berarti mereka hanya sekedar mau kaya dan tidak peduli pada orang-orang Indonesia. Kita bisa ambil contoh Boscha pemilik perkebunan teh Malabar. Apapun niatnya, dia telah meninggalkan Obsevatorium Boscha yang punya peran penting dalam ilmu pengetahuan. Dia juga ikut dirikan sekolah buat anak-anak pribumi.
Jaman dulu, jumlah sekolah tidak banyak tentunya. Jaraknya kadang cukup jauh. Banyak anak-anak pribumi yang harus berjalan kaki berkilo-kilo dan berjam-jam. Kadang harus menyeberangi sungai. Dewasa ini, kondisi seperti ini masih ditemui di Pulau Jawa, apalagi di daerah terpencil lainnya. Jika anak orang terpandang, mereka bisa naik sado atau mobil. Rupanya, mobil jemputan sudah ada di masa kolonial. Kita akan teringat lagu Koes bersaudara, "Bis Sekolah."
Jaman kolonial dulu, sekolah adalah lembaga yang rasis. Sekolah ditentukan dari wara kulit. Bukan sekedar seberapa tebal kantong orang tua seperti yang masih terjadi di masa sekarang. Mungkin ini yang disebut kemerdekaan. Merdeka untuk menjadikan sekolah sebagai ajang cari uang. Rasisme yang berlaku kadang bisa diakali. Misal, ada anak pembesar pribumi yang bisa masukan anaknya ke sekolah untuk orang-orang Eropa.
Orang-orang Jawa bisa masukan anaknya ke sekolah Belanda untuk anak-anak Jawa alias Hollandsche Javasche School (HJS). Orang-orang Tionghoa, bakal masukan anaknya ke sekolah Belanda khusus anak-anak . Anak anak Ambon yang anak militer atau pegawai kolonial akan dimasukan keAmbonsche Burgerschool. Sebagai anak tangsi atau anak kolong, sekolah ini siswanya nakal-nakal. Mereka kadang hanya hormat pada guru Ambon saja. Banyak dari mereka sepertinya masuk KNIL. Anak pribumi biasa, seperti Jawa, Sumatra dan lainnya, bisa masuk Holllandsch Inlandsche School (HIS). Bagi anak-anak Eropa diadakanEurope Lager School. Ini adalah SD paling elit di jaman kolonial.
Di masa lalu, anak-anak yag bisa sekolah jelas orang beruntung. Bisa masuk sekolah desa saja sudah cukup untung. Meski sudah bisa membaca dan menulis mereka tak terlalu bangga. Meski dengan ijazah sekolah desa yang lamanya bisa tiga sampai lima tahun, mereka bisa kerja di perusahaan perkebunan. Tapi jangan mimpi kuliah. Harus masuk MULO dan AMS dulu.
Pergi sekolah bisa jadi hal menyenangkan bagi anak-anak. Mereka bisa bertemu kawan merekayang seusia. Sudah pasti akan pulau sekolah sambil bermain. Kalau uang saku lebih, mereka bisa beli mainan. Sedari dulu sudah ada pedagang mainan yang digemari anak-anak sekolah dasar. Penjual mainan selain di sektiara sekolah, sering ditemui ketika ada keramaian macam pasar malam.
Begitu kira-kira bocah-bocah dari masa lalu. Dimana pun dan kapan pun kebutuhan anak-anak adalah bermain dan belajar. Jangan dikira sekolah hanya tempat belajar. Sekolah juga tempat bermain. Kenapa anak-anak harus bermain, karena dalam bermain pun, tanpa disadari mereka sebenarnya belajar. Jadi, tak ada anak yang tak belajar dan bermain
Sumber foto: tropenmuseum (http://collectie.tropenmuseum.nl)
Sumber foto: tropenmuseum (http://collectie.tropenmuseum.nl)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar