Soumokil tak jauh beda dengan pemberontak lain yang telah ditangkap. Hukuman mati pun datang padanya.
Soumokil adalah praktisi hukum dan ketika peristiwa Andi Azis berlangsung masih menjabat Jaksa Agung dajn mengepalai kepolisian NIT. Sejak pemerintah kolonial Hindia masih berkuasa, Soumokil tidak masuk dalam arus pergerakan nasional seperti sebagian intelektual bumiputra lainnya.
Sebagai orang pribumi yang berstatus gelijkgesteld—yang berarti sama secara hukum dengan orang-orang Belanda—Soumokil juga mendapat tentangan dari kawan-kawan Maluku-nya ketika dirinya akan diangkat menjadi anggota Volksraad pada tahun 1938. Sebagai orang Ambon terpelajar, Sounokil tidak bergabung dalam Serikat Ambon atau organisasi lain. Mungkin ini didasari status gelijkgesteld-nya yang membuatnya ekslusif hidup dalam lingkungan kolonial Hindia Belanda.[1]
Soumokil adalah orang yang mengimpikan orang yang mengimpikan adanya otonomi daerah. RMS mungkin puncak dari cita-cita otonominya—dimana bukan tidak mungkin cita-cita itu sudah diimpikannya sejak masa kolonial dimana dia akan menjadi penguasanya. Keberadaan NIT sebenarnya tidaklah bertentangan dengan cita-citanya. Walau hanya sebuah negara bagian saja, setidaknya tidak ada dominasi kaum Republik. Soumokil nyatanya sangat menjaga jarak, baik sebelum dan sesudah pendudukan Jepang dan puncaknya mulai terlihat dalam NIT.
Permusuhan terbesarnya dengan kaum Republik begitu nyata ketika Soumokil menjadi Jaksa dalam persidangan yang mendudukan Walter Mangisidi sebagai tersangka—dengan tuduhan teroris dalam wilayah NIT. Dalam persidangan itu, Walter Monginsidi dijatuhi hukuman mati.[2] Vonis itu dijatuhkan beberapa bulan sebelum NIT dibubarkan. Ketika Walter Mangisidi dihukum mati pada September 1949 di Makassar, sedang berlangsung gencatan senjata antara Indonesia dengan Belanda.
Setelah pasukan Andi Azis yang berontak dikalahkan di Makassar, Soumokil berangkat ke Manado, dimana sebuah pemberontakan disiapkan oleh Soumokil. Di Menado, Soumokil memanfaatkan kaum Persatuan Timur Besar (PTB). Persatuan Timur Besar itu, menurut Ibrahim Ohorila—bekas Menteri Persediaan Makanan RMS yang menyerahkan diri ditahun 1951—terbentuk dari hasutan –hasutan kaum kolonial Belanda yang propagandanya selalu bersifat menentang Republik Indonesia dan selanjutnya ingin berdampingan dengan negeri Belanda sebagai provinsi ke-13. Tapi usaha pemberontakan Soumokil di Menado inipun menemui kegagalan. Setelah pemberontakan yang gagal itu, Soumokil lari ke Ambon. Soumokil menumpang pesawat pembom B-25 milik Militer Belanda. Menurut Kepala Dinas Perhubungan Militer Belanda, kepegian Soumokil bukanlah dengan cara yang diistimewakan. Kepergian Soumokil sendiri memancing kecurigaan di kalngan pemerintah NIT di Makassar. Karena hal ini, Soumokil diskor dari jabatannya sebagai Jaksa Agung NIT.[3]
Di Ambon, Soumokil juga mempengaruhi berbagai kalangan untuk menolak keberadaan RIS di Ambon. Para raja, Partai Timur Besar, pasukan Baret dan tentu saja orang-orang KNIL di Ambon. Keberadaan pasukan baret ini sangat menguntungkan gerakan Soumokil di Ambon. Walau bukan orang Militer, Soumokil tentu mengerti kemampuan pasukan Baret yang telah merepotkan posisi pasukan republik selama Revolusi. Berbeda dengan di Makassar, kali ini gerakan TNI akan sulit sekali untuk melawan RMS yang dipimpinannya. Kasus Makassar, kekuatan Pmeberotakan hanya terdiri kalngan KNIL dan KL yang jarang bertempur. Berbeda denga pasukan Baret yang telah terlatih dan berpengalaman. Bila ini perhitungan Soumokil dalam pengunaan bekas Pasukan Baret Belanda adalah tepat, terbukti TNI kerepotan hinggga mengorbankan perwira TNI.
Soumokil pastinya mengerti kondisi pansanya Ambon karena sebagai Jaksa Agung yang membawahi Kepolisian NIT, Soumokil memperoleh banyak laporan mengenai perkembangan kondisi di Ambon. Apalagi dalam kepololisian NIT banyak terdapat orang-orang Belanda yang berpangkat Inspektur maupun Komisaris—umumnya mereka adalah orang-orang Belanda reaksioner.[4]
Soumokil dan Manusama juga sering melakukan agitasi-agitasi ke publik yang bersifat menentang eksistensi Republik. Mereka berdua mendesak diadakannya sebuah rapat umum yang dipimpin oleh Han Boeng Hiong dari Parlemen NIT. Rapat umum ini dihadiri setidaknya 2.000 orang yang terdiri dari kaum militer dan sipil di Ambon. Diantara orang-orang Sipil itu terdiri atas orang-orang dari Persatuan Timur Besar yang hadir dengan pakaian hijau dan sedikit orang-orang biasa yang datang karena dipaksa. Pada rencana awal, Soumokil yang sudajh berada di Ambon untuk sementara tidak langsung tampil kemuka , seperti dalam rapat besar itu.[5]
Penyelesaian dua kekacauan oleh orang-orang kontrarevolusi itu memberi waktu bagi Soumokil dan gerakan dadakan-nya untuk menyusun kekuatan. Masalah Andi Azis di Sulawesi Selatan, sudah cukup untuk mengalihkan perhatian dan kekuatan pemerintah untuk tidak menghiraukan Maluku. Proklamasi RMS baru terjadi 25 April 1950, ketika kota Makassar masih belum aman. Hal ini berarti pasukan Republik masih jauh untuk menghadapi RMS. RMS sendiri dibantu oleh pasukan baret yang pernah dilatih Westerling di Batujajar. Letak Maluku yang jauh ke timur dan harus dijangkau melalui laut selama beberapa hari. Jelas waktu yang tepat bagi kekuatan militer RMS yang terdiri bekas KNIL untuk bersiap. Dengan susah payah, pasukan RMS yang terlatih akhirnya bisa ditumpas oleh TNI. Beberapa bekas RMS diampuni dan masuk TNI.
Meski kekuatan militer RMS terbesar telah dihabisi, tetap saja Soumokil tak pernah berhenti. Soumokil ikut bergerilya di pedalaman pulau Seram. TNI baru menangkap Soumokil pada 2 Desember 1963. Setelah 13 tahun bererilya di Seram. Soumokil bertahan cukup lama. Padahal 12 gembong RMS lain, Seperti Samson, Sopacua dan lainnya, sudah lama menyerah. Soumokil tentu yang paling gigih bertahan.
Ada kabar jika Soumoki akan diampuni oleh Soekarno. Setidaknya Soumokil bisa dijadikan penerjemah kitab hukum kolonial, dari bahasa Belanda ke Bahasa Indonesia. Maklum, Soumokil ahli hukum keluaran Leiden. Nyatanya bukan itu yang terjadi, hukuman mati dijatuhkan oleh pengadilan pada Soumokil.
l
Isteri Soumokil almarhum, yang pertama adalah wanita Belanda Bercerai. Ketika bergerilya di Ceram bertemulah gembong KMS ini dengan wanita yang pandai sekali memanjat pohon kelapa, yang waktu itu umurnya sekitar 20-an. Istri Soumokil tampak ada dendam dan marah pada pemrintah RI, katanya: "Kalau pemerintah Indonesia tidak bunuh suami saya, mungkin ada perasaan lain di dalam hati bangsa Maluku".[6]
RMS masih hidup di Negeri Belanda dengan segala perubahannya. Soumokil tetap legenda mereka. Kematian Soumokil tak surutkan mereka pada mimpi tentang "Republik yang dijanjikan" bernama Republik Maluku Selatan.
Note:
[1] William H. Frederick & Soeri Soeroto (ed), h. 371. Richard Zakariaz Leirissa, Pemberontakan Republik Maluku Selatan, PRISMA th 7 no 7 Agustus 1978., hlm. 26-39.
[2] Ibid.
[3] Agoes Anwar, Soumokil Dan Hantjurnja RMS, Medan, C.V. Pudja Sakti, 1964. hlm. 41-42.
[4] Ibid.,, hlm. 42-42 A
[5] Han Boeng Hiong di pengadilan setelah RMS ditumpas justeru mengakui tidak mengerti apa-apa tentang hal itu. Beredar cerita rapat umum ini dihadiri 9.000 orang. Saat itu Soumokil masih belum tampil didepan melainkan masih dibelakang layar untuk mengatur sebuah rencana besar setelah rapat besar itu. (Agoes Anwar, hlm. 42 A)
[6] Indonesia Musuh Sampai Tua, Tempo, 6 Maret 1976
Tidak ada komentar:
Posting Komentar