Jumat, Juni 18, 2010

Wisata Sejarah Bumi Arung Palaka


Cerita menarik saya dapat lagi. Bukan cuma tentang Arung Palaka, tapi juga Pelras—yang luar biasa tekun meneliti tentang Bugis.

Hidup adalah berjalan. Makanya saya terus berjalan dan belajar lagi. Tujuan selanjutnya adalah Bone. Terlepas karena rasa penasaran soal Bone, juga karena tawaran Irfan, putra daerah asli Bone. Banyak cerita menarik lagi saya peroleh. Itulah gunanya berjalan.
Bukan buang-buang waktu tapi belajar hal baru. Tentu saja harus dibarengi dengan membuka diri tentang banyak hal yang belum tentu kita sepakati. Disinilah kita akan belajar lagi tentang bagaimana menerima sesuatu. Tidak semua yang kita ingini akan kita temukan. Bisa jadi yang tidak kita akan menemui kita. Berjalan tentu membuat kita belajar menerima, sesuatu yang tidak kita ingini. Inilah hidup. Sepertinya sok bijak sekarang. Sudahlah, saya hanya ingin bercerita saja.

Naar de Bone
Sore itu (15/06/12), Makassar hujan rintik-rintik. Agenda sore ini adalah menuju rumah Irfan di Watampone, Bone. Diperkirakan, perjalanan memakan waktu 5 jam. Cukup lama juga. Saya hanya bisa membayangkan jalan rusak meuju Bone. Saya cukup maklum jika jalan diluar pulau Jawa buruk. Jadi bukan masalah jika nantinya saya akan melewati jlan yng buruk. Setelah menunggu agak lama, kami menemukan mobil yang diinginkan Irfan untuk pulang ke rumahnya. Irfan memang tipe manusia pemilih, dalam hal ini memelih mobil.
Mobil kami meluncur mulus menuju Maros. Saya baru tahu Bone lewat Maros. Saya pernah lewat Maros, waktu ke Barru. Mobil lalu mengambil jalan ke arah Bone, di sebuah pertigaan. Jalan yang dilewati mobil makin mengecil. Dan jalan mulai menanjak. Di kanan-kiri jalan perumahan tampak sederhana khas Makassar. Sebagian besar rumah adalah rumah panggung. Hanya sedikit rumah batu yang saya lihat.
Tidak jauh dari jalan raya, di sisi kiri jalan menuju Bone, sebuah bukit tegak lurus berdiri terlihat. Bukit ini mlembentang cukup panjang dari barat ke timur. Jalan yang kami lewati adalah desa-desa yang cukup ramai.
Mobil kami akhirnya melewati Bantimurung. Saya jadi ingat taman kupu-kupu yang cukup terkenal, dan desa Leang-Leang yang menyimpan gua purba beserta lukisan dindingnya. Dua desa di Maros itu membuat saya penasaran, tapi saya tidak bisa singgah. Sepertinya saya harus kunjungi dua desa itu. Mungkin sekembali dari Bone. Rasa penasaran saya pun bertambah lagi.
Lepas dari Bantimurung, jalan semakin menanjak. Pemandangan di kanan kiri jalan menuju Bone begitu hijau. Baik oleh hutan maupun persawahan. Maros masih memelihara tradisi agrarisnya. Karena hari mulai gelap, maka pemandangan indah itu tidak bisa terus saya nikmati. Saya hanya bisa berkata,” woooww keren,” sambil mengacungkan jempol pada Irfan. Hawa dingin makin terasa ketika melewati perbukitan hijau.
Jalan berkelok-kelok dan menanjak, membuat isi perut tergoncang. Namun bukan masalah buat saya, pemandangan indah di perbukitan membuat tubuh saya nyaman juga. Namun ada penumpang wanita di mobil kami harus muntah-muntah, hingga mobil harus berhenti sebentar. Sopir lalu membersihkan muntahan wanita muda itu. Dan saya pilih tidak peduli, seperti orang autis yang sedang berada di dunia lain.
Saya tidak menyesal ke Sulawesi Selatan. Dan masih ingin kembali lagi lain waktu. Jika punya anak, saya akan melatihnya menjadi backpacker sejak dini. Tentu saja saya akan mengajaknya menjelajahi Sulawesi Selatan. Tidak ke Bali bukan masalah, tapi ke Sulawesi Selatan harus!
Jalan menuju Bone, selain menanjak juga berkelok-kelok. Gelap malam membuat saya kurang bisa menikmati pemandangan. Seorang asal Bone yang saya temua di kereta-api Jakarta-Jogaj tahun lalu pernah bilang, tanah di Bone subur. Omongan Bapak yang tidak saya ketahui namanya itu benar juga. Karena ketika mencapai Bone, saya masih melihat banyak persawahan.a
Mobil akhirnya sampai juga di rumah Irfan. Kami beristirahat. Ibu Irfan harus repot lagi, memasak untuk kami. Ibu Irfan lalu menyuruh kami makan malam. Hawa dingin di jalan, membuat kami makan dengan lahap. Setelah itu saya tidur.

Keliling Watampone
Agenda pagi ini adalah pergi ke balai arsip, perpustakaan dan museum. Satu persatu tempat itu pun kami kunjungi. Kami hanya sebentar saja di perpustakaan dan arsip daerah. Selanjutnya kami menuju museum. Jadi hari ini hanya sekitar Watampone.
Museum Lapowawoi nama museum ini. Diambil dari nama raja Bone yang melawan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda di tanah Bone. Lapawawoi Karaeng Segeri tidak bisa lagi berkuasa sejak 1905 karena pemberontakannya berhasil dihabisi serdadu KNIL. Kisah pemberontakan Lapowawoi pernah saya tuliskan dalam buku saya Pemberontak Tak Selalu Salah: Seratus Pembangkangan di Nusantara (Yogyakarta: Indonesia Buku, 2009). Dalam buku ini saya juga menulis pemberontakan raja wanita Bone, Besse Kajuara. Dan tentu saja Arung Palaka sang pembebas Bone.
Tidak ada loket dimana pengunjung harus membayar. Museum tampak sepi. Penjaga museum mempersilahkan masuk. Juga membiarkan saya memngambil foto. Tidak pungutan apapun. Sosok Arung Palaka begitu mendominasi museum. Tokoh ini adalah ikon Bone masa kini. Meski Sejarah nasional versi pemerintah begitu menyudutkan Arung Palaka. Hal ini karena persekutuan Arung Palaka dengan VOC yang kemudian meruntuhkan imperium Gowa di Sulawesi Selatan. Alasan persekutuan itu adalah demi membebaskan Bone yang kala itu dijajah Gowa. Nyatanya alasan Arung Palaka bersekutu dengan VOC untuk membebaskan Bone dari penjajahan Gowa itu tidak bisa diterima begitu saja, apalagi oleh Sejarawqan-Sejarawan berstatus pegawai negeri yang dibayar pemerintah.
Tidak saya sangka, ternyata keturunan raja Bone kebetulan tinggal disitu. Andi Baso Bone, begitu dia perkenalkan dirinya. Awalnya kami hanya mengobrol sekilas saja tentang isi museum. Akhirnya, pelan-pelan kami mengobrol soal sejarah Bone. Tentu saja dalam perspektif orang Bone. Andi Baso begitu fasih bercerita soal Bone, dan tentu saja tentang Arung Palaka.
Tentang Arung Palaka, Andi Baso bercerita bahwa Arung Palaka digambarkan sebagai sosok yang tangguh, cerdas dan berperawakan setinggi 2 meter. Soal Arung Palaka yang kemudian menjadi pemimpin besar bukan hal aneh. Karena Arung Palaka alias La Tenritata pernah tinggal dengan Karaeng Patingalong, seorang Cendikiawan Makassar yang mencintai ilmu pengetahuan dan sangat ahli dalam berdiplomasi. Dari Karaeng Patingngalong ini, Arung Palaka banyak belajar.
Arung Palaka begitu dihormati karena perjuangan heroiknya membebaskan Bone. Andi Hasanudin, salah seorang Budayawan Bugis pernah bilang pada saya Arung Palaka pernah mengunjungi Sultan Hasanudin yang sedang sakit di Istana Balalompoa. Setelah membebaskan Bone, Arung Palaka tidak menaruh dendam pada Gowa—yang pernah menjadi penjajah sekaligus musuhnya.
Arung Palaka, seperti diceritakan Andi Baso Bone, berusaha menciptakan kestabilan di Sulawesi Selatan. Jalannya dengan melakukan perkawinan antar keluarga bangsawan Bugis dan Makassar. Tidak heran jika kemudian raja-raja di Sulawesi Selatan adalah bersaudara sedarah sebenarnya. Karenanya, pasca berkuasanya Arung Palaka, Sulawesi Selatan nyaris tidak terdengar adanya perang saudara yang cukup parah. Hanya ada perang antara orang Bugis melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Pembicaraan saya dengan Andi Baso juga menyinggung Christian Pelras yang menulis Manusia Bugis, buku favorit saya soal Bugis. Bertahun-tahun Pelras, yang asli Perancis, belajar tentang Bugis. Pelras mahir berbahasa dan baca-tulis huruf Bugis. Pelras cukup menyelami masyarakat Bugis dengan berlaku layaknya rakyat jelata ketika akan bertemu keturunan raja Bone. Pelras berusaha melihat Bugis dengan menyelami hubungan antara raja dengan rakyat Bugis. “Pelras itu orang Bugis, hanya kulitnya saja yang putih,” kata Andi Baso.
Dari Andi Baso, saya mendapatkan copyan foto We Tenriolle lagi, juga foto suami Belanda-nya Johan Brugman. Perjalanan membuat saya temukan hal baru. Saya menilai, Andi Baso cukup peduli dengan warisan Bone dan memiliki visi melestarikan sejarah Bone. Ketika hari menjelang siang saya dan Irfan pamit dari Museum. Saya beruntung bisa berbincang dan mendapat hal baru dalam kunjungan ke Museum Lapowawoi.
Agenda selanjutnya adalah mengunjungi komunitas Bissu Bone di Gedung Kesenian Bone, Bolasoba. Sore itu komplek gedung kesenian cukup ramai oleh remaja-remaja yang berlatih tari tradisional. Pertanda bagus dalam pelestarian Budaya Bugis. Bissu mungkin bias menjadi agen pelestari budaya Bugis. Bissu dalam pandangan saya adalah orang-orang sakti. Orang-orang menganggap mereka adalah banci. Mereka bisa bermain debus yang membuat kita merinding ketika mereka menusuk leher, mata atau bagian tubuh yang lainnya dengan badik atau keris. Kata bissu sendiri kemungkinan, seperti banyak pendapat ahli Bugis, adalah dari kata biksu (atau pendeta). Zaman dahulu, Bissu adalah penasehat spiritual raja.
Sepulangnya kami melewati sumur penting dalam sejarah Bone, Sumur Laccokkong. Dimana seorang bayi, yang kemenakan raja Bone, sekaligus akan raja Palaka, pernah merasakan air disumur itu ketika bayi. Dimana sehari sesudahnya bayi itu dinobatkan menjadi raja Bone.
Bone, jauh sebelum saya tiba di Watampone, memang identik dengan Arung Palaka. Lukisan diri Arung Palaka dengan gambar pita bertulis “Radja Palacca de koning der Bugish” selalu menjadi perhatian saya disini. Saya begitu hormat padanya atas keberaniannya berontak membebaskan Bone. Tentu saja saya menyempatkan diri berfoto di bawah patung Arung Palaka di Taman Bunga kota Watampone. Tidak biasanya saya mau narsis dekat dengan patungnya, salah satu pemberontak idola saya.
Belajar soal Bugis masih berlanjut tentunya. Malamnya saya belajar lagi soal Bugis. Kali ini berupa obrolan santai dengan Burhanudin, abangnya Irfan. Cukup menyenangkan juga belajar seperti ini. Walau saya tidak yakin akan mengikuti jejak Pelras.
Agenda hari kamis (17/06/10), di Bone adalah mengunjungi Goa Cempalagi atau Goa Janji. Goa ini adalah salah satu persembunyian Arung Palaka dari kejaran tentara Gowa, sebelum menuju Buton. Di Goa ini juga ada perjanjian beberapa bangsawan Bugis, untuk membebaskan Bone—yang kala itu dijajah Gowa. Karenanya goa ini disebut goa Janji. Tentu saja goa ini cukup penting dalam sejarah Bone.
Kami berdua memasuki goa gelap ini setelah menaiki tangga didepan mulut gowa. Jalan masuk goa cukup sempit, namun didalamnya banyak ruang besar. Kami tidak lama didalam goa, karena baterai senter terbatas. Lagi pula kami tidak terlalu mengenal goa ini. Kami kelelahan, meski hanya beberapa meter saja menjelajahi goa. Menurut saya, kadar oksigen di goa ini cukup baik. Karena banyak lobang bercahaya.
Tidak jauh dari goa adalah hutan kecil yang dihuni banyak kalong. Ada juga sebuah situs yang dipercaya jejak kaki Arung Palaka. Menurut penduduk sekitar, air laut yang mengenai jejak kaki Arfung Palaka itu tidak asin.
Dari goa, saya dan Irfan mengunjungi rumah keluarganya, yang tidak jauh dari goa. Irfan pernah menjalani masa kecilnya di desa ini. Bang Arif, saudara sepupu Irfan, mempersilahkan kami naik ke rumah panggungnya yang sederhana. Kami bersantai di beranda. Dimana sanggara’ (pisang goreng) dan es teh lemon dihidangkan. Tentu swaja sambil mengobrol. Irfan dan keluarganya sering bicara dalam bahasa Bugis, yang tentu saja saya tidak mengerti. Tapi bukan masalah bagi saya.
Cukup menyenangkan, menikmati hidangan sambil melihat hamparan sawah hijau dan hembusan angin sore yang meneduhkan. Tidak hanya itu, kami juga disuguhi makanan berat. Setelah puas duduk di beranda, saya dan Irfan pamit. Selanjutnya kami menuju Tanjung Palette, sebuah tempat wisata dipinggir laut Teluk Bone. Saya dan Irfan melewati rumah Yusuf Kalla—mantan Wakil Presiden RI yang sekarang menjadi ketua PMI. Sepanjang jalan yang kami lewati adalah areal tambak yang luas. Dimana masyarakat disini hidup dari Ikan dan rumput laut. Sekolah perikanan juga kami lewati sebelum mencapai gerbang tempat wisata Tanjung Palette. Disini setelah melihat laut, kami berenang di kolam renang. Cukup hanya membayar Rp. 4.000 saja. Hari ini masih menyenangkan. Selanjutnya kami menginap dirumah paman-bibinya Irfan.
Begitu banyak kisah-kisah yang tidak bisa saya dokumentasikan di Bone. Waktu saya sebenarnya terbatas kali ini. Butuh waktu yang agak lama untuk bisa mendokumentasikan kisah-kisah tentang Bone.
Andi Baso bilang pada saya, “harus bertahun-tahun tinggal disini untuk belajar tentang Bugis. Bahkan jika perlu harus beristrikan orang Bugis juga.” Saya setuju poin pertama, tapi poin terakhir agak sulit saya terima karena sulit untuk saya. Tapi suatu kali saya akan kembali lagi, mungkin untuk waktu yang agak lama. Tentu saja meropotkan Irfan lagi. Jum'at siang, kami harus kembali ke Makassar. Bang Bur menghadiahi say sandal jepit. Saya sangat senang sekali, karena akan sangat berguna sekali. Sekaligus menggantikan sandal saya yang hilang. Sandal jepit memang sangat berguna bagi para backpacker, begitu juga saran backpacker berpengalaman, seperti yang saya baca di sebuah majalah.

Tidak ada komentar: